ibu kota kekaisaran

Krskkk, krskkk...

Thanzi terus melangkah, menembus belantara Hutan Kegelapan. Setiap derap kakinya di atas dedaunan kering terasa seperti genderang perang dalam keheningan hutan. Ia tahu ini gila. Ia tahu ia tidak punya pengalaman apa pun.

Thanzi dari Bumi adalah pemuda kota yang akrab dengan layar ponsel dan gemerlap lampu neon, bukan bisikan angin di antara pepohonan kuno atau suara-suara misterius dari kegelapan. Tetapi tekadnya untuk tidak berakhir konyol seperti pemilik tubuhnya yang asli, ditambah pengetahuan akan bencana yang akan datang, memberinya keberanian yang aneh.

Matahari mulai condong, memancarkan semburat jingga di antara celah-celah kanopi hutan yang rimbun. "Ya ampun, lelah sekali," gumam Thanzi, mengusap keringat di dahinya.

"Sudah mau malam. Aku harus segera pergi dari hutan ini, kalau tidak, semuanya akan berakhir sampai di sini." Thanzi melangkah lebih cepat, meski tubuhnya sudah terasa sangat lelah dan napasnya memburu.

Kelembapan udara semakin pekat, dan suara-suara malam mulai terdengar.

Krukkk...

Perutnya berbunyi dan terasa melilit karena kelaparan. Sejak terbangun, ia belum makan apa pun. Ia merasa lelah, dan tubuhnya yang lemah dari pemilik asli terasa memberontak.

Srkkkk...

Tiba-tiba, suara gemerisik berat menghentikan langkah Thanzi. Semua suara hutan seolah membeku, digantikan oleh keheningan mencekam. Thanzi menahan napas, jantungnya berpacu seperti drum.

Dari balik semak belukar yang lebat, muncul sesosok makhluk mengerikan. Tingginya hampir dua kali lipat Thanzi, dengan kulit abu-abu bersisik kasar, cakar tajam yang berkilau di bawah sisa cahaya senja, dan mata merah menyala yang menatap Thanzi dengan tatapan lapar yang tak salah lagi.

Ini adalah Grungle, monster tingkat rendah yang mematikan, yang dikenal agresif. Thanzi dari Bumi tahu persis monster ini dari novel. Grungle adalah yang membunuh Thanzi yang asli.

'Tamat sudah. Sepertinya kisah hidupku di dunia ini hanya sampai di sini,' batin Thanzi. Keringat dingin membasahi punggungnya. Kakinya terpaku di tempat, ketakutan murni menyelimuti dirinya.

Grrrr...

Monster itu mengeluarkan geraman rendah, seperti guntur yang terpendam, dan mulai bergerak, perlahan, seolah menikmati ketakutan mangsanya. Thanzi tahu ia harus lari, tapi tubuhnya menolak. Otaknya berteriak panik, namun tidak ada jalan keluar. Ia akan mati, sekali lagi, dengan cara yang memalukan.

"Sialan..." Dia menutup mata.

Dalam keputusasaan ekstrem, sesuatu terjadi. Thanzi, tanpa sadar, mulai bersenandung. Itu adalah lagu anak-anak dari dunianya dulu, melodi sederhana yang selalu ia gumamkan saat merasa cemas. Suara itu awalnya hanya bisikan, upaya putus asa untuk menenangkan diri di ambang kematian.

Namun, saat Thanzi terus bersenandung, sesuatu yang luar biasa terjadi. Cahaya samar, keperakan, mulai terpancar dari tubuhnya, menyelimuti dirinya dengan aura lembut. Dan Grungle itu? Monster mengerikan yang tadinya akan menerkam, tiba-tiba berhenti.

Matanya yang merah menyala membelalak ketakutan. Ia mengeluarkan erangan aneh, bukan auman marah, melainkan ringkikan panik. Kemudian, dengan kecepatan yang mengejutkan, Grungle itu berbalik dan lari terbirit-birit, menghilang di balik semak belukar, meninggalkan Thanzi sendirian dalam keheningan yang kembali.

"Hah...😦😦😦" Thanzi terdiam, napasnya tersengal. Ia bahkan tidak menyadari bahwa ia baru saja mengeluarkan kekuatan aneh. Ia hanya tahu monster itu sudah pergi.

Ia bingung, benar-benar tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Lagu anak-anak? Cahaya perak? Monster ketakutan? Otaknya yang rasional mencoba memproses, tapi tidak menemukan jawaban.

"Apa yang terjadi?" gumamnya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung.

Tidak lama setelah itu, suara derap langkah dan gemerincing zirah terdengar dari kejauhan.

Thanzi menoleh, dan melihat sebuah pasukan berzirah besi dan berkuda bergerak ke arahnya.

Mereka adalah rombongan prajurit Kekaisaran Eldoria, ditandai dengan bendera besar yang berkibar. Pakaian zirah mereka mengilat diterpa sisa cahaya senja. Di tengah rombongan itu, sosok jangkung dengan zirah gelap yang tampak kokoh memimpin.

Itu adalah Jenderal Gareth, panglima perang kekaisaran yang terkenal dengan kehebatannya di medan perang dan sikapnya yang dingin membeku—sosok penting yang Thanzi kenal dari novel.

Jenderal Gareth, yang melihat seorang anak laki-laki sendirian di tengah Hutan Kegelapan yang berbahaya, langsung membuat pasukannya bergerak. Mereka mengepung Thanzi, pedang-pedang terhunus, siap menghadapi ancaman. Jenderal Gareth turun dari kudanya, tatapan tajamnya menyapu Thanzi. Matanya, yang berwarna abu-abu seperti baja, tidak menunjukkan emosi apa pun.

"Siapa kau? Mengapa kau sendirian di tempat berbahaya ini?" Suara Gareth dalam, tanpa intonasi. Di hutan yang penuh bahaya, ia harus waspada, karena siapa tahu sosok anak kecil itu adalah musuh yang bisa mengubah bentuk.

Thanzi, yang masih sedikit linglung akibat kejadian dengan monster, hanya bisa berkedip. "Aku... aku tersesat," jawabnya jujur, tidak tahu harus menjelaskan apa.

Salah satu prajurit, seorang pria bertubuh kekar dengan janggut tebal dan senyum ramah, segera menghampiri. "Kawan kecil, hutan ini bukan tempat main-main. Kau beruntung kami lewat. Ayo, ikut kami." Ia menuntun Thanzi dengan sambutan hangat menuju kudanya.

"Halo, Dek," sapa prajurit lainnya.

Para prajurit ini jauh lebih ramah daripada jenderal mereka. Sepanjang perjalanan, mereka tertawa, bercanda, dan menceritakan kisah-kisah lucu dari medan perang pada Thanzi. Mereka bertanya-tanya mengapa Thanzi ada di hutan, dan Thanzi hanya menjawab ia tersesat dari desa terdekat.

Sikap hangat mereka membuat Thanzi langsung merasa nyaman. Ia, si "penolong" yang selalu bergaul dengan orang biasa, menemukan kecocokan dengan para prajurit rendahan ini. Mereka bahkan membagikan jatah makanan mereka, roti keras dan daging kering yang terasa seperti makanan dewa bagi Thanzi yang kelaparan.

Sementara itu, Jenderal Gareth hanya mendengus melihatnya dan tetap diam sepanjang perjalanan, hanya sesekali memberikan instruksi singkat dengan suara monotonnya. Ia seperti patung baja yang bergerak, misterius dan mengintimidasi.

"Jenderal kami memang begitu, Nak," bisik salah satu prajurit, seorang pria paruh baya bernama Borin, saat mereka beristirahat. Ia melihat Thanzi terus memperhatikan Jenderal Gareth yang terus bersikap dingin.

"Dingin seperti es, tapi hatinya emas. Dia tidak akan pernah meninggalkan prajuritnya, atau bahkan anak kecil sendirian di tempat berbahaya." lanjutnya.

Thanzi mengangguk. Ia mengerti. 'Jenderal Gareth adalah salah satu tokoh overpowered dalam novel, terkenal karena kecerdasan strategisnya dan kekuatan bela dirinya yang luar biasa. Dia adalah pahlawan yang tidak bisa dikalahkan, dan kini, aku berutang nyawa kepadanya.' Ironi takdir memang kejam.

Setelah berjam-jam berjalan, saat bintang-bintang mulai memenuhi langit, mereka akhirnya keluar dari hutan. Di kejauhan, Thanzi melihatnya, cahaya ribuan lentera dan menara-menara megah yang menjulang tinggi di bawah cahaya bulan.

Ibukota Kekaisaran Eldoria. Peradaban baru, yang selama ini hanya ia baca di halaman novel, terbentang di hadapannya.

Saat rombongan prajurit akan mengarahkannya ke permukiman terdekat di luar kota, Thanzi membuat sebuah permintaan.

"Bisakah aku... diturunkan di sini?" tanyanya, suaranya sedikit ragu. Ia tahu ibu kota adalah pusat plot utama novel ini, tempat para pahlawan akan berkumpul.

Para prajurit saling pandang, lalu Borin tersenyum. "Tentu saja, kawan kecil! Kau bisa melaporkan dirimu di pos penjaga dan mencari tempat tinggal sementara. Mungkin kau bisa bekerja di penginapan."

Jenderal Gareth hanya menoleh sekilas, tatapannya tidak terbaca, tapi ia tidak menolak. Itu sudah cukup bagi Thanzi.

Sesampainya di gerbang ibukota yang megah, Thanzi berpisah dari rombongan prajurit. Ia menatap mereka satu per satu, mengukir wajah ramah mereka dalam benaknya. Ini adalah orang-orang baik yang telah menolongnya, orang-orang yang mungkin saja akan berada dalam bahaya di masa depan karena 'ke-overpowered-an' para pahlawan.

"Terima kasih," ucap Thanzi tulus, membungkuk dalam-dalam.

"Terima kasih banyak atas kebaikan kalian semua. Aku... aku berjanji, suatu saat nanti, aku akan membalas budi kalian. Aku tidak akan melupakan ini."

Pandangannya beralih ke Jenderal Gareth yang masih berdiri tegak di samping kudanya. Jenderal itu tidak menjawab, hanya mengangguk samar, hampir tidak terlihat. Namun, bagi Thanzi, itu sudah cukup.

Dengan langkah mantap, Thanzi memasuki gerbang ibukota, menuju peradaban baru yang penuh intrik dan bahaya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!