Episode 4:Across the Stars

Maghrib menjelang Malam pun tiba. Jam menunjukkan pukul 9.40 PM saat Victor kembali ke hotel setelah membeli beberapa camilan ringan. Ia mengetuk pintu kamar.

Tok tok.

“San, udah siap belum?” tanya Victor dari luar.

Pintu terbuka perlahan. Sania muncul dengan mengenakan tunik hitam panjang dan celana bahan warna krem, hijabnya kali ini diganti dengan warna Hijau tua yang elegan. Wajahnya tampak segar setelah mandi.

“Yuk,” ajaknya singkat.

Victor hanya bisa mematung sejenak. “Kau… terlihat beda,” gumamnya pelan.

Sania mengangkat alis. “Hayo Beda jelek apa beda cantik? awas lo sampai bilang jelek.”

“Beda… kayak manusia beneran,” jawab Victor setengah bercanda.

Sania memukul pelan bahu Victor. “Ngomong apa sih, ayo jalan.”

Sepanjang jalan mereka pun menyusuri jalanan kota selvila menuju tempat Taksi mereka Sambil berbincang ringan di jalan Sania sempat bertanya kepada Victor kenapa dia tak mau menggunakan Jet X miliknya untuk pergi Mudik.

"Hey Rambut Merah" Ucap Sania

"Paan" Jawab Victor

"Napa lo kemarin gk mau make Jet X lo buat pergi mudik ini Kan bisa cepet sampainya dan gk bakal ada acara gua make Sihir dan Kereta Delay kan" Tanya Sania

"Selain karna Pesawat ku sedang di perbaiki aku juga sedang hemat biaya bahan bakar Kau gk tahu aku menghabiskan 1000 Rikel (mata uang Harzenia)hanya untuk Fulltank bahan bakar tu Pesawat itu udah separuh gaji kita 1 bulan" Jawab Victor

"Njir bayar apartemen kita aja 500 Rikel per bulan jadi biaya hidup lo cuma 750 Rikel per bulan karna biaya apartemen kita bagi 2, karna 250 Rikel gua dan 250 Rikel elu" Ucap Sania sambil terkejut

"Nah gitu tahu, untung kita tinggal seatap jadi biayanya jadi lebih murah" jawab Victor

"iya sih, jadi prihatin gua ama lo" Ucap Sania

Tak lama Taksi mereka pun Sampai dan Mereka pun naik taksi menuju pusat kota Selvila yang terkenal dengan arsitektur perpaduan Islam dan Eropa. Lampu-lampu jalan menghiasi malam, menambah nuansa hangat meski udara masih terasa sedikit panas.

Di dalam taksi, suasana kota yang berkilau menari di balik jendela. Lampu-lampu temaram memantulkan warna emas di wajah Sania, membuatnya terlihat semakin anggun. Victor melirik sekilas, lalu buru-buru menatap ke luar lagi, berusaha menutupi senyum yang muncul tanpa izin.

“Kenapa senyum-senyum sendiri, Merah?” Sania menoleh, alisnya terangkat jahil.

“Enggak, cuma… pemandangan kota ini bagus,” jawab Victor, pura-pura sibuk memperhatikan gedung-gedung futuristik dan mobil terbang yang berlalu-lalang.

Sania menyandarkan kepalanya ke jendela, matanya memandang jauh. “Bagus, ya. Kayak dunia lain. Aku selalu suka malam seperti ini… rasanya tenang.”

Victor menelan ludah. Ia ingin berkata bahwa pemandangan paling indah malam itu bukanlah kota, melainkan pantulan lampu di mata Sania. Tapi kata-kata itu hanya bergema di kepalanya.

Taksi berhenti di depan alun-alun Selvila, tempat air mancur besar menari diiringi musik lembut. Udara malam membawa aroma bunga yang samar. Sania menatap air mancur itu dengan mata berbinar.

“Cantik banget…” gumamnya.

Victor menatapnya lebih lama dari seharusnya. “Iya… cantik,” ucapnya, dan kali ini ia tidak sedang memuji air mancur.

Sania menoleh cepat, pipinya sedikit memerah. “Victor… kamu—”

“Ayo jalan ke sana,” potong Victor gugup, melangkah lebih dulu.

Mereka duduk di bangku dekat air mancur. Denting air menjadi irama yang menenangkan. Sania melepas hijabnya sedikit ke belakang, angin malam menyibakkan beberapa helai rambut yang tak sengaja keluar. Victor, tanpa sadar, merapikannya perlahan.

“Maaf,” ucapnya cepat.

Sania menatapnya, matanya hangat. “Gak apa-apa.”

Mereka terdiam, tapi bukan hening yang canggung. Hening itu justru nyaman, seperti berbicara tanpa kata.

“San…” Victor akhirnya berkata pelan. “Kadang aku ngerasa… rumah itu bukan soal tempat. Tapi soal orang yang bikin kita pengen pulang.”

Sania menoleh, senyum tipis mengembang. “Dan… sekarang kamu ngerasa pulang?”

Victor menatapnya dalam-dalam. “Iya. Sekarang.”

Angin malam berhembus lembut, membawa suara air mancur yang terus menari. Sania menunduk, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Victor.

“Selvila malam ini terasa lebih hangat,” bisiknya.

Victor tersenyum, membiarkan dunia di sekitarnya memudar, hanya menyisakan mereka berdua di bawah langit penuh bintang.

Victor menoleh pelan, memastikan Sania benar-benar nyaman di bahunya. Wangi sabun mandinya masih terasa samar, bercampur dengan aroma bunga dari taman alun-alun.

“Aku nggak nyangka… kita bakal punya malam kayak gini,” bisik Victor, suaranya hampir tenggelam oleh gemericik air mancur.

Sania hanya menggumam, “Aku juga.” Ia menatap langit yang dihiasi ribuan bintang, lalu menambahkan pelan, “Kadang Tuhan ngasih kejutan di saat kita nggak nyangka, ya.”

“Andai aku percaya kepadanya...” Ucap Sania Pelan.

Victor menatapnya lagi, kali ini tanpa ragu. “Aku pengen lebih banyak kejutan… tapi yang isinya kamu.”

Sania menoleh, mata mereka bertemu. Ada cahaya kecil yang menari di sana, bukan pantulan lampu, melainkan sesuatu yang lebih dalam. “Berani janji gitu?” tanyanya setengah berbisik.

Victor mengangguk mantap. “Selama kamu izinin, aku bakal berani.”

Sania tersenyum, senyum yang membuat malam terasa seolah berhenti bergerak. Ia menautkan jemari ke tangan Victor—gerakan sederhana, tapi membuat jantung keduanya berdetak lebih cepat.

“Kalau gitu,” ucapnya lembut, “kita jalan pelan aja… biar kejutan berikutnya nggak habis terlalu cepat.”

Mereka pun berdiri, tangan masih bertaut, melangkah menyusuri jalan berbatu yang diterangi lampu-lampu kuning keemasan. Suara kota meredup di kejauhan, menyisakan detak hati yang berpacu, dan langkah kecil yang seirama di bawah langit Selvila yang penuh bintang.

Angin malam yang lembut menyapu wajah mereka saat meninggalkan alun-alun. Cahaya lampu jalan memantul di batu-batu tua, menciptakan bayangan panjang di kaki Victor dan Sania.

“Masih mau lanjut jalan, atau langsung balik?” tanya Sania sambil menoleh.

Victor menggeleng cepat. “Sayang banget kalau malamnya cuma sampai sini. Kayaknya Selvila masih nyimpan kejutan lain lagi pula kita juga belum nyari makan buat Buka Puasa.”

“Woke aku juga lagi Laper nih.” jawab Sania sambil Tersenyum.

Victor tertawa kecil. “Oke, tapi jangan protes kalau kaki pegal, ya.”

Mereka melangkah lagi, menapaki gang-gang sempit khas kota tua itu. Bau rempah dan roti panggang samar-samar menguar, menggoda perut yang perlahan kembali lapar. Di kejauhan terdengar denting gitar dari seorang pengamen, berpadu dengan suara air sungai yang mengalir.

“Wangi roti… kamu cium nggak?” Sania menoleh ke arah aroma itu, matanya berbinar.

Victor ikut mengendus. “Iya. Kayaknya ada pasar malam atau semacamnya.”

Mereka mengikuti aroma itu, menyusuri jalan yang makin ramai. Kios-kios kecil mulai muncul: penjual baklava, daging panggang, teh mint panas. Lampu gantung berwarna kuning keemasan menciptakan suasana hangat, seolah menyambut setiap pejalan kaki.

“Wah, kayak festival,” Sania berdecak kagum.

Victor mengangguk, menatap ke sekeliling. “Selvila memang nggak pernah setengah-setengah kalau soal makanan malam. Yuk, cari tempat buat makan beneran. Aku tau satu lokasi yang katanya punya pemandangan paling keren.”

Sania menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Serius? Kamu riset duluan, ya?”

“Sedikit,” jawab Victor sambil tersenyum malu. “Pikirnya… siapa tahu kamu pengen lihat sisi lain kota ini.”

Sania hanya mengangkat alis, tapi senyum tipisnya cukup jadi jawaban. Mereka terus berjalan menembus keramaian hingga deretan kafe mulai berganti dengan restoran-restoran kecil yang menghadap sungai. Semakin lama, aroma kari, roti panggang, dan daging berbumbu Timur Tengah makin pekat.

Di ujung jalan berbatu itu, Victor berhenti di depan sebuah papan kayu dengan tulisan kaligrafi yang bercahaya lembut. Di baliknya, tampak sebuah restoran bergaya Moor dengan tangga menuju atap.

“Ini dia,” katanya sambil menoleh pada Sania. “Restoran rooftop. Katanya view-nya gila.”

Sania menatap ke arah sungai yang terlihat berkilau di kejauhan, lalu menoleh kembali ke Victor. “Wah… kalau gini sih aku ikut.”

Dengan langkah ringan dan rasa penasaran yang sama, mereka pun naik ke atas—menuju malam baru yang akan mereka kenang.

Sesampainya di sebuah distrik kuliner, mereka berjalan menyusuri jalan berbatu dengan kafe-kafe kecil yang menyajikan makanan lokal dan Timur Tengah. Victor memesan tempat di sebuah restoran rooftop yang menghadap sungai Guadalquivir.

“Wah, tempatnya romantis juga ya,” komentar Sania sambil menatap pemandangan malam kota dari atas.

Victor mengangguk. “Kata orang ini tempat paling enak buat ngadem… dan makanan di sini legendaris.”

Mereka duduk berseberangan. Di antara cahaya lilin kecil di meja, mereka memesan nasi kebuli, roti pipih, dan teh mint panas. Obrolan pun mengalir perlahan, dari hal-hal kecil seperti kesan pertama mereka tentang Andalusia, hingga cerita lucu saat mereka masih di HIA.

“Aku masih inget pas kamu salah masuk toilet di markas,” kata Victor sambil menahan tawa.

Sania menutup wajahnya dengan tangan. “Itu kecelakaan! Pintu nggak dikunci!”

“Tapi itu membuat semua anggota cowok nggak bisa lupa sampai sekarang,” goda Victor.

Sania tertawa, tapi kemudian menatap Victor lebih lama. Wajah cowok itu tampak lebih tenang sekarang, tidak sekaku tadi siang.

“Makasih ya,” kata Sania tiba-tiba.

“Buat apa?”

“Udah ngajak aku jalan. Awalnya aku pikir bakal nyesel ikut mudik sama kamu… tapi sekarang malah senang.”

Victor menatap Sania, lalu menunduk sebentar, mengaduk tehnya yang sudah mulai dingin.

“Gue juga… makasih udah sabar sama gue tadi,” balasnya.

Obrolan berhenti sejenak, tapi keheningan itu tidak canggung. Mereka hanya menikmati suasana malam dan bunyi gemericik air sungai dari kejauhan.

Tak lama makanan mereka pun Sampai Dan kemudian Victor memakan makanannya di susul oleh Sania Yang ikut makan dengan lahap Bak seperti Orang yang kelaparan Melihat hal itu Victor hanya bisa menggelengkan kepalanya dan berkata dalam hati

"Aku Tampaknya gua salah bawa orang ni.."

"ada apa Victor" Ucap Sania Sambil makan

"Tidak ada" jawab Victor

Sania Pun lanjut memakan makanannya Lagi kali ini dengan lahap

"Enak juga makanan Timur tangah" ujar Sania

"Tentu saja Ini makanan yang di makan oleh leluhur ku dan Nabi ku dlu, tentu saja Enak" Ucap Victor

Tak lama Sania Pun memesan Makanan lagi hingga Menumpuk Piring Makanan Mereka di atas meja Di lain sisi Victor baru Selesai memakan Nasi kebuli dan Paha kambing Hanya bisa terheran-heran dengan Tingkah Sania yang memakan hampir semua Menu di restoran

"Jir cok Lo pesan banyak banget apa Gk kekenyangan" ucap Victor

"enggak tuh Malahan enak" jawab Sania

Tak lama Pelayan pun datang membawa Bill/tagihan

"ini Pak tagihan" Ucap Pegawai itu

Terkejut bukan Maen Victor setelah tahu Berapa tagihannya

"Jir 350 Rikel Harzenia, lo pesan apa aja jir!?" ucap Victor

"Gk banyak cuma Nasi kebuli, paha kambing, Roti Maryam, Roti pipih,Karie Dan lupa gua penting enak semua makanannya"

Mendengar hal itu Victor hampir pingsan Karna tahu Sania beru saja membuat nya hampir Bangkrut Dengan tangan yang agak gemetar Victor Mengambil uang tunai di dompet nya dan membayarnya ke Kasir.

"Sialan tu cewk" ucap Victor dalam hati

"Makasih ya Victor ^\=^" Ucap Sania

Setelah makan, mereka menyusuri taman kecil di dekat restoran. Lampu taman yang temaram membuat bayangan mereka memanjang di jalan setapak.

“Ternyata nggak buruk juga malam di Andalusia,” gumam Sania.

Victor mengangguk. “Terkadang yang terlihat buruk di awal... bisa jadi momen paling menyenangkan kalau dijalani sama orang yang tepat.”

Sania menoleh menatap Victor.

Victor hanya melihat ke depan, tak menyadari tatapan itu, atau mungkin sengaja menghindarinya Sania hanya tersenyum kecil dan melanjutkan langkahnya Tanpa disadari, mereka berjalan sedikit lebih dekat. Kadang saling bersenggolan tangan. Tak ada yang menarik tangan masing-masing Hati mereka berkata banyak, tapi malam itu, tak satu pun dari mereka mengucapkannya Dan mungkin, itu lebih baik begitu Untuk sekarang Langit malam masih cerah, bintang-bintang tampak bersinar jelas di atas kota tua Selvila. Angin malam berembus lembut, mengusir sisa-sisa panas yang tersisa sejak siang tadi.

“Ayo,” ucap Victor tiba-tiba.

“Ke mana lagi?” tanya Sania sambil mengikuti langkahnya.

Victor tak menjawab, hanya menoleh sebentar dan tersenyum kecil. Ia mengeluarkan ponsel, membuka peta, lalu mengarahkan langkah ke sisi luar kota—menuju sebuah bukit kecil yang dulunya bekas menara pengintai zaman Moor, kini menjadi tempat santai dengan pemandangan kota dari atas.

Sekitar 15 menit mereka berjalan, melewati jalan menanjak dan batu-batu tua, hingga akhirnya tiba di tempat itu.

“Wow…” Sania tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.

Dari atas bukit, lampu-lampu kota tampak seperti bintang yang tumpah ke bumi. Sungai berkilau, dan suara musik dari pusat kota terdengar samar-samar, seperti latar dari dunia yang berbeda.

“Tempat ini bagus banget,” gumam Sania.

Victor hanya mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya dan memutar lagu jazz ringan dari playlist-nya.

Sania mendengar lantunan melodi yang familiar—suara piano lembut seperti dalam film La La Cintaku.

“Eh… ini lagu dari film itu, kan?”

“La la Cintaku. Iya,” jawab Victor.

Ia lalu berdiri di depan Sania, mengulurkan tangannya dengan ekspresi malu-malu tapi serius.

“Cuma sekali dalam hidup. Mau nari sama gue?”

Sania memandangi tangan itu beberapa detik. Lalu tanpa banyak kata, ia meraih tangan Victor, berdiri, dan ikut menari bersamanya.

Langkah mereka tak sempurna Sesekali mereka salah gerakan, tertawa, bahkan hampir terjatu Tapi itu justru membuat momen itu semakin indah Dan Romantis.

Tak ada penonton. Hanya mereka berdua, di atas bukit tua, di bawah langit penuh bintang, dengan iringan musik piano dan jazz yang mengalun pelan dari ponsel Victor.

Victor berputar dengan canggung, Sania mengikuti dengan tawa kecil Ketika lagu masuk ke bagian instrumental yang lembut, mereka saling menatap.

Seketika dunia terasa sunyi. Angin malam seolah berhenti. Waktu melambat.

Tangan mereka masih bertaut. Nafas mereka hampir selaras.

Namun, tak ada yang berkata apa-apa

Sania akhirnya menarik napas dalam. “Victor…”

Victor tersenyum kecil, lalu memalingkan wajah ke kota di bawah.

“Kita harus pulang ke hotel Udah hampir tengah malam,” katanya lembut.

Sania hanya mengangguk Tapi saat berjalan menuruni bukit, mereka masih menggenggam tangan satu sama lain erat, tapi diam-diam Dan malam itu, mungkin bukan hanya mereka yang menari Tapi juga hati mereka.

Pelan, diam, dan tidak terburu-buru.

Seperti sebuah janji yang belum diucap, author Cerita ini kapan njir bisa kek gitu Jomblo mulu.

Bersambung... 

Terpopuler

Comments

Aisaka

Aisaka

Sania adalah TanboyKun

2025-06-25

1

iqbal nasution

iqbal nasution

menarik

2025-06-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!