Keesokan paginya, matahari menembus tirai kamar vila yang disediakan Davin untuk Alya. Udara dingin pegunungan membuat tubuhnya enggan beranjak dari selimut tebal yang membungkus hangat.
Tapi pikirannya terbang ke kejadian semalam. Ucapan Davin masih menggema di kepalanya—bahwa dia melihat kekuatan dalam diri Alya.
Jarang ada yang melihatnya seperti itu, bahkan orang tuanya pun hanya menganggapnya anak manja yang terlalu terbawa perasaan soal cinta.
Alya turun ke ruang makan dan mendapati Davin sudah duduk di sana, menyesap kopi sambil membaca dokumen. Ia mengenakan kaus lengan panjang berwarna gelap, santai tapi tetap terlihat berwibawa. Usianya memang terpaut jauh darinya, mungkin hampir dua puluh tahun lebih tua, tapi Alya mulai terbiasa dengan ketenangan pria itu.
“Pagi,” sapa Alya sambil duduk.
Davin menoleh dan tersenyum tipis. “Pagi. Tidur nyenyak?”
Alya mengangguk. “Terima kasih sudah membawaku ke tempat ini.”
“Kamu butuh tempat untuk menyembuhkan. Luka tidak sembuh hanya dengan waktu, tapi dengan tempat yang tepat dan orang yang tepat.”
Alya menatap Davin lama. Pria itu bukan hanya tempat bersandar sementara. Ia mulai menjadi sosok yang mampu membungkus luka-luka Alya dengan ketenangan. Tapi perasaan itu masih ia simpan sendiri.
Setelah sarapan, Davin mengajak Alya berkeliling sekitar danau. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak, sesekali saling bercerita tentang masa lalu. Alya menceritakan tentang orang tuanya yang kaku, kehidupannya sebagai anak perempuan tunggal, dan bagaimana Mira adalah satu-satunya orang yang ia percaya sebelum pengkhianatan itu terjadi.
Davin, di sisi lain, akhirnya membuka sedikit tentang hidupnya. Ia pernah menikah, tapi pernikahan itu kandas karena perselingkuhan. Ia tidak menyebut nama mantan istrinya, tapi dari nada suaranya, luka itu masih membekas dalam.
“Aku pikir pernikahan akan jadi akhir dari kesendirian,” ujar Davin pelan.
“Tapi ternyata, bisa jadi awal dari kehancuran juga.” lanjut Davin
Alya menggenggam ujung lengan jaketnya. “Aku tidak pernah percaya bahwa cinta sejati akan mengkhianati. Tapi setelah Raka dan Mira... aku mulai ragu.”
Davin menghentikan langkahnya. Ia menatap Alya, lama dan dalam.
“Kalau kamu ingin tahu... aku belum sepenuhnya percaya pada cinta. Tapi aku percaya pada orang yang bisa menyembuhkan rasa tidak percaya itu.”
Alya merasa dadanya sesak. Ia tak tahu harus berkata apa, tapi dalam diamnya, ia mulai bertanya dalam hati,
"Apakah orang itu… Davin?" tanya Alya dalam hati
Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke kota. Alya merasa lebih segar, lebih kuat. Ia kembali ke kampus dengan kepala tegak. Kini, tatapan orang-orang tak lagi membuatnya gentar. Ia sudah mulai membangun dirinya yang baru, lebih dewasa, lebih tegar, lebih... tak tergoyahkan.
Suatu sore, saat Alya sedang di kafe sendirian, seorang wanita muda datang menghampiri. Wajahnya cantik, modis, penuh percaya diri. Tapi begitu wanita itu memperkenalkan diri, Alya merasa tubuhnya membeku.
“Hai. Aku Clara. Keponakannya Om Davin.”
" Keponakan...?" ucap Alya dalam hati
Alya menelan ludah. Ia baru sadar bahwa ia belum tahu banyak tentang latar belakang Davin. Bahkan ia tak pernah tahu siapa saja keluarganya.
Clara duduk tanpa dipersilakan, menyilangkan kaki dengan elegan. “Aku dengar kamu sering ketemu Om Davin. Kalian deket banget, ya?”
Alya hanya tersenyum kecil. “Bisa dibilang begitu.”
Clara tertawa pelan. “Wah, kamu tahu nggak, Om Davin itu udah jadi incaran banyak wanita. Bahkan temen-teman mama juga banyak yang naksir.”
Alya merasa aneh dengan nada suara Clara. Terlalu ramah, tapi ada sindiran tipis di baliknya.
“Aku cuma pengen tahu,” lanjut Clara.
“Kamu tahu nggak kalau Om Davin itu juga... paman dari seseorang yang kamu kenal?” tanya wanita yang bernama Clara.
Alya mengernyit. “Maksud kamu?”
Clara tersenyum penuh kemenangan. “Raka. Mantan kamu itu... sepupuku.”
Dunia Alya seperti terbalik.
Semua momen bersama Davin tiba-tiba terasa penuh misteri. Raka pria yang mengkhianatinya ternyata adalah keponakan dari pria yang kini menjadi tempatnya bersandar?
Clara berdiri, merapikan tasnya. “Lucu ya, dunia ini sempit. Dulu kamu pacaran sama Raka. Sekarang... siapa tahu, kamu bisa jadi Tantenya. Hehe.”
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Ia merasa seperti ditampar oleh kenyataan baru. Tapi anehnya, ia tidak merasa takut atau ingin menjauh dari Davin. Sebaliknya, ia merasa ingin tahu apakah Davin tahu siapa Raka?
Besoknya, Alya datang lebih cepat ke kafe itu, saat mereka kembali bertemu di kafe, Alya tidak bisa menahan pertanyaannya.
“Kak Davin... kamu tahu Raka?”
Davin menghela napas panjang. Ia meletakkan cangkirnya dan menatap Alya dalam-dalam.
“Ya. Aku tahu. Dia keponakanku.” jawab Davin, yang merasa tidak perlu menyembunyikan ini semua dari Alya karena Alya berhak tau.
Alya membeku, tubuhnya kaku, lidahnya keluh mendengar semua itu, ia benar benar terkejut.
“Aku tahu siapa kamu, Alya. Bahkan sebelum kamu sadar siapa aku. Tapi aku tidak pernah mendekatimu karena alasan itu.” jelas Davin lagi
Alya terdiam, mencoba menyusun emosinya.
“Aku mendekat karena kamu kuat. Karena kamu bukan seperti perempuan kebanyakan. Dan... karena aku jatuh cinta padamu, Alya.” tambah Davin, dan itu membuat Alya hampir pingsan.
Saat itu, dunia Alya seperti tak memiliki gravitasi. Kata-kata Davin mengambang di udara, mengguncang hatinya yang belum pulih sepenuhnya.
"Aku jatuh cinta padamu, Alya."
Kata Taya itu terus terngiang-ngiang di telinganya sedari tadi.
Ia tak tahu harus merasa apa. Terkejut, bingung, atau senang? Yang jelas, untuk pertama kalinya sejak dikhianati, Alya merasa dicintai oleh seseorang yang tidak berpura-pura.
Tapi kenyataan bahwa Davin adalah paman dari Raka… menampar logikanya. Hubungan mereka bukan sekadar antara pria dan wanita yang saling menyembuhkan, melainkan juga pertarungan takdir antara masa lalu dan masa depan.
“Kenapa baru bilang sekarang?” tanya Alya lirih, mencoba menyembunyikan gejolak hatinya.
Davin menatapnya lembut. “Karena aku tahu kamu belum siap. Tapi setelah kamu tahu aku adalah pamannya Raka... kamu berhak tahu yang sebenarnya.”
Alya terdiam. Dalam hatinya, perasaan bersalah menyeruak. Bukan karena ia merasa bersalah pada Raka, melainkan karena ia mulai merasa nyaman dengan seseorang yang secara darah, masih terhubung dengan pria yang telah menghancurkannya.
“Jadi... selama ini kamu tahu siapa aku?” tanya Alya lagi
Davin mengangguk. “Aku tahu kamu mantan pacar Raka. Aku tahu kamu dikhianati. Tapi aku juga tahu satu hal penting yang tidak semua orang tahu, kamu layak bahagia.”
Alya yang mendengar itu terdiam kamu, tanpa bisa bicara atau pun menjawab semua ucapan Davin.
Bagaimana pun ini sangat mendadak, hatinya baru saja akan sembuh, tapi kenyataan ini membuatnya bingung.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments