NovelToon NovelToon

ASMARALARAS

Bab 1

Wonosari 2007

"Nedya nggelar carita

ginancar wayang wewangsone.

tumrap laku lelakuning urip

jroning karsa mbabar budaya.

terus sempulur mrih bisa misuwur.

kang piniji amrih lestari

dadya srana anguda rasa

angrekating jiwa ngembang ngrembaka

bisa kuncara salaminya"

Dari ujung malam yang jauh, mengalunlah gendhing talu—lirih merayap pelan di antara desir angin dan sisa hujan yang menggantung di pucuk daun-daun dan pori-pori tanah. Cakepan dilagukan para pesinden, dengan suara bening selembut kenangan,

mengurai sunyi, menenangkan luka-luka tak bernama, meluruh pelan di dada siapa pun yang mendengarnya.

Gamelan bertalu—bertabuh dan bersahutan dengan nyanyian jangkrik yang menjerit di balik semak,

dan bisik-bisik orong-orong dari rahim bumi yang baru saja membasuh dirinya. Gerimis belum sepenuhnya reda—masih menetes malu-malu dari langit kelabu. Riang musik dan resah alam bertaut dalam harmoni yang ganjil: indah, asing, namun memeluk jiwa seperti doa yang terbang ke langit.

Di jalan aspal yang berlubang dan masih menyimpan genangan air hujan, tiga Honda GL-MAX melaju, meraung seperti harimau lapar. Knalpotnya menyalak—serak dan garang—menebas sunyi malam yang dinginnya menusuk tulang.

Lampu depannya keruh, berembun, menerobos gerimis dengan sorot yang goyah, seolah ragu, namun tetap membelah gelap dengan tekad keras kepala.

Seolah hendak memburu suara gaib yang berseru dari kejauhan, mereka meluncur dalam senyap yang tak pernah benar-benar sepi.

Tiga pemuda—seolah bukan sedang mengendarai motor, melainkan sedang dikendarai oleh takdir, melaju menuju pusat suara irama gamelan yang menggoda dan membisikkan teka-teki:

rindu yang menggigil, kutukan yang menunggu, atau cinta yang menyamar dalam nada-nada kuno dari masa yang belum selesai dibaca.

"Nedya ginelar

wayang tuhu ngajab rahayu

sinung puji sesanti basuki

awit karsaning Gusti golong gumomlong

ambabar rasa kang rasa mulya."

Semakin mereka melaju, suara itu pun semakin nyata terdengar—gamelan mengalun lirih, menggiring irama malam menuju panggung pertunjukan. Suara pesinden yang syahdu seperti menyentuh gendang telinga, membuat rombongan anak gank motor GL-MAX tak sabar, mereka menancap gas lebih dalam. Deru knalpot memecah kesunyian desa, bersaing dengan gendhing yang bergema dari kejauhan.

Sesekali ban motor mereka menerjang lubang di jalan, menyemburkan air keruh dari genangan yang tertampung. Cipratan buthek itu melesat liar, membasahi baju dan wajah mereka.

"Woi, munyuk! Kira-kira po'o, rek!" hardik seorang pemuda tambun, wajahnya merah padam karena kesal, tepat saat hendak menyalip rekannya tapi malah disambut semburan lumpur.

"Wkwkwkwk… rasain kamu, kayak kerbau nyebur sawah!" sahut temannya sambil tertawa terpingkal-pingkal, seolah itu hiburan tambahan di perjalanan mereka malam itu.

Akhirnya, mereka tiba di lokasi pementasan. Tanpa banyak basa-basi, ketiga anak muda itu segera memarkirkan motor GL-MAX mereka di tepi jalan, persis di samping gerobak martabak yang berdiri di bawah rimbunnya pohon rambutan. Aroma minyak goreng dan adonan martabak manis menggoda hidung.

Langkah mereka cepat, penuh semangat. Dengan jaket yang masih basah dan celana belepotan lumpur, mereka berbaur dalam kerumunan penonton. Pandangan mereka langsung terarah pada panggung bersusun dua, tempat sakral di mana kisah-kisah pewayangan dihidupkan malam itu.

Cahaya lampu blencong menyorot lembut bayang-bayang wayang kulit yang mulai bergerak. Pak Dalang, dengan suara berat dan penuh penghayatan, mengawali kisah dengan narasi janturan— menggema penuh makna, yang seketika membungkam riuh penonton. Suasana menjadi hening. Seolah waktu ikut berhenti sejenak, memberi ruang bagi cerita dari alam lain untuk hadir dan berbicara lewat suara, bayang-bayang wayang di pakeliran, dan gamelan yang ditabuh bertalu lirih.

“Swuh rep data pitana anenggih nagari pundi ta kang kaeka adi dasa purwa. Eka araning sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan. Sanadyan kathah titahing jawata ingkang kasangga ing pertiwi, kaungkulan ing akasa kaapit ing samodra. Kathah ingkang sami anggana raras, nanging datan kadi nagari Ngastina, ya nagara ing Gajahoya, ya ing Liman Benawi. Mila winastan nagara Ngastina duk ing uni kadhatonira Prabu Astimurti. Gajahoya kang yasa Prabu Gajahoya. Ngupaya satus datan antuk kalih sewu tan jangkep sedasa."

Terpampang di layar pakeliran, berjajar gagah kelima Pandawa—Yudhistira yang bijak, Bima sang raksasa perkasa, Arjuna si pemanah tampan, serta si kembar Nakula dan Sadewa yang elok rupa. Di sisi mereka, berdiri dua saudara sepupu: si jelitheng nan licin Prabu Kresna dan sang bule berwibawa Prabu Baladewa. Keduanya memancarkan aura berbeda—gelap dan terang, licik dan lugas—bagai matahari dan bulan yang menyinari bumi.

Iringan gamelan mengalun cepat dalam pola imbal-imbalan, tabuhan kendang dan gong bersahut-sahutan, menciptakan gelombang suara yang menghentak jantung penonton. Suasana riuh, penuh semangat dan kekhusyukan. Bau kemenyan dan asap rokok kretek bercampur dengan aroma tanah basah. Anak-anak kecil duduk di tikar bersama ibunya, sementara para lelaki duduk berjongkok sambil menyesap kopi dari gelas seng lurik. Sesekali, sorak kagum terdengar saat dalang memainkan sabetan wayang yang menegangkan.

Di tengah kerumunan itu, Beberapa orang tua menggenggam senter, menyala redup di pangkuan. Semua datang untuk menyimak.

Namun, di antara lautan manusia yang datang untuk menikmati suara pesinden, menyelami kisah pewayangan, atau sekadar melepas penat malam—ada tiga wajah asing yang menyelip di tengah keramaian. Bukan pencari hiburan. Bukan pula penikmat seni tradisi. Dan jelas bukan penonton biasa.

Tiga begundal bersenjata nekat, datang bukan karena panggilan budaya. Mereka tidak peduli siapa Prabu Kresna atau Pandawa. Bahkan suara sinden yang mengalun lirih pun tak mampu menembus telinga mereka.

Kedatangan mereka adalah bagian dari rencana. Rencana konyol. Rencana gila. Rencana yang mungkin tak akan pernah terpikirkan oleh manusia waras—karena bukan akal sehat yang mereka bawa malam itu.

“Gimana, Ji? Sudah bisa mulai aksinya?”

Untung membisikkan pertanyaan itu lirih, nyaris tak terdengar, tepat di balik kerumunan penonton yang tenggelam dalam suara suluk dalang.

Wiji, yang duduk sedikit merunduk dengan jaket hitam menutupi sebagian wajahnya, menoleh pelan. Tanpa menatap langsung, ia menjawab dengan suara serendah desir angin malam, nyaris seirama dengan bunyi rebab.

“Jangan dulu... tunggu lakon ini sampai pada adegan perang. Saat suasana riuh dan perhatian dalang terfokus pada kelir, baru kita mulai.”

Ucapannya tepat di daun telinga Untung, dingin dan mantap, seperti seseorang yang sudah memikirkan semuanya jauh sebelum malam itu tiba.

Untung mengangguk kecil, lalu menggeser pandangannya ke arah Tejo yang berada tak jauh di sebelahnya. Ia pun menyambung bisikannya dengan cepat dan tajam.

“Tunggu kode.”

“Oke, bosss…”

Balas Tejo dengan anggukan singkat, senyum tipis mengembang di bibirnya—senyum yang tak jelas apakah itu bentuk keyakinan, ketegangan, atau sekadar kegilaan.

"Pranyata nagara Ngastina ngungkuraken paggunungan, ngeringaken bengawan nengenaken pasabinan miwah ngayunaken bandaran agung. Gemah kathah Para nahkodha kang samya lumaku dedagangan angelur-selur tan ana pedhote labet tan ana sangsayane marga. Aripah kathah para janma amanca nagari ingkang samya katrem abebale wisma salebeting kitha nagari Ngastina jejel apipit bebasan aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak. Loh subur kang samya tinandur jinawi murah kang sarwa tinuku, karta para kawula ing padhusunan nungkul pangolahing tetanen, ingon-ingon kebo sapi pitik iwen datan ana cinancangan, rahina aglar ing pangonan, wanci bengi bali marang kandhange dhewe-dhewe."

Kalimat janturan yang di ucapkan oleh sang dalang itu terdengar seperti sebuah mantra yang menghipnotis para penontonnya.

"Raharja tebih parang muka karana para mantia bupati wicaksana limpating kawruh tan kendhat denya ambudi daya keluhurane Sri Narapati. Marmane Negara Ngastina jeneng anempuh bebasan Negara gedhe obore, padhang jagade dhuwur kukuse adoh kuncarane. Ora ngemungaken kanan-kering kewala sanadyan ing praja maha praja kathah ingkang samya tumungkul datan linawan krana bandayuda, among kayungyun marang pepoyaning kautaman. Bebasan kang celak samya manglung kang tebih samya mentiyung, asok bulu bekti glondhong pengareng-areng peni-peni raja peni guru bakal guru dadi.

"Rep sidhem premanem tan ana sabawane walang awisik, gegodhong datan ebah, samirana datan lumampah, ingkang kapiyarsa amung swarane abdi kriya gendhing myang kemasan kang samya nambut kardi. Pating carengkling imbal gantya. Lir mandaraga amimbuhi asri senening pasewakan.

"Gombal! Ngapusi kamu, Lang. Negara siapa yang seperti itu?. Ndak ada negara kok semakmur dan setertib itu. Apalagi negara kita. Mimpi keli ye!" Celetuk dari seorang penonton dari sudut yang gelap.

Malam terus berjalan, suasana semakin sepi, orang-orang satu per satu meninggalkan kerumunan. Tetapi tanpa disadari, Wiji justru terperangkap dalam alur cerita yang dibawakan oleh sang dalang. Lakon malam itu adalah Sesaji Raja Soya.

Terlihat sang dalang masih begitu semangat, penuh energi menjalankan ceritanya—meski penontonnya tak seberapa.

Di zaman kini, tahun dua ribu tujuh, orang nonton wayang sudah tidak lagi peduli pada edukasinya. Tak banyak yang benar-benar menyimak makna di balik cerita. Padahal, di sanalah inti dari pertunjukan wayang berada—pada nilai-nilai, pada simbol-simbol kehidupan yang dipentaskan lewat tokoh-tokohnya.

Kini, sebagian penonton hanya menunggu bagian campursari-nya, menanti para sinden yang tampil menawan membawakan lagu-lagu populer, atau dagelan lucu yang bisa mengocok perut. Setelah adegan limbukan yang biasa diselingi dengan nyanyian campursari, satu per satu penonton mulai bergeser, ada yang pulang, ada yang pindah ke warung kopi, ada pula yang memilih tidur di atas tikar sambil membiarkan suara gamelan menjadi pengantar mimpi.

Dalam hati, Wiji bergumam:

"Kenapa wayang makin sepi peminat? Apa mungkin karena ceritanya sudah tidak cocok lagi dengan kenyataan hidup masyarakat sekarang? Lagi-lagi tentang lingkungan istana, tentang raja-raja, dan para ksatria yang berkorban demi segelintir orang. Tidak adakah lakon carangan yang bisa bicara tentang kenyataan rakyat kecil hari ini?"

Ia menjeda pikirannya sejenak.

"Atau jangan-jangan memang zamannya yang sudah berubah. Orang sekarang kebanyakan bekerja di pabrik, jadi buruh, kerja di toko, jadi karyawan, pedagang, sopir angkot, bahkan ojek sepeda motor. Mereka harus bangun pagi, kerja seharian. Mana sempat melek sampai subuh hanya untuk menonton wayang?

Dulu beda. Dulu, kebanyakan orang di desa ini masih petani. Kalau soal begadang semalaman pasti kuat, besok tinggal bangun agak siang, nyangkulnya bisa disesuaikan. Sekarang? Wayang seperti jadi tontonan sisa—hanya segelintir orang yang masih setia.”

Wiji terus berdiskusi dengan pikirannya sendiri.

"Penonton sekarang perhatiannya hanya tertuju pada sinden yang cantik, tampil menarik, atau bintang tamu dagelan yang pandai melucu. Mungkin karena peran-peran itulah yang mereka anggap lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Lucu, menghibur, cepat dicerna, dan tidak bertele-tele."

Sambung kata hati Wiji.

"Entah kini siapa yang menggendong dan siapa yang di gendong? Dahulu, dalang menggendong sinden. Namun, sepertinya keadaan mulai berubah. Zaman sekarang, tanpa ditemani sinden-sinden yang menarik, dalang bukanlah apa-apa. Ndak akan laku. Ndak ada yang nanggap. Buat apa ditanggap kalau ndak ada yang nonton? Bukankah orang nanggap tujuannya untuk ditonton?

Sementara itu, dagelan dan sinden mungkin adalah manusia yang masih merdeka. Dengan bahasanya yang lebih merakyat, mereka masih bisa tampil di mana saja—di hajatan, di panggung 17-an, di pasar malam, di peresmian kantor desa. Asal ada uangnya, mereka pasti siap. Sebab orang bilang, sekarang ini zamannya sudah berubah. Zaman masyarakat pasar. Zaman serba instan. Di mana kebudayaan tidak lagi dipandang dari nilai gunanya, tapi lebih pada nilai tukarnya."

Wiji menghentikan lamunannya. Ia sadar, ia bukan siapa-siapa. Ia bukan seniman, apalagi budayawan.

Di antara kerumunan yang hanya tersisa beberapa puluh kepala, kebanyakan lelaki tua yang bersarung, dan anak-anak muda yang duduk bersila di atas tikar yang mereka bawa dari rumah masing-masing, tiga sekawan itu—Wiji, Untung, dan Tejo—ikut larut dalam malam terus berjalan.

Beberapa penonton terlihat masih sibuk menyalakan handycam atau kamera saku digital. Ada pula yang dengan HP berantena panjang, merekam suara gamelan lewat fitur perekam suara—berharap bisa memutar ulang di kamar sempit mereka nanti malam, mungkin hanya untuk nostalgia atau sekadar koleksi. Wiji memandangi mereka sejenak.

"Luar biasa juga, para pelaku seni zaman sekarang," pikirnya.

"Selain bisa menghidupi pedagang kaki lima yang jual kopi dan kacang rebus, mereka juga memberi ruang bagi orang-orang ini—yang setia merekam, meski tak paham-paham amat isi ceritanya. Mungkin bagi mereka, yang penting ada rekaman. Bisa diputar, bisa dibanggakan. 'Ini loh, aku nonton semalam,' kata mereka besok pagi."

Wiji melirik ke arah Untung dan Tejo yang malah sibuk bermain Snake II di layar hijau ponsel Nokia mereka. Jari-jari mereka menari cepat, seolah tak peduli pada gemuruh pertunjukan di depan mata.

Wiji menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke arah panggung.

Sekilas, tatapannya berhenti pada salah satu pesinden muda. Gadis itu terlihat sedang berusaha melawan kantuk—sesekali menggulir inbox SMS di layar kecil ponselnya ke atas dan ke bawah, entah membaca ulang pesan dari siapa. Mungkin hanya pelarian dari dinginnya malam yang terus mencumbui kulitnya yang tipis.

Ia duduk timpuh dengan posisi yang setengah kaku, bahunya sedikit terangkat menahan dingin. Sinden itu berparas manja, anggun namun tampak masih lugu. Gerak-geriknya menyiratkan keluwesan.

Malam itu, entah kenapa, tatapan Wiji terasa berbeda. Ia sudah sering melihat gadis sinden itu—di panggung-panggung sebelumnya, dalam rangka apa saja. Tapi malam ini terasa tak biasa. Ada getar yang tak bisa ia jelaskan. Seolah gadis itu membuka semacam pintu rahasia di dalam dirinya, dan di balik pintu itu, ia berdiri, menunggu.

Gadis itu pun menyadari ada tatapan yang mengarah padanya. Sekilas matanya bertemu dengan mata Wiji. Ia menjadi sedikit gugup, lalu tersipu, dan segera menundukkan kepala—berpura-pura fokus pada layar ponselnya, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi pipinya tak bisa berbohong. Ada semburat merah yang tak bisa disembunyikan, meski cahaya lampu-lampu neon hanya menyala redup.

Di tangan gadis itu, ponsel Nokia 2300 dengan casing biru muda bergetar pelan. Ia menggulir layar inbox—bukan karena ada pesan penting, tapi karena ia tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba saja berdegup lebih cepat.

Wiji hanya diam. Tapi senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia tidak tahu kenapa. Tidak juga yakin akan apa. Tapi ia merasa seolah malam itu mengarahkannya ke satu titik, satu rasa, satu kemungkinan.

Ada yang berubah malam ini. Entah dari angin, dari suasana, atau dari cara mata mereka saling memandang. Yang jelas, pada detik itu ada sesuatu yang mulai bergerak... pelan-pelan, namun pasti.

**************

Sampailah kisah pada adegan yang paling dinanti: adegan peperangan. Ontran-ontran pun pecah di negeri Amarta. Rombongan dari negeri Magada, dipimpin oleh Prabu Hamsa—sekutu setia sekaligus bawahan dari Prabu Jarasanda, penguasa tertinggi Magada—datang dengan niat busuk.

Dengan dada membusung dan sorot mata penuh kesombongan, Prabu Hamsa berdiri di hadapan Prabu Puntadewa, sang raja Amarta yang agung dan bijaksana. Di hadapan sang raja, Prabu Hamsa mengutarakan maksudnya: ia datang untuk merebut pusaka keramat Jamus Kalimasada.

“Aku tak ingin berperang, Prabu,” ucap Prabu Hamsa licik. “Serahkan saja pusaka itu padaku. Aku bersumpah akan menukarnya dengan apapun yang engkau inginkan—harta, tahta, wanita... semua akan kuberikan. Asal pusaka itu menjadi milikku.”

Namun belum sempat Prabu Puntadewa memberi jawaban, Prabu Hamsa sudah menebar ancaman.

“Jika engkau menolak,” ucapnya lantang, “maka negeri Amarta ini akan kuhancurkan! Tanahmu akan kubalik, istanamu akan kuleburkan, dan pasukanmu akan kulindas satu demi satu!”

Seketika suasana menjadi tegang. Dari balik istana, sang satria Jodipati, Raden Wrekudara, segera muncul. Dengan tubuh besar dan mata membara, ia tak bisa tinggal diam mendengar kakaknya mendapat ancaman. Tanpa banyak kata, ia langsung cancut taliwondo—siap maju ke medan laga.

Tabuhan kendhang meningkat. Gamelan mendesak cepat, suara gong menggema berat. Perang pun pecah. Wayang-wayang meliuk-liuk cepat di tangan dalang. Di pakeliran, terlihat Senopati Dwarawati, Raden Setyaki, bertarung habis-habisan melawan Prabu Hamsa. Namun Prabu Hamsa terlalu tangguh. Raden Setyaki terpaksa mundur, napasnya tersengal, wajahnya penuh luka. Dengan tergesa, ia menemui Prabu Baladewa. “Ngapunten Kaka Prabu kula kawon. Prabu Hamsa itu bukan tandingan saya."

"Panuksmaning jajal, sukertaning bawana. Iblis laknat!” Prabu Baladewa pun maju. Dengan senjata andalannya Alugara di tangan kanannya, sambil mulut yang tak henti-hentinya ngomel-ngomel, ia mengamuk di medan laga.

“Gatekna matamu! Sapa sing ning ngadepanmu saiki? Iki Sinuwun Mandura, Prabu Baladewa! Atase ratu kaya dapuranmu kok wani nyepelekke aku. Kepruk Alugara, ora kelakon pecah ndasmu, aja diundang aku Prabu Baladewa. Modar kowe!”

Adu senjata terjadi. Wayang-wayang meloncat cepat, gerakan dalang menjadi liar dan sangat fokus. Gendhing perang berkumandang menghentak. Penonton terpukau. Semua perhatian tertuju pada pakeliran yang sedang membara.

"Sudah adegan perang. Ayo kita beraksi." bisik Untung kepada Wiji dan Tejo.

"Gass." Tejo langsung siap,

Sementara Wiji tetap diam tak bergerak barang sedikit pun dari posisi duduknya. Entah, ia tadi mendengar bisikan Untung atau tidak. Saat kedua rekannya bergerak ia masih duduk bersila di tengah kerumunan menatap ke arah wayang-wayang yang di mainkan oleh sang dalang, sembari sesekali mencuri-curi pandang kepada gadis sinden itu. Sementara itu Tejo dan Untung sudah menyelinap berjalan mengendap-endap di belakang pakeliran dan mereka berhenti tepat di depan pak dalang yang hanya di sekat oleh layar warna putih bertepi hitam. Dan sebatang gedebok pisang yang terbujur melintang.

"Eh Jo, mana Wiji?." Sambil menengok ke belakang Untung bertanya kepada Tejo.

"Waduh, ya ndak tahu aku." Jawab Tejo sambil garuk-garuk kepala.

"Ow munyuk, gimana to. Apa kamu tadi ndak lihat dia ngikutin kita apa tidak?."

"Maaf Tung aku ndak lihat."

"Ladalah, lha terus gimana ini?"

"Iya gak tahu. Kan aku ngikutin kamu, Tung."

"Munyuk."

Tejo dan Untung sedikit berdebat tetapi mereka langsung di kagetkan bunyi nyaring keprak dari pak dalang.

Kemudian Untung melirik ke arah pak dalang yang hanya kelihatan kakinya yang sedang sibuk menendang-nendang keprak. Tepat di depan hidungnya terlihat sesuatu yang mereka incar.

"Iya sudah, lupakan Wiji. Malam ini kita beraksi berdua saja, kamu awasi keadaan sekitar dan aku yang akan menjadi eksekutornya." Kata si Untung.

"Siap! Laksanakan." Kata Tejo dengan suara lirih.

Untung pun mengambil kawat blendrat dari dalam saku jaketnya, lalu ia membuat bulatan sebesar tiga jari di ujungnya.

Perlahan-lahan ia arahkan kawat itu ke ayam Ingkung pelengkap sesajen yang di letakkan di bawah batang pohon pisang, ayam itu meringkuk tepat di depan duduknya pak dalang.

Lubang yang ia buat di ujung kawat berhasil mengait kepala ayam kemudian ia tarik dengan perlahan dan dengan penuh kehati-hatian.

Tetapi pak dalang yang sedang sabetan wayang Prabu Baladewa di tangan kiri Prabu Hamsa di tangan kanan. Menyadari kalau ada pergerakan dari ayam Ingkung-nya.

Kaki kanan sila tumpang pak dalang pun meninggalkan keprak-nya lalu ia gunakan kakinya untuk menjepit ayam Ingkung-nya itu.

Tarik menarik pun terjadi antara kaki pak dalang dan kawat yang di kendalikan oleh Untung dari balik pakeliran. Kali ini pak dalang harus menjalankan dua adegan peperangan sekaligus, perang alam atas dan perang alam bawah.

Kedua-duanya sama-sama sengit. Tetapi karena keprak harus segera di tendang sesaat sebelum Prabu Baladewa menghantam wajah Prabu Hamsa.

Akhirnya terpaksa pak dalang harus melepas jepitan kakinya dari Ingkung yang sudah melewati batang pisang yang melintang di hadapannya.

Perang alam bawah pun akhirnya di menangkan oleh Untung. Dan setelah berhasil meraih ayam ingkung, Untung dan Tejo langsung melarikan diri jauh ke arah belakang. Menyusup ke dalam gelap, dan kemudian menghilang entah kemana.

********

Tak terasa, waktu merangkak perlahan menuju pagi. Langit masih pekat berselimut mendung. Denting gamelan di panggung wayang telah memasuki nadirnya—pertanda kisah hampir selesai.

Bersamaan dengan itu, lamunan Wiji pun buyar. Ia tersentak dari dunia yang membawanya terhanyut—dan baru sadar, kalau kedua temannya telah menghilang dari sisi.

Dengan langkah tergopoh, ia menuju ke belakang pakeliran. Matanya menyapu ke segala arah—ke sudut-sudut panggung, ke sela-sela keramaian yang mulai reda. Namun tak ada bayang Untung, tak juga Tejo.

Wiji pun mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya—Nokia kecil berlayar monokrom, baterainya masih penuh karena semalaman tak dipakai. Ia mencoba menghubungi mereka lewat panggilan suara dan mengirim SMS satu per satu. Tapi tak ada balasan. Hanya tulisan "pesan terkirim" yang muncul di layar, tanpa tanda diterima.

"Mungkin mereka sudah pulang lebih dulu," pikirnya, sambil menahan rasa janggal yang menggantung di dada. Ia pun berbalik arah, melangkah menuju tempat parkir di tepi jalan— tempat ketiga motor mereka berjejer tadi.

Dan benar saja: hanya satu motor yang masih setia menunggu. GL-MAX miliknya, berdiri sendiri, seperti saksi bisu yang ditinggalkan teman-temannya.

Di sekitarnya berserakan sampah—bekas plastik, kaleng air minum, dan bungkus makanan ringan—seperti jejak malam yang mulai lelah.

Bungkus kacang rebus, puntung rokok, dan kertas minyak martabak tertiup angin pagi yang dingin.

Wiji hanya bisa menghela napas, panjang dan lirih, seolah mengembuskan lelah yang tak sempat ia ucapkan.

Hatinya berbisik,

"Kenapa orang-orang cuma bisa ngotot melestarikan seni budaya warisan yang adiluhung dan edipeni? Sementara mereka lupa melestarikan lingkungan hidup yang mereka tinggali. Padahal yang menunjang keberlangsungan kebudayaan dan masyarakat tetap saja alam. Kalau alamnya rusak, apanya yang mau lestari?"

Ia memutar motornya dengan sedikit kesal. Ditambah kali ini, ia harus pulang sendirian. Tak ada tawa, tak ada adu bising knalpot. Hanya sepi yang menempel di punggungnya.

Gas GL-MAX itu ditancapnya dalam-dalam. Suara knalpot meraung membelah udara pagi yang menyimpan embun. Jalanan lengang, hanya sorot lampu motornya yang mengguratkan cahaya di antara remang-remang dan bayang pepohonan. Angin dingin menampar wajahnya, menusuk sampai ke tulang. Tapi ia tak peduli.

Dalam pikirannya, satu wajah terus berputar-putar. Wajah itu—wajah anggun seorang gadis sinden. Suara lembutnya, caranya menunduk malu-malu, senyumnya yang manis, seolah semuanya masih menempel jelas di benaknya.

Ia tersenyum sendiri. Ada kehangatan yang tumbuh di dadanya, sehangat sisa bara api yang disulut oleh pertemuan singkat.

Ia terus melaju. Lubang-lubang jalan yang menganga di depannya tak dihindari. Ia terjang saja. Seolah tak ada hal lain yang penting selain terus membiarkan pikirannya terbang bersama bayang-bayang gadis sinden itu.

Bayangan itu kini menemaninya—di atas roda, di dalam hati, dan entah sampai kapan. Yang ia tahu, pagi ini, meski sunyi dan dingin, rasanya seperti sedang jatuh cinta diam-diam.

bab 2

Pemuda itu bernama Wiji Santoso. Usianya baru genap dua puluh tahun. Nama itu diberikan oleh bapaknya, Mispan, sebagai penanda zaman. Sebuah nama sederhana, namun penuh harap. Harapan bahwa anak itu akan tumbuh menjadi benih perubahan, di tengah gelapnya hidup yang menghimpit.

Tahun 1987, ketika Wiji lahir, negeri ini belum sepenuhnya bersih dari kisruh politik. Di desa-desa ekonomi masih sulit, dan di desa Wonosari—sebuah pelosok kecil di Jawa Timur—kemiskinan nyaris menjadi takdir.

Mispan, bapaknya, hanya seorang buruh tani. Sehari bekerja, hasilnya hanya cukup untuk membeli beberapa liter beras dan segenggam garam.

Sementara itu, di rumah, ia harus menghidupi istrinya Siti Ruqayah dan anak pertamanya Nur Halimah, yang kala itu masih belajar mengenal huruf di TK Darma Wanita. Di waktu yang bersamaan Ruqayah juga mengandung anak kedua mereka.

Hidup dalam bayang-bayang kemiskinan, keluarga Mispan sering kali hanya bisa makan nasi dicampur parutan singkong, kadang ganyong yang ia tanam di ladang milik Perhutani. Dapur mereka lebih sering mengepul karena kayu bakar ketimbang karena masakan yang berlimpah.

Dan untuk mencukupi kebutuhan hidup, Mispan tak kenal lelah. Ia banting tulang ke mana-mana. Siang di sawah, malam jadi penabuh gamelan. Ia menyambi sebagai penabuh gamelan bila ada tanggapan wayang. Saat itu, ia bergabung dengan grup campursari Ngudi Laras, pimpinan Ki Sanusi—seorang dalang tersohor, dan disegani, pada masa itu.

Bersama grup Ngudi Laras, Mispan menekuni dunia kesenian. Ia tidak hanya bermain gamelan, tetapi juga belajar mendalang langsung dari Ki Sanusi.

Namun, kisah indah itu tak berlangsung lama. Entah karena apa. Kata orang-orang kampung ia berselisih dengan Ratmoyo, anak bungsu Ki Sanusi. Permasalahan mereka tak pernah benar-benar jelas. Tahu-tahu, Mispan menjauh dari dunia seni. Ia meninggalkan panggung dan gamelan, dan menaruh luka dalam diam. Seolah-olah seni telah membuatnya kecewa.

Sejak itu pula, kebencian terhadap dunia kesenian mulai tumbuh dalam hatinya—pelan, namun mengakar. Ia menganggap panggung tak lebih dari sandiwara, dan dalang hanya pembual berkedok kesenian.

*********

Dan pada suatu malam yang sunyi, di tengah deras hujan yang mengguyur bumi Wonosari. Ruqayah melahirkan anak keduanya. Di rumah sederhana itu, hanya ada cahaya damar teplok yang menggantung redup, dibantu seorang dukun beranak tua bernama Mbok Supini.

Suara petir menyambar-nyambar seperti gelegar takdir yang akan berubah arah. Mbok Supini, dengan susur terselip di bibir, melantunkan doa-doa dan mantra kuno yang diwarisi dari nenek moyangnya. Ucapannya lirih, seolah sedang memanggil mahkluk dari alam lain.

Tepat saat petir membentak, tangis bayi itu pecah, menembus malam. Lolongan anjing bersahutan dari kejauhan. Tokek bersuara nyaring dari tembok gedheg. Seakan seluruh alam ikut menyambut kelahirannya. Tak lama, hujan mereda. Angin berhenti. Gemuruh langit perlahan menghilang. Seolah semesta seperti turut menyambut kelahiran bayi dari rahim kemelaratan itu.

Dengan mata berkaca-kaca, Mispan membopong bayinya ke dada. Ia mengadzankannya pelan, lalu berujar kepada Mbok Supini dengan suara serak namun penuh tekad:

"Dia kuberi nama Wiji Santoso. Wiji artinya benih. Santoso artinya kekuatan. Nama ini adalah doa, Mbok… agar kelak dia tumbuh menjadi kekuatan baru dalam keluarga kami. Semoga dia membawa harapan."

"Nama yang bagus, Ngger... Semoga apa yang menjadi panjangkamu bisa tercapai," ujar Mbok Supini, sambil memutar-mutar susurnya.

Setelah beberapa putaran, ia meludah ke dalam bokor. Cairan merah—campuran sirih, gambir, dan kapur—mengambang di permukaan air.

Itulah penanda selesainya upacara kecil menyambut sang bayi. Di luar, malam mulai tenang. Tapi di dada Mispan, gelombang harapan baru saja menyala.

Seiring waktu yang berjalan. Wiji Santoso tumbuh sebagai bocah kampung yang tangguh. Ia dibesarkan di antara hembusan angin dari lereng Gunung Kelud dan derasnya arus Kali Brantas.

Alam menjadi pendamping pertamanya. Hujan, angin, dan suara kokok ayam, dan lumpur sawah menjadi teman bermainnya.

Pada tahun 1990, ketika usianya belum genap tiga tahun, Hari Sabtu Wage Gunung Kelud meletus dengan hebat. Siang yang cerah langit mendadak hitam, suara dentuman terdengar sampai ke desa. Hari itu Wiji meringkuk di pelukan ibunya, gemetar dan menangis, sementara abu vulkanik turun perlahan-lahan seperti hujan kematian.

Desa Wonosari tak terkena langsung lahar, tapi pekatnya debu dan aroma belerang mengubah hari-hari menjadi kelabu. Banyak warga yang mengungsi, termasuk keluarga Wiji, walau hanya beberapa malam.

Dua tahun setelah letusan itu, Mispan, ayah Wiji, mulai merintis usaha kecil-kecilan: beternak ayam petelur. Mula-mula hanya dua puluh ekor, dengan kandang bambu seadanya di ujung kebun. Tapi dari situlah harapan itu tumbuh.

Kini, tahun 2007, jumlah ayamnya mencapai ribuan ekor. Ia memiliki sepuluh kandang besar yang berdiri berjajar seperti barak militer. Dari telur-telur itulah kekayaan perlahan mengalir.

Mispan yang dulu hanya buruh tani kini menjadi orang terkaya di Desa Wonosari. Ia membeli sawah, menanam cabai dan padi. Rumahnya bertingkat dua, cat putih mengilat, dengan pagar besi menjulang. Jalan masuk rumahnya sudah diplester rapi, dan yang paling membanggakan: ia telah menunaikan ibadah haji.

Di mata warga desa Wonosari, belum sah menjadi "wong sugeh" kalau belum mengenakan kain ihram di Mekkah. Belum konglomerat kalau belum di panggil Pak Kaji. Kini semua orang desa Wonosari memanggilnya Pak Kaji Mispan.

Namun, tak semua orang sepakat dengan gelar itu. Salah satunya Mbah Wagimun. Suatu sore Mbah Wagimun nyeletuk: "Opo'o wong habis haji dipanggil Pak Haji, sementara yang habis sholat gak dipanggil Pak Sholat? Sing wis zakat ora dipanggil Pak Zakat?”

Kalimat itu membuat yang lain tertawa. Tapi itulah Mbah Wagimun—penjaga suara nalar yang sering diabaikan. Seorang miskin yang suaranya selalu terpinggirkan.

Sementara itu, Kaji Mispan hidup dalam kemapanan. Usaha ternak ayam petelurnya tak hanya telah menghasilkan banyak harta kekayaan, berupa sawah, ladang, mobil, dan tentunya rumah mewah.

Dua puluh orang bekerja padanya: sepuluh mengurusi ayam, sepuluh mengelola sawah dan ladang.

Tapi ia tak lagi ikut memegang cangkul. Cukup duduk di teras rumahnya, menyeruput kopi sambil memberi perintah lewat HP Nokia miliknya. Ia bahkan baru belajar kirim SMS dua tahun lalu, dan kini merasa bangga bisa mengetik huruf satu per satu dengan jempol kiri.

********--

“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang. Dasar bocah semprul!” semprot Mispan, yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di langgar samping rumah.

“Habis nonton wayang,” jawab Wiji malas, tanpa menatap wajah bapaknya.

“Apa? Nonton wayang? Nonton wayang kok pulangnya pagi begini! Mau jadi apa kamu nanti?” Suara Mispan meninggi, amarahnya mulai memuncak.

Wiji hanya diam. Enggan membalas. Ia tahu betul, berdebat dengan Mispan hanya akan memperpanjang keributan. Bapaknya memang keras kepala, tak mudah diajak bicara dari hati ke hati.

“Kamu itu, kerjaannya cuma kelayapan tiap malam. Berangkat sore, pulang pagi. Siangnya tidur ngorok seperti kelelawar." Bentakan Mispan makin lantang menggema di halaman rumah. "Terus saja begitu! Lama-lama, sepeda motormu itu bapak bakar sekalian!”

“Heee... ada apa to ini? Kok pagi-pagi sudah ribut seperti pasar?” Ruqayah tiba-tiba muncul dari dalam langgar, membawa sajadah dan mukena. Suaranya bergetar antara heran dan cemas.

Mispan menoleh ke arah istrinya. “Lihat anakmu itu! Tiap malam kelayapan. Dikasih hidup enak malah seenaknya sendiri. Anak macam apa itu!”

“Sabar to, Pak. Istighfar... pelan-pelan. Jangan main bentak begitu,” ucap Ruqayah, mencoba menenangkan sambil mengelus pelan bahu suaminya.

“Anak seperti dia itu gak bisa dikasih sabar. Harus dikasih pelajaran! Kalau perlu, suruh minggat dari rumah sekalian!” Telunjuk Mispan mengarah tajam ke wajah Wiji.

“Wes, Pak, wes... sama anak sendiri jangan keras begitu."

"Dan kamu, Le... mbok ya jangan keluyuran terus tiap malam. Emak dan Bapakmu ini susah tidur tiap malam, kepikiran kamu terus...” ujar Ruqayah lirih, penuh iba.

Tanpa sepatah kata pun, Wiji berbalik badan dan melangkah masuk. Pintu kamarnya dibanting pelan, lalu ia rebah begitu saja di atas kasur, membenamkan wajah dalam bantal. Lelah, bukan hanya karena malam panjang, tapi juga karena benturan batin yang tak pernah benar-benar reda di rumahnya.

“Oooooo... anak sontoloyo. Diomongi malah minggat. Tak tahu adab,” gerutu Mispan, amarahnya belum juga reda.

“Sudah, Pak. Sudah... daripada tambah tinggi tekanan darahmu. Sekarang siap-siap saja ke kandang. Nanti keburu siang,” bujuk Ruqayah.

“Iya, iya... Bapak siap-siap dulu. Bilangin anak lanangmu itu, siang nanti suruh bantu mbakyu-nya nganter telur ke tokonya Kaji Umar di pasar legi. Jangan cuma tidur melulu!” ujar Mispan sambil melangkah ke belakang rumah, tubuhnya sudah dibungkus capek dan geram.

Ruqayah hanya berdiri diam di teras, matanya menerawang jauh ke ujung jalan desa yang masih diselimuti kabut pagi. Hatinya nyeri, terjepit di antara dua lelaki keras kepala yang sama-sama ia cintai.

Entah, dengan cara apa lagi Ruqayah harus menasihati anak laki-lakinya itu agar mau berubah. Dengan hati yang selalu berusaha lapang, berbagai cara sudah ia coba untuk membenahi perilaku Wiji—meski terkadang, terasa nyeri hatinya.

Kesabarannya diuji hampir setiap hari, tak hanya oleh anaknya yang bandel, tapi juga oleh sikap suaminya, Mispan, yang kadang meledak seperti orang kesetanan.

Wiji memang bukan anak yang mudah diarahkan. Sejak remaja, ia tumbuh liar seperti alang-alang di ladang. Ia sering pulang larut malam, keluyuran tanpa arah, mengikuti dentum musik dangdut koplo, alunan tayuban, jaranan, dan wayangan.

Bukan hanya soal pulang malam—sering pula namanya disebut dalam keributan. Tawuran. Adu jotos. Tak jarang Mispan harus dipanggil ke balai desa, duduk di hadapan pamong, menanggung malu dan membayar denda atas ulah anaknya yang kerap bikin gaduh di tengah hajatan orang.

Berulang kali Ruqayah mencoba meredam amarah suaminya dan menggapai hati anaknya, namun Wiji seakan tetap berlayar ke arah yang tak pernah ia pahami.

Dalam diamnya, ia menyimpan lelah yang tak bisa dibagi kepada siapa pun. Namun sebagai seorang ibu, Ruqayah tetap bertahan. Sebab kasih seorang ibu, tak pernah benar-benar habis, meski hatinya terus disayat hari demi hari.

Dan di usianya yang telah menginjak dua puluh tahun, arah hidup Wiji masih tampak buram. Ia berjalan seperti perahu tanpa kompas, hanyut oleh arus zaman yang tak tentu tujuan.

Tak seperti kakaknya, Nur Halimah, yang sudah menuntaskan pendidikan tinggi dan kini menyandang gelar sarjana ekonomi, Wiji justru memilih jalur hidup yang jauh berbeda. Ia telah meninggalkan bangku sekolah sejak duduk di kelas dua SMA.

Kepada teman-temannya, Wiji sering berkata dengan nada getir namun yakin, "Ruang kelas itu seperti penjara. Sekolah tak mengajarkanku menjadi manusia yang bebas berpikir, tapi malah menuntutku menjadi robot, dikendalikan oleh remote bernama guru dan orangtua."

Keputusan itu membuat Mispan, bapaknya, murka bukan kepalang. "Mau jadi apa kamu kalau nggak sekolah?!" bentaknya waktu itu, dengan wajah merah padam menahan amarah.

Tapi Wiji memang bukan anak yang bisa ditundukkan hanya dengan suara keras. Semakin dimarahi, justru semakin keras pula ia melawan.

Hari-hari Wiji menghabiskan waktunya di jalanan. Keluyuran tanpa arah, ngalor-ngidul bersama gerombolannya, menjadi rutinitasnya tiap malam.

Berangkat sore, pulang pagi — seperti burung malam yang tak pernah tahu kapan harus kembali ke sarang. Ia liar, garang, dan suka melawan aturan.

Sementara itu kakaknya Halimah, semenjak merampungkan kuliahnya di fakultas ekonomi universitas negeri Halimah memang hanya bantu-bantu urusan pekerjaan bapaknya.

Dahulu ia juga sempat ikut tes CPNS tetapi gagal untuk mendapatkan pekerjaan yang di inginkannya. Akhirnya iapun memutuskan untuk menikah saja dengan seorang laki-laki pilihan orangtuanya, terutama pilihan Mispan bapaknya.

Mispan menjodohkan putrinya itu dengan Muhammad Arifin seorang pemuda dari keluarga priyayi anaknya Kaji Jahuri.

Kaji Jahuri adalah rekan bisnis Mispan. Dahulu saat Mispan masih melarat-melaratnya Kaji Jahuri-lah yang membantunya membuka bisnis ternak ayam petelur. Sama seperti Mispan, Kaji Jahuri juga seorang peternak ayam petelur dan juga juragan ladang tebu yang di kenal sangat tajir melintir di Wonosari.

Sementara itu, Muhammad Arifin, meskipun kini masih tinggal serumah dengan mertuanya, Kaji Mispan, perlahan ia mulai menapaki jalan hidupnya sendiri. Ia dikenal sebagai pengajar tetap di pesantren Bahrul Hayat. Tempat dimana dulu dia mondok.

Ia adalah lulusan Pondok Pesantren itu, pesantren salaf yang terletak tak jauh dari Wonosari. Didikan pesantren membentuknya menjadi pribadi yang tenang, bersahaja, namun tegas dalam prinsip.

Sebab itu, atas dorongan istrinya dan dukungan masyarakat sekitar, Arifin juga mendirikan sebuah yayasan untuk anak-anak yatim piatu, yang ia beri nama Darul Wafa.

"Yur!, sayur...." Teriak Jumadi pedagang sayur melewati depan rumah Mispan.

Halimah yang mendengarnya langsung menghampirinya.

"Sawi hijaunya ada Pak Jum?" Sambil berjalan pelan Halimah menghampiri Jumadi yang mangkal di pertigaan jalan dekat rumahnya. Terlihat tetangganya Yu Kastun dan Bu Hartini sudah disana.

"Oh ada Nduk!" Kata Jumadi sambil mengolak-alik dagangannya. "Kamu kerja dirumah saja ya, Nduk?" lanjut Jumadi.

"Oh, nggih Pak. Saya di rumah saja bantu-bantu usahanya bapak dan mas Arifin.

"Kok ndak sambil nyambi kerja yang lain. Eman-eman lo Nduk. Sekolah tinggi-tinggi kok ndak jadi apa-apa. Minimal jadi guru atau pegawai di kecamatan?" Yu Kastun menyela.

Halimah pun dibuat tidak nyaman dengan kata-kata Yu Kastun itu.

Orang-orang desa Wonosari memang menganggap kalau lulusan kuliah minimal iya jadi PNS, atau kariawan perusahaan, syukur-syukur jadi pejabat. Tapi bagi Halimah sepertinya lain.

"Saya sekolah tidak untuk mencari kerja Yu. Melainkan untuk menjadi manusia yang berkemampuan untuk mengembangkan potensi diri saya." Ucap Halimah.

"Bagi Saya untuk apa sekolah bahkan sampai perguruan tinggi jika pada akhirnya hanya bermental budak. Mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Keluar masuk pintu kantor-kantor perusahaan sambil nyangking ijazah hanya untuk ngemis-ngemis pekerjaan. Begitu kena PHK keliling lagi kesana-kemari ngemis lagi. Tanpa pernah mau berpikir untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri)." Lanjut Halimah sedikit emosi.

"Eeeee, begitu to!" Balas yu Kastun pendek.

Dan Halimah melanjutkan kata-katanya. "Saya lebih suka bergaul dengan telek ayam di kandang milik bapak saya serta membantu urusan pekerjaan suami saya. Saya tak pernah merasa malu meskipun setiap hari badan saya harus gimbal telek. Daripada harus duduk di kursi sebagai sekertaris misalnya. Tapi harus ngemis-ngemis dulu."

Yu Kastun pun menanggapinya agak serius. "Iya juga sih Nduk. Tapi beruntungnya kamu anaknya orang kaya. Yang kuliahnya bisa di tanggung sama orangtuamu, tanpa harus mengorbankan harta benda yang berharga. Sementara teman-temanmu yang lain demi bisa kuliah harus menjual sawah milik bapaknya, menghabiskan harta apapun yang ada."

"Yang berhasil menjadi orang mapan terus hidupnya pindah ke kota karena alasannya lebih dekat dengan tempat kerjanya atau karena ikut pasangannya masing-masing. Sementara yang gagal hanya bisa meratapi nasibnya sambil gigit jari." Sambung yu Kastun.

"Sesungguhnya baik yang mapan maupun yang gagal sama saja, Yu. Sama-sama tidak mampu mengembalikan sawah bapaknya. Anaknya lulusan sarjana bapaknya tetap saja menderita, bahkan kian bertambah penderitaannya. Karena bapaknya sudah tidak bisa lagi menanam padi. Itu saya mengalami sendiri, Yu." Sela Jumadi

"E,e,e, mosok to pak Jum?" Sahut Jumadi.

"Anak saya si Jatmiko dulu minta kuliah saya jual-kan lima petak sawah. Dan kini ia sudah lulus. Setelah lulus dia langsung menikah. Sekarang dia ikut mertuanya dan berkerja sebagai guru honorer di kota." Tambah Jumadi.

Yu Kastun menambahi "Ya bener, Kang. Yang rumahnya jauh paling-paling mereka akan datang menjenguk orangtuanya setahun sekali ketika hari lebaran saja. Datang membawakan beberapa oleh-oleh dari kota. Ibunya diberi sejumlah uang untuk belanja. Walaupun tak seberapa yang penting memberi."

Bu Hartini tak mau ketinggalan "Terus bapaknya di belikan setelan busana, sarung baju batik dan peci. Tetapi ketika pamit pulang mereka bawa pisang satu tundun, singkong satu karung, kelapa satu janjang, di tambah sayur-sayuran di tumpuk di bagasi mobilnya, bahkan anak marmut pun tak luput mereka bawa.

"Eeemmm... Betul itu Bu Har... belum lagi nanti ibunya masih nyangoni cucu-cucunya. Uang yang tadinya diberikan kepada ibunya buat belanja, pada akhirnya harus kembali lagi ke kantong anak-anaknya." kata Yu Kastun.

"Memang sungguh beda ya sama nasib keluarga Pak Kaji Mispan yang serba berkecukupan." Sahut Bu Hartini sambil milih-milih sayuran.

"Tetapi serba berkecukupan juga belum tentu hidupnya penuh senyuman." Pungkas Halimah. Lalu ia membayar sayur-sayurannya dan langsung pulang meninggalkan mulut-mulut yang telah merajam dirinya itu.

******

Matahari sudah merangkak naik ke sepertiga langit. Waktu di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh dua. Dengan wajah kusut, rambut awut-awutan, dan mata yang masih berat, Wiji pun bangkit dari ranjangnya.

Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam: celana jins robek di bagian lutut dan kaus hitam bergambar tengkorak dengan tulisan "Death Before Dishonor".

Aroma malam masih melekat di tubuhnya. Seperti tak peduli dengan kejaran dunia, ia berjalan malas menuju kamar mandi.

Ia membasuh wajahnya yang .....yah, tidak bisa dibilang tampan-tampan amat. Kulitnya sawo matang khas anak kampung tropis, rambut ikal seperti tak pernah disentuh sisir, bibir tebal, dan matanya lebar.

Satu-satunya yang bisa dibanggakan hanyalah hidungnya yang mancung, serta postur tubuhnya yang jangkung —mirip artis-artis Bollywood yang digilai para emak-emak rempong.

Ia membasuh wajahnya seadanya. Lalu, tanpa banyak pikir, ia mengeluarkan ilep-nya (senjata alami pria sejagat raya), lalu mengarahkannya ke kloset. Disemprotkanlah uyuh-nya itu ke dinding sebelah kloset, layaknya seperti petugas pemadam kebakaran. Selesai, tanpa dibilas, tanpa rasa bersalah, ilep itu langsung dikembalikan ke posisi semula.

Keluar dari kamar mandi, Wiji berjalan ke dapur. Ia melirik ke meja makan— disana telah tersedia nasi hangat, lengkap dengan sayur bobor bayam, tempe goreng, dan sambal terasi. Perutnya pun langsung bernyanyi riang. Tanpa ba-bi-bu, ia ambil piring dan sendok. Lalu duduk. Dan makan. Dengan lahap.

“Eh, cah bagus sudah bangun.”

Suara lembut itu muncul dari balik punggung Wiji, tepat ketika ia meluncurkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia menoleh. Iya. Itu ibunya, Ruqayah.

“Jangan lupa, nanti habis makan bantu mbakyumu nganterin telur ke tokonya Kaji Umar di Pasar Legi,” sambung Ruqayah, pelan tapi tegas, sambil membereskan sisa-sisa lauk di atas meja.

“Iya, Mak,” jawab Wiji sopan. Suaranya pelan, tapi cukup terdengar tulus.

Wiji sebenarnya anak yang cerdas. Otaknya encer. Tapi sayangnya, kecerdasannya lebih sering tenggelam di bawah bayang-bayang sosok bapaknya yang arogan.

Di rumah itu, suaranya kecil, bahkan cenderung padam. Ia lebih sering diam, pura-pura bodo amat, padahal hatinya sering menyimpan banyak hal.

Sebelum berangkat menunaikan tugas dari sang ibu, ia sempat mengganti pakaiannya. Celana jins cingkrang dan kaus kerah putih menjadi pilihannya kali ini—setelan khas anak muda desa yang masih ingin terlihat style meski hanya nganter telur.

“Jiiiiii... ayo cepetan! Keburu hujan tuh!”

Suara teriakan mbakyunya, Nur Halimah, menggema dari teras depan.

Tapi Wiji tak langsung menjawab. Ia berjalan saja pelan, santai, seperti biasa. Baru ketika pintu depan dibuka, tiba-tiba sosok wanita berhijab ungu menyembul di hadapannya. Spontan, ia terlonjak kaget.

“Woi, diancuk! Ngagetin aja!” serunya refleks.

“Astagfirullah, mulutmu itu loh... ndak sopan!” tegur Nur Halimah, menatapnya dengan sorot sedikit marah. “Kamu tadi ganti baju apa ganti KTP, kok lama banget?”

“Haaaah... cerewet,” sahut Wiji, sebal. “Iya, sudah... ayo berangkat sekarang.”

Tanpa mau berdebat, ia segera menuju ke samping rumah, ke arah mobil pick-up L300 warna hitam yang biasa dipakai untuk usaha keluarga. Setelah memastikan mesin hidup, ia membuka pintu dan memanggil mbakyunya.

“Ayo, Mbak! Kok malah sampean yang loading sekarang?” serunya sambil menunggu.

“Iya, iya, iya…” sahut Halimah dengan nada setengah sinis. Tapi wajahnya tetap kalem, seperti biasa.

Mereka pun berangkat, menuju kandang ayam di tengah kebun untuk mengambil beberapa peti telur. Setelah itu, mereka akan mengantarkannya ke toko milik Kaji Umar di Pasar Legi.

Dalam urusan usaha keluarga, Wiji hanya ditugasi jadi sopir sekaligus tukang bongkar muat barang bersama para kuli. Bapaknya lebih mempercayakan urusan keuangan dan transaksi kepada Halimah—putri sulung yang jadi kebanggaannya.

Hal itu wajar. Halimah lulusan sarjana ekonomi. Cantik, cekatan, dan punya perhitungan yang rapi. Ia juga dikenal rajin dan disiplin.

Dialah yang selama ini menjadi otak bisnis telur ayam hasil ternak bapaknya, mendistribusikannya ke beberapa wilayah di sekitar kabupaten. Usahanya makin hari makin berkembang, berkat campur tangan Halimah yang telaten dan piawai menata jalur niaga.

*********

Langit mendung masih menggantung rendah, menggiring hawa dingin tanpa menurunkan hujan. Seperti menahan tangis yang belum sempat pecah. Di kandang ayam milik Mispan yang terletak di tengah kebun jeruk, suasana pagi itu memanas—bukan karena matahari, tapi karena suara bentakan sang pemilik yang sedang membakar amarah.

“Kalau kerja itu ya yang benar! Tau waktu! Kapan waktunya kasih pakan, kapan waktunya ngambil telur, kapan waktunya istirahat!”

Suara Mispan meledak-ledak, matanya melotot pada para kuli. “Jadi orang itu kudu disiplin. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Saya!”

Di depannya, beberapa kuli tertunduk. Ada yang hanya diam, ada pula yang mencoba memberi penjelasan.

“Maaf, Pak... tadi kami bangunnya agak kesiangan,” ucap Ngateno, kuli paling tua di antara mereka. Suaranya pelan, seperti menahan malu.

Mispan mengibaskan tangan. “Iya sudah. Sekarang ringkus bangkai-bangkai ayam yang mati itu! Bungkus karung, buang ke kali Brantas. Dan jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi. Bisa bangkrut saya!”

Wajahnya masih memerah, napasnya berat, dan tanpa menunggu lebih lama ia melenggang pergi dengan motor bebeknya yang sudah tua tapi masih galak suara knalpotnya. Tangan kirinya menyentil gas, dan tubuhnya langsung melesat keluar kebun.

Tak lama berselang, suara mobil pickup terdengar memasuki area kandang. L300 hitam itu datang melaju pelan, membawa Wiji di balik kemudi, dengan Nur Halimah duduk di sebelahnya. Mispan yang belum jauh langsung memutar balik sebentar.

“Hob... parkir di situ saja,” katanya cepat. “Telurnya ada di gudang. Nanti biar dibantu Pak Ngateno dan anak-anak, mengangkutnya ke bak.”

Tanpa banyak komentar, tanpa senyum, Mispan kembali tancap gas.

Wiji dan Halimah hanya bisa saling melirik, plonga-plongo, menatap motor bapaknya yang makin jauh di ujung jalan.

“Ya udah,” gumam Wiji sambil menghembuskan napas. Ia segera turun dari mobil, menghampiri beberapa kuli untuk mulai menimbang peti-peti berisi telur yang telah disortir.

Satu per satu, peti diangkat ke bak mobil. Keringat mulai mengalir meski matahari tak menampakkan wajahnya.

Sementara itu Halimah sudah sibuk dengan nota-nota dan kalkulator kecil di tangannya. Jemarinya menari menghitung jumlah telur. Wiji, dengan kaus kerah putih dan celana jins cingkrangnya, sibuk memuat.

Selesai semuanya, Wiji mengajak Pak Ngateno naik ke bak belakang untuk berjaga selama perjalanan. L300 itu pun meluncur pelan menyusuri jalan kecil yang membelah hamparan sawah hijau. Jalannya tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk satu mobil lewat dengan hati-hati. Sisi kiri dan kanan dikepung padi yang masih muda.

Wiji menyetir santai. Tak terlalu cepat, tapi juga tak lamban. Di sebelahnya, Halimah masih asyik membolak-balik nota. Di belakang, Pak Ngateno duduk bersila sambil sesekali mengintip peti telur, memastikan semuanya aman.

Dan tepat saat mereka sampai di depan toko kelontong milik Kaji Umar, hujan turun deras—tanpa aba-aba, tanpa angin, tanpa gemuruh. Seolah-olah langit menunggu mereka sampai dulu sebelum menumpahkan segala isinya.

Beruntung, toko Kaji Umar memiliki kanopi lebar yang menjulur ke depan, cukup untuk melindungi mobil dan muatannya dari hujan. Telur-telur pun selamat dari kebasahan.

Wiji tersenyum miring, menatap langit yang tiba-tiba jadi penuh air.

“Mendung ini ngerti aja, aku tadi lupa bawa terpal,” gumamnya.

Dan hari itu, hujan seolah turun hanya untuk menguji kesiapan—dan keberuntungan.

“Eeaaa, hujannya turun!” seru Kaji Umar dengan wajah sumringah, menyambut kedatangan mobil pick-up yang baru saja berhenti di bawah kanopi tokonya. “Untung kamu sudah nyampe sini, Nak!”

“Nggih, alhamdulillah, Pak Kaji,” jawab Halimah sopan sambil tersenyum. Rambutnya yang sebagian tertutup kerudung tampak sedikit lembap terkena rintik hujan.

“Ngomong-ngomong, ini telurnya mau ditaruh di mana ya?” tanyanya kemudian.

“Oh iya, iya,” jawab Kaji Umar cepat, sambil menunjuk ke arah dalam toko. “Taruh saja di sudut sana, di sebelah tumpukan karung beras itu.”

Tanpa menunda, Halimah segera memberi aba-aba. “Ji, Pak Ngateno, bantu angkat petinya ya, ditaruh ke belakang sana.”

Dengan cekatan, Wiji dan Pak Ngateno turun dari bak mobil. Satu per satu peti berisi telur diangkat dan dipanggul masuk, melintasi lorong toko yang penuh dengan rak-rak berisi sabun, minyak goreng, mi instan, dan barang kelontong lainnya.

Lantai yang lembap akibat hujan membuat mereka harus ekstra hati-hati. Telur-telur itu dipindahkan ke sudut ruangan yang sedikit gelap, dekat tumpukan karung beras dan kardus-kardus deterjen.

Hari itu, seperti biasa, Halimah mengantar pesanan telur dari kandang Mispan ke toko Kaji Umar.

“Gimana, Pak Kaji? Pasar hari ini ramai?” tanya Halimah sambil menutup buku nota dan menatap wajah Kaji Umar yang duduk di kursi kasir, ditemani kipas angin tua yang menderu pelan.

“Alhamdulillah, Nduk. Dibilang ramai, ya ndak ramai. Dibilang sepi, ya ndak juga. Tapi cukuplah... buat ngisi toko, buat makan seadanya,” jawabnya dengan senyum tipis.

Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan kata-katanya:

“Pasar itu selalu menawarkan harapan yang manis... meskipun kadang kenyataannya pahit. Tapi ya di sinilah hidup kami. Tempat kami menggantungkan rejeki, dan menjaga mimpi.”

Tangannya yang mulai berkeriput sibuk menghitung uang pembayaran telur. Jemarinya lambat tapi tetap teliti, menata lembar demi lembar.

Halimah mengangguk, memahami betapa pasar ini lebih dari sekadar tempat berdagang. Ia adalah kenangan hidup dan ruang perjuangan. Di tahun 2007, dunia memang sudah mulai berubah, tapi di desa seperti Wonosari—pasar masih jadi jantung kehidupan.

Sudah bertahun-tahun Kaji Umar menjadi pelanggan setia Mispan. Telur dari kandang di kebun jeruk itu selalu menjadi andalannya untuk mengisi stok di toko kelontongnya.

Biasanya, sebulan sekali ia minta diantarkan sepuluh peti. Tapi jika mendekati musim ramai—seperti menjelang hari raya atau musim hajatan—jumlahnya bisa melonjak dua kali lipat.

Hubungan antara keluarga Kaji Umar dan Mispan bukan hanya sebatas mitra dagang. Mereka bersahabat, bahkan seperti saudara. Sesama bergelar Haji, keduanya saling menghormati. Kaji Umar, yang lebih muda, menganggap Mispan seperti kangmas-nya sendiri. Sebaliknya, Mispan merasa nyaman bertransaksi dengan seseorang yang satu frekuensi, baik dalam dagang maupun dalam sikap.

Toko kelontong milik Kaji Umar menempati salah satu ruko tua di deretan barat Pasar Legi. Ia menjalankannya bersama sang istri, Hajah Raminten, yang selalu tampil dengan daster batik dan suara lantang saat menawarkan harga ke pelanggan tokonya.

Sudah lebih dari dua puluh tahun mereka menggeluti usaha ini. Pelanggannya bukan hanya warga pasar, tapi juga para pemilik warung dan toko kecil di desa-desa sekitar Kecamatan Wonotirto.

Pasar Legi sendiri dikenal luas sebagai pusat niaga yang ramai. Anak-anak muda kadang menyebutnya Pasar Manis—bukan karena tempat itu banyak penjual gulanya, melainkan karena arti harfiah kata legi dalam bahasa Jawa.

Nama itu berasal dari sistem penanggalan Jawa: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Dahulu, pasar ini hanya buka pada hari pasaran legi. Tapi kini, zaman berubah. Seperti halnya televisi yang dulu hanya dua saluran, tapi kini sudah berwarna dan bisa menyimpan siaran lewat VCD—demikian pula pasar legi: juga buka setiap hari.

Tahun 2007, Pasar Legi masih menjadi satu-satunya pasar tradisional yang hidup di Kecamatan Wonotirto. Tiga pasar lainnya—di wilayah selatan, timur, dan barat kecamatan—sudah lama tutup. Gulung tikar perlahan-lahan karena sepi, karena generasi baru lebih suka ke swalayan di kota-kota sekitar.

Zaman dulu setiap pagi, Pasar Legi riuh. Pedagang teriak menawarkan dagangan. Ibu-ibu menawar sambil menggendong anak. Aroma rempah, ikan asin, pisang goreng, dan tanah basah berpadu jadi bau khas yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini.

Kadang ada wacana dari kecamatan untuk membangun ulang Pasar Legi jadi pasar modern. Dengan ruko-ruko baru, lapak steril. Tapi para pedagang menolak halus. Mereka tahu, pasar modern itu bukan tempat bagi mereka yang hanya menjual beras eceran, minyak curah, dan sabun batang.

Langit masih gerimis tipis saat Wiji dan Halimah pamit pulang. Wiji kembali mengambil alih kemudi mobil pick-up. Jalanan lengang dan basah, diiringi rintik hujan yang belum sepenuhnya reda. Ia menyetir perlahan, melewati jalan yang sama seperti tadi—jalan desa yang penuh lubang, dipenuhi genangan air hujan.

Lubang-lubang itu sudah menganga sejak lebih dari setahun, menanti uluran tangan dari dewa kahyangan yang entah sibuk di mana. Barangkali tengah rapat koordinasi di awang-awang, membahas skema perbaikan jalan rakyat jelata yang selalu jadi janji manis saat musim kampanye saja.

Wiji hanya menghela napas, memelankan laju mobilnya, menerjang genangan. Sementara Halimah di sebelahnya diam, sibuk menatap keluar jendela, memikirkan masa depan pasar manis yang kini tak lagi semanis namanya.

bab 3

Gadis sinden itu bernama Asmarawati.

Orang-orang di Desa Wonosari memanggilnya Asmara — nama yang indah, seindah lengkung suaranya saat melantunkan tembang Jawa dalam panggung wayang.

Ia dilahirkan pada hari Kamis Pahing, 8 Februari 1990 — tepat sehari sebelum Gunung Kelud menggeliat dan kawahnya meraung memuntahkan amarahnya pada hari Sabtu Wage, 10 Februari 1990.

Hujan abu dan lahar Gunung Kelud menjadi iringan tangis pertamanya.

Langit menggurat kelam bumi Kediri dan sekitarnya. Di tengah kegaduhan alam yang mengguncang desa, seorang bayi perempuan menangis untuk pertama kalinya — seolah menyahut jerit gunung yang murka. Ia lahir bersama denting petaka, namun membawa suara yang kelak menyembuhkan luka-luka sunyi di hati manusia.

Sejak awal, hidupnya seolah sudah ditakdirkan bersisian dengan gegap bencana dan keindahan suara. Ia tumbuh di antara abu dan kidung; antara murka gunung dan bisikan sinden.

Suara Asmarawati dikenal seantero Kabupaten. Merdu, jernih, dan penuh rasa. Ia tidak sekadar menyanyi—ia nyinden. Suaranya menyatu dalam alur lakon, mengalir mengikuti denyut gamelan, menjelma jadi jembatan gaib yang menggiring para dewa dan ksatria menyeberang dari alam bayang ke palung batin para penonton.

Dalam setiap ucapannya, terselip mantra; dalam setiap desah nadanya, ada roh yang bangkit. Ia bukan hanya pelantun tembang, tapi penjaga ruh pertunjukan itu sendiri.

Sejak kecil, jalan hidupnya seolah sudah digariskan untuk menjadi seorang pesindhen. Ibunya adalah sinden senior yang masih aktif manggung dari desa ke desa, sementara ayahnya seorang dalang wayang kulit — memang tak setenar para dalang besar, tapi cukup disegani di lingkaran seniman lokal.

Kini 2007 usianya baru genap tujuh belas tahun, dan ia masih duduk di kelas tiga di SMA Negeri dua. Di antara tumpukan buku pelajaran dan jadwal ujian, ia juga memanggul warisan budaya yang tak ringan.

Terlahir dari keluarga pelaku seni tradisional Jawa, Asmarawati sudah akrab dengan dunia wayang, gamelan, dan tata kehidupan yang mengakar kuat pada adat serta kebudayaan Jawa. Sejak belia ia hidup dalam suasana yang nyaris serupa lingkungan keraton: penuh aturan, tata krama, dan kesantunan yang tak boleh luntur.

Sejak usianya masih belum genap sepuluh tahun, ia sudah diajari bagaimana mengikat kemben dengan rapi, menata sanggul sebesar roda becak di kepala, merias wajah dengan cermin kecil berbingkai kuningan, hingga menyuarakan tembang-tembang Jawa yang rumit nadanya, dan dalam maknanya.

Semua itu bukan hal mudah. Tapi bagi Asmarawati, begitulah kehidupan seorang pesindhen — bukan hanya menyanyi, tetapi juga mewakili laku hidup yang halus, lembut, dan teratur. Gendhing-gendhing, kesusastraan, pitutur luhur, dan adab perilaku Jawa telah menjadi santapan hariannya. Bahkan caranya melangkah, menunduk, dan berbicara — semua mencerminkan laku yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Asmarawati tumbuh seperti bunga puspa di tengah kerasnya zaman. Ia berbeda dari teman-teman sebayanya, yang lebih akrab dengan HP dan musik pop band kekinian, seperti Kangen Band, ST 12, Radja, Ratu, T2.

Di saat mereka sibuk dengan dunia modern, Asmarawati justru sibuk menghafal cakepan wangsalan, menyelaraskan suaranya dengan bunyi kenong dan gender, dan menjaga agar tiap gerak tubuhnya tetap menari dalam adab Jawa yang nyaris punah.

_

Asmarawati mulai belajar tarik suara dan menari sejak usianya baru lima tahun — ketika anak-anak seusianya masih sibuk bermain boneka dan menggambar pelangi di atas kertas. Ia sudah bersentuhan dengan dunia tembang dan cengkok, dunia suara yang penuh liku dan tata nada yang sulit dipahami bagi telinga awam.

Sejak kecil, ia telah diajari melagukan tembang-tembang Jawa klasik yang bahasanya penuh kias dan makna dalam.Tak hanya itu, ia juga belajar langgam campursari, dengan cengkok-cengkok yang tajam, meliuk, bahkan terasa “mencekik”.

Dan semua itu ia pelajari langsung dari ibunya — Sundari, seorang pesindhen kawakan yang namanya dikenal dari panggung ke panggung, meski tetap rendah hati dan bersahaja.

Bagi Sundari, mengajari Asmarawati bukan sekadar mewariskan keterampilan, melainkan menanamkan nilai hidup.

Dengan sabar dan telaten, ia melatih putri semata wayangnya itu. Setiap gerakan tangan, setiap tarikan napas dalam menyanyi, setiap lenggok kepala saat membungkuk di panggung — semua diajarkan dengan kelembutan dan cinta seorang ibu yang tak ingin warisan budaya itu musnah di tengah zaman yang kian terburu-buru.

Sebagai anak satu-satunya, harapan besar digantungkan pada pundak Asmarawati. Ia adalah bunga terakhir di taman kecil milik Sundari dan suaminya, Ratmoyo — seorang dalang sederhana yang setia pada jalan hidupnya.

Mereka berdua menaruh impian yang sama: kelak, Asmarawati bisa tumbuh menjadi pesindhen yang tak hanya bersuara merdu, tapi juga mengerti makna dari setiap tembang yang ia nyanyikan.

Bagi mereka, Asmarawati bukan hanya penerus darah dan nama keluarga. Ia adalah harapan agar wayang tetap bisa bersuara, agar gamelan tetap berdentang, agar suara Jawa tetap hidup di tengah hiruk pikuk zaman yang kerap lupa pada akar dan tanah kelahiran.

"Sumi sumi pancen ayu

Kembang desa asli Wonosari

Sumi Sumi pancen ayu

Sumpah mati aku tresna sliramu"

Asmarawati bersenandung pelan, lagu lirih yang mengalun dari bibirnya seolah menenangkan hawa siang yang mulai gerah. Sambil sesekali mengelap peluh di keningnya, ia membantu sang bapak merapikan alat-alat gamelan di pendhapa sebelah rumah — pendhapa tua yang jadi saksi perjalanan panjang keluarganya dalam dunia karawitan.

Sejak pagi bayangan sisa tanggapan semalam masih terasa lekat. Alat-alat gamelan berbahan kuningan tampak berserakan tak beraturan.

Gender, demung, saron, peking, kenong, bonang, gambang, kempul, kendhang—semuanya ditinggal begitu saja oleh para kru dan wiyaga yang terburu pulang. Tak sedikit dari mereka yang kurang punya rasa tanggung jawab; habis dipakai, mereka langsung glethak-glethek menaruh alat tanpa peduli urusan setelahnya.

Ratmoyo, ayah Asmarawati, berkali-kali menarik napas dalam. Rasa jengkel sempat mampir, namun lagi-lagi hanya ia simpan hati.

Menegur anak-anak zaman sekarang itu risikonya besar: mudah tersinggung, gampang mutung. Kalau sudah begitu, bisa-bisa mereka pindah ke dalang lain. Sedangkan mencari pengganti yang sepadan bukan perkara mudah.

“Sudah selesai, Nduk. Sekarang kamu istirahat dulu. Kasihan badanmu, semalam melek sampai pagi, masih lanjut sekolah pula. Empat hari lagi kita tanggapan lagi, di rumahnya Pak Lurah,” ucap Ratmoyo seraya menguap lebar, matanya sayu menahan kantuk.

“Nggih, Pak...” jawab Asmarawati lirih. Lelah jelas tergurat di wajahnya.

Tadi siang saat jam istirahat sekolah, ia sempat memejamkan mata, tapi hanya sekejap. Bel pun segera berbunyi, dan ia kembali harus duduk tegak, memaksakan diri mengikuti pelajaran dengan mata yang nyaris tak bisa terbuka.

Meskipun namanya tak seharum bayang-bayang sang ayah, Ki Sanusi, namun Ki Ratmoyo dan saudara-saudaranya tetap setia menapaki jejak warisan leluhur: melestarikan kesenian wayang dan gamelan lewat kelompok Ngudi Laras.

Mereka melanjutkan perjalanan panjang yang pernah ditempuh ayahnya—seorang dalang kawakan yang kini sudah sepuh, renta, dan memilih untuk mengundurkan diri dari gegap gempita panggung pertunjukan.

Kini, Ki Sanusi tengah menikmati masa senjanya. Hari-harinya diisi dengan beristirahat di serambi rumah, menghirup udara pagi sambil menimang cucu-cucunya.

Sementara itu, sang istri tercinta, Bu Pariyem, telah lebih dahulu pergi menghadap sang pencipta. Lima belas tahun silam,

“Assalamualaikum, Ki. Bagaimana kabarnya?”

Dari dalam ponsel Nokia berantena, suara seorang laki-laki terdengar jelas, menyapa Ki Ratmoyo yang tengah duduk santai di bangku kayu jati di samping rumah. Sore itu angin berhembus pelan, membawa aroma dedaunan dan kenangan lama.

“Waalaikumsalam. Alhamdulillah, berkat pangestu dari Pak Gondo, saya sehat walafiat. Lha panjenengan sendiri pripun pawartose?” sahut Ki Ratmoyo dengan suara ramah, senyumnya mengembang.

“Alhamdulillah, Ki. Kulo ugi sae, mboten kirang setunggal punopo.” Suara di seberang terdengar nyaring, mengandung semangat dan tawa yang bersahabat.

Ki Ratmoyo terkekeh pelan, hatinya hangat. “Ada perlu apa, Pak? Tumben. Jarang-jarang lho panjenengan telepon saya.”

“Hahaha, leres, Ki. Saya memang ada perlu ini,” jawab suara di ujung sana sambil tergelak ringan.

“Ohhh, memangnya ada perlu apa, Pak? Kalau buat panjenengan, insyaallah saya usahakan. Asal jangan yang saru-saru,” canda Ki Ratmoyo, matanya berbinar jenaka.

“Begini, Ki. Ada teman saya yang mau mengadakan pertunjukan wayang. Rencananya hari Senin depan. Nah, kira-kira hari itu panjenengan kosong tidak? Kalau tidak bentrok, saya usul njenengan saja yang ngisi acara itu. Gimana, bisa?”

Mendengar tawaran itu, wajah Ki Ratmoyo langsung sumringah. Ia duduk tegak, seolah ia mendapatkan suntikan semangat baru.

“Oh, nggih, nggih, tentu bisa, Pak. Insyaallah saya kosong hari itu. Senin, ya? Siap, siap!”

“Hehehe, bagus kalau begitu. Nanti saya sampaikan ke teman saya, biar segera disiapkan panjernya.”

“Hahaha... Kalau soal panjer itu gampang, Pak. Yang penting kan deal dulu!” sahut Ki Ratmoyo sembari tertawa lepas, menandakan hatinya riang.

Angin sore berhembus pelan. Obrolan singkat itu menambah semangat hidup Ki Ratmoyo yang setia dengan dunia yang dicintainya: panggung, gamelan, dan bayang-bayang para wayang.

“Telepon dari siapa, Pak?”

Tiba-tiba suara Sundari terdengar dari arah jendela samping. Wajahnya menyembul di balik tirai, penasaran.

“Lho, memang kalau urusan duit, kuping perempuan itu paling jernih,” gumam Ki Ratmoyo sambil menggeleng pelan.

“Dari Pak Gondo, Bu. Panjenengane minta kita isi acara wayangan di—”

“Wah, iya? Kapan itu, Pak?” potong Sundari cepat-cepat, antusiasnya langsung menyala.

“Dengarkan dulu, to!” tegur Ki Ratmoyo, agak kesal.

“Hehehe, maaf, Pak,” jawab Sundari sambil tertawa, wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa senang.

“Acaranya hari Senin depan. Nah, kebetulan jadwal kita kosong hari itu. Jadi iya, sudah Bapak terima saja tawarannya,” jelas Ki Ratmoyo sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi.

“Bagus, Pak. Bagus!” seru Sundari, matanya berbinar. “Kalau begitu, Ibu catat dulu di buku jadwal. Biar nanti nggak lupa.”

Tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut, Sundari langsung mencatat tanggalnya di buku catatan yang selalu ia simpan. Tambahan satu job lagi di bulan ini membuat total tanggapan mereka menjadi lima jadwal. Bagi keluarga kecil ini, itu adalah anugerah yang layak disyukuri.

Sebab, meskipun Ki Ratmoyo adalah seorang dalang, yang namanya tidaklah sekondang bapaknya dulu, Ki Sanusi, yang sempat menjadi bintang di berbagai panggung dari kota ke kota. Ratmoyo lebih banyak berkiprah di seputar kabupatennya saja.

Ia sadar betul, pamornya tidak secerah generasi sebelumnya. Tapi bukan popularitas yang ia kejar—melainkan kelangsungan hidup kesenian yang telah diwariskan turun-temurun itu.

Di tahun 2007 ini, meski panggilan pentas tidak selalu datang bertubi-tubi, Ki Ratmoyo tetap menikmati profesinya. Dalam sebulan, paling banter ia mendapat empat hingga enam tanggapan. Itu pun sudah termasuk kategori ramai.

Persaingan antar dalang kian ketat, dan minat masyarakat terhadap wayang semakin memudar—terutama di kalangan muda. Belum lagi biaya produksi yang tidak sedikit, dan minimnya dukungan dari pihak-pihak yang dulu peduli pada kesenian tradisional.

Namun begitu, ia tetap bersyukur. Sebab meski tidak setiap hari berpentas, rezeki dari beberapa tanggapan itu masih cukup untuk menghidupi keluarganya dan para kru. Setidaknya jauh lebih baik daripada kondisi beberapa tahun lalu.

Masih lekat dalam ingatan mereka saat negeri ini dilanda krisis besar tahun 1998. Kala itu, harga-harga meroket, uang tak lagi punya arti, dan rakyat turun ke jalan menuntut keadilan. Kisruh politik dan krisis moneter membuat panggung-panggung seni ikut sepi.

Krisis 1998 mencekik rakyat kecil. Semua harga kebutuhan pokok meroket tajam. Tak ada lagi pesta rakyat. Tak ada pertunjukan. Semua dicekam ketakutan dan ketidakpastian. Dunia seakan berhenti, bukan karena wabah, tapi karena kejatuhan sebuah rezim.

Panggung-panggung terbungkam. Gamelan berdebu. Di kotak, wayang ditumpuk bisu. Ki Ratmoyo dan para krunya hanya bisa menatap kosong hari-hari tanpa harapan.

Banyak seniman kampung kehilangan panggilan. Bahkan, salah satu rekan dagelan, Cak Maput, Ngidung jula-juli dengan syair-syair yang pahit.

"—Tuku trasi nang Suroboyo

Jare repormasi kok tambah nelongso.—

—Nabuh kendang kliru kempul

Najan ora adang sing penting kumpul—

Ratmoyo hanya tertawa getir waktu itu, meski hatinya perih. Tapi begitulah nasib seniman: kadang bersinar di atas panggung, kadang terjerembab dalam gelap yang tak seorang pun peduli.

Situasi saat itu sungguh babak bundhas. Kalau tidak ikut arus politik, bisa dilabeli macam-macam. Tapi kalau terlalu vokal, bisa ikut terseret. Sementara di rumah, dapur tetap harus ngebul. Anak-anak tetap butuh makan. Maka, demi menyambung hidup, Ki Ratmoyo terpaksa harus berutang ke sana-sini—bukan untuk gaya hidup, tapi sekadar untuk menanak nasi.

Dengan wajah lelah namun tetap bersahaja, ia pernah berbisik lirih pada istrinya: “Kalaupun harus mati, semoga bukan karena keluwen. Cukup wayang-wayangku saja yang digantung. Jangan nyawa orang rumah.”

Kini masa-masa itu telah berlalu, meski jejaknya masih membekas di dinding hati dan lemari kenangan.

Reformasi memang telah membuka jalan baru,

tapi tak semua orang bisa langsung berjalan tegak di atasnya. Jalan itu belum beraspal rapi. Masih penuh kerikil dan genangan ketidakpastian.

Ki Ratmoyo kembali naik panggung, tapi dalam hatinya masih tertinggal abu zaman yang dulu sempat membakar segalanya—harga-harga melambung, panggung-panggung sepi, dan seniman dipaksa bungkam oleh keadaan.

Kini, di tengah dekade 2000-an, Ki Ratmoyo dan kelompok Ngudi Laras mencoba bangkit perlahan.

Menghidupkan kembali gamelan yang sempat bisu.

Mengangkat lagi wayang-wayang yang lama terdiam dalam kotak berdebu.

Menghubungi lagi jaringan lama: lurah, panitia sedekah bumi, takmir masjid, dan kenalan dalang dari desa tetangga. Mereka mulai menerima tanggapan-tanggapan kecil—di dusun, di hajatan sunatan, di peringatan maulid, bahkan kadang di teras rumah warga yang sempit tapi penuh tawa.

Tak mengapa. Yang penting ada suara. Ada pentas. Ada harapan.

“Yang penting ada yang bisa dimasak, bisa dimakan,” kata Sundari, istrinya, suatu sore sambil mengaduk sayur lodeh di pawon.

Kalimat sederhana itu, bagi Ratmoyo, sudah cukup menjadi doa panjang: Semoga tanggapan lancar.

Semoga panggung tak lagi sepi. Semoga Ngudi Laras tetap bisa laras, meski hidup kadang fals.

Ia tahu, dunia telah berubah. Anak-anak muda mulai lebih akrab dengan dangdut koplo dan organ tunggal. Panggung tradisi makin tergeser oleh pertunjukan yang lebih praktis dan instan.

Tapi Ki Ratmoyo percaya, selama bumi masih berpijak, suara kendang dan tembang sinden takkan benar-benar padam. Ia percaya, bahwa kesenian—meski tersisih—tetap punya tempat di hati yang bersih.

******

Hari kian sore. Mentari mulai condong ke barat, dan sinarnya yang keemasan menyentuh pucuk-pucuk pohon dengan lembut. Inilah saat yang ditunggu Ki Ratmoyo untuk meregangkan kakinya. Duduk bersila semalaman sambil menendang keprak telah menyiksa otot-ototnya. Posisi duduk yang lama dan beban gerak kaki selama memimpin pakeliran membuat lutut dan pahanya nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum halus.

Ia pun berdiri pelan, meregangkan badannya, lalu mengambil sepeda onthel kesayangannya. Besi tua yang setia menemani sejak zaman belum banyak kendaraan bermotor.

Dengan santai ia kayuh sepeda itu keluar dari halaman rumah, menyusuri jalan-jalan desa Wonosari yang mulai sepi. Di kiri-kanan jalan, bayang-bayang pepohonan memanjang seperti sulur-sulur waktu yang melambat.

Ia mideri desa dari ujung ke ujung, dari gang ke gang. Melintasi jalanan berbatu dan berlubang, masuk ke lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah penduduk yang berjajar rapat. Anak-anak kecil berlarian, ayam-ayam kampung berseliweran, dan bau kayu bakar menguar dari dapur-dapur yang sedang ngenget janganan.

Sampailah ia di jalan tanggul yang membentang membelah persawahan, mengarah ke timur jembatan Kali Brantas.

Di sanalah ia berhenti sejenak, tepat di bawah rindangnya pohon akasia yang tumbuh berbaris di sepanjang bahu jalan. Ia tarik napas dalam-dalam, menikmati segarnya udara senja yang masih mengandung aroma basah lumpur sawah. Angin berembus pelan menyapu wajahnya, membawa serta suara gemericik air dan lenguhan kerbau dari kejauhan.

Tak ingin terlalu lama terlarut dalam sunyi, Ki Ratmoyo kembali mengayuh sepedanya, menyusuri jalanan menurun yang mengarah ke timur jembatan. Di sanalah berdiri sebuah warung angkringan sederhana milik Yu Kastun, yang sejak dulu menjadi tempat persinggahan para petani sepulang dari sawah.

Warung kecil itu tak besar, hanya berupa bangunan kayu beratap seng. Tapi selalu ramai di waktu sore seperti ini. Beberapa petani duduk santai di bangku panjang, menyesap kopi buatan Yu Kastun yang terkenal mantap.

Ada yang mengudap gorengan, ada pula yang hanya duduk sambil mengisap rokok kretek, mengobrol ringan membahas harga pupuk, cuaca, dan kondisi padi yang mereka tanam.

Ki Ratmoyo tersenyum melihat suasana itu. Kehangatan yang sederhana tapi tulus. Ia segera menyandarkan sepedanya di pohon ceri dekat warung, lalu berjalan pelan mendekati kerumunan.

"Lho, lho, Ki Ratmoyo rawuh...!" seru salah satu petani sambil menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. "Monggo pinarak, Ki. Kopi masih panas iki."

"Wah, kebeneran. Sikilku minta ampun pegele." jawab Ki Ratmoyo sambil tertawa kecil dan duduk di antara mereka.

Warung angkringan itu pun menjadi saksi dari obrolan hangat senja hari. Tentang tanaman, wayang, politik, dan kadang juga tentang nasib.

Di sela tawa dan tegukan kopi, Ki Ratmoyo merasa hidupnya masih menyatu dengan denyut desa, meski arus globalisasi melaju dengan cepatnya.

"Habis olahraga, Ki," sapa Makde Nasirun, lelaki tua berjenggot putih yang tengah menyeruput kopi dari lepek kecil di depannya.

"Oh, nggih Makde," jawab Ratmoyo sambil tersenyum. Ia bergeser ke kursi kayu panjang, duduk di sebelah Nasirun. "Gimana kabarnya, Makde? Tanamannya sae?"

"Alhamdulillah tanamannya subur, tapi harganya jeblok," keluh Nasirun sembari menggeleng pelan. Ia kembali menyesap kopinya, dalam-dalam.

"Sama saja," sahut Marjoko, yang baru datang. Badannya masih berkeringat, topi gunung tergantung di lehernya. "Tahun ini saya nanam bawang merah. Waktu masih bibit harganya tiga ribu per kilo. Eh, giliran panen turun drastis, tinggal seribu lima ratus. Tekor, Ki. Ibarat budhal wedhus, mulih tikus."

Tawa kecil terdengar dari warung, meski jelas itu tawa getir. Yu Kastun, si empunya angkringan, ikut menyahut dari balik selambu warungnya.

"Walah, kok semuanya pada sambat. Lha terus saya ini harus sambat ke siapa?" tanyanya sambil melipat lengan daster.

"Tenang wae Yu, bank plecit masih buka kok," goda Marjoko, sambil mengunyah tahu isi.

"Lambemu!" Yu Kastun menyeringai sambil nyengir hidungnya. "Utangku yang kemarin belum lunas, tak pakai buat modalin angkringan ini malah belum balik. Ndilalah, sekarang kamu malah nyuruh ngutang lagi. Memangnya kamu mau bayarin?"

"Lailahaillallah... ampun Yu," Marjoko angkat tangan. "Saya juga pusing. Gara-gara nambah modal tanam, sertifikat rumah nyangkut di bank. Belum lagi motor masih nyicil."

Angkringan sore itu menjadi ajang tumpah ruah keluh kesah. Obrolan yang berputar-putar di antara kegelisahan dan harapan yang nyaris pudar.

Ki Ratmoyo, yang sejak tadi hanya menyimak, mengangguk-angguk kecil. Ia paham betul: para petani inilah yang selama ini menopang hidup kesenian tradisional.

Di desa Wonosari, para petani adalah kekuatan budaya. Saat panen raya tiba, mereka urunan untuk nanggap wayang kulit, tayuban, atau campursari. Saat bersih desa, merti dusun, atau sedekah bumi,

Ki Ratmoyo menghela napas. Di tengah zaman yang semakin digital, hanya para petani ini yang masih setia menghidupi warisan leluhur. Merekalah penyangga kesenian tradisional. Dari merekalah, dalang seperti dirinya masih bisa berharap rejeki.

"Sabar dulu, Kang," ujar Ratmoyo akhirnya, mencoba menguatkan. "Siapa tahu tahun depan keadaan membaik. Tanaman panjenengan subur dan harganya naik. Wong sabar, rejekine jembar. Sopo sing nandur, mesti bakal ngundhuh."

Mereka semua terdiam. Kata-kata Ratmoyo meresap seperti kopi pahit yang diseruput perlahan.

Di desa Wonosari, ucapan seorang dalang seperti wejangannya seorang kyai. Terlebih Ratmoyo juga perangkat desa, ia menjabat sebagai Kamituwo. Sosoknya dihormati, dianggap sebagai priyayi desa, tempat orang menggantungkan harapan sekaligus nasihat.

Dalam pakeliran, Ratmoyo kerap menyisipkan petuah-petuah luhur. Lewat bahasa kias, ia menghidupkan wayang menjadi cermin kehidupan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu: tidak semua yang ia ucapkan mampu ia jalani sendiri. Ia sadar, bahasa seni kadang mengandung banyak tipu muslihat—seperti halnya novel ini.

********

Senja telah menepi di ufuk barat. Pancaran jingganya memulas langit, memantul lembut ke atap-atap rumah dan pepohonan di seluruh desa Wonoasri.

Di sebuah warung kecil milik Mak Sri, seorang wanita paruh baya masih sibuk melayani beberapa pelanggannya. Di antara antrean itu, berdiri seorang pemuda jangkung berkaos hitam, Wiji Santoso namanya.

"Beli rokok, Mak," ucap Wiji, sambil mengacungkan selembar uang sepuluh ribu rupiah.

"Oh iya, Le. Rokok apa?" sahut Mak Sri sambil mengelap tangan ke celemek lusuhnya.

Wiji menunjuk ke arah rak di belakang si penjaga warung. "Gudang garam Surya 12."

Saat Mak Sri tengah mengambilkan pesanan, tiba-tiba datang suara ceria dari samping kiri Wiji.

"Mak Sri, aku beli sampo!"

Seorang gadis berambut panjang melangkah ringan masuk ke warung. Ia berdiri tepat di sebelah Wiji, membawa aroma harum dari tubuhnya yang seolah mengusik udara sore yang tenang. Asmarawati.

"Eh, gendhuk, cah ayu, denok deblong... sebentar ya sayang," seru Mak Sri dengan nada ceria penuh keakraban.

Asmarawati hanya tersenyum manja, menggoyangkan kepalanya dengan gaya khasnya yang menggoda dan polos dalam waktu bersamaan. Namun senyumnya meredup saat ia menoleh ke kanan dan mendapati sosok Wiji berdiri di sampingnya. Seketika, wajahnya membeku. Ia menunduk malu.

"Mas...," sapa Asmarawati, lirih.

"Iya...," jawab Wiji agak kaget, suaranya bergetar tak tentu. Lalu buru-buru ia menerima uang kembaliannya duaribu lima ratus rupiah, dan melangkah cepat keluar dari warung, meninggalkan aroma canggung yang menggantung.

Ia menyebrang jalan menuju motornya, sebuah GL-MAX yang setia menemaninya. Ia duduk di atas joknya, diam sejenak, lalu menoleh kembali ke arah warung. Di sana, Asmarawati masih berdiri, menatapnya dari kejauhan. Rambut panjangnya menjuntai di punggung, berayun lembut diterpa angin sore.

Namun saat Asmarawati membalikkan badannya, Wiji buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, pura-pura tak melihat. Ia mencoba menghidupkan motornya — namun gagal. Berkali-kali ia menginjak pedal starter, tapi mesinnya tak juga menyala.

Baru setelah beberapa detik panik, ia sadar — kuncinya belum diputar ke posisi "on".

"Dobol...," umpatnya dalam hati, malu sendiri.

Akhirnya, setelah mesin hidup, Asmarawati tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapannya.

“Mau dianterin, Dhek?” Wiji mencoba bergurau, meski dalam hatinya ia sadar—jarak rumah Asmarawati dengan warung Mak Sri hanyalah sepelemparan sandal. Hanya dipisahkan satu rumah. Tak sampai tujuh meter.

Asmarawati terkekeh kecil, senyumnya geli. “Nggak usah, Mas. Deket kok.” Jawabnya ringan, tapi manisnya mampu membelah ruang hening di antara mereka.

Wiji membalas dengan senyum seadanya.

“Monggo, Mas.” Pungkas Asmarawati.

Ia pun berlalu pelan, melangkah pasti menuju rumahnya. Sementara itu, Wiji masih terpaku di atas jok GL-MAX miliknya. Tatapannya membuntuti langkah gadis itu—langkah ringan yang entah mengapa terasa berat di dalam dadanya. Ia amati gerakan demi gerakan, hingga akhirnya sosok Asmarawati lenyap ditelan pagar tanaman di halaman rumah. Daun-daun menyembunyikannya perlahan, seolah menutup tirai sebuah pertunjukan yang terlalu cepat selesai.

Wiji menghela napas panjang. Asap rokok di mulutnya mengepul ke udara, menari melewati ujung rambut gondrong yang menutupi dahinya.

Tiba-tiba dua sepeda motor GL-MAX meraung dari arah belakang. Yang satu dikendarai oleh pemuda berbadan tambun—siapa lagi kalau bukan Untung, dan satunya lagi oleh pemuda cungkring berambut keriting—Tejo, kawan sehidup semotor Wiji.

Dua makhluk paling nyeleneh yang selalu tampil dengan pakaian senada: celana jins sobek di bagian lutut dan kaos oblong hitam dengan gambar-gambar band rock luar negeri. Seperti Metallica, Bon Jovi, Scorpions, The Cranberries, Avenged dan lain sebagainya.

"Eh, munyuk! Ngapain kamu di sini?" tanya Untung sambil mematikan mesin motornya.

"Lagi nungguin kalian." jawab Wiji santai, sembari menyibakkan rambut gondrongnya yang tertiup angin sore.

"Sudahlah, ayo kita jalan!" sambungnya, lalu menarik tuas kopling dan melesat tanpa aba-aba.

"Eh, eh, tunggu dulu! Lah ini mau kemana? Woi, Ji…!"

Untung panik mencoba menahan, tapi suara knalpot Wiji sudah jauh mendahuluinya.

Tejo hanya mengangkat bahu, menyeringai. "Sudahlah, kita ikuti saja, Tung. Namanya juga Wiji."

"Ah, munyuk!" Hardik Untung lagi, sebelum akhirnya ikut menancap gas.

Tejo pun mengekor dari belakang, dan mereka bertiga pun melaju kencang di jalan bebatuan perkampungan, mengentak senja dengan suara knalpot brong yang membelah udara.

Ketiganya saling berkejaran, menyalip satu sama lain, seperti hendak balapan meski tanpa garis akhir.

Sampai di sebuah tikungan pertigaan, mereka hampir bersenggolan dengan seorang bapak-bapak tua yang baru pulang dari sawah. Di belakangnya tergantung dua karung gabah. Hampir saja ia jatuh karena motor Untung melintas terlalu dekat.

"Heh! Anak-anak setan! Bocah urak’an! Kalian pikir ini jalan milik embahmu apa?" teriak si bapak, marah-marah sambil menoleh ke arah mereka yang sudah hilang dibawa deru motor.

Tapi suara teriakannya hanya menggema di udara, ditinggal debu dan asap knalpot anak-anak GL-MAX yang urak'an.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!