Pagi menjelang, bahkan sebelum azan Subuh berkumandang, Anjani sudah terbangun. Matanya sembab, bekas tangis semalam masih terasa. Sepi. Sunyi. Hanya detak jam dinding yang menemani kesendiriannya. Bohong kalau dia bilang tidak sakit hati. Ulang tahunnya berlalu begitu saja, tanpa satu pun ucapan dari suami, mertua, atau ipar-iparnya. Yang lebih menyakitkan—mereka justru terlihat begitu bahagia merayakan ulang tahun wanita lain. Lusi. Wanita yang jelas-jelas tengah berusaha merebut suaminya.
Meski hatinya perih, Anjani tetap melangkah ke dapur. Rutinitas pagi yang tak pernah absen: menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Tak ada yang peduli. Tak ada pujian, apalagi ucapan terima kasih. Seolah-olah apa yang ia lakukan setiap hari hanyalah kewajiban kosong tanpa arti. Padahal, andai mereka mau berpikir sejenak—bagaimana jadinya jika tak ada yang menyiapkan makanan pagi?
Satu per satu anggota keluarga mulai berkumpul di meja makan.
“Lusi semalam cantik banget, ya,” ucap Mirna dengan senyum mengembang.
“Iya, Mah. Cantik dan kelihatan berkelas,” sahut Nina antusias.
“Aku kalau udah lulus nanti, mau jadi wanita karier aja. Nggak mau jadi ibu rumah tangga,” celetuk Nani sambil menyendok nasi.
“Iyalah. Masa kuliah mahal-mahal cuma buat jadi ibu rumah tangga,” sahut Mirna cepat, menegaskan.
“Sudah, sudah. Makan dulu. Jangan ngobrol terus,” tegur Adi, ayah mertua Anjani, datar.
Mirna hanya mendengus lalu melanjutkan, “Pokoknya kalian berdua ingat, ya. Lulus nanti jangan mau cuma di dapur. Malu sama titel kalian.”
Anjani diam. Hatinya menggumam lirih, “Andai kalian tahu… aku lulusan IPB dengan predikat cumlaude. Aku pernah ditawari posisi tenaga ahli langsung oleh kementerian. Aku ini master dengan nilai terbaik, tapi kuliah bukan untuk dibanggakan. Ilmu pengetahuan itu tanggung jawab. Bukan pameran gelar. Sekolah tinggi, tapi tak bermanfaat untuk orang lain, buat apa?”
Ia tersenyum kecil, lalu menuang teh ke cangkir tanpa sepatah kata pun.
Setelah sarapan, Nina dan Nani berangkat kuliah dengan langkah angkuh. Seolah status sebagai mahasiswi adalah puncak kejayaan hidup. Padahal, justru setelah luluslah kehidupan yang sesungguhnya dimulai—tempat pembuktian siapa yang benar-benar tangguh.
Riki pun berangkat kerja. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Anjani sempat menatap punggung suaminya, berharap mendengar satu kalimat sederhana, “Maaf, sayang. Aku lupa ulang tahunmu.” Tapi, itu hanya angan. Riki berlalu tanpa sepatah kata pun.
Pak Adi juga pergi entah ke mana. Meski tak bekerja, dia memilih meninggalkan rumah. Barangkali bosan dimarahi Mirna, istrinya. Atau mungkin pura-pura sibuk mencari bisnis demi harga diri.
Sementara itu, Mirna kembali ke kamar, melanjutkan "bobo cantiknya". Enam bulan terakhir hidupnya terasa seperti ratu—semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Anjani. Tapi karena Anjani terlihat sederhana, tanpa dandanan, dan dianggap tak berpendidikan, ucapan terima kasih pun terasa terlalu mahal untuk diberikan padanya.
Selesai mencuci piring dan menyapu rumah, Anjani kembali ke kamar. Di sana, dia membuka laptop dan memeriksa aplikasi kontrakan yang ia rancang sendiri. Dari sana, ia bisa melihat data penghuni, pembayaran, hingga rekaman CCTV. Untuk setiap 50 pintu kontrakan, satu orang pengurus dipercaya menjalankan operasional.
Pendapatan bulan ini tertera: Rp150.000.000. Setelah dipotong operasional sebesar Rp70 juta, bersihnya Rp80 juta. Anjani tersenyum kecil. “Andai mereka tahu penghasilanku, mungkin mereka akan menyembahku,” gumamnya.
Bukan gelar atau seragam yang membuatnya berharga, tapi pikirannya yang tajam dan kerja keras tanpa pamrih.
Ia lalu membuka email. Beberapa universitas negeri dan swasta mengundangnya menjadi dosen. Ada pula lembaga riset yang memintanya jadi tenaga ahli.
“Kita lihat nanti. Aku ingin tahu ke mana rumah tanggaku akan berlabuh,”bisik Anjani. Ia menutup email, lalu melanjutkan membaca artikel ilmiah—kebiasaan yang membuat pikirannya tetap tajam, meski hatinya mulai lelah.
Meski lelah, Anjani tetap melaksanakan kewajibannya: menyiapkan makan malam. Tak adayang spesial—hanya nasi, sayur, dan lauk sederhana. Mereka sekeluarga jarang berkumpul saat malam, tapi Anjani tetap menjalankan perannya seperti biasa.
Sudah hampir sebulan ini, Riki selalu pulang malam. Termasuk malam ini. Jam delapan baru terdengar deru mobilnya di depan rumah. Meski hatinya telah lelah menunggu, Anjani tetap menyambutnya seperti istri yang tak pernah kehilangan cinta.
Ia menyambut Riki di depan pintu, mengambil tasnya, mencium tangannya, dan merapikan sepatunya dengan lembut.
“Bang, mau makan dulu atau mandi?” tanya Anjani lembut.
“Aku mandi dulu. Tolong siapkan air hangat ya,” ucap Riki dengan senyum tipis.
Senyuman itu membuat hati Anjani terasa hangat. Ia rindu momen-momen kecil seperti itu. Mungkinkah Riki mulai berubah? Mungkinkah semua luka akan segera sembuh?
Tanpa banyak pikir, Anjani masuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat. Setelah selesai, ia melangkah ke ruang tengah hendak memanggil Riki. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar percakapan dari balik pintu.
“Bu, aku dipromosikan jadi kepala cabang di luar kota,” suara Riki terdengar senang.
“Wah, gaji kamu naik dong?” sahut Mirna bersemangat.
“Iya, Mah. Dapat rumah dinas dan kendaraan juga,” jelas Riki.
“Kalau begitu kamu harus cepat menikah dengan Lusi. Cocok banget! Dia berpendidikan, wanita karir, pasti bikin kamu bangga,” suara Mirna menggebu.
Anjani terdiam. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Bahkan ibu mertuanya sudah merancang masa depan seakan dirinya tidak pernah ada.
“Aku masih mencintai Anjani, bu,” ucap Riki pelan.
“Kamu itu jangan bodoh! Kamu sudah janji nikahi Lusi. Jangan bikin Ibu malu!” hardik Mirna.
“Aku mau dua-duanya, Bu.”
Anjani tak tahan lagi. Ia masuk dengan wajah tenang, menyembunyikan luka di dadanya.
“Mas, air hangatnya sudah siap,” ucapnya pelan, menahan air mata yang nyaris jatuh.
Malam itu, selepas membereskan dapur dan memandikan dirinya dengan air hangat untuk meredakan lelah, Anjani duduk di pojok ranjang sambil membuka ponselnya. Seperti biasa, ia hanya ingin mengecek jadwal kontrakan dan beberapa email pekerjaan. Namun, satu notifikasi mencuri perhatiannya—grup WhatsApp "Keluarga Besar Pratma".
Grup yang berisi saudara-saudara riki
Anjani melihat grup tersesebut
[Nina menambahkan lusi]
“wow sudah terang-terangan memasukan pelakor ke keluarga besar” pikir anjani
Nina : Selamat datang calon kaka ipar
Nani : akhirnya kita akan punya kaka ipar yang dibanggakan
Rina (sepupu) : wih ini yang S2 dari singapura itu ya
Nina : iya dong
Mirna : selamat datang lusi cantik pintar wanita karir
Lusi : terimakasih semuanya maaf tadi aku sibuk di kantor
Susi : wow akhirnya kita akan dapat menantu wanita sukses bukan menantu upik abu
Nina mengirim foto foto: Lusi dan Riki, berdua, duduk berdempetan di sebuah kafe mewah. Lusi tersenyum penuh percaya diri, sementara Riki tampak canggung tapi tidak menolak.
Caption yang menyertai foto itu lebih menyakitkan daripada foto itu sendiri.
"Semoga cepat resmi ya, biar nggak main belakang terus."
Disertai emotikon hati dan tanda tertawa.
Grup langsung gaduh. Sepupu-sepupu Riki dan beberapa tante mulai menimpali.
"Aduh, akhirnya diumumkan juga ya. Udah cocok dari dulu."
"Cewek pintar dan cantik emang pas buat jadi istri manajer."
"Eh, yang di rumah itu masih ada nggak sih? Jangan-jangan numpang doang."
“masa manajer istrinya hanya ibu rumah tangga menjijikan sekali”
Sindiran pasif-agresif mengalir deras, seperti hujan di tengah malam. Tak satu pun menyebut nama Anjani, tapi semua tahu siapa yang dimaksud.
Anjani membaca semuanya. Sekilas hatinya mencubit, tapi bukan luka yang terasa—melainkan kelegaan aneh. Dia diam sejenak, lalu menaruh ponselnya di atas pangkuan. Kepalanya menunduk, dan tawa kecil lolos dari bibirnya.
“Ternyata segini doang nilainya,” gumamnya lirih.
Satu per satu kepingan puzzle mulai tersusun jelas. Ia bukan istri dalam sebuah rumah tangga. Ia hanya batu loncatan. Tapi Anjani bukan wanita yang bisa diinjak lalu dilupakan. Diamnya bukan lemah. Tawanya bukan menyerah.
“baiklah jika itu mau kalian, maka akan aku tunjukan caraku bermain” gumam anjani pada dirinya
Kemudian dia melihat riki yang sudah tertidur pulas “jangan menyesal jika aku pergi”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Uthie
gtu dong.. jangan mau terus-menerus diinjak harga diri 👍🤨😏
2025-05-17
0