Bab 3 - Enn gadis yang menggemaskan

Istana Everhart sedang tenang.

Angin musim semi menyusup lembut dari jendela besar yang sedikit terbuka. Tirai putih setipis kelopak bunga melambai perlahan, menciptakan bayangan bergoyang di atas lantai marmer yang mengilap. Udara kamar bayi harum bunga magnolia, menambah kehangatan yang menenangkan.

Di atas ranjang kecil berkelambu sutra, seorang bayi perempuan berusia tujuh bulan terbaring dalam diam. Tak ada tangisan, tak ada tawa khas anak kecil. Ia hanya menatap langit-langit dengan mata ungu yang terlalu jernih... terlalu tenang. Sorotnya seolah mengamati dunia dengan kedewasaan yang belum seharusnya dimiliki.

Langkah ringan terdengar mendekat. Seorang pelayan muda masuk membawa senyum lembut.

"Nona Enn, sudah bangun?" sapa gadis itu—Senna, pelayan berusia tujuh belas tahun yang setia menemani sejak hari pertama Enn membuka mata.

Enn menoleh pelan, pandangannya tertuju pada Senna. Meski pikirannya dipenuhi pertanyaan dan kecemasan yang tak bisa ia ungkapkan, kehadiran Senna membawa sedikit ketenangan. Ia mencoba bersuara,

“Kak Senna… aku ingin susu… bisakah kau membantuku?”

Namun yang keluar dari bibir mungilnya hanyalah gumaman tak jelas seperti bayi pada umumnya.

“Hm? Kau ingin susu?” Senna menebak sambil terkekeh pelan saat melihat kepala Enn yang seolah berusaha mengangguk, tapi justru membuat tubuh mungilnya oleng ke samping. Tingkah itu benar-benar menggemaskan.

“Aku akan membawamu pada Mama,” ujar Senna sambil dengan hati-hati mengangkat Enn ke pelukannya.

Langkah ringan membawa mereka ke kamar yang hanya bersebelahan.

“Nyonya, Nona Enn sudah bangun,” ujar Senna lembut saat membuka pintu kamar Duchess Carolyn.

“Hm? Sayangku sudah bangun?” Senyum hangat Duchess menyambut kehadiran putri kecilnya. Ia segera mengulurkan tangan, memeluk Enn erat ke dalam dekapan penuh kasih.

“Apakah dia menangis?” tanyanya sambil menyusui Enn dengan kehangatan seorang ibu sejati.

Senna menggeleng dengan raut wajah sedikit murung. “Tidak, Nyonya. Seperti biasa, Nona hanya diam… menunggu seseorang datang menjemputnya.”

Carolyn terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Tangannya membelai rambut gelap halus di kepala putrinya.

“Aku mulai ragu… apakah memang semua bayi perempuan setenang ini,” gumamnya lirih, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

Ia menatap mata ungu Enn yang tenang namun terasa jauh. Seakan bayi itu menyimpan sesuatu yang tak terucap. Seperti danau tenang yang dalam dasarnya menyembunyikan badai. Carolyn memeluknya lebih erat, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa gadis kecil ini benar-benar nyata… dan akan tetap di sisinya.

Senna tersenyum maklum. “Nyonya tak perlu khawatir. Aku sempat bertanya pada ibuku… katanya, waktu kecil aku jauh lebih tenang dibandingkan saudara-saudaraku yang laki-laki. Mungkin memang anak perempuan dan laki-laki itu berbeda.”

“Benarkah?” Carolyn tersenyum kecil, lalu menatap putrinya yang sedang menyusu. “Tapi aku ingin Enn juga rewel… seperti kakaknya, Lionel. Enn, sayang, bisakah kau rewel sedikit saja?”

Perkataan itu membuat Enn tiba-tiba berhenti menyusu. Matanya yang berwarna ungu bening menatap sang ibu dalam diam. Pandangannya terasa... seolah ia mengerti.

"Kenapa kau malah memintaku untuk rewel? Bukankah orang-orang justru lebih menyukai anak yang tenang dan diam?"

Begitu kira-kira isi hati Enn. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman samar khas bayi seusianya.

Senna yang memperhatikan dari samping menoleh dengan mata membulat. “Nyonya… sepertinya Nona Enn merespons perkataan Anda?”

Carolyn tertawa pelan, namun tak bisa menyembunyikan rasa terkejut dan senangnya. “Benarkah, Enn? Kau berbicara pada Mama, ya?” bisiknya sambil membelai pipi kecil putrinya dengan penuh cinta.

Sore itu, taman keluarga Everhart diselimuti cahaya lembut matahari senja. Udara terasa hangat, dengan aroma bunga musim semi yang menguar lembut dari semak mawar dan pohon magnolia yang mulai bermekaran.

Carolyn berjalan pelan di antara jalur setapak berbatu, menggendong Enn yang berselimut halus, sementara Senna berjalan setia di samping mereka.

Mata ungu Enn memandangi sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. Cahaya matahari yang memantul di matanya membuat sorotnya tampak berkilau. Ia terlihat terpesona.

“Wah… Nona Enn sepertinya sangat bersemangat. Lihat mata mungilnya itu, bercahaya sekali,” ucap Senna sambil tersenyum, tak kuasa menahan kekaguman dan rasa gemasnya.

Carolyn mengangguk dan tersenyum hangat. “Kau benar, Senna. Lihat wajahnya ini… benar-benar menggemaskan.” Ia mencium pipi putrinya dengan penuh sayang, meninggalkan jejak kasih yang hangat.

Tiba-tiba, tatapan Enn jatuh pada sisi taman yang menghadap ke arah halaman pelatihan. Di sana, beberapa prajurit tampak keluar-masuk, sebagian sedang berlatih pedang, sebagian lagi mengatur kuda-kuda.

Mata Enn membelalak sedikit. Ia menggumam pelan, mencoba menunjuk ke arah sana dengan jari mungilnya.

“Uguh... uewhh...” gumamnya tak jelas, khas suara bayi, tapi penuh maksud.

Carolyn mengikuti arah pandang putrinya. “Hm? Kau ingin ke sana? Kau ingin bertemu dengan Ayahmu?” tanyanya lembut, menatap mata ungu itu dengan penuh rasa penasaran.

Enn menatap Carolyn, lalu kembali melihat ke arah lapangan pelatihan seolah menjawab, ya.

Carolyn melangkah masuk ke halaman pelatihan dengan Enn di gendongannya. Gaun musim semi yang ia kenakan berkibar lembut diterpa angin, sementara mata ungu kecil Enn menatap sekeliling dengan rasa penasaran.

Dari kejauhan, Duke Cedric Everhart sedang berdiri tegap, memberi instruksi tegas kepada para prajurit. Suaranya menggelegar, gerakannya mantap. Tapi begitu para prajurit melihat kehadiran sang Duchess dan putri kecil mereka, suasana seketika berubah.

Seluruh prajurit serempak menghentikan latihan dan memberi hormat dengan penuh hormat dan sedikit gugup. Carolyn berjalan tenang ke arah Cedric, dan sang Duke pun akhirnya menoleh. Begitu matanya menangkap sosok dua perempuan yang paling ia cintai, sorot dingin di matanya langsung melunak.

"Apa yang kalian berdua lakukan di sini?" tanyanya lembut. Nada suaranya berubah drastis—dari komandan yang galak menjadi seorang suami dan ayah yang penuh kasih sayang.

Para prajurit yang mendengar perubahan suara itu sontak terdiam. Bahkan salah satu dari mereka secara refleks menjatuhkan pedangnya karena terlalu terkejut.

Suara denting logam membuat Cedric berbalik dengan tajam. Matanya menyipit, auranya kembali menegangkan.

"Apa yang kalian lakukan?! Berlatih, segera!" suaranya kembali menggelegar seperti petir.

Para prajurit langsung kembali ke posisi masing-masing. Tapi kali ini, tangan mereka gemetar, masih syok oleh fakta bahwa Duke Everhart ternyata bisa bersuara… lembut dan situasi ini tidak membuat para prajurit terbiasa.

“Ayah ingin menggendong Enn,” ucap Cedric sambil mengulurkan tangan, wajahnya melunak saat menatap bayi mungil di pelukan Carolyn.

“Mama?!

Tiba-tiba suara kekanak-kanakan menyela dari arah belakang Cedric.

Lionel Everhart, si sulung yang baru selesai latihan, berlari kecil menghampiri mereka dengan wajah sumringah.

“Wah… Ada Enn juga!” serunya girang, langsung mengulurkan tangan ingin menyentuh adiknya.

Namun tangan itu langsung ditepis pelan oleh Cedric.

“Jangan sentuh Enn. Tanganmu kotor, penuh kuman,” ketus Cedric tanpa memalingkan pandangan dari Enn.

Lionel terbelalak, lalu mendelik ke arah ayahnya. “Ayah lebih kotor! Lihat tuh, tangan ayah pegang Enn pakai telapak yang hitam semua! Tanganku malah bersih, nih!” Lionel menunjukkan telapak tangannya dengan penuh pembelaan.

Cedric melirik ke tangannya sendiri yang masih berdebu akibat latihan bersama prajurit. Ia diam sejenak.

“...Itu tidak penting. Enn tetap lebih aman dengan ayahnya,” ujarnya cepat, seolah menolak kalah dari anaknya sendiri.

Carolyn yang menyaksikan semuanya menahan tawa, sementara Enn hanya menggumam pelan sambil menatap mereka bergantian, seakan bingung kenapa dua pria besar ini ribut soal dirinya.

Lionel berdiri cemberut, kedua tangannya bersilang di dada. “Jadi sekarang aku nggak boleh deket-deket Enn, gitu?”

“Benar.” Cedric menjawab tanpa ragu.

“Ayah pilih kasih!” Lionel langsung menunjuk ayahnya dengan drama berlebihan.

Carolyn tak tahan tertawa pelan, “Lionel, sayang, kamu itu sudah besar. Enn masih bayi, wajar kalau ayahmu lebih protektif.”

“Aku dulu juga bayi!” seru Lionel penuh pembelaan. “Kenapa waktu aku bayi ayah nggak pernah gendong aku kayak gitu?!”

Cedric terdiam. Ia menoleh ke arah Carolyn, seolah meminta pertolongan.

Carolyn hanya mengangkat alis sambil tersenyum kecil. “Itu pertanyaan yang bagus, Duke.”

Cedric berdeham. “Karena… karena saat itu aku masih belum terbiasa punya anak. Aku terlalu sibuk dengan urusan militer.”

Lionel mencibir. “Jadi karena Enn lahir pas ayah lagi nggak sibuk, ayah jadi lembut gitu? Curang.”

Tiba-tiba, dari pelukannya, Enn menggumam, “Guuu…”

Lionel langsung mendekat lagi. “Tuh, Enn nyari kakak! Lihat, dia manggil aku!”

“Dia ngeluarin suara,” potong Cedric ketus, “itu belum tentu buatmu.”

“Dia manggil kakak!” Lionel tetap ngotot, lalu mencondongkan wajahnya ke arah adiknya. “Enn! Kakak gantengmu di sini! Ucapin ‘Lionel’!”

Enn menatap kakaknya, lalu perlahan—dengan air liur mengalir dari mulutnya—mengangkat tangan mungilnya dan…

Menampar pipi Lionel dengan plesetan bayi yang tak disengaja.

“ACK! Dia mukul aku!” Lionel mundur dengan drama seperti baru ditampar pendekar.

Carolyn menahan tawa, Cedric tak bisa menyembunyikan senyumnya, dan Enn cuma menggumam pelan, lalu kembali menatap langit seperti biasa.

“Jangan-jangan… dia benar-benar tidak menganggapku kakaknya…” Lionel meratap.

Carolyn mendekati Lionel dan mengelus kepalanya. “Tenang, sayang. Adikmu pasti sayang sama kamu… dengan caranya sendiri.”

“Caranya sadis…” Lionel menatap ke arah Enn yang sudah mulai menguap di pelukan ayah mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!