Meet Again

...—...

...Ajarin move on dong! ...

...—...

"Cepetan anjing! Gue udah nunggu lama!"

"Ok." jawab seseorang di seberang sana.

Mayra menggeram kesal, kelakuan sahabatnya itu benar-benar selalu membuatnya naik pitam. Ia sudah terbiasa dengan itu, tapi tetap saja ia kadang geram dengan tingkah laku sahabatnya itu. "Untung lo sahabat gue, kalau nggak gue cincang lo!"

Tut tut

Panggilan dimatikan secara sepihak. Mayra menggebrak meja dengan kesal.

"Gue cincang beneran lu Cha pake katana, baru tau rasa!"

Pengunjung yang rata-rata anak muda, bergidik ngeri mendengar ucapan Mayra yang cukup keras.

Cantik tapi galak!

Kasar lagi!

Mayra mendelik tajam ke arah orang-orang yang memperhatikannya. Ia tak peduli dengan citranya di depan orang banyak—tak perlu jaim-jaim lah, dosa. Jaim, jaga image—berlalu menjaga sikap kita agar terlihat baik di depan orang lain—yang berarti membohongi orang lain. Bohong itu dosa 'kan, iya nggak?

Mayra kembali menyesap cappucino miliknya. Setidaknya dengan menyesap minuman kesukaannya ini dapat meredam kejengkelannya.

Kenapa lama sekali anak itu?

Tak lama kemudian yang ditunggu datang dengan wajah datarnya. Mayra yang tadinya akan teriak-teriak tidak jelas—kembali mengatupkan rahangnya yang sudah menganga lebar—saat Annisa duduk sambil berucap.

"Gue yang bayar."

Kalau urusan uang Mayra yang terdepan—ya, terdepan kalau ada yang traktir gitu. Mayra sendiri tak malu mengakui kalau dirinya memang mata duitan, tapi itu semua ada alasannya—ia pernah bilang ....

"Gue mata duitan bukan gue gak punya duit, tapi gue gak mau pakek duit dari orang yang gue benci. Gue gak mau duit yang gue pake—jadi bikin alasan mereka minta balas budi."

Solusinya? Ya, cari uang sendiri. Tapi Mayra tidak ingin—lebih tepatnya belum ada pekerjaan yang cocok dengannya. Mayra juga telah melewatkan beberapa lowongan pekerjaan karna alasan tak masuk akalnya—seperti ....

"Gue gak mau cuci piring kalau banyak!"

"Gue gak mau nyapu ruangan segede stadion ini!"

"Gue gak mau masak, karna gak bisa!"

"Gue gak mau jadi pelayan, gue gak pinter ngebacot!"

"Gue gak mau jadi tukang kasir, gue gak bisa terus senyum kayak orang gila!"

"Gue gak mau, berat!"

Dan banyak lagi gue gak mau yang lainnya. Sebenarnya itu juga salah Mayra, mengapa tak mau melakukan semua pekerjaan itu? Kalau mau jadi tukang suruh-suruh, ya mana bisa? Lulus Sma aja belum, mending kalau lulus, kalau nggak gimana? Inti dari semuanya itu, Mayra tak ingin capek dalam bekerja. Mana ada pekerjaan yang gak capek? Jadi CEO? Presdir? Mereka juga capek kali, bahkan berkali-kali lipat. Coba pikir, tugas mereka lebih berat-harus mengendalikan perusahaan yang besar. Harus ngecek ulang pekerjaan bawahannya. Kalau asal-asalan? Nasib semua karyawan ada padanya.

Jadi, gak ada pekerjaan yang gak capek.

Dasar emang si Mayra ini, nyari kerjaan yang nggak capek!

Jadi youtuber atau selebgram? Emang ada yang mau nonton? Ada yang mau nge-endorse? Bukannya dilike malah dikasih jempol kebalik. Bukannya dipuji malah dimaki.

Ah, sudahlah. Tak perlu memikirkan itu semua, bikin kepala mumet saja.

Mayra mengalihkan pandangannya pada sepasang suami istri di seberang jalan yang menggandeng kedua anak perempuannya. Begitu harmonisnya keluarga mereka.

Ia tersenyum pedih. Mayra tak pernah merasakan apa itu momen bersama keluarga. Karena bertatap muka dengan ibunya saja ia tak pernah—sebab ibunya sudah meninggalkannya sejak ia lahir—dari sejak lahir sampai berusia enam tahun Mayra tinggal bersama neneknya. Setelah neneknya meninggal ia tinggal bersama ayah kandungnya yang ternyata sudah memiliki keluarga lain. Asal tahu saja Mayra juga baru melihat wajah ayahnya pada saat itu, karena sejak kecil ayahnya hanya mengirimkan uang tanpa menampakkan batang hidungnya. Untung saja ada Vida.

Vida.  Dia merupakan kakak kandung Mayra yang berselisih umur sepuluh tahun dengannya. Saat ia ikut tinggal dengan ayah serta ibu tirinya, Vida otomatis ikut juga—karena ia juga tinggal dengan nenek. Tapi Vida hanya tinggal sebentar, sebab ia mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di luar negeri dengan jurusan kedokteran.

Selama Mayra ditinggalkan bersama keluarga yang sungguh terasa asing baginya tanpa Vida, ia sering mendapatkan perlakuan tak pantas dari masing-masing anggota keluarga barunya.

Dari ibu tirinya ia mempunyai dua adik—yang pertama perempuan dan yang kedua laki-laki. Adik perempuannya satu tahun lebih muda darinya. Namanya Hasna,  merupakan gadis pintar yang selalu membanggakan orang tua,  tapi perilakunya tak sepintar itu dan patut dibanggakan. Hasna itu perempuan licik,  di depan banyak orang ia bersikap sopan, ramah, dan periang. Padahal yang sebenarnya—

"Mayra!"

Mayra terbebas dari lamunanya mendengar seruan Annisa yang cukup mengagetkannya.

"Hah?"

"Mau ngomong apa?"

Mayra mengerutkan keningnya.  Perasaan yang ngomong duluan kan Annisa. Ah,  iya—ia sendiri yang mengajak Annisa untukmu bertemu di sini.

"Apa ya?" ucap Mayra lebih kepada dirinya sendiri.

Annisa memutar bola mata jangan, lalu menyeruput americano pesanannya.

"Lo sih, datangnya lama. Jadi gue lupa lagi mau ngomong apa,"

Tak menggubris ucapan Mayra, Annisa mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang tadi dilihat teman kecilnya itu sambil melamun.

"May. "

"Apa Cha?"

"Lo tadi liat apa di sana?" Annisa melirik keluar Cafe.

Mayra ikut menoleh dan ....

Matanya terpaku pada seseorang di sana ... cukup lama ... sampai sosok itu menoleh kepadanya—Mayra masih tak ingin mengalihkan pandangannya. Keduanya saling bertatapan cukup lama. Bahkan kendaraan lewat pun tak ada, seolah membiarkan keduanya untuk tetap seperti itu—jangan sampai berkedip dan memutuskan pandangan.

Hingga ... motor besar berwarna hitam melewati jalanan yang tadinya lengang—memutuskan pandangan mereka. Mayra mengumpat dalam hati. Siapa pengendara motor itu!? Beraninya dia lewat di jalan itu?! Gak bisa terbang aja apa?!

Mayra menoleh kembali ke sebrang sana—ah, sial! Dia sudah pergi—dan ternyata dengan kekasihnya yang bangsat itu!

Moodnya benar-benar anjlok sekarang. Ini semua gara-gara si motor arang! Awas aja kalau Mayra tau siapa si pengendara motor arang itu, ia akan melemparnya ke tukang sate! Biar dipotong-potong terus dibakar pake arang. Tenang saja, nanti Mayra sendiri yang akan memakannya.

Kok gitu sih!?

Kan katanya Mayra mau move on, harusnya ia beruntung karna si motor arang Mayra bisa mengakhiri aksi saling tatap-tatapan bersama sang mantan pacar.

Mayra mengangguk semangat.  Ah, iya! Ia bertekad dalam hati—Mayra akan menraktir si pengendara motor arang itu makan sate!

"Lo belum move on dari Aldi?"

Mayra bergeming. Ia tak berani menjawab pertanyaan dari Annisa. Karna Mayra tau Annisa pasti mengerti dan sudah tau jawabannya.

"Terus sekarang lo mau gini terus?"

Mayra diam.

"Liatin Aldi sama Hasna dari jauh.  Yang notabenenya adik lo sendiri."

Mayra berdecak, "Tapi gue gak nganggap dia adik Cha. Dia itu bangsat! Bisanya cuman ngerebut milik orang lain."

"Dan berhasil 'kan? Sekarang lo mau apa? Kalau Aldi bahagia sama Hasna,"

"Gue gak berniat untuk ngerebut siapapun Cha. Karna gue sendiri tau rasanya milik lo direbut orang lain."

Annisa mengangguk paham. "Lo kapan move on nya?"

Mayra mengedikan bahu acuh. Ia meraih gelas cappuccino miliknya lalu meneguknya sampai habis.

Setelah itu mereka kembali mengobrol hal-hal yang tak menyinggung tentang kisah asmara. Bernostalgia dengan masa kecil mereka, dimulai saat mereka berkenalan.  Saat itu—saat ia masih tinggal bersama neneknya sewaktu kecil. Rumah mereka kebetulan bersebelahan,  sehingga besar kemungkinan mereka sering bertemu.

Mayra ingat betul bagaimana awal perkenalan mereka. Ia sedang berdiam diri di depan gerbang rumah, menunggu pedagang bubur kesukaannya. Tiba-tiba ada seorang anak kecil seumurannya melewatinya begitu saja dengan songong. Mayra kecil tak terlalu memikirkan itu, ia hanya diam—yang berlangsung hanya beberapa detik saja—karena Mayra segera menolong si anak songong yang ternyata jatuh terperosok ke dalam selokan. Mayra menolong anak itu untuk naik ke trotoar—dengan tubuh kecilnya. Mungkin kalau Mayra sudah segede sekarang,  ia tidak akan menolongnya, malah akan menertawakannya habis-habisan. Wajar, saat itu ia hanya bocah yang masih berumur lima tahun. 

"Kamu ke rumah aku dulu yuk? Kita bersihin badan kamu,"

Gadis kecil itu menggeleng. "Rumah aku di sana." tunjuknya pada rumah di samping rumah Mayra.

Mayra mengangguk. "Ayo aku anterin—

"Sorry," ucap seseorang—menginterupsi perbincangan keduanya.

Siapa lagi ini!? Berani-beraninya mengganggu acara nostalgia dirinya dan Annisa!

Mayra menengok, dan ....

——

Di dalam ruangan yang sepi dan senyap itu terdapat seseorang yang sedang duduk bosan di sofa. Tak ada pergerakan yang berpengaruh dari dalam sana. Orang yang tak ada keinginan bergerak kecuali bernafas itu, tak lain dan tak bukan ialah Fero yang bingung ingin melakukan apa.

Gabut. 

Hanya kata itu yang dapat  mewakili keadaannya saat ini. Hal-hal kecil sudah ia lakukan untuk menghilangkan kegabutannya, seperti—makan?malas. Main game? Bosan. Ngerjain pr? Ogah, dipikirin aja gak pernah—kecuali sekarang. Nongkrong bareng temen? Fero sudah menelpon semua sahabatnya, tapi tidak ada yang free semuanya mempunyai agenda bersama pacar masing-masing. Kenapa Fero tidak punya pacar? Ia belum pernah merasakan apa itu rasanya jatuh cinta pada seorang gadis manapun. Fero juga agak anti dengan yang namanya cewek-cewek. Bukan apa-apa, ia hanya takut merusaknya bukan menjaganya. Fero takut kalau disaat ia sudah benar-benar jatuh cinta, sang pujaan hati malah meninggalkannya—karena ia sendiri pernah merasakan bagaimana ditinggalkan oleh seorang perempuan.

Bagaimana tidak takut merusak, kejadian minggu lalu saja sudah membuktikannya, dengan orang yang baru dikenalnya saja ia bisa berbuat nekat dengan mencium Mayra—bagaimana rasanya bibir tipis itu ugh ... begitu manis, tak pernah Fero merasakan bibir semanis itu—mulai saat itu bibir dengan rasa manis tiada tara itu jadi candu baginya. Pertanyaannya, apakah Fero bisa merasakan bibir itu lagi?

Fero menggeleng—berusaha menghempaskan pikirannya dari itu semua. Ia beranjak dari sofa, lalu berjalan menuju kamarnya.

Apartemen mewah ini sudah menjadi tempat tinggalnya sejak dua tahun lalu—saat ia masuk Sma. Bukan tidak punya keluarga atau benci pada keluarganya, Fero hanya ingin mandiri. Walau awalnya ia mendapatkan semua ini dari ayahnya—tak ada Ayah manapun yang ingin hidup anaknya kesusahan. Ayahnya—Daddy juga memberikannya sebuah cafe yang Fero beri nama Fee cafe. Sudah dua tahun sejak Daddy memberikannya semua itu, dan akhirnya Fero bisa mengganti semuanya.

Hubungannya dengan Daddy maupun dengan sang Mommy selalu baik-baik saja. Kenapa Fero memilih untuk hidup mandiri? Karna keinginannya sendiri dan juga kalau ia tinggal di rumah bersama kedua orangtuanya, ia lebih sering ditinggal sendirian untuk urusan bisnis. Fero benci itu. Tapi ia tak membenci Daddy dan Mommy. Malahan Daddy manapun Mommy membebaskannya berbuat apapun—bila terjadi sesuatu Fero harus selalu siap untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.

Mereka sering menghabiskan waktu bersama bila punya waktu. Walaupun jarang, tapi momen itu paling ditunggu olehnya. Kadang juga Mommy selalu datang ke apartemennya membawakan makanan yang berbeda-beda setiap saatnya—yang tentunya buatannya sendiri. Atau tidak—Fero yang selalu mengunjungi rumah.

Seperti satu minggu ini—Daddy dan Mommynya itu malah asik-asikan liburan tanpa mengajaknya. Awalnya sih urusan bisnis, tapi Mommynya bilang pemandangan di sana bagus dan ingin liburan—memang sang Mommy selalu ikut kemanapun Daddy pergi, Mommynya Fero terbilang posesif dan Daddynya pun tak keberatan dengan itu—malah terlihat senang. Dan sekarang Fero yang merasa kesepian akibat mereka.

Fero membuka nakas, dan menemukan sebuah dompet berwarna biru muda. Tangannya membuka lipatan dompet itu. Ia menemukan sebuah foto sepasang siswa smp—dapat terlihat dari pakaian mereka yang berwarna putih-biru. Si pria merangkul gadis berkacamata bulat yang terlihat culun—wajah gadis itu terasa familiar baginya—ia pernah melihat wajahnya. Tapi dimana?

Yang pastinya foto itu pasti punya pemilik dompet itu, Mayra—ya, siapa lagi.  Pada saat kejadian malam mereka pertama bertemu—sesaat setelah Mayra masuk ke dalam apartemen, Fero menemukan dompet itu di depan pintu. Niatnya ingin mengembalikan barang itu dengan mengetuk pintu, tapi tak ada yang menanggapinya. Akhirnya ia langsung masuk ke dalam apartemennya, lalu menyimpan benda berwarna biru itu ke dalam laci. Dan Fero melupakannya sampai saat ini. 

Fero membuka lemari dan mengganti  bajunya dengan jeans dan hoodie. Dompet itu ia masukan ke dalam saku belakang jeansnya. Tak lupa ia meraih kunci motor kesayangannya. Ia berjalan ke luar apartemen tanpa menutup pintu. Fero mengetuk pintu apartemen di depannya. Tak ada respon apapun dari dalam sana. Ia mengetuk lagi dan tak ada yang merespon lagi.

Fero menghela nafas. Susah sekali menemui gadis itu—padahal niatnya baik ingin mengembalikan dompet ini—takutnya penting.

Pintu apartemen ia tutup. Ia menaiki lift.

Sepertinya ia akan ke cafe miliknya saja. Daripada diam saja di rumah seperti orang tolol. Lagi pula Fero sudah lama tak mengontrol cafe miliknya itu. Setidaknya di sana ia bisa ngopi-ngopi, walau sendiri. Tak apalah.

Tak terasa ia sudah sampai di basement. Ia menghampiri motor hitam kesayangannya, lalu mulai menyalakannya dan ikut berbaur bersama kendaraan lainnya.

Letak Fee cafe memang tak jauh dari apartemennya. Sehingga tak butuh waktu lama untuk sampai di sana. Tapi kenapa jalanan bisa selengang ini, padahal pada jam seperti ini jalanan ramai.

Sesudah memarkirkan motornya di parkiran khusus, Fero memasuki cafe lewat depan yang disambut hangat oleh sang manager.

Fero berbincang sebentar bersama Andre—sang manager. Menanyakan apakah semuanya baik-baik saja, dan ya—jawabannya selalu seperti itu. Andre selalu bisa menghandel semuanya dengan baik. Ia percaya sepenuhnya pada Andre. Setelah obrolan selesai, ia meminta Andre untuk memesankannya latte—seperti biasa.

Selagi Fero memilih tempat, mata hazelnya menangkap seseorang yang tadi sempat ia cari. Kursi di sana baru terisi oleh dua orang dan masih kosong dua kursi lagi.

Ia ragu Mayra mengenalnya. Fero menyipitkan matanya—ah, iya. Fero mengenal perempuan yang duduk di depan Mayra. Hampir setiap malam Fero bertemu gadis itu. Setidaknya ia punya alasan menghampiri meja mereka.

Samar-samar telinga Fero mendengar pembicaraan mereka. 

"Lo nyusruk ke selokan, oh no! Hahaha!"

Tanpa sadar Fero tersenyum kecil melihat Mayra tertawa lepas. Dan tak lama kemudian ia sudah sampai di meja itu.

"Sorry,"

Mayra menoleh sambil menatapnya garang.

Fero mengangkat satu alisnya. Ekspresi selanjutnya dari Mayra membuat ia ingin tertawa.

Mayra melotot melihat pria di hadapannya.  Pria ini kan ....

Sial!

"Boleh gue gabung?"

Mayra semakin melotot saja mendengar ucapan Fero. Sial! (2)

"Lo Fero 'kan?"

Kenapa Annisa bisa mengenal lelaki ini!?

Sial! (3)

Fero tersenyum manis—entah kenapa moodnya kembali naik seketika. 

Si–udah berapa kali gue ngumpat?! Tapi gengs senyum cowok di hadepan gue ini ... Sumpah gue gak pernah liat senyum cowok semanis itu. Bisa diabetes gue.

"Kenapa lo May?" tanya Annisa heran.

"Senyuman lo manis."

Tolol lo May!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!