Malam telah larut di Ibu Kota Kekaisaran Eldoria. Lentera-lentera yang memanjakan mata satu per satu meredup, seolah ikut terlelap dalam kegelapan yang semakin pekat.
"Hoammm, , , , , Hari yang sangat melelahkan" Thanzi menutup mulutnya yang menguap lebar. Kelopak matanya terasa bagai ditarik beban berat, menuntutnya untuk segera beristirahat.
Rasa penasaran untuk menjelajahi setiap sudut kota yang megah ini menggebu di hatinya, namun tubuh Thanzi memberontak. Kelelahan akibat perjalanan panjang di hutan, ditambah guncangan dahsyat dari benturan memori transmigrasi, menuntut haknya untuk segera rebah. Mencari Akademi malam itu juga akhirnya ia batalkan. Tidak ada gunanya tiba di sana di tengah malam buta.
Dengan 50 koin perak dan empat koin emas yang terasa begitu berharga di tangannya, Thanzi mulai menelusuri deretan penginapan. Matanya menangkap sebuah penginapan sederhana namun bersih, dengan plang kayu berukir gambar cangkir teh yang mengepul.
Penginapan Naga Tidur. Aroma sup dan daging panggang yang samar-samar keluar dari celah pintu semakin meyakinkannya. Ia menyewa sebuah kamar kecil di lantai dua, membayar dengan satu koin perak yang membuat senyum lebar terukir di wajah pemilik penginapan.
"Akhirnya bisa beristirahat," bisik Thanzi bahagia.
Bruk!
Di dalam kamar yang mungil, Thanzi merebahkan diri di atas kasur yang terasa empuk seperti awan. Bantalnya begitu nyaman, kontras dengan lantai atau gubuk lusuh yang selama ini menjadi tempatnya tidur. Ia menatap formulir pendaftaran akademi di tangannya, sebuah benda yang kini terasa begitu berharga. 'Formulir ini pasti dari Jenderal Gareth.' Ia tahu, tidak sembarang orang bisa mendapatkan formulir tersebut. Jenderal dingin itu mungkin irit bicara, tapi intuisinya tajam.
Ia pasti tahu Thanzi adalah anak Marquess yang dibuang, seorang pemuda sebatang kara, tanpa koneksi atau tempat bernaung. Memberinya formulir ini adalah cara Jenderal Gareth untuk membantunya bertahan hidup di ibu kota, tanpa perlu basa-basi yang canggung.
Thanzi merasakan gelombang rasa terima kasih yang tulus. "Jenderal Gareth, ya?" bisiknya, menatap langit-langit. "Aku akan membalas budimu. Suatu saat nanti."
Pikirannya beralih pada Thanzi yang asli. Ia telah mengingat semua kenangan pahit itu. pengabaian, penghinaan, kebencian yang tumbuh subur di antara orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya.
Thanzi dari Bumi merasakan empati yang mendalam, tapi juga tekad bulat. Orang tua Thanzi yang asli mungkin masih hidup, masih berstatus Marquess dan Lady, tapi mereka sudah lama membuang anak sulung mereka. Mereka bukanlah keluarganya. Di dunia ini, Thanzi tidak punya orang tua. Dirinya hanya memiliki sebuah misi.
"jika terus di pikirkan, hanya akan membuat kepala pusing saja" kata-kata tersebut terucap dari mulut Thanzi, sebelum dirinya terlelap.
Kantuk yang tak tertahankan akhirnya menang. Thanzi langsung terlelap, mengabaikan suara keramaian malam ibu kota yang perlahan meredup.
Pagi menyapa dengan kehangatan mentari yang menyusup masuk melalui celah jendela. Thanzi terbangun dengan perasaan yang jauh lebih segar.
"selamat pagi dunia baru, , , , " Thanzi melirik ke arah jendela lalu Ia beranjak, langsung menuju bak mandi kecil di sudut kamar.
Air hangat membersihkan kotoran dan kelelahan dari tubuhnya. Setelah itu, ia mengenakan salah satu dari sepuluh setel pakaian baru yang ia beli.
Jubah luaran berwarna biru tua, kemeja putih bersih, dan celana panjang berwarna abu-abu yang nyaman. Penampilannya kini berubah total. Ia terlihat seperti pemuda biasa dari keluarga menengah, bukan lagi sosok antagonis yang terbuang.
"Sempurna," gumamnya, tersenyum puas di depan cermin. Penampilan barunya membuat aura suram yang biasanya menyelimutinya seolah lenyap, digantikan dengan pesona sederhana yang menawan.
Setelah berpakaian, ia turun ke ruang makan penginapan. Aroma telur dadar dan teh herbal memenuhi udara. Thanzi memesan sarapan sederhana dan melahapnya dengan nikmat. Setiap suapan terasa seperti energi baru yang mengalir ke dalam tubuhnya.
Selesai sarapan, Thanzi meninggalkan Penginapan Naga Tidur. Pemandangan pagi di ibukota sungguh menakjubkan.
Cahaya matahari memantul dari atap-atap genting yang diukir indah, menerangi jalanan batu yang bersih. Orang-orang berlalu-lalang dengan semangat, sebagian berjalan kaki, ada pula yang menaiki kereta kuda mewah. Anak-anak kecil bermain di alun-alun, tawa mereka memenuhi udara. Suasana itu begitu hidup, penuh harapan, sangat kontras dengan memori gelap yang Thanzi rasakan.
"Baiklah, Akademi," gumam Thanzi pada dirinya sendiri, menarik napas dalam-dalam. "Di mana tempat itu?"
Ia tidak tahu arah, tapi Thanzi bukanlah orang pemalu. Ia tahu, di dunia yang asing ini, bertanya adalah cara tercepat untuk bertahan hidup. Ia mendekati seorang pedagang buah yang sedang sibuk menata dagangannya.
"Permisi, Paman," Thanzi menyapa sopan.
"Maaf mengganggu. Bolehkah saya bertanya di mana letak Akademi Ksatria & Sihir Eldoria?"
Pedagang tambun dengan pipi merah itu menghentikan pekerjaannya. "Ah, Akademi, ya? Jalan saja lurus ke depan, Nak, sampai kau menemukan alun-alun besar dengan air mancur naga. Dari sana, ambil belokan ke kiri. Akademi akan berada di ujung jalan itu, kau tidak akan melewatkannya. Gerbangnya sangat besar."
"Terima kasih banyak, Paman!" ucap Thanzi tulus, lalu bergegas pergi.
Dengan petunjuk yang jelas di kepala, Thanzi berjalan menyusuri jalanan yang semakin ramai. Matanya sibuk mengamati sekeliling, memperluas pengetahuannya tentang kota. Ia melihat toko-toko unik yang menjual artefak sihir, senjata berkilauan, dan ramuan aneh. Semua ini adalah detail-detail yang tidak dijelaskan dalam novel. Thanzi menyerap semuanya seperti spons.
Ia melewati alun-alun dengan air mancur naga yang megah, lalu berbelok ke kiri. Tak lama kemudian, di kejauhan, ia melihatnya: gerbang tinggi yang terbuat dari batu putih kokoh, dihiasi ukiran pedang bersilang dan tongkat sihir. Di belakangnya, menara-menara tinggi dengan atap runcing dan jendela kaca patri memantulkan cahaya matahari. Ini adalah Akademi Ksatria & Sihir Eldoria, tempat di mana para tokoh utama diasah dan tempat bencana besar mulai berakar.
"Akhirnya," Thanzi menghela napas, sebuah tekad membaja terpancar di matanya. Ia melangkah maju, melewati gerbang yang dijaga oleh dua ksatria berzirah, dan masuk ke dalam halaman.
Kerumunan remaja seusianya sudah berkumpul di sana, ada yang bersemangat, ada yang gugup, ada pula yang angkuh.Thanzi langsung menuju meja pendaftaran.
"Saya ingin mendaftar," katanya pada seorang staf akademi yang sibuk.
Ia menyerahkan formulir yang ia dapatkan dari Jenderal Gareth.
Staf itu melirik formulir, lalu menatap Thanzi dengan pandangan terkejut yang cepat ia sembunyikan.
Thanzi tahu apa yang dipikirkannya, Anak dari Marquess Aerion? Tapi mengapa penampilannya begitu sederhana? Bukankah ia anak yang dibuang? Namun, staf itu hanya mengangguk profesional.
"Baiklah, Tuan Muda. Silakan bergabung dengan yang lain di Aula Grandis untuk ujian masuk. Ikuti saja barisan ini."
Thanzi mengangguk, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di ujian itu. Ia tidak memiliki bakat sihir atau pedang seperti para tokoh utama, dan Thanzi yang asli bahkan tidak bisa mengayunkan pedang dengan benar. Tapi ia bertekad untuk mencoba. Entah lulus atau tidak, setidaknya ia sudah berusaha.
Ia bergabung dengan sekelompok remaja lain, yang berbondong-bondong menuju aula. Mereka berbicara dengan antusias, saling menyombongkan bakat. Thanzi hanya diam, mendengarkan. Mereka semua masih polos, tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tidak tahu bahwa kekuatan mereka sendirilah yang bisa menghancurkan dunia ini.
Ketika mereka akhirnya tiba di tempat ujian, sebuah aula besar yang megah dengan lambang-lambang kuno di dinding, Thanzi merasakan udara di sekitarnya berubah. Di tengah kerumunan, matanya menangkap beberapa wajah yang sangat tidak asing.
Wajah-wajah yang akan menjadi pahlawan.
Ada Pangeran Lyra yang dikelilingi oleh para pengikutnya, menatap kerumunan dengan senyum percaya diri. Ada Elian, putra Duke, sedang berdiskusi serius dengan beberapa pemuda bangsawan lainnya, otot-otot di lengannya terlihat jelas bahkan di balik jubahnya.
Dan kemudian, ada sosok yang paling ia harapkan tidak akan ia temui secepat ini, Michael.
"Dasar para bocah sombong," gumam Michael pelan. Ia berdiri sendirian, sementara yang lain sibuk memamerkan kekuasaan.
Ada yang membawa bawahan, teman, atau orang tua untuk menunjukkan kalau mereka berasal dari keluarga hebat. Hanya Michael yang datang sendiri.
Michael, adik kandung Thanzi yang asli, berdiri di antara orang tuanya, Marquess Aerion dan Lady Elara. Wajah mereka berdua tampak angkuh dan sombong, bangga pada putra bungsu mereka yang begitu cemerlang. Michael terlihat begitu cerah, rambut keemasannya memantulkan cahaya lampu sihir di aula, dan senyumnya polos.
'Perasaan ini...' Thanzi meremas dadanya. Ingatan pahit Thanzi yang asli melonjak, rasa sakit dan pengabaian menusuk hatinya.
Marquess Aerion dan Lady Elara, yang awalnya sedang berbicara dengan bangsawan lain, tiba-tiba memalingkan wajah. Mata mereka menyipit, lalu membelalak kaget. Mereka melihat Thanzi. Ekspresi mereka berubah dari terkejut menjadi jijik, seolah melihat sesuatu yang menjijikkan dan tidak seharusnya ada di sana.
"K-kau... apa yang kau lakukan di sini?!" desis Lady Elara, suaranya mengandung campuran amarah dan ketidakpercayaan.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan, Michael yang polos telah menyadari keberadaan Thanzi. Senyum cerahnya langsung melebar, matanya berbinar tanpa sedikit pun kebencian.
"Kakak Thanzi!" seru Michael, suaranya jernih dan penuh kebahagiaan. Tanpa ragu, ia menerobos kerumunan dan berlari menghampiri Thanzi.
Michael langsung memeluk Thanzi erat-erat.
"Kakak sudah kembali! Michael merindukanmu!"
Thanzi membeku. Pelukan itu terasa asing, namun juga membangkitkan gelombang amarah yang bukan miliknya, amarah yang begitu kuat. Amarah atas pengabaian, amarah atas perbandingan, amarah atas semua rasa sakit yang tak terbalas. Thanzi tidak bisa menahannya.
'Menjijikkan...' Tiba-tiba hati Thanzi berbisik, memuntahkan semua kebencian yang selama ini terpendam.
Dengan refleks yang keras, Thanzi mendorong Michael.
Bruk!
Michael terhuyung ke belakang, senyum di wajahnya memudar, digantikan ekspresi terkejut dan terluka. Ia jatuh terduduk di lantai, menatap Thanzi dengan mata berkaca-kaca.
"K-kak... Thanzi..." bisiknya.
Aula yang tadinya ramai tiba-tiba hening. Semua mata kini tertuju pada Thanzi. Para bangsawan, staf akademi, bahkan Pangeran Lyra dan Elian, menatapnya dengan cemoohan dan jijik. Dengan cepat, mereka menghampiri Michael untuk membantunya.
"Kau baik-baik saja, Michael?" tanya Lyra, suaranya penuh kekhawatiran.
Michael hanya mengangguk, masih terpaku pada Thanzi.
"Dasar anak tidak tahu diri!" desis seorang bangsawan tua.
"Lihat! Anak yang dibuang itu tetaplah anak yang dibuang!" timpal yang lain.
Kabar Thanzi yang dibuang sudah menyebar di kalangan bangsawan, dan bukannya mendapat simpati, mereka malah menganggap Thanzi pantas dibuang karena hanya merusak reputasi keluarga.
Marquess Aerion dan Lady Elara bergegas menghampiri Michael, memeluknya dan menatap Thanzi dengan kemarahan yang membara.
"Kau dengar, Aerion? Anak tidak berguna ini berani melukai putra kita!" teriak Lady Elara, suaranya melengking.
Thanzi hanya berdiri diam, wajahnya terpaku. Ia tidak bermaksud mendorong Michael. Itu adalah reaksi murni dari amarah yang muncul dari Thanzi yang asli.
Dan kini, ia telah membuat tontonan memalukan di depan semua orang penting. Misi pertamanya untuk menyeimbangkan plot, sepertinya, baru saja dimulai dengan kekacauan total.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments