Mereka pun berjalan kembali ke hotel untuk beristirahat.
Sania tampak lelah setelah apa yang terjadi di malam ini, tapi tidak dengan Victor yang masih terlihat bersemangat Walaupun tubuh nya berkeringat.
Sesampainya di hotel, Sania berniat langsung istirahat, namun perhatian mereka teralihkan oleh suara dari TV yang sedang dilihat oleh Victor.
“Lo lihat apa?” tanya Sania.
“Eurovision,” jawab Victor santai.
Sania pun teringat dengan acara tersebut.
“Oh iya, aku lupa soal itu! Saking capeknya kita menari di bukit tadi sampai lupa. Btw, siapa yang menang kali ini?” ucapnya dengan semangat.
“Belum ada. Tapi kandidat terkuat masih Harzenia dan Imperial,” jawab Victor.
Sania kembali bertanya, “Lah, tumben Geomardo dan Turki Usmani kalah? Bukannya mereka juara bertahan?”
Victor dan Sania pun menonton acara itu semalaman sampai lupa waktu. Malam itu Begitu Tenang dan indah mereka habiskan berdua di atas sofa hotel, Lampu kamar hanya tersisa cahaya temaram dari layar televisi. Lagu-lagu Eurovision yang penuh warna mengalun berganti-ganti, tapi suasana di antara Victor dan Sania terasa lebih tenang dari sebelumnya.
Sania melirik jam dinding. “Ya ampun, udah hampir jam 1 pagi.”
Victor menoleh sejenak, masih menatap layar. “Besok kita nggak ada jadwal ketat, kan? Masih bisa tidur sampai siang.”
Sania tertawa kecil. “Tetap aja… besok kita harus siap pulang. Jangan sampe kesiangan pesawat.”
Victor mematikan suara TV sedikit, membuat ruangan jadi lebih hening. “Bener juga. Tapi… rasanya sayang kalau malemnya selesai gini aja.”
Sania menatapnya, tersenyum samar. “Aku juga ngerasa gitu. Hari ini… kayak mimpi. Dari alun-alun, makan di rooftop, sampai nari di bukit.”
Victor menahan napas sejenak, menatap wajah Sania yang terlihat lembut di bawah cahaya layar. “Kalau bisa, aku pengen semua hari kayak gini. Jalan bareng kamu, nggak mikirin dunia di luar.”
Sania menunduk, merasa dadanya hangat. “Victor…” Ia berhenti sejenak, lalu menghela napas. “Aku seneng kita bisa begini. Kayak… lupa sama semua masalah di markas HIA dan kejenuhan kala kita bertugas di Misi-misi Penting.”
Victor mengangguk pelan. “Aku juga. Kadang kita butuh tempat buat nginget kalau dunia nggak cuma tentang misi dan pertempuran apalagi Dunia Sudah Damai.”
Mereka terdiam, hanya suara pelan penyanyi terakhir di panggung Eurovision yang mengisi kamar itu dari Negara Mereka Harzenia. Dari luar jendela, cahaya kota Selvila masih berpendar seperti bintang-bintang kecil.
Sania akhirnya berdiri, meregangkan tubuh. “Aku mandi dulu, terus tidur. Kamu jangan begadang nonton finalnya, ya.”
Victor tertawa lirih. “Oke. Tapi kalau Harzenia menang, aku bakal bangunin kamu.”
Sania menoleh sambil berjalan ke kamar mandi, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Jangan coba-coba. Besok kita terbang, inget.”
Pintu kamar mandi menutup pelan. Victor menatap layar televisi sebentar, lalu mematikannya. Sunyi mendadak menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara air dari kamar mandi.
Ia menatap jendela, ke arah lampu-lampu kota yang masih hidup. Dalam hati, Victor merasakan sesuatu yang berbeda—campuran bahagia, lega, dan hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Malam itu, mereka akhirnya terlelap masing-masing, Sania di sisi ranjangnya, Victor di sofa. Tapi di antara keduanya, ada sesuatu yang tak perlu diucapkan: sebuah awal dari cerita yang mungkin akan berlanjut jauh setelah malam di Selvila berakhir dengan Indah.
Keesokan harinya di Pagi Hari Sania terbangun pukul 4 pagi karena ingin buang air kecil. Ia pun bergegas ke kamar mandi. Saat membuka pintu... Jreng! Sania terkejut karena tak sengaja melihat Victor yang sedang mandi dalam keadaan telanjang.
“Hei, cok! Kalau mau masuk kamar mandi, ketok dulu!” teriak Victor.
Sania langsung memalingkan wajah dan pergi tanpa sepatah kata. Mereka berdua tampak sama-sama terkejut karena kejadian tersebut, Satu jam kemudian Sania menemui Victor untuk meminta maaf setelah kejadian tadi.
“Maaf soal yang tadi, Victor. Aku nggak sengaja, sumpah,” ucap Sania dengan wajah memerah dan tangan yang tampak bermain-main dengan rambutnya.
“Ya, aku maafkan kok,” jawab Victor.
Sania pun lanjut meminta maaf hingga Victor sendiri terkejut karena melihat sisi lembut dari Sania yang selama ini terlihat keras.
“Aku nggak lihat barangmu kok tadi, yang besar berurat dan bulu bawahmu juga berwarna merah,” gumam Sania tanpa sadar.
“Apa?!” sahut Victor kaget.
“Maksudku, nggak lihat! Beneran aku nggak lihat!” jawab Sania cepat sambil berteriak panik, lalu menampar Victor, Plak!
“Aduh, kena lagi...” keluh Victor.
“Oh ya, sebentar lagi kita harus ke stasiun,” lanjutnya sambil menahan rasa sakit.
Di lobby hotel Tak lama, mereka bersiap-siap untuk menuju stasiun guna melanjutkan perjalanan ke Granada. Saat sedang menunggu taksi, duarrr! terdengar suara ledakan hebat dari pusat kota Selvila yang mengejutkan mereka.
Victor berniat pergi ke sana untuk membantu, namun langsung dicegat oleh Sania.
“Hei-hei! Apa yang kau inginkan?” ucap Sania.
“Bantu mereka lah, apalagi?” jawab Victor.
“Tapi kita bisa terlambat. Dan juga, agen cabang sini mungkin bisa mengurusnya,” ucap Sania sambil menggenggam tangan Victor erat.
Victor pun melepaskan genggaman Sania dan langsung berubah ke wujud superhero-nya—jubah merah dan topeng koboi.
“Aku nggak bisa melihat orang terluka lagi, Sania. Maaf, aku pergi,” ucap Victor tegas.
“Kita sedang liburan... Ayolah, Victor! Lepaskan saja kehidupan HIA dan lupakan itu...” mohon Sania.
Victor tak menjawab. Ia langsung terbang menuju lokasi kejadian, meninggalkan Sania sendirian di lobi hotel yang sepi.
Pertempuran di Tengah Kota
Langit Selvila berubah menjadi merah keemasan saat asap ledakan membumbung dari pusat kota. Teriakan warga, sirine, dan getaran tanah membuat suasana mencekam, Victor yang sampai fi lokasi kejadian langsung berubah kembali ke wujud Normal untuk mengamati situasi sebelum bertindak lebih lanjut.
Dari kejauhan Victor mengamati situasi sebelum bertindak Ternya ada monster yang menyerang kota, Victor sangat terkejut dengan hal itu kerna dia tak melihat Monster atau Musuh seperti mereka lagi sejak 2 tahun yang lalu.
"Jir Mereka gk bisa di biarin"
Tak lama Victor mengambil lencana dan berubah ke wujud the kid lagi untuk melawan Para monster-monster tersebut.
"BERUBAH, Form Kid!!"
Victor—dengan jubah merah menyala dan topeng koboi—melesat cepat ke lokasi, Di tengah reruntuhan dan kobaran api, ia melihat sosok berjubah hitam dengan helm metalik. Musuh tak dikenal itu tampak seperti hasil eksperimen mutan. Tangannya memancarkan energi ungu yang destruktif, menghajar pasukan keamanan lokal dengan mudah Dengan tangan² Besarnya ia mengancurkan tempat itu dan Sekelilingnya.
Victor pun menghampiri sosok itu dengan Penuh Gaya
“Apa kau pelakunya?” teriak Victor.
Sosok itu hanya menoleh dengan mata menyala tanpa menjawab. Mereka langsung bertarung. Dentuman keras terjadi tiap pukulan dan tendangan bertabrakan.
Victor awalnya mendominasi, tapi serangan musuh mulai menyesuaikan gaya bertarungnya.
“Ini... aneh, dia mempelajari gerakanku,” gumam Victor.
Dalam satu momen, musuh menyerang balik dengan ledakan dari tangan kirinya. Victor terpental, menghantam puing beton. Jubahnya robek, masker koboinya retak.
“Aku... kalah?” batinnya. “Kalau aku mati di sini... siapa lagi yang bantu warga ini?”
Tiba-tiba, sinar biru hijau membelah asap tebal.
Sania muncul dalam wujud Aspirant—armor biru hijau metalik, mata helmnya bersinar, dan tombak bercahaya tergantung di punggungnya. Simbol Saturnus bersinar di dadanya.
“Berani-beraninya kau nyerah sendirian, goblok!” teriak Sania.
>"tadi berlagak kek pahlawan Sekarang Knonk duluan DASAR BEBAN!!"
Musuh berbalik, tapi Sania langsung menyerang dengan lincah. Dengan tombaknya, ia menusuk tanah, memunculkan paku energi dari bawah Pocket dimension di susul dengan Peluru yang kembali muncul dari Pocket dimension, memaksa musuh mundur.
Sania berdiri di depan Victor.
“Gua udah bilang... kita ini Rekan.”
Victor tersenyum lemah. “Kukira kau mau liburan.”
“Liburan bisa diundur. Nyelametin elu? Prioritas ingat ya jan belagak kayak MC anime,Karna MC-nya gue di cerita ini”
"Cih sok iye lo,Tapi gua suka itu Gas kita Lawan mereka"
Dengan bahu-membahu, mereka bertarung kembali. Sania mengatur pola serangan, Victor mengikuti dengan kekuatannya yang tersisa. Koordinasi mereka yang sempurna berhasil menjatuhkan musuh.
Dari kejauhan, tampak sosok yang tak asing memperhatikan mereka dari kejauhan sosok itu tampak tak asing Tapi tak mungkin Dia kembali...?!..?! sosok lama Atau Kawan Lama yang pernah Mereka lawan.
“HIA bodoh, membiarkan dua pewaris kerajaan pergi berdua tanpa pengawasan,” ucap Sosok itu
Sosok itu lalu berubah menjadi wujud hybrid setengah elang, kemudian terbang meninggalkan tempat tersebut. Ternyata serangan itu adalah ulahnya dia, pun pergi Meninggalkan Tempat kejadian Tanpa bekas dan tanpa Jejak sama sekali.
Setelah Pertempuran
Victor terdiam. “Terima kasih... Sat—Sania.”
Sania menepuk pundaknya.
“Nggak usah ngomong manis, cukup traktir gua makan enak dua kali lipat. Liburannya kacau semua dari awal karna kau.”
Mereka tertawa kecil di tengah reruntuhan. Ambulans dan tim penyelamat mulai berdatangan dan tampak sebagaian Agen lapangan HIA Cabang Andalusia berdatangan ke lokasi kejadian dan mengamankan tempat tersebut dari masyarakat.
Sania menatap Victor dan berkata pelan,
“Lu nggak sendiri, Victor. Kalau masih mau jadi pahlawan... pastiin lu hidup buat ceritain akhir kisahnya ingat Lo bukan MC cerita ini.”
Victor mengangguk. Dalam hati ia sadar—selama ada Sania di sisinya, dunia yang kacau pun masih terasa seperti rumahnya sendiri.
"Entah mengapa Setiap aku melihat Sania, aku Merasa aneh namun yang Pasti dia adalah Rekan Ter-Baik ku" Ucapnya dalam Hati
Di sisi lain Victor Pun bingung dan bertanya-tanya dalam hati apa Semua ini siapa dalang Serangan ini bukankah Monster² ini harusnya sudah lenyap bersamaan dengan Hilangnya Hand of devil Jika monster-monster itu kembali apakah Teknologi Rekayasa genetika untuk mengubah manusia menjadi monster milik Hand of Devil masih ada? dan apakah Hand of Devil Telah kembali bersama Kekaisaran Abyss? 2 Tahun yang lalu Namun Victor tidak mempermasalahkan hal itu dan Pergi kembali Ke hotel.
Mereka kembali ke hotel, mengambil barang-barang mereka, lalu segera menuju stasiun.
Pintu kamar hotel berderit pelan saat Victor mendorongnya. Bau asap dan debu pertempuran masih melekat di pakaian mereka, kontras dengan aroma wangi kayu manis yang samar dari lobi.
Sania langsung melepaskan sepatu dan menjatuhkan diri di sofa. “Akhirnya… tempat yang nggak berantakan.” Ia memijat pelipisnya sambil menutup mata.
"ku kira kau taruh barang-barang kita di lobby" Ucap Victor sambil mengibaskan debu di bajunya.
"Gak lah kau kira aku ini bagaimana ya jelas aku taruh barang-barang ini di kamar sebelum menyelamatkan mu tadi" jawab Sania dengan kesal.
"Hahaha Untungnya lo dateng tadi" jawab Victor.
Victor menaruh tasnya di dekat pintu, menghela napas panjang. “Rasanya baru kemarin kita nari di bukit. Sekarang… semuanya kayak mimpi buruk yang panjang.”
“Lebih kayak mimpi yang diseret ke dunia nyata,” gumam Sania, matanya masih terpejam. “Monster itu… aku masih bisa dengar suaranya.”
Victor duduk di kursi seberang, menatap langit-langit kamar. “Kita sudah lihat yang lebih parah, tapi entah kenapa kali ini beda.”
Sania membuka mata, menoleh ke arahnya. “Karena ini di tengah liburan, Victor. Kita nggak siap. Kita cuma… manusia biasa yang lagi jalan-jalan.”
Sunyi sejenak. Hanya suara pendingin ruangan yang terdengar.
Victor bangkit dan berjalan ke balkon. Dari sana, lampu kota Selvila terlihat remang, beberapa area masih gelap akibat pemadaman darurat. “Sania,” panggilnya pelan, “terima kasih udah tetep di sisiku tadi. Gue… nggak tau apa yang bakal terjadi kalau lo nggak ada.”
Sania menegakkan tubuh, menatap punggung Victor. “Jangan jadi dramatis. Gue kan partner dan teman seperjuangan lo.” Ia tersenyum samar. “Lagipula, gue nggak mau kisah liburan ini berhenti jadi tragedi doang oke.”
Victor berbalik, menatap Sania. Sekilas, kelelahan di wajah mereka tertutupi oleh sesuatu yang lebih hangat—rasa lega.
“Jam berapa kereta kita?” tanya Sania, memecah keheningan.
Victor memeriksa ponsel. “Tak lama lagi. Kita harus beresin barang sekarang kalau nggak mau lari-lari.”
Sania berdiri, meregangkan badan. “Baiklah, Nonya disiplin.”
Mereka berdua mulai membereskan kamar. Sania melipat pakaian yang sempat tercecer, sementara Victor memeriksa kembali dokumen perjalanan dan tiket kereta. Di sela-sela kesibukan, mereka sesekali bertukar canda kecil—usaha sederhana untuk menyingkirkan bayangan serangan tadi.
Setelah semua siap, Victor mematikan lampu kamar. Sania menatap sekeliling sekali lagi, seolah memastikan mereka tak meninggalkan apa pun.
“Yuk, stasiun nunggu,” ucap Victor.
Sania mengangguk. “Selvila… terima kasih buat liburannya yang aneh,” bisiknya lirih sebelum menutup pintu.
Mereka berjalan berdampingan menuruni koridor hotel yang sepi, langkah kaki mereka bergema lembut dan ceck out dari hotel dan menuju perjalanan berikutnya, dengan luka dan kenangan malam itu masih hangat di benak Untungnya, mereka sempat sampai tepat waktu dan akhirnya mendapatkan kereta yang mereka inginkan Di dalam kereta, Victor dan Sania duduk bersama di kereta.
Untungnya Saja mereka sempat Mengejar kereta nya kalau tidak mereka bisa-bisa jalan kaki ke kota sejauh itu.
Kereta Cepat "whossh'' malam itu bergerak perlahan meninggalkan kota Selvila, roda besinya berderak mengikuti rel yang panjang. Lampu dalam gerbong meredup, menyisakan cahaya lembut yang menenangkan. Di luar jendela, siluet kota yang baru saja dilanda kekacauan perlahan mengecil, hanya menyisakan titik-titik cahaya di kejauhan.
Sania bersandar di kursinya, menatap keluar. Bayangan reruntuhan dan sirine ambulans masih menari di kepalanya. “Rasanya aneh,” gumamnya. “Barusan kita lihat kota kayak mau runtuh, tapi sekarang… kayak nggak ada apa-apa.”
Victor menautkan jemari, menatap lurus ke depan. “Iya. Dunia kayak punya dua sisi. Damai di satu tempat, hancur di tempat lain. Kita cuma kebetulan ada di titik tengahnya.”
Sania menoleh, menatap wajah Victor yang diterpa cahaya redup. “Kamu masih kepikiran monster-monster itu, kan?”
Victor menghela napas panjang. “Iya. Hand of Devil seharusnya udah hilang dua tahun lalu. Tapi kalau mereka muncul lagi… berarti ada yang main di balik layar. Dan itu bukan ancaman kecil.”
Sania menyandarkan kepala ke sandaran kursi, matanya tetap menatap Victor. “Kamu yakin mau ngejar jawaban itu? Kita bahkan belum pulih dari misi terakhir.”
Victor menoleh, menatap mata Sania. Ada ketegangan yang sulit dijelaskan. “Kalau kita nggak cari tahu, orang lain bisa jadi korban. Aku nggak mau kejadian tadi terulang.”
Keheningan menyelimuti mereka. Suara roda kereta dan angin malam menjadi latar percakapan tak terucap. Sania menutup mata sebentar, lalu berkata pelan, “Kalau kamu mau jalan sejauh itu, jangan lupa… kamu nggak sendiri.”
Victor menatapnya lama. Kata-kata itu sederhana, tapi menghangatkan dada. “Makasih, San.”
Sania membuka mata dan menatap balik, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tapi ingat, gue cuma partner. Bukan sidekick yang selalu nurut.”
Victor terkekeh kecil. “Siap, partner atau 'Rekan' hahaha.”
Kereta berhenti sebentar di stasiun kecil di pinggiran kota. Beberapa penumpang naik, tapi gerbong mereka tetap lengang. Lampu jalan di luar memantulkan cahaya lembut ke kaca jendela, menambah suasana hening sebelum kekota berikut nya.
Sania meraih tasnya, lalu mengeluarkan botol air. “Minum dulu. Jangan sampe dehidrasi,” katanya sambil menyodorkannya ke Victor.
Victor menerimanya, jemari mereka bersentuhan sekilas. Ada kehangatan singkat yang membuat Victor terdiam sepersekian detik sebelum akhirnya meneguk air.
“Setelah ini kita langsung ke markas pusat?” tanya Sania.
Victor mengangguk. “Ya. Harus lapor. Mungkin mereka udah denger kabar serangan ini.”
“Dan mungkin,” Sania menambahkan, “kita bakal dapat misi baru sebelum sempat tidur nyenyak.”
Mereka tertawa kecil bersama. Tawa itu menepis sedikit bayangan mencekam dari serangan yang baru saja mereka lalui.
Di luar, langit mulai menampakkan semburat fajar samar—pertanda hari baru menanti. Victor menatap cahaya pertama itu, lalu melirik Sania yang perlahan terlelap di kursinya.
Dalam hati, ia berjanji: apa pun kebenaran di balik kembalinya Hand of Devil, ia akan menemukannya. Dan selama Sania tetap di sisinya, ia merasa siap menghadapi apa pun yang menunggu di ujung perjalanan yang menanti mereka.
Victor ingin mengajak bicara Sania lebih dalam, tapi ternyata Sania sudah ketiduran karena kelelahan Victor pun tersenyum dan memeluk Sania dengan tangan kanannya walaupun Victor masih bingung dan curiga siapa sosok di balik penyerangan tadi Hand of Devil?, Kekaisaran abyss? atau sesuatu yang lebih buruk dari itu tak ada yang tahu apa itu dan apa tujuan.Kemudian kereta pun berjalan, melaju menuju Granada.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Grindelwald1
Gak sabar next chapter.
2025-06-01
1
Zea
bagus banget ceritanya 🥰
2025-07-12
0
Reaz
semangat
2025-06-25
1