Nadira menatap pintu besar di hadapannya—pintu menuju ruang CEO Mahendra Digital, atau lebih tepatnya, ruang kerja Rakha. Ia baru saja tiba di kantor ketika sekretaris Rakha memintanya langsung menuju ke sana.
Setelah beberapa saat terdiam, Nadira akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu dengan perasaan yang sulit dijabarkan—campuran antara cemas, bingung, dan sedikit jengah.
“Masuk!” suara berat itu terdengar dari balik pintu.
Dengan napas tertahan, Nadira memutar kenop dan melangkah masuk. Tatapan tajam Rakha langsung menyambutnya dari balik meja, tempat ia duduk tenang di kursinya—namun sorot matanya berkata sebaliknya.
"Kemarilah," ucap Rakha, suaranya datar namun penuh kuasa.
Satu kata itu cukup membuat Nadira melangkah mendekat, entah karena keinginannya untuk menurut atau karena takut Rakha akan membuat keributan setelah melihat kemesraannya dengan Galendra. Ia berhenti di depan meja kerja Rakha, berusaha menjaga jarak aman.
"Lebih dekat dengan saya," titahnya, kali ini terdengar lebih tegas.
Nadira kembali melangkah, meskipun jantungnya berdetak tidak beraturan. Sesaat setelah ia cukup dekat, Rakha meraih pergelangan tangannya dan menariknya tanpa peringatan. Nadira terkejut, dan dalam sekejap tubuhnya sudah berada di pangkuan lelaki itu.
"Apa yang Anda lakukan?" tanya Nadira, berusaha memberontak dan bangkit, namun Rakha langsung memeluk pinggangnya dari belakang, mengunci pergerakannya dan tidak membiarkannya pergi.
"Pak Rakha..." ucap Nadira dengan suara bergetar.
"Berapa kali saya harus bilang? Panggil saya Rakha kalau kita hanya berdua," ujar lelaki itu, lalu mendekat dan mengendus aroma parfum yang dikenakan Nadira.
Nadira tercekat. Ia tidak menyangka Rakha berani melakukan hal seperti ini terhadapnya—di kantor pula.
“Pak Rakha... Jangan seperti ini. Bagaimana jika ada yang melihat kita dan salah paham?” tanyanya, masih berusaha melepaskan diri, meski rasanya percuma karena pelukan Rakha terlalu erat.
“Rakha, Nadira. Panggil saya Rakha,” ucap Rakha kembali mengoreksi cara Nadira memanggilnya.
“Kalau kamu tidak diam dan terus berontak, justru orang-orang akan curiga,” lanjutnya, membuat Nadira akhirnya berhenti meronta.
Nadira terpaksa membiarkan dirinya dalam pelukan Rakha, membiarkan lelaki itu memperlakukannya sesuka hati—daripada orang-orang berdatangan dan mengetahui hubungan yang tidak seharusnya ini.
“Nah, seperti ini baru bagus,” ujar Rakha sambil mengubah posisi Nadira dalam satu gerakan cepat. Kini Nadira duduk di pangkuannya, menghadap langsung ke arahnya—posisi yang sama seperti yang terjadi semalam.
Nadira hanya menunduk, berusaha menahan diri dari perlakuan Rakha yang semakin melampaui batas.
“Cium saya, Nadira,” ucap Rakha tiba-tiba.
Nadira langsung mendongak, matanya membelalak tak percaya. “Bapak bercanda?”
Namun Rakha tidak menjawab. Ia justru menarik tengkuk Nadira dan mencium bibir perempuan itu. Nadira mengatupkan mulut, mencoba menolak, tetapi Rakha tetap memaksanya—memaksakan kehendaknya atas tubuh yang bukan miliknya.
“Buka mulut kamu,” bisik Rakha, suaranya terdengar berat dan penuh penekanan.
Nadira terpaksa menurut. Ia membuka mulutnya, membiarkan Rakha melakukan apa yang diinginkannya—semata demi menjaga hubungan mereka agar tidak terbongkar kepada orang lain. Tanpa sadar, air matanya menetes. Ini bukan sesuatu yang ia inginkan, tetapi Rakha tampaknya tidak peduli.
Setelah merasa cukup melampiaskan niatnya—yang telah ia rancang sejak awal memerintahkan sekretarisnya memanggil Nadira—Rakha akhirnya menghentikan tindakannya. Ia menatap wajah Nadira dan dengan pelan menghapus air mata yang membasahi pipinya.
“Jangan menangis. Saya tidak suka melihat air matamu,” ucap Rakha, tanpa sepenuhnya menyadari bahwa penyebab tangis itu adalah dirinya sendiri.
Nadira tidak menggubris dan tetap menangis. Ia merasa sepenuhnya terjebak dalam pusaran perasaan yang rumit bersama anak dari atasannya sendiri.
“Nadira...” Rakha seketika panik. Bukan karena khawatir orang lain di luar mendengar tangisan itu, melainkan karena hatinya ikut nyeri melihat air mata Nadira.
“Saya minta maaf... Saya kelewatan,” ucapnya lirih. Permintaan maaf itu tulus, lahir dari lubuk hatinya yang paling dalam. Namun, obsesi Rakha untuk memiliki Nadira tidak surut sedikit pun.
“Ini salah, Rakha. Aku akan menikah dengan lelaki lain, dan kamu tahu itu,” ucap Nadira dengan suara terisak.
Rakha menggeleng pelan, tetapi mantap. Ia tidak akan membiarkan Nadira bersanding dengan lelaki lain. Ia melakukan semua ini bukan untuk merusak, tetapi karena ingin menjadikan Nadira sepenuhnya miliknya.
“Kamu tidak akan menikah dengan lelaki mana pun. Lelaki yang akan menikahimu itu aku,” ucap Rakha, penuh keyakinan.
“Kamu sadar apa yang kamu katakan?” tanya Nadira, menatap Rakha tepat di matanya. Ia tidak sadar telah memanggil Rakha dengan cara yang tak lagi formal. Sapaan ‘aku–kamu’ itu membuat mereka terdengar begitu akrab.
“Aku sadar, dan aku memang berniat menikahimu. Kita akan hidup bahagia bersama, memiliki anak—”
“Rakha!” Nadira menyela, menghentikan kalimat Rakha yang terasa seperti bualan baginya.
“Dengar baik-baik.” Nadira memegang wajah Rakha, memaksanya menatap langsung ke matanya. Posisi mereka masih sama—Nadira duduk di pangkuan Rakha, tubuhnya menghadap lelaki itu.
“Aku akan melupakan semuanya, semua yang sudah kamu lakukan. Tapi setelah ini, jangan pernah lakukan lagi, oke?” ucap Nadira dengan sorot mata serius.
Rakha membenci tatapan itu. Tatapan yang seolah menempatkannya sebagai adik yang melakukan kesalahan dan harus diarahkan agar kembali ke jalan yang benar.
“Kamu memiliki masa depan yang cerah, calon penerus perusahaan ini. Jangan lakukan hal seperti ini lagi, kepada siapa pun, kecuali kepada istrimu kelak,” lanjut Nadira dengan nada lembut, seolah menyampaikan secara tidak langsung bahwa setelah ini, mereka akan melanjutkan hidup masing-masing—sebagai orang asing.
Dan hal itu membuat Rakha tidak menyukainya sama sekali.
“Kamu pikir, masa depan seperti apa yang akan aku jalani jika tidak ada kamu di sana?” tanya Rakha dalam hati. Ia tidak mengatakannya langsung, hanya mengungkapkan dalam diam.
Ia tahu, Nadira memang memiliki hati yang sebaik dan selembut itu. Nadira selalu memaafkan kesalahan orang lain, bahkan tidak segan meminta maaf atas kesalahan yang bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.
Nadira memiliki luka batin yang dalam, luka yang membuatnya merasa bahwa segala kesalahan di dunia ini adalah akibat dirinya. Rakha tahu itu, dan menerimanya dengan sepenuh hati.
Galendra? Belum tentu. Lelaki itu bahkan mungkin tidak benar-benar mengenal Nadira. Perkenalan mereka terlalu singkat—berawal dari Galendra yang menjadi pelanggan salah satu salon milik Mahendra Grup, kebetulan saat itu Nadira sedang berada di tempat yang sama.
Beberapa kali pertemuan dalam sesi perawatan, lalu Galendra melanjutkan pendidikan ke luar kota. Setelah lulus dan mapan, ia kembali dan tiba-tiba melamar Nadira—seolah hanya membutuhkan seorang istri untuk melengkapi rencana hidupnya.
“Baiklah, untuk sekarang kita anggap semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Tapi keinginanku untuk memilikimu... itu tidak akan pernah benar-benar berakhir,” gumamnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Beerus
Suka banget sama buku ini. Jangan lupa update terus ya!
2025-05-12
0
Susanti
semangat
2025-05-16
1