Nadira menatap bayangan dirinya di cermin. Keadaannya saat ini sungguh tidak baik—mata sembap, rambut masih basah dan kusut. Ia telah mengguyur seluruh tubuhnya dengan air, mandi menggunakan sabun, tetapi rasa kotor itu belum juga hilang.
"Kamu milik saya, Nadira."
Nadira memejamkan mata saat suara itu kembali terngiang di telinganya. Ia telah mengingat hampir segalanya—bahwa dirinya tidak hanya duduk di pangkuan Rakha dan berciuman dengannya. Mereka telah melakukan sesuatu yang jauh lebih dari itu.
Ia kemudian berbalik, menatap ke arah ranjang dengan sorot mata kosong. Di sana ada darahnya—jejak yang menjelaskan bahwa dirinya telah kehilangan keperawanan karena Rakha.
"Seharusnya aku menjaga jarak dari Rakha sejak dulu," gumamnya, menyesal karena telah membiarkan dirinya terlalu dekat dengan lelaki itu.
Ting!
Suara notifikasi pesan masuk mengalihkan perhatiannya. Perlahan, dengan tubuh yang seakan kehilangan semangat untuk hidup, ia melangkah menuju meja nakas tempatnya menyimpan ponsel.
Sesampainya di sana, ia mengambil ponsel tersebut. Satu pesan baru telah masuk—dari Galendra, calon suaminya.
Galen 🤍:
Nanti siang aku ke kantor kamu ya, kita makan siang bareng.
Nadira menatap layar ponsel itu lama, tanpa membalas. Ia tidak yakin akan pergi ke kantor hari ini. Ia pun tidak yakin apakah dirinya masih pantas untuk tetap bersama Galendra, ataupun melanjutkan rencana pernikahan mereka.
Ting!
Pesan lainnya muncul. Kali ini bukan dari Galendra, melainkan dari Mahendra, bosnya. Nadira membaca pesan itu tanpa lebih dulu membalas pesan dari Galendra.
Pak Mahendra:
Orang yang akan menggantikan kamu akan masuk hari ini. Tolong ajari dia sampai siap agar bisa menggantikanmu setelah kamu keluar nanti.
Pesan itu seakan mendorongnya untuk tetap masuk kerja. Ia memang berniat mengundurkan diri dari pekerjaannya setelah menikah, dan orang baru yang dimaksud adalah pengganti yang akan mengambil alih seluruh tugasnya.
Rencananya, ia ingin menjadi istri sepenuhnya bagi Galendra—melayani dan menyiapkan segala keperluan Galendra setelah mereka menikah nanti. Namun kini, ia merasa dirinya tidak lagi pantas untuk itu.
Nadira menghela napas panjang, lalu membalas kedua pesan itu satu per satu. Hanya satu kata yang ia ketik sebagai jawaban: iya. Setelah itu, ia mulai bersiap untuk pergi ke kantor.
“Kamu harus bisa menghadapi ini semua,” itulah yang bisa Nadira katakan kepada dirinya saat ini.
***
Mobil Mazda 2 berwarna Air Stream Blue milik Nadira berhenti di parkiran DevaSpace HQ, gedung pusat Mahendra Grup. Sebelum turun, Nadira bercermin pada spion mobilnya, memastikan matanya tidak terlalu sembap dan mencurigakan di mata rekan-rekannya di kantor.
“Seharusnya tidak akan ada yang sadar aku habis menangis,” gumamnya setelah memastikan matanya tidak terlalu merah atau sembap.
Ia telah mengompres matanya dengan es batu sebelum berangkat ke kantor. Ia memang tidak suka jika orang-orang mulai bertanya, “Ada apa?” atau “Kamu baik-baik saja?”
“Oke, Nadira. Kamu harus profesional. Sekarang kamu ada di kantor,” ucapnya pada diri sendiri, sebelum akhirnya turun dari mobil.
Namun, seakan semesta sengaja mengujinya—juga sikap profesionalnya—mobil yang sudah sangat familiar terparkir di dekat mobilnya. Mobil Rakha.
Nadira ingin sekali berlari dari sana sebelum Rakha keluar dari mobil, tetapi sayangnya, lelaki itu lebih dulu keluar... dan bahkan menyapanya.
“Selamat pagi, Nadira.”
Kata-kata yang sama seperti pagi tadi menyapanya kembali, membuat Nadira yang sudah bersiap pergi, terpaksa menghentikan langkah.
Nadira berbalik, berpura-pura tersenyum dan bersikap ramah. Ia membalas sapaan itu, “Pagi, Pak,” ucapnya singkat.
Awalnya, ia hanya berniat membalas sapaan itu sebagai bentuk profesionalitas di area kantor, lalu segera pergi setelahnya. Namun, Rakha menghentikannya—menahan pergelangan tangannya dengan lembut.
“Jangan menghindar. Saya tidak suka,” ucap Rakha sambil menarik pelan tangan Nadira agar berbalik menghadapnya.
“Soal tadi malam… saya akan bertanggung jawab,” lanjutnya, seakan ingin menambah beban dalam hidup Nadira.
Nadira menatap Rakha tajam. Ia tidak menyangka, anak remaja yang dulu pernah meringis saat ia membantunya mengobati luka, kini justru menjadi orang yang memberinya luka dan penghinaan yang begitu besar.
“Tidak perlu,” ucap Nadira dingin, lalu menepis tangan Rakha yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia tidak membutuhkan tanggung jawab Rakha, karena lelaki yang ingin ia nikahi sampai detik ini hanyalah Galendra.
“Jangan mengungkit soal tadi malam. Anggap saja itu tidak pernah terjadi,” ucap Nadira sebelum melangkah pergi, meninggalkan Rakha.
Ia ingin melupakan semuanya—bahwa dirinya telah kehilangan kehormatan karena Rakha. Dan jika memungkinkan, ia tetap ingin menjalani hidup sebagai istri dan ibu dari anak-anak Galendra.
Rakha mengepalkan tangan, menatap punggung Nadira yang semakin menjauh. Ia bertindak sejauh ini bukan untuk dilupakan. Ia ingin Nadira membatalkan pernikahannya, dan itulah yang akan terjadi.
“Kamu pikir saya akan menyerah begitu saja? Tidak akan!” gumamnya dengan wajah penuh emosi.
***
Di lantai 15 DevaSpace HQ, lantai tempat para eksekutif Mahendra Grup bekerja, Rakha sengaja berpura-pura pergi ke ruang ayahnya hanya untuk melihat Nadira, yang ruangannya berada tepat di sampingnya.
Namun, Nadira tidak ada di tempat. Padahal, Rakha jelas-jelas melihat Nadira lebih dulu menuju lantai atas.
"Ke mana dia?" gumamnya.
Saat ia hendak berjalan ke ruang ayahnya, matanya menangkap sosok Nadira di ruangan lain, bersama seorang lelaki yang tidak dikenalnya.
"Siapa dia? Karyawan baru?" tanyanya dalam hati, sambil memperhatikan interaksi antara Nadira dan lelaki itu—seseorang yang baru ia lihat hari ini.
Nadira dan lelaki itu tampak sangat akrab, seperti dua orang yang sudah saling mengenal lama dan baru saja dipertemukan kembali. Dan Rakha tidak menyukai itu.
Dengan perlahan namun pasti, Rakha melangkah menuju ruangan itu, lalu masuk begitu saja tanpa permisi. Ia adalah calon pewaris perusahaan, merasa berhak memasuki ruangan mana pun tanpa harus meminta izin. Terlebih lagi, ruangan itu kini dihuni oleh lelaki yang berani bersikap terlalu dekat dengan wanitanya.
“Sedang membahas apa? Sepertinya seru sekali,” ucap Rakha sambil berjalan mendekat ke arah Nadira dan lelaki yang ia yakini sebagai karyawan baru.
Nadira dan lelaki itu sontak menoleh dengan gerakan cepat. Keduanya tampak terkejut oleh kehadiran Rakha, terutama Nadira.
“Selamat pagi, Pak Rakha. Saya sedang menjelaskan kepada karyawan yang akan menggantikan saya mengenai hal-hal yang perlu dikerjakannya,” jawab Nadira dengan nada profesional. Ia berusaha tetap tenang, meski sebenarnya merasa terganggu dengan sikap Rakha kali ini.
Saat Nadira hendak memperkenalkan Rakha kepada karyawan baru, begitu pula sebaliknya, Rakha lebih dulu menyelanya dan meminta Nadira mengikutinya.
"Ada yang perlu saya bicarakan dengan kamu, Nadira. Tolong ikuti saya," ucap Rakha tanpa menunjukkan ketertarikan sedikit pun terhadap karyawan baru tersebut.
Dalam hati, Nadira ingin sekali memaki Rakha, tetapi ia berusaha menahannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments