Besoknya, Dokter melakukan kunjungan ke kamarku. Sudah deg-degan saja jantungku ini, bagaimana dengan pembayaran sewa kamar? Apakah orang tuaku membayar BPJS tepat waktu? Dan apakah kamar sebagus ini termasuk ke dalam kelas BPJS di RS ini? Kalau dilihat dari bentukannya sih ini ruangan VIP ya, apalagi aku di sini hanya sendirian, hanya ada space untuk 1 bed, dan sisanya sofa-sofa kulit.
Dokter bilang kondisiku sudah stabil, namun dia akan meresepkan beberapa obat. Intinya aku sudah boleh pulang hari ini.
Siang itu, aku bingung mau minta tolong siapa. Jadi aku hubungi saja Pakdeku yang berdomisili di Jakarta Timur. Kupilih yang jarak rumahnya paling dekat denganku saja
Pakde dan Bude datang.
“Dennis sudah boleh pulang? Kapan masuknya? Kok kamu nggak bilang-bilang Pakde?! Paling tidak hubungi di Grup Keluarga kan bisa, Den!” Pakdeku tampak khawatir terhadapku.
Aku lega.
Kalau begini caranya aku sebenarnya tak perlu bergantung ke Tante Vivianna kan?! Lagian dia orang lain. Masih banyak saudara-saudaraku yang kandung.
Jadi kami berbincang-bincang sesaat, Budeku bercerita mengenai obrolannya terakhir dengan ibuku, dan tak menyangka hal seperti ini bisa terjadi. Padahal semua seharusnya bisa dibicarakan. Hal-hal semacam itu yang membuatku merasa dekat dengan mereka.
Terus terang saja, sebagai anak laki-laki dan satu-satunya, aku jarang berinteraksi dengan saudara-saudaraku. Aku lebih sering bermain dengan Bahar, atau menjalani berbagai ekstrakulikuler. Saat lebaran pun aku lebih memilih untuk naik gunung bersama Bahar. Aku bahkan tak ingat nama sepupu-sepupuku.
Hal ini terjadi karena entah bagaimana Ayah selalu menghindar kalau ada kumpul keluarga. Ibuku juga agak sewot kalau ada acara keluarga besar pun itu dari pihaknya sendiri. Paling banter kalau ada kondangan, mereka berdua yang nongol, itu pun hanya sekejab.
Selesai aku menjelaskan mengenai penyakitku, aku pun kepikiran untuk mencari tempat tinggal.
“Pakde, kalau boleh, aku ingin menginap beberapa waktu di rumah pakde. Sampai hatiku tenang.” Aku pun bilang begini.
Pakde dan Budeku malah saling tatap.
Aku pun langsung diliputi perasaan tak enak.
Kenapa mereka saling lirik?
Kesannya mereka tak ingin aku ada.
“Dennis, ini Pakde bicarakan sekarang saja, karena memang kebutuhan mendesak.” Begini obrolan pembuka dari Pakde.
Astaga... debar jantungku makin tak karuan.
Pikiranku langsung tertuju ke pembicaraanku dengan Tante Vivianna kemarin.
“Kamu sudah dewasa, Pakde rasa kamu sudah mengerti.”
Aku hanya bisa diam menatapnya, menunggu kalimat selanjutnya.
“Ayah dan Ibumu memiliki hutang kepada kami. Jumlahnya banyak, ratusan juta. Demi kelangsungan hidupmu, lebih baik kamu jual rumah itu. Nanti kan hasil jualnya bisa dibagi-bagi. Ya sampai rumah itu terjual, kamu harus tinggal di sana, Dennis. Hutang itu kan kewajiban ahli waris.”
“Hasil jualnya... dibagi-bagi gimana maksudnya Pakde?” aku merasa ada sesuatu yang tidak wajar dari kalimat ini.
“Ya kamu kan belum pintar mengelola uang. Nanti kalau kamu yang pegang ya habis semua. Bisa kamu titipkan kepada kami, nanti kalau kamu ada kebutuhan kamu bisa hubungi kami. Dulu kami membantu ayah ibumu, sekarang sudah saatnya kamu bantu kami. Balas budi lah istilahnya. Jangan berpikiran buruk ya Dennis. Rumah ayahmu itu kegedean, bisa beli rumah segitu besar hanya untuk ditinggali 3 orang, kok ya masih pinjam uang ke kami untuk biaya sehari-hari. Kan nggak masuk akal. Nah dibagi-bagi itu ya anggaplah bunga berbunga. Begitu Dennis. Karena awalnya ayahmu-ibumu pinjam untuk modal usaha, jadi ya sifatnya profesional lah.”
Runtuh sudah keyakinanku.
Keyakinan kalau akan ada yang menolongku.
Aku sendirian.
Benar-benar sendirian.
Aku sebenarnya hampir menangis, saat ada WA dari bahar, berbarengan dengan WA dari Tante Vivianna.
Bahar mengirimiku pesan WA “Bro, dah boleh pulang kau? Ini kamarmu sudah disiapkan ibuku. Kalau sudah boleh pulang kujemput sekarang. Ini bapak juga mau kesana mau urus administrasi.”
Pandanganku yang tadinya gelap, langsung berubah cerah.
Aku masih memiliki teman.
Lalu kubaca WA dari Tante Vivianna. “Administrasi RS sudah saya bereskan. Kalau Pakde Budemu sudah pergi, orang saya akan ke atas menjemput kamu. Tanyakan ke mereka berapa hutang Doni, dan nomor rekening mereka.”
Loh?
Tante Vivianna kok tahu ada Pakde dan Bude di sini? Dia bahkan tahu aku sudah boleh pulang hari ini.
Sudahlah, kuturuti dulu kemauannya.
“Pakde, kalau boleh saya tahu, berapa total hutang Ayah?”
“Buat apa kamu tahu? Nanti kamu sakit lagi.”
Mereka ini berusaha menunjukkan kepedulian dengan kepura-puraan yang kentara. Kebanyakan basa-basi. Malah membuatku semakin muak.
“Pokoknya nanti Pakde yang atur setelah rumah itu kamu jual.” Begitu kalimat penutupnya.
“Saya sepertinya masih lama akan menjual rumah itu, Pakde. Karena beritanya sudah viral. Kalau orang ketik alamat pasti akan segera ketahuan kalau rumah itu bekas bundir. Saya harus pastikan stigma negatifnya hilang dulu.” Ini bisa-bisaku saja bicara. Sekedar untuk tahu berapa jumlah hutang dan rekening aja susah amat sih?
Ini sih ketahuan banget mereka akan mengambil jatah melebihi jumlah hutang.
Atur-atur matamu...
Dikira aku ini anak kecil yang mewek pasrah nggak jelas apa?
“Ohya? Memangnya viral? Waduuuh...” bisik Bude.
“Jadi? Berapa jumlahnya Pakde, siapa tahu saya bisa mencicilnya dengan mencari pekerjaan.”
“Jadi rumah itu nggak bisa dijual ya? Gimana nih? Gede loh jumlahnya, ya kamu jual apa kek, masa di dalam rumah nggak ada yang bisa dijual? Perabotan? Elektronik?”
Kok Pakde malah sewot?
“Kita kan nggak tahu racun itu dibubuhkan dimana saja Pakde, siapa tahu bukan hanya di sate.” Kujawab saja begini.
Barulah mereka diam.
“Sampai penyelidikan polisi benar-benar selesai, ya saya nggak mau ambil risiko.” Kutambahkan begini.
Aku mengaktifkan mode rekam suara di ponselku.
“Ya sudah, jumlah hutang ayahmu 150 juta, tambah bunga karena sudah telat bayar 2 tahun, jadi sekitar 180 juta. Lalu kemarin kan saya yang urus pemakaman, saya bayarin dulu tuh jasa pemandian jenazah dan pengurusan kepulangan jenazah dari Kantor Polisi. Ada uang capek juga ya, total 250jutaan lah.”
Kok jadi nambah 100juta sendiri? Pakdeku ini lebih parah dari Debt Collector. Memang apa sih yang dilakukan ayahku sampai saudara-saudaranya begini memperlakukanku?
Apakah ini sebabnya Ayah dan Ibuku selalu gelisah kalau ada acara kumpul-kumpul keluarga? Sampai mereka menjauhkanku dari semua saudara? Hutang 150juta itu apakah akan selalu diungkit kalau ada kumpul keluarga? Saling menjatuhkan?
Atau jangan-jangan gara-gara hutang ini alamat ibuku jadi Tim Cuci Piring dan Pembantu Dadakan Gratisan kalau ada acara keluarga?
Dan akhirnya kukirim rekaman suara itu ke Tante Vivianna.
Berikutnya, Pakde mulai berbicara mengenai keburukan ayah dan ibuku. Tentang ayahku yang tukang selingkuh, ibuku yang suka marah-marah sendiri, dan lainnya yang menjadikan hatiku semakin sakit.
Seakan kehilanganku belum lah cukup.
Mereka bahkan menambahkan julukan kalau Ayah Ibuku orang tua yang tidak bertanggung jawab dan seorang pembunuh, Karena gara-gara mereka bundir, mereka jadi menelantarkanku. Pola pengasuhan orang tuaku juga dipermasalahkan karena ternyata selama ini aku dianggap anak angkuh dan manja yang tidak mau bersosialisasi. Lebaran waktunya kumpul keluarga kok malah naik gunung. Ada acara nikahan keluarga Kok malah ikut olimpiade matematika, kok malah ikut pesantren kilat di hutan belantara.
Loh... itu kan prestasi ya?
Mereka pikir aku sengaja cari kesibukan untuk menghindar.
“Kami ini memang tidak selevel sama kamu. Keluargamu itu sok kaya, hedon! Memangnya kami tidak tahu apa kalau semuanya itu pinjaman? Bukan hanya Pakde yang dipinjami uang loh, keluarga yang lain juga! Begitu kok masih bisa-bisanya kamu sombong!” begitu kata Bude.
Aku ingin nonjok tembok, tapi nanti malah dipermasalahkan.
“Lihat saja nih, kamar ini! Kamu itu pasti ada simpanan uang sampai bisa kamu nginap di kamar VIP! Bohong saja kalau kamu bilang nggak punya duit! Sombong Cuma kejang-kejang aja nggak pakai BPJS!”
Uang, Uang dan Uang.
Yang ada di pikiran mereka hanya itu.
Semua diperhitungkan.
Tak ada yang diikhlaskan.
Aku padahal tidak pernah bicara ke mereka, aku tidak pernah menyakiti mereka. Apakah karena itu aku dihujat? Karena tidak menjalin silaturahmi?
Siapa yang ingin menjalin silaturahmi kalau lawannya sepicik ini?
Ya jelas ayah ibuku menjauhkanku dari mereka! Keluargaku Toxic.
“Permisi...” seseorang masuk ke dalam kamarku. Aku tidak mengenal pria ini.
Tapi dari caranya memandangku, aku yakin sekali ini adalah karyawan Tante Vivianna.
“Dennis udah boleh pulang kan ya? Om mau jemput kamu.” Dia menghampiriku.
“Eh, iya Om. Udah boleh pulang.”
“Om udah urus administrasi kamar. Ini siapa?”
“Ini... Pakde dan Budeku, Om. Kerabat ayah.” Aku sok kenal aja sama si Om misterius ini.
“Pakde dan Bude? Jadi kakaknya Doni ya? Kenalkan saya Ikhsan, saya rekan kerja Doni dulunya.” Si Om yang mengaku namanya Ikhsan ini menjabat tangan Pakde dan Bude.
“Kata Doni dia ada hutang ke saudaranya. Betul? Jumlahnya 180 juta?” dan dia tidak berbasa-basi. Langsung membahas hutang.
“Sebenarnya lebih dari itu.” Kulihat Pakdeku salah tingkah.
“Lebihnya dari mana? Pemakaman kan perusahaan yang urus semua, dari asuransi jiwa dan dari Masjid? Doni juga sudah booking tanah pemakaman keluarga dari tahun-tahun sebelumnya dan cicilannya sudah lunas.”
“Perusahaan siapa yang urus? Memangnya Doni masih kerja?!”
“Perusahaan Asuransi lah, Pak.” Jawab Om Ikhsan
Pakde makin salah tingkah, ia tampak mengusap keningnya.
“Ya saya kan juga ikut memakamkan, kan capek turun turun ke dalam tanah.”
“Kalau Doni masih hidup dan Anda meninggal, saya yakin Doni tidak akan mempermasalahkan turun-turun ke dalam tanah untuk memakamkan kakaknya, sih,” sarat sindiran.
Oh, gitu ya... Pakdeku ini benar-benar potret orang yang... ah entahlah bagaimana cara menyebutnya.
“Tapi tak apa-apa daripada nanti Anda ngejar-ngejar Dennis buat hutangnya Doni. Kasihan dia yatim piatu. Ini saya bawa tunai 250juta. Ada tanda terimanya ya pak. Saya akan foto juga KTP bapak dan ibu sebagai sarat pelunasan, juga ada surat pernyataan bermaterai yang sudah saya persiapkan. Ngomong-ngomong profesi saya pengacara.” Dan Om Ikhsan pun memberikan kartu namanya.
Dia punya kantor pengacara sendiri.
Pakde dan Budeku pun mau nggak mau menurut karena sudah kepergok.
Dan saat ruangan itu sudah sepi, kutanya padanya, “Om beneran temannya Ayah?!” tanyaku tak yakin. Ia membereskan berkas dan dimasukannya ke map. Lalu map itu dia berikan padaku sambil tersenyum.
“Bukan lah. Saya pacar Vivianna.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
S𝟎➜ѵїёяяа
mau gimana ya , hubungan semasa hidup dulu gk dijaga , LEK BUTUH MORO LEK GK BUTU KOWE SOPO (klo butuh bantuan mendekat , gk butuh kamu siapa). pas hari raya dulu kamu kan pilih naik gunung Dennis, sekarang cari Sono sodara mu digunung ✌️🏃🏻♀️🏃🏻♀️🏃🏻♀️
2025-05-16
1
Naftali Hanania
wah gmn ya..ngeri bgt itu kakak kandung itung2an masalah mbantuin pemakaman.....gak takut jd judul sinetron azab2 gitu...hehe...peace
2025-05-19
0
𝐙⃝🦜尺o
paling naik turun makam aja bilang capek emang seberapa meter sih dalamnya kuburan pake minta duit puluhan juta
2025-07-07
0