Pengasingan Laki-laki

Hari-hari setelah ritual pertama berlalu dalam keheningan yang aneh. Tubuh Ratri masih terasa berat, seperti ada yang terus membuntutinya. Di siang hari, ia mencoba hidup seperti biasa—berlatih menari, membantu ibu di dapur, dan menyapa tetangga yang melintas. Tapi di malam hari, suara-suara itu kembali: bisikan di sudut kamar, langkah kaki tanpa wujud, dan bayangan hitam di cermin yang tersenyum padanya.

Pagi itu, Rajiman datang ke rumah dengan membawa dua buah kendi tanah liat. Di dalamnya berisi air dari tujuh sumber mata air yang dianggap suci. “Ratri, kita akan memulai ritual pengasingan laki-laki,” ujarnya sambil menatap mata Ratri dengan tajam.

“Pengasingan… apa maksudnya?” Ratri duduk di beranda rumah, sementara ibunya menyeduh teh tanpa suara di dapur.

“Ini syarat utama. Agar kamu tetap suci, tidak terganggu hawa nafsu, dan tetap menjadi penari utama sampai waktu pensiun. Mulai malam ini, kamu tidak boleh disentuh, apalagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Jika dilanggar, penjaga sukma dalam tubuhmu akan murka,” jelas Rajiman.

Ratri menggigit bibir. Ia ingin bertanya: mengapa perempuan harus menanggung beban sebesar ini untuk sebuah kehormatan desa? Tapi pertanyaan itu hanya menggantung di tenggorokannya, tak pernah terucap.

Ritual dilakukan di pemakaman tua di pinggir desa. Tempat yang tak pernah dikunjungi orang kecuali saat ada kematian. Di bawah pohon beringin besar, Rajiman menggambar lingkaran besar dari tanah liat dan abu mayat yang dicampur dengan darah ayam jantan. Ratri duduk di tengah lingkaran, mengenakan kain putih tanpa pola. Rambutnya dibiarkan tergerai panjang hingga menyentuh tanah.

“Katakan sumpahmu,” perintah Rajiman.

Ratri mengatupkan kedua tangan di dada, lalu mengucapkan dengan suara pelan namun mantap, “Aku, Ratri Pratiwi, bersumpah tidak akan menjalin hubungan dengan laki-laki, tidak akan disentuh, dicium, atau diikat dalam ikatan duniawi oleh pria mana pun, hingga waktuku sebagai penari utama selesai, atau hingga para leluhur membebaskanku.”

Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Daun-daun beterbangan. Udara menjadi dingin, sangat dingin, hingga uap keluar dari mulut mereka meski matahari bersinar terang.

Rajiman membuka kendi dan menyiramkan air ke sekeliling lingkaran. “Dengan ini, kamu dilindungi. Tapi ingat, perlindungan ini bukan berkat. Ini penjagaan yang akan membalas jika kau melanggar.”

Ratri memejamkan mata.

Ia merasa seperti dikurung dalam sangkar tak terlihat. Sejak saat itu, para lelaki di desa mulai menjaga jarak. Bahkan Herman, adiknya sendiri, tak lagi berani masuk kamar atau duduk terlalu dekat dengannya. Sugondo tak lagi berbicara banyak, hanya memberi perintah seperti komandan pada prajuritnya.

Yang paling terasa, adalah kesunyian.

Tak ada lagi candaan dari pemuda desa. Tak ada lirikan mata kekaguman. Bahkan jika ia berjalan di jalan utama desa, para lelaki akan menunduk atau berbalik arah. Mereka bukan takut pada Ratri, tapi pada sesuatu yang tak terlihat—yang mengikuti, yang menjaga, dan siap menghukum.

Suatu malam, seorang pemuda desa bernama Wicaksono nekat mencoba mendekati Ratri. Ia terpikat pada kecantikannya sejak lama. Wicak, begitu panggilannya, mengirimkan sepucuk surat lewat adik Ratri. Isinya sederhana:

"Jika kau ingin hidup biasa, aku akan pergi bersamamu malam ini. Kita lari dari desa ini. Menari bukan takdirmu, tapi pilihan yang dipaksakan."

Ratri membacanya dengan hati berdebar. Kata-kata itu seperti lilin di tengah gelap—menawarkan harapan. Tapi hanya sesaat.

Malam itu juga, Wicak ditemukan di belakang rumah, tubuhnya menggigil, matanya kosong, dan mulutnya terus menggumam, “Dia bukan manusia… matanya merah… tangannya dingin…”

Warga membawa Wicak ke dukun desa. Tapi tubuhnya tetap lemas. Selama tiga hari, ia tidak mengenali siapa pun, bahkan ibunya sendiri.

Desa kembali gempar. Dan Ratri kembali jadi bahan gunjingan.

“Aku tak melakukan apa-apa,” ucap Ratri pada Ustadz Subhan yang datang menemuinya diam-diam di surau kecil.

“Aku tahu,” jawab Ustadz Subhan. “Tapi sesuatu di dalam dirimu yang melakukannya. Kau sudah terikat, Rat.”

“Lalu bagaimana aku bisa lepas?”

“Dengan memutus semua ikatan. Tapi tidak sekarang. Tubuhmu belum siap. Jiwamu masih setengah terbelah.”

Ratri menangis di malam itu, di sudut surau, di hadapan Tuhan yang lama tak ia sapa. Ia merasa sendirian di dunia yang tak lagi berpihak padanya.

Dan di dalam dirinya, ada sesuatu yang tertawa… pelan… penuh kemenangan.

Terpopuler

Comments

🦈Mom Panji

🦈Mom Panji

bapaknya sungguh terlalu menyiksa anaknya

2025-06-10

1

⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈

⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈

kasihan kalau gak boleh nikah sampai pensiun jadi penari

2025-06-24

0

🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ

🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ

cpt keluarin sblm semua nya terlambat pa ustad

2025-06-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!