Bab 2

Kuharap aku berada di tempat ini dengan orang lain.

Memandang wajah ibuku yang khawatir, atau ayahku yang prihatin.

Tapi tidak...

Bukan mereka yang kutemui.

Bukan mereka yang ku pandang, bukan mereka yang menungguku sadar.

Aku rasanya ingin kembali ke alam mimpi, saat mereka masih ada.

Aku melihat sosok itu di depanku, sosok yang seumur hidup tak pernah kulihat tapi selalu jadi bahan pertengkaran orang tuaku.

Tante Vivianna dengan rambut coklatnya yang indah.

Dia duduk dengan anggun di kursi sebelah ranjangku.

Dari selang infus yang jarumnya menghujam punggung tangan, aku tahu aku dimana.

“Katanya kamu terserang pseudoseizure. Depresi bisa menjadi pemicu kejang. Besok kita ke unit gangguan jiwa.” Katanya.

“Tidak usah, tante.” Aku mencoba duduk.

Pusing sekali kepalaku.

“Ini serangan pertama kamu?”

“Iya.”

“Dan kita tahu penyebabnya apa.” Bukan pertanyaan tapi pernyataan.

“Bukan kali ini saya depresi, tapi baru kali ini saya kejang.”

“Dokter takutnya kamu sempat menegak sesuatu yang mengandung Arsenik yang dibubuhkan orang tuamu. Kamu makan atau minum di rumah nggak?”

“Iya lah Tante... kejadian itu kan seminggu yang lalu, bahkan jasadnya baru bisa dimakamkan kemarin lusa. Ya saya pasti makan minum di rumah itu.”

“Polisi nggak protes kamu berkegiatan di sana?”

“Mungkin karena dari awal mereka tahu kalau ini kasus bundir. Malamnya saya menginap di rumah Pak RT,  saya belum bisa tidur di rumah.” Kataku.

“Bagaimana dengan besok? Penyelidikan sudah ditutup.”

Aku deg-degan.

Iya ya... besok aku kayaknya menginap saja di rumah Bahar. Ya tapi mana mungkin terus-terusan menginap di rumah Pak RT? Menginap di rumah Bahar saja aku nggak enak kalau lebih dari 3 hari. Tapi menginjakkan kaki di teras rumah saja hatiku rasanya campur aduk nggak karuan!

Aku bingung.

Tante Vivianna pun berdiri dan mendekatiku. Wangi parfumnya langsung menyerang hidungku.

“Kamu takut?” tanyanya.

Aku mengangguk sedikit. Malu juga mengakui kalau aku takut. Tapi apa boleh buat, aku berbohong pun dari tingkahku pasti mudah tertebak.

“Bukan takut setan kan?” tanyanya lagi.

“Takut semuanya. Takut nggak sengaja minum racun juga, takut teringat saat-saat terakhir saya melihat mereka, juga takut hal-hal yang tak bisa saya jelaskan.”

“Kamu perlu takut, memang.”

Aku pun menatapnya, ku angkat wajahku. Kenapa dia bilang begitu?

“Kamu perlu pindah dari sana. Jangan bawa apa pun kecuali benda yang kamu bawa saat terakhir kamu bermain.”

Mendengar kalimatnya, aku seketika berpikir, kdarimana dia tahu aku waktu kejadian itu baru saja pulang main? Nongkrong bersam aBahar makan somay? Apa dia tahu dari polisi?

“Bagaimana dengan data-data penting? Perhiasan peninggalan?” tanyaku

“Akan saya urus, setelah saya memastikan tidak ada satupun benda terpapar racun di sana, setelahnya saya akan masukan ke safe deposit box, kamu yang akan pegang kuncinya.” katanya tegas.

“Kapan Tante akan urus?”

“Malam ini. Beberapa 'orang saya' sedang di rumah kamu, mengumpulkan benda penting milik kamu.” katanya.

Orang saya? Orang-orangnya? Karyawan atau bagaimana? Dan bagaimana mereka bisa masuk ke dalam rumahku di saat polisi mondar-mandir di sana? Area itu tidak boleh dimasuki oleh orang yang tidak berkepentingan. Yang kutahu selama ini yang boleh masuk hanya Pak RT dan Bahar karena dia saksi.

“Komputer dan semacamnya-“

“Tinggalkan.” ia memotong kalimatku.

“Kenapa?” aku agak sewot.

“Saya tidak ingin ambil risiko.” Kata Tante Vivianna.

Ia mengangkat tangannya dan mengusap rambut yang menutupi dahiku. “Kami akan ambil SSD atau NVME kamu, itu saja bagian yang bisa kamu miliki dari komputer kamu.”

“Risiko apa yang akan terjadi?” tanyaku masih penasaran.

“Orang tuamu meninggalkan banyak hutang, Dennis. Ada 2 miliar sendiri, dari berbagai orang, pinjol dan Bank. Setelah ini pasti akan ada banyak yang datang ke sana menagihnya. Saya tidak ingin kamu berada di sana saat mereka datang. Pun, saya tidak ingin ada satu pun keluarga yang tahu dimana kamu berada sekarang. Karena orang tua kamu juga berhutang ke sebagian besar keluarga kamu.”

Tanganku gemetaran lagi.

Dua miliar Ya Tuhanku... untuk apa uang sebanyak itu selama ini?!

“Apakah... apakah mereka juga berhutang ke Tante?”

“Sebaliknya Dennis. Saya menawarkan diri ke Doni untuk membantu melunasi semuanya, tapi ibu kamu malah maki-maki saya. Menuduh saya pela cur dan sebagainya. Kemunculan saya malah membuat masalah. Padahal waktu itu hutangnya masih 1 miliaran. Kelihatannya karena bunga dan nambah-nambah terus ya meledak jadi 2 miliar.”

Dan satu hal yang mengganggu pikiranku adalah...

“Kenapa Tante menawarkan diri untuk membantu ayah saya?” karena menurutku, tidak mungkin ada orang baik tanpa pamrih di dunia ini.

“Karena Doni banyak membantu saya di saat saya ditinggalkan suami saya.” Katanya. “Saya hampir masuk rumah sakit jiwa, dan Doni selalu memberi semangat. Sampai saya akhirnya bangkit dan mulai membesarkan perusahaan suami saya, saya tawarkan kerjasama dengan Doni. Dan saat itu masalah isu perselingkuhan malah muncul.”

Aku menarik nafas panjang.

Ibuku memang memiliki emosi yang agak labil, tapi di luar itu dia ibu dan istri yang baik. Bisa dibilang, dia lebih mencintai ayah dibanding diriku yang anak kandung satu-satunya.

“Saya merasa bersalah atas keretakan rumah tangga Doni. Dan kala itu, saat saya dimaki-maki ibu kamu, sebagai ganti bantuan dana, saya berjanji ke Doni akan take care kamu seandainya sesuatu terjadi.”

Seakan wanita ini sudah tahu akan ada hal yang menimpa ibu dan ayahku.

“Tante... bisa tidak melacak siapa orang terakhir yang menelepon ayah saya mengenai hutang?” tanyaku.

Menurutku, Ayah dan Ibuku tak akan sampai berbuat nekat bunuh diri kalau hanya hutang 2 miliar. Ayah bisa mengajukan kepailitan ke pengadilan. Paling buruk, aset kami disita Bank untuk melunasi semuanya. Harga rumahku yang besar itu aku yakin lebih dari dua miliar kalau dilihat dari NJOPnya yang 4,5 juta pertahun.

Yang kuyakini, ada salah satu pihak yang mengintimidasi atau pun mengancam ayah ibuku sampai mereka nekat bundir.

“Lalu apa, Dennis? Kamu mau apa? Kamu bisa apa?!” ada emosi yang tertanam di nada suaranya. Ia setengah mengancamku, tapi ia terlihat khawatir juga padaku.

Kenapa dia jadi marah-marah padaku? Harusnya dia menenangkanku.

Seperti ada yang sedang ia tutup-tutupi dari kasus ini. Hal yang aku tidak tahu.

“Karena saya berhak.” Jawabku.

Menurutku, aku yang paling memiliki hak untuk tahu semuanya. Usiaku hampir 18 tahun, bukan usia anak-anak walau pun tak bisa dianggap dewasa sepenuhnya. Dan orang tuaku baru saja tiada. Dua-duanya. Aku anak laki-laki, aku masih bisa mengusahakan sesuatu untuk mereka.

Tante Vivianna menatapku dengan gusar.

“Saya butuh waktu untuk mengungkapkan semuanya padamu.” Katanya.

“Waktu?” aku bertanya balik karena merasa aneh. Sungguh sulit dipercaya... dia yang tidak memiliki hubungan darah denganku malah bilang begitu? Apakah wanita ini bisa membedakan antara hak dan kewajiban seorang manusia?

“Saya bisa menuduh tante memiliki keterlibatan dengan semua ini kalau tante tidak bilang yang sebenarnya.”

PLAKK!!

Tangannya melayang ke pipiku.

Perih dan pedas... tapi tak berarti apa-apa bagiku.

Di mataku, sosok di depanku ini adalah manusia yang ringkih kalau dilihat dari ukuran tubuhnya.  Aku memang dalam keadaan tak berdaya, terbaring di ranjang rumah sakit setelah terserang kejang karena depresi, tapi kalau massa otot, ukuran tubuh, jelas kami tak sebanding.

“Kenapa marah? Tante terlibat?” pancingku. Aku kesal sekali sekarang. Lalu aku teringat satu hal. Dia bisa masuk rumahku, di saat banyak polisi berseliweran.

Ini tragedi bundir, kenapa penyelidikan bisa sampai seminggu lebih? Seakan mereka sedang mencari tersangka. Kalau mereka sedang mencari tersangka, jadi harus ada saksi-saksi yang ditanya.

Dan Tante ini, mungkin salah satu saksi.

Kenapa dia bisa jadi saksi?

Jadi dia tidak benar-benar menghilang kan? Dia masih menjalin hubungan dengan ayahku?

“Tante, saya tidak ingin mencari musuh.” Aku mencoba bersabar. “Tapi saya harap tante bilang ke saya semua yang tante ketahui. Pahit-pahitnya akan saya telan. Daripada saya menuduh Tante yang bukan-bukan, memfitnah Tante, lebih baik bicara saja.”

“Ini tidak sesederhana yang kamu bayangkan, Dennis.” Ia mendesis dengan suara pelan.

Lalu dia pun menarik nafas panjang.

“Siang ini, saya usahakan kamu sudah boleh pulang. Saya juga akan mengurus pengacara untuk hak asuh kamu. Bulan depan usia kamu 18 tahun, kamu sudah boleh hidup sendiri tanpa harus ada perwalian. Saya akan beri kamu pilihan. Kamu tinggal dengan saya tapi kamu harus menutup diri dari akses keluarga kamu, atau kamu silakan tinggal di rumah orang tua kamu.”

Dan Tante Vivianna pun mengambil tas mewahnya, lalu pergi dari kamarku dengan langkah yang agak ditekan ke lantai. Terlihat wajahnya sama kesalnya denganku.

Terpopuler

Comments

S𝟎➜ѵїёяяа

S𝟎➜ѵїёяяа

istri mana yg gk labil, suami peduli sama wanita lain, katakan lah peduli yg memang hanya peduli. bantu saat masa terpuruk wanita lain dan gk paham gejolak apa yg dirasa istrinya saat tau itu. mana cantik , anggun , kharismatik tuh si wanita... insecure menumpuk jadi labil deh

2025-05-13

5

Mei Suryawati

Mei Suryawati

ada misteri apakah ini...???
udah ada novel baru ,, apakah nya lovely Jakson mau end,???😭😭😭

2025-05-13

1

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

nah kan menurut dugaanku ini bukan bundir tapi pembunuhan. paling orang terdekat, saudaranya sndiri atau ada sangkut pautnya suami viviana

2025-05-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!