Tubuhnya panas. Kulitnya seperti disayat api. Asap memenuhi ruang napasnya. Di sekelilingnya terdengar teriakan, rintihan, lalu... senyap.
Tapi pelukan bocah laki-laki itu tak goyah. Erat. Hangat. Seperti satu-satunya tempat yang masih menyimpan hidup.
"Enn…" suara anak itu lirih namun jelas, seakan ingin meninggalkan sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan.
"Jika kau bertemu denganku di kehidupan selanjutnya… tolong, bertemanlah denganku."
Suara itu bergetar.
"Walaupun aku tidak mengenalmu… aku pasti akan membutuhkanmu."
Air mata Enn jatuh, bercampur dengan panas dan debu. Ia tak mampu menjawab. Tubuhnya terlalu lemah, dadanya sesak, dan dunia mulai kabur.
“Tenanglah... pejamkan matamu...” bisik bocah itu lagi, memeluknya lebih erat.
“Kita akan bertemu lagi… suatu saat nanti…”
Kemudian—gelap. Segalanya lenyap. Tak ada rasa. Tak ada suara. Tak ada api.
Hanya keheningan yang menelan segalanya.
Enn membuka mata dalam kehampaan putih keperakan. Tubuhnya ringan, seolah ia hanya berupa bayangan. Tak ada lantai, tak ada langit, hanya dia… dan keheningan.
Sebuah cahaya muncul dari kejauhan, membentuk siluet sosok wanita berjubah putih. Suaranya lembut, tapi penuh kuasa.
"Kau belum selesai, wahai jiwa kecil."
"Doamu terdengar. Air matamu membekas. Dan kata-kata terakhir seseorang menjagamu tetap utuh."
Enn menatap dengan bingung. “Apakah aku... mati?”
"Tubuh lamamu hancur, tapi jiwamu masih utuh."
"Kau akan diberi kesempatan. Kau akan dilahirkan kembali, sebagai harapan bagi keluarga yang menginginkanmu. Kau akan dicintai, dan dibutuhkan."
Perlahan cahaya tersebut mulai menghilang dari pandangan Enn, dan kesadaran Enn kembali menghilang secara perlahan.
Di tengah kabut kesadaran yang memudar, tubuh Enn terasa semakin ringan, seolah-olah jiwanya perlahan terlepas dari beban dunia yang membelenggunya.
Sakitnya mulai mereda, namun bukan karena rasa itu hilang... melainkan karena dirinya seperti tak lagi sepenuhnya berada di sana. Di antara batas antara hidup dan mati, suara dunia mulai menjauh. Hanya sisa-sisa suara tangisan, pekikan, dan retakan kayu terbakar yang terdengar samar… kemudian senyap.
Lalu, perlahan… datang suara-suara baru.
Bukan teriakan atau rintihan, melainkan percakapan lembut, seperti gemericik air di danau tenang. Hangat. Menenangkan. Asing… tapi entah mengapa terasa sangat dekat.
“Bagaimana kabarmu hari ini, sayang?”
“Kau sehat, kan?”
“Ibu… bagaimana kabar adik di perutmu?”
Suara perempuan itu terdengar hangat seperti pelukan yang tak pernah ia dapatkan. Disusul suara pria yang terdengar dalam, teduh, namun penuh senyum.
“Aku yakin dia mendengarkan kita.”
Suara-suara itu seperti nyanyian pengantar tidur. Tiap kata membawa kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Suara tawa kecil sang ibu. Nada khawatir sang ayah. Bahkan suara lain, yang terdengar seperti anak-anak...
“Adikku harus cepat lahir, ya! Aku ingin bermain dengannya!”
Hati Enn… atau siapapun ia kini… seperti menghangat, meski tubuhnya sudah tak bisa bergerak.
'Apakah ini... untukku?' pikirnya.
Ada desir lembut di dalam dadanya. Bukan rasa takut. Bukan luka. Tapi perasaan… diterima. Diharapkan. Dicintai.
Air mata tak lagi terasa panas. Yang ada hanya kedamaian, dan bisikan terakhir dari masa lalunya.
"Enn... jika kau bertemu denganku di kehidupan selanjutnya, tolong bertemanlah denganku. Walau aku tak mengenalmu... aku pasti akan membutuhkanmu."
...----------------...
Di tengah dinginnya angin malam dan nyala lentera yang berayun pelan di langit-langit kamar persalinan, tangisan lirih terdengar dari tubuh yang terbaring lemah di atas ranjang mewah. Seorang wanita bangsawan dengan wajah pucat berjuang menahan rasa sakit yang membelah tubuhnya. Beberapa pelayan berdiri di sekeliling ranjang dengan penuh kekhawatiran, sementara seorang bidan memeriksa dengan telaten.
“Sudah hampir keluar, Yang Mulia… bertahan sedikit lagi…”
Suara rintihan bercampur helaan napas berat memenuhi ruangan. Tiba-tiba, satu jeritan panjang pecah—
Dan kemudian...
Tangisan nyaring bayi perempuan mengoyak keheningan.
Sejenak, waktu terasa berhenti.
Sang ibu, yang telah menahan sakit berjam-jam, langsung meneteskan air mata saat mendengar suara itu. Napasnya bergetar. “A-aku... aku mendengarnya… anakku…”
Bidan dengan sigap menyambut bayi mungil itu, membersihkan tubuhnya yang masih lengket dan membungkusnya dengan selimut lembut dari kain sutra putih. Pelan-pelan, bayi itu diangkat, menunjukkan wajah mungil yang masih kemerahan dengan mata tertutup rapat dan mulut mungil yang masih menangis.
“Selamat… seorang bayi perempuan yang sehat dan kuat,” ucap bidan dengan senyum lega.
Pintu kamar terbuka cepat. Seorang pria dewasa dan tampan dengan rambut pirang dan mata tajam yang biasanya penuh wibawa, kini tampak panik dan gelisah.
“Bagaimana istri dan anakku?!” serunya.
Saat ia melihat bayinya—bayi kecil dengan tangan mungil yang menggenggam udara, kulitnya lembut seperti kelopak mawar pertama—langkahnya terhenti. Dadanya sesak oleh emosi yang membuncah.
Sang bidan menyerahkan bayi itu kepadanya.
“Putri Anda, Yang Mulia Duke.”
Tangannya yang besar menyentuh pelan pipi mungil anak itu. Bayi itu mengerang pelan, lalu merespons dengan menggerakkan jari-jarinya seolah meraih sosok yang hangat itu.
“putri ayah…” gumam sang ayah. "putri kecilku... Kau akhirnya datang ke dunia ini.”
Pelukan pria itu begitu hati-hati, seolah takut membuat retak sesuatu yang amat berharga. Dan ketika Enn merasakan sentuhan itu, seolah jiwa lamanya yang terluka mulai merasakan sesuatu yang asing…
Hangat.
Aman
Tidak menyakitkan.
Namun naluri lamanya masih terpatri kuat. Tubuh kecil itu sempat menegang, tangisnya kembali pecah. Tapi sang ayah tidak panik. Ia hanya memeluk lebih erat dan menundukkan wajahnya, membisik:
“Tak apa. Ayah di sini… kau tidak sendirian lagi.
Dari sudut tempat tidur, sang ibu—meski masih lemah—tersenyum sambil mengulurkan tangan. "Selamat datang di dunia ini, sayangku. Ibu sangat menyayangimu…”
Dan di antara tangan-tangan lembut itu, Enn , membuka sedikit kelopak matanya.
Samar. Buram. Tapi ia tahu, ini bukan mimpi.
Suara itu terasa sangat familiar…
Lembut… hangat… seolah datang dari celah-celah cahaya yang menembus kegelapan panjang.
Itulah suara yang selama ini menghiasi ruang hampa tempat jiwanya berdiam. Suara itu yang mengisi kekosongan hatinya ketika dunia sebelumnya begitu dingin dan penuh luka.
Bukan suara yang menghardik, bukan suara yang memerintah, bukan pula suara yang menuntut. Tapi suara yang menerima, yang memeluk, yang membasuh luka-lukanya dengan kehangatan yang tak pernah ia temui sebelumnya.
"Sayangku... enn..."
"Terima kasih telah datang..."
"Ayah dan Ibu sangat menyayangimu..."
Ia tidak mengerti sepenuhnya makna kata-kata itu, tetapi jiwanya mengenal cinta yang terpancar dari suara-suara itu.
Tubuh kecilnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena rasa asing yang begitu indah. Ia tidak terbiasa dicintai—tidak terbiasa dianggap berharga. Di kehidupan sebelumnya, keberadaannya tak lebih dari beban. Namun kini… kini, dunia menyambutnya dengan pelukan dan senyum, bukan jeruji dan teriakan.
Air mata kecil mengalir dari sudut matanya. Tubuh mungilnya perlahan mengendur dalam gendongan sang ayah yang penuh kasih. Di antara debar jantung pria itu, enn menemukan detak yang tenang, irama yang aman, dan kehidupan baru yang mulai tumbuh.
...****************...
Langit sore menyinari jendela besar kamar bayi itu. Cahaya lembut menerobos masuk, menyentuh lembut kulit pucat bayi mungil yang tengah tertidur dalam balutan selimut halus berwarna gading. Di samping ranjang bayi itu, seorang anak lelaki berdiri kaku dengan mata berbinar, seolah menahan napas agar tidak mengganggu makhluk mungil di hadapannya.
"Dia... kecil sekali," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.
Langkah-langkahnya perlahan mendekat. Ia masih muda—sekitar tujuh tahun—namun sorot matanya memancarkan ketegasan dan rasa ingin melindungi yang begitu kuat. Ia adalah kakak kandung enn. Sejak hari kelahiran adiknya, ia bersikeras untuk melihat bayi itu setiap hari.
Saat tubuh mungil itu menggeliat pelan, bola mata bening enn perlahan terbuka. Pandangannya masih buram, namun ia merasa… ada sesuatu yang berbeda. Bukan cahaya terang yang menusuk, bukan suara mengancam atau jeritan memekakkan. Tapi tatapan hangat. Lembut. Penuh rasa ingin tahu dan—anehnya—cinta.
"Hei, kamu sudah bangun?" Suara itu terdengar pelan namun mantap.
enn menegang. Ada jejak trauma yang mengendap dalam jiwanya. Ia meringis, matanya membulat, bibir mungilnya mulai bergetar seolah ingin menangis. Dalam pikirannya, suara dan tatapan itu bisa berarti ancaman. Bisa jadi orang ini akan menyakitinya. Hatinya—meski belum bisa berbicara—sudah tahu bagaimana rasa takut itu tumbuh.
Tapi sebelum ia sempat menangis… tangan kecil itu menyentuh tangannya.
Hangat. Tidak kasar. Tidak menggenggam dengan paksa.
"Jangan takut. Aku kakakmu," ucap bocah itu pelan, lalu duduk di sisi ranjang bayi sambil menatap lurus ke matanya. "Namaku Lionel. Tapi kamu boleh panggil aku apa saja yang kamu suka."
Suasana hening sejenak. enn menatap mata anak laki-laki itu—mata yang dipenuhi ketulusan. Tak ada tipu daya. Tak ada ancaman. Hanya harapan yang sederhana: menjadi kakak yang baik.
Lionel menunduk perlahan, mencium kening adiknya dengan lembut.
"Ayah bilang aku harus menjagamu baik-baik. Tapi aku nggak perlu disuruh. Soalnya… kamu sudah jadi orang paling penting buat aku sekarang."
enn tidak mengerti kata-kata itu sepenuhnya, tapi hatinya merasakannya. Untuk pertama kalinya sejak kelahirannya kembali… ia tidak takut. Ada seseorang yang akan menjaganya. Seseorang yang menyayanginya bukan karena ingin mengambil sesuatu darinya, tapi karena… dia hanya ingin dia bahagia.
Tangis yang sempat ingin pecah, sirna. Tubuh mungilnya menggeliat pelan, lalu jarinya yang kecil menyentuh jari kakaknya—mencoba percaya, walau masih takut.
Dan Lionel? Ia hanya tersenyum lebar. "Lihat! Dia pegang tanganku!"
Dari balik pintu, sang ayah dan ibu menyaksikan dengan mata berkaca-kaca.
Kehidupan baru enn… telah dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments