Awal perjanjian

Pagi itu langit Desa P tampak mendung, meskipun belum waktunya hujan. Awan menggumpal seolah menggantungkan pertanda buruk. Di dalam rumah tua Ratri, suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Bahkan Aminah merasa jantungnya berdegup tak tenang sejak subuh.

Ratri duduk memandangi lantai kamarnya. Bekas lingkaran ritual semalam masih tersisa samar. Meski tubuhnya terasa bugar, pikirannya tidak. Ada yang mengganggunya—bukan hanya ingatan tentang gerakan tarian liar yang tak ia sadari, tapi juga mimpi aneh yang menghantuinya semalaman.

Dalam mimpi itu, ia melihat seorang perempuan bersanggul emas, mengenakan kebaya kusam penuh darah. Perempuan itu menari di atas altar batu, matanya memancarkan api kebencian. Ia menatap Ratri, lalu membisikkan satu kata: “Warisan.”

Ratri tak paham maksudnya. Tapi pagi itu, Rajiman datang lebih awal dari biasanya, membawa naskah kuno yang terbungkus kain mori.

"Ini kitab warisan para penari utama," katanya. "Tak semua orang bisa membacanya. Tapi kamu sudah disatujikan, maka kamu layak tahu."

Ratri membuka naskah itu perlahan. Di dalamnya berisi catatan tangan para penari utama terdahulu. Nama-nama seperti Sekar Wangi, Sulastri, Kartinah—semuanya pernah menjadi ikon tari Reog di masanya. Namun yang mengejutkan, tiap nama memiliki catatan kematian tragis.

Sekar Wangi—mati gantung diri.

Kartinah—dibakar hidup-hidup oleh suaminya sendiri karena cemburu.

Dan Sulastri—hilang secara misterius setelah menari untuk tamu penting dari luar negeri. Tubuhnya tidak pernah ditemukan, hanya sanggul emas yang dikembalikan oleh seorang pendeta dari Gunung Lawu.

Ratri menutup kitab itu dengan tangan gemetar. "Mengapa kau memberikannya padaku? Apa maksud semua ini?"

Rajiman menatapnya dalam-dalam. “Karena kamu bagian dari mereka sekarang. Menjadi penari utama berarti mewarisi bukan hanya keterampilan... tapi juga kutukan mereka.”

Kutukan.

Kata itu bergema di kepala Ratri.

Ia ingat kembali satu demi satu kemalangan yang menimpa keluarganya. Herman meninggal aneh. Ibunya hampir dibawa Gondoruwo. Dan ayahnya, Sugondo, yang semakin menjauh dan terdiam sejak malam ritual itu. Semua seperti berhubungan. Semua seperti tertulis dalam takdir yang ia warisi.

---

Sore harinya, ketika Ratri duduk di serambi rumah, Aminah datang membawakan teh.

"Ibu, apakah ayah pernah menjalani ritual seperti yang aku jalani?"

Aminah terdiam. Wajahnya mendadak pucat. "Kenapa kamu bertanya begitu?"

"Aku harus tahu, Bu. Aku tidak ingin menjadi boneka dalam tarian ini. Aku ingin tahu semua yang Ayah lakukan demi membuatku menjadi penari."

Aminah akhirnya duduk. Tangannya gemetar saat memegang cangkir.

"Ayahmu dulu bukan siapa-siapa di desa ini. Tapi dia terobsesi. Ia ingin anaknya menjadi pusat perhatian. Apalagi sejak tahu bahwa kamu punya bakat. Ia mendatangi Rajiman... dan mereka melakukan banyak hal di luar nalar. Bahkan ia pernah mengorbankan ayam hitam setiap malam Jumat Kliwon hanya untuk memohon perlindungan dari leluhur gaib tari Reog."

"Apakah itu yang memanggil Sulastri?" tanya Ratri.

Aminah mengangguk pelan. "Aku pernah dengar dari Rajiman, bahwa arwah Sulastri sangat kuat. Ia tak bisa mati dengan tenang karena darahnya ditumpahkan demi kesenian. Arwahnya kini menari dalam tubuh penari utama mana pun yang 'layak'. Dan kamu, Ratri... kamu dianggap yang paling cocok."

Ratri memejamkan mata. Nafasnya tersengal. Ia merasa tubuhnya bukan miliknya lagi. Seluruh hidupnya dikendalikan oleh warisan yang tidak ia pilih.

Malam pun tiba. Udara kembali dingin dan kabut menyelimuti halaman rumah. Dari kejauhan terdengar suara gamelan, padahal tak ada pertunjukan malam itu.

Ratri terbangun dari tidurnya. Suara musik itu menggema di telinganya. Ia berjalan ke depan cermin dan kembali melihat bayangan perempuan itu. Kali ini lebih jelas. Wajahnya pucat, matanya kosong, bibirnya sobek namun tersenyum.

“Saatnya menari…” bisik bayangan itu.

Tangan Ratri bergerak sendiri. Tubuhnya mengikuti irama. Sekujur tubuhnya panas dan kepalanya berdenyut. Tapi ia tidak bisa berhenti. Tangannya mencakar udara, kakinya menendang dan meliuk seperti ular. Ia menari dalam gelap, dikelilingi aroma darah dan dupa yang tak ia nyalakan.

Ketika ia terjatuh dan tersadar, lantai kamarnya penuh dengan bekas telapak kaki berwarna hitam. Seperti jejak-jejak makhluk yang bukan manusia.

Dan di dinding cermin, tertulis dengan darah:

"Warisan ini belum selesai."

*******

Pagi itu tubuh Ratri terasa berat, seolah ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam dirinya. Ketika ia berdiri di depan cermin, matanya tak lagi mengenali dirinya sendiri. Tatapannya kosong, namun dalam. Kulitnya tampak pucat, dan lingkar hitam di bawah matanya semakin kentara.

Aminah mengetuk pintu kamar, membawa semangkuk bubur. "Kau tak sarapan sejak kemarin, Nak."

Ratri menoleh perlahan. “Bu, kalau aku mati... apakah arwahku akan juga menari seperti mereka?”

Aminah tercekat. Mangkuk di tangannya hampir terjatuh. “Jangan bicara begitu, Ratri. Kamu tidak akan mati. Ustadz Subhan akan datang siang ini. Dia bilang akan membantumu.”

Namun Ratri hanya tersenyum samar. “Tapi aku tidak merasa sedang hidup, Bu.”

---

Ustadz Subhan datang menjelang dzuhur. Ia membawa beberapa kitab tua, botol berisi air zamzam, dan sebuah tas berisi benda-benda yang tidak Aminah kenali.

Ratri menemuinya di ruang tamu. Pandangan mereka saling bertaut, dan sang ustadz langsung tahu: ada yang bersemayam dalam tubuh Ratri.

"Ratri... sejak kapan kamu merasa bukan dirimu lagi?" tanyanya.

Ratri berpikir sejenak. "Sejak malam ritual terakhir. Sejak saya menari dalam kegelapan. Tapi mungkin... lebih jauh dari itu. Sejak ayah memperkenalkan saya pada Rajiman."

Ustadz Subhan mengangguk. Ia membuka kitabnya dan membaca doa pelan-pelan. Lalu ia mendekat, menempatkan tangan di atas kepala Ratri, tanpa menyentuhnya.

Mata Ratri mendadak terpejam. Tubuhnya kaku. Dari mulutnya keluar suara parau yang bukan miliknya.

“Jangan ganggu. Ini tubuhku sekarang. Warisan sudah jatuh padanya.”

Ustadz Subhan bergeming. Ia melafalkan ayat Kursi dengan nada kuat, dan air di botolnya mulai bergetar. Dari tubuh Ratri, peluh deras mengucur. Tangan dan kakinya mengejang hebat.

Aminah menangis di pojok ruangan. Ia tak tahan melihat anaknya seperti kerasukan.

Beberapa menit kemudian, tubuh Ratri roboh. Nafasnya memburu. Saat membuka mata, ia tampak kelelahan.

“Dalam tubuhmu ada lebih dari satu entitas,” ujar Ustadz Subhan sambil menutup kitabnya. “Ada yang sangat kuat... dan ada yang berusaha melindungimu juga. Tubuhmu kini wadah dari pertarungan gaib.”

Ratri mendesah. “Saya ingin semua ini berakhir. Saya ingin menjadi manusia biasa.”

“Bisa. Tapi kamu harus siap menanggung rasa sakitnya. Melepaskan sesuatu yang sudah menyatu dengan jiwamu... seperti mencabut akar dari tanah yang keras. Tak semua orang sanggup.”

Ratri menatap lantai. Dalam hati, ia tahu jalan ini bukan tentang keberanian, tapi tentang pengorbanan.

---

Malam itu, Ratri duduk di kamarnya, menulis di buku harian tua yang sudah lama ia abaikan. Tangannya gemetar saat menulis:

> “Tubuhku bukan lagi milikku. Tapi aku tak boleh kalah. Aku harus bertahan. Untuk Herman. Untuk Ibu. Untuk diriku sendiri. Jika ini adalah takdirku, maka aku akan menuliskannya ulang.”

Di luar, angin bertiup kencang. Pohon bambu di belakang rumah berderak-derak seperti diketuk tangan raksasa. Suara gamelan samar kembali terdengar, meski tidak ada pertunjukan. Tapi Ratri kali ini tidak takut.

Ia berdiri, menatap cermin, lalu berkata pada bayangan di dalamnya:

“Jika kau warisan masa lalu, aku adalah pemilik masa depan.”

Bayangan itu tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak tersenyum licik seperti sebelumnya. Ia hanya menunduk, lalu menghilang perlahan.

Ratri tahu, perang belum selesai. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, ia merasa menang—walau hanya sedikit.

Dan di luar rumah, seseorang berdiri di balik pohon. Rajiman. Ia mengamati dari kejauhan, wajahnya tegang. Lalu ia berbisik pada angin:

“Jika dia melepaskan warisan itu… kita semua akan binasa.”

Terpopuler

Comments

🦈Mom Panji

🦈Mom Panji

begitu kuat warisan itu..semoga Ratri bisa melepaskannya

2025-06-21

1

⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈

⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈

Rajiman takut binasa toh maunya numbalin orang🙄

2025-06-26

0

🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ

🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ

semoga aja Ratri bisa melepaskan nya

2025-06-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!