Chapter 5 : Sang Pembuat Roti

Maria tersenyum. “Aku takut dihadapkan pada pria seperti itu. Tampan, tetapi mematikan.”

“Kau sudah memiliki seseorang yang sangat baik. Daniel terlihat sangat mencintaimu,” ucap Emilia tulus. Dia mengajak Maria melanjutkan perbincangan sambil bersepeda, berhubung harus mengantarkan roti ke toko.

“Daniel sudah melamarku. Namun, aku belum memberikan jawaban karena ….” Maria tertawa pelan.

“Apa lagi yang jadi pertimbanganmu?”

“Entahlah. Aku mencintai Daniel dan menikmati hubungan kami. Namun, belum terpikir untuk lebih serius. Kau tahu sendiri orang tuaku bercerai secara tidak baik-baik. Pernikahan masih jadi sesuatu yang menakutkan bagiku.”

“Tidak selalu seperti itu, Maria. Kau dan ibumu belum tentu memiliki nasib yang sama.”

“Tapi, aku tidak mau menjadi janda dan harus mengurus anak seorang diri … ah, maafkan aku, Millie. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Namun, aku tidak yakin bisa sekuat dirimu dalam menghadapi kehidupan ini.”

Emilia tersenyum kecil. Dia tahu Maria tak sengaja menyinggung statusnya yang belum jelas.

“Tidak ada wanita manapun yang ingin menjadi janda. Ini juga bukan pilihan. Namun, terkadang hidup memaksa kita untuk menerima. Akan tetapi, itu tidaklah semenakutkan yang kau pikirkan.”

“Apa kau sudah mencari informasi lagi ke Yorkshire?” Maria mengalihkan topik pembicaraan.

Emilia menggeleng pelan. “Aku sudah lelah, Maria. Entah berapa persen harapan yang bisa kudapatkan. Untuk saat ini, aku hanya akan fokus membesarkan Blossom dan merawat ibu mertuaku. Lagi pula, sudah lebih dari 4 tahun. Kau pikir, apa yang bisa kuharapkan dari penantian ini?”

“Ah, Millie. Kau wanita yang luar biasa.”

Maria menghentikan laju sepeda di ujung jalan. Dia berpamitan karena harus mengambil jalur berbeda dengan Emilia.

Semilir angin berembus lembut di pertengahan musim semi. Pagi itu terasa hangat. Namun, hujan bisa datang sewaktu-waktu.

Emilia mengayuh sepeda sedikit lebih cepat karena ingin segera tiba di toko roti, tempatnya biasa menitipkan dagangan. Hasil dari penjualan roti-roti buatannya terbilang lumayan untuk menyambung hidup, selain dari pesanan yang diterima di rumah.

“Selamat pagi, Nyonya McCallister,” sapa Emilia, setelah memasuki toko milik seorang wanita tua bernama Christine McCallister.

“Selamat pagi, Millie. Aku baru membuka toko. Hari ini, aku bangun kesiangan,” balas Christine.

“Anda tidur sangat nyenyak.” Emilia tersenyum menanggapi ucapan Christine.

“Bukan begitu, Nak. Justru karena semalam aku tidak bisa tidur. Usiaku sudah terlalu tua. Banyak yang kurasakan.” Christine menyentuh pundak dan punggungnya.

“Kata siapa Anda sudah tua? Buktinya, Anda masih sanggup mengelola toko seorang diri. Aku sangat kagum karena Anda tidak memilih duduk di rumah sambil menyulam dan menonton televisi. Sehat selalu, Nyonya McCallister.”

“Ya, Tuhan. Kau memang paling pandai dalam menyanjung seseorang.”

Emilia tertawa renyah. Bersamaan dengan itu, ada seseorang yang masuk ke toko.

“Ah, pembeli pertama hari ini. Selamat pagi, Tuan,” sambut Christine hangat.

Sementara itu, Emilia sibuk menata roti ke dalam etalase.

“Nyonya Olsen?”

Emilia yang tengah menata roti, langsung menghentikan pekerjaannya dan menoleh. Dia mendapati Ethan tersenyum, meskipun diiringi tatapan agak aneh.

“Apa kau bekerja di sini, Nyonya?” tanya Ethan.

“Tidak,” jawab Emilia singkat, kemudian melanjutkan pekerjaan hingga selesai, tanpa memedulikan ajudan kepercayaan Hardin tersebut.

“Emilia biasa menitipkan roti buatannya di sini, Tuan,” ucap Christine menimpali.

Ethan langsung mengernyitkan kening, seraya memperhatikan roti-roti yang baru selesai ditata dalam etalase. Sesaat kemudian, pria bermata cokelat terang itu menyunggingkan senyum kecil.

“Semuanya 150 buah, Nyonya McCallister,” ucap Emilia, yang lagi-lagi tidak memedulikan keberadaan Ethan.

“Baik, Nak. Akan kuhubungi lagi setelah 3 hari.”

Emilia mengangguk, diiringi senyum hangat. “Aku pergi dulu. Sampai bertemu lagi, Nyonya,” pamitnya, kemudian berbalik ke pintu. Emilia hanya menoleh sekilas kepada Ethan. Dia mengangguk samar, sebelum keluar dari toko.

“Astaga. Dunia ini jadi terasa begitu sempit sejak Rogers Farm beralih kepemimpinan,” keluh Emilia, seraya mengayuh sepeda menuju jalan pulang.

Sekitar pukul sepuluh, Ethan sudah kembali ke rumah peternakan. Dia langsung menghadap sang majikan, yang sedang berada di ruang kerja.

“Bagaimana? Apa kau sudah bertemu langsung dengan Tuan John Bradley?” tanya Hardin, tanpa mengalihkan perhatian dari layar komputer.

Selain mengelola Rogers Farm peninggalan mendiang sang kakek, Hardin juga merupakan CEO dari Rogers Crown Technology (RCT), sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pengembangan perangkat lunak dan berbasis di London. Selain itu, RCT juga sudah memiliki beberapa cabang di negara besar Eropa dan Amerika.

“Sudah, Tuan. Dia siap bekerja sama dengan Anda.”

“Bagus.” Hardin mengembuskan napas berat, kemudian mengalihkan perhatian kepada Ethan. “Kenapa?” tanyanya, seraya menautkan alis melihat ekspresi sang ajudan yang dinilai tidak biasa.

“Aku mampir ke toko kue langganan mendiang kakek Anda, Tuan,” jawab Ethan tenang.

“Lalu?” Hardin mengambil kotak cerutu, lalu mengeluarkan sebatang dan sudah hendak membakarnya. Namun, gerak pria itu terjeda, ketika Ethan meletakkan paper bag berlabel toko kue yang diceritakan tadi. Hardin menatap aneh sang ajudan. “Aku sudah sarapan, Ethan,” ucapnya.

“Barangkali, Anda ingin menikmati roti itu untuk teman minum teh nanti sore,” ucap Ethan tenang.

Hardin menggeleng tak mengerti, diiringi embusan napas pelan. Dia membakar cerutu, hingga asap tipis mengepul dari gulungan tembakau itu.

“Silakan dilihat, Tuan. Itu adalah roti kering kesukaan Anda,” suruh Ethan sopan.

“Apa-apaan kau ini?” Hardin makin tak mengerti. “Tapi, terima kasih. Akan kumakan nanti sore.”

“Baiklah. Aku sengaja membelikan beberapa jenis roti. Namun, semuanya merupakan buatan orang yang sama.”

“Itu bukan urusanku. Aku hanya menikmati rasanya yang enak. Tidak penting siapa yang membuat, selama makanan itu bersih,” ujar Hardin tak acuh.

“Roti yang biasa Anda beli dari toko Nyonya Christine McCallister adalah buatan menantu Nyonya Meredith Olsen.”

“Emilia?” Refleks, Hardin menyebutkan nama ibunda Blossom tersebut.

“Ya, Tuan. Tadi, aku bertemu dengannya ketika sedang mengantar roti ke sana. Ini sangat kebetulan. Iya, kan?”

Hardin tidak menanggapi. Pria itu terdiam sejenak, sebelum bersikap sok tak peduli. “Ya, sudah. Terima kasih informasinya.”

“Sama-sama, Tuan,” balas Ethan, diiringi senyum yang agak ditahan. Dia dapat melihat perubahan ekspresi sang majikan, yang berusaha disembunyikan.

“Baiklah, Tuan. Aku harus ke London setelah makan siang nanti. Sesuai dengan yang telah kita bahas sebelumnya, aku baru akan kembali setelah tiga hari. Jika Anda membutuhkan sesuatu, panggil saja Mathias. Dia sudah tahu semua tugas yang biasa kulakukan,” pesan Ethan.

Hardin mengangguk. “Sampaikan salamku untuk keluargamu.”

“Baik, Tuan. Permisi,” pamit Ethan.

Sepeninggal Ethan, Hardin terdiam beberapa saat. Setelah memastikan sang ajudan benar-benar pergi, barulah dirinya menarik paper bag hingga mendekat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!