Semenjak kabar burung itu Zola semakin gencar mem-bully Oline, dari menyiram Oline dengan air bekas pel lantai sampai menggunting baju milik Oline saat berganti pakaian olahraga di toilet, tetapi meski begitu, Oline tetap saja tak ingin membalas perlakuan Zola kepadanya. Lain halnya dengan seseorang yang mengikuti Oline kemana pun selama ini, dia jengah dengan perlakuan gadis itu kepada Oline, dia tersenyum, tidak! lebih tepatnya menyeringai melihat Zola sendirian di lapangan sekolah. Entah rencana apa yang ia pikirkan sekarang.
Zola terlihat menggurutu, di sekolah itu bukan hanya Oline yang di-bully olehnya, beberapa siswa juga tak luput dari Bullyan Zola. Tetapi tidak ada yang melawan karena takut kepada ayahnya yang seorang pemilik sekolah tersebut, oleh sebab itu dia seenaknya kepada seluruh siswa di sekolah.
Ketika tiba pulang sekolah, Oline tidak sengaja menabrak seorang pria hingga membuat hodinya terjatuh, Oline mengejar pria itu bermaksud mengembalikan hodinya yang terjatuh tadi tetapi pria itu sudah menghilang. Mau tidak mau Oline memakai hodi itu dan membawanya pulang.
“Seharusnya dia hati-hati saat berjalan, kalau begini 'kan barangnya ada di tanganku, bagaimana caraku untuk mengembalikannya? Sedangkan aku tidak melihat seperti apa wajahnya barusan,” gerutunya sambil berjalan pulang.
Oline memasukkan hody itu ke dalam mesin cuci, tanpa dia sadari ada bekas noda darah yang mulai mengering di sana.
“Dari pada menunggu ini baju, lebih baik aku masak dulu. Udah laper ini.”
Oline berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan makanan. Dia makan dengan lahapnya sambil menyalakan siaran televisi yang menampilkan film barat.
Setelah selesai makan, Oline kembali ke dapur untuk mencuci piring dan mematikan mesin cucinya. Untung saja mesin cuci itu dilengkapi pengering juga, jadi Oline tidak harus repot-repot menjemur pakaian setelah selesai dicuci.
“Sudah bersih, lalu harus aku apakan jaket ini? Haruskah kupajang di luar supaya orangnya mengambilnya? Tapi kalau orang lain yang mengambilnya gimana? Ah ... lebih baik kusimpan saja dilemari,” ucapnya berdialog dengan diri sendiri
Hari-hari Oline berjalan seperti biasa, meski kadang ada saja seseorang yang nggunjinginya dan menyangkut pautkan kematian Bu Hesti dengan dirinya.
Dia tak mau ambil pusing dengan semua itu, dia juga tak ingin amarahnya terpancing.
Di sekolah keadaan tampak berbeda tanpa kehadiran Zola, itu membuat Oline bisa belajar dengan tenang tanpa gangguan dan bully-an Zola. Tetapi lain halnya dengan teman-teman Zola yang mengatakan Zola sudah dari kemaren tidak pulang ke rumahnya karna sedang cekcok dengan sang Mama, kabarnya Zola meminta Handphone keluaran terbaru, sedangkan baru sebulan yang lalu Ayahnya membelikannya Handphone.
“Dasar anak manja, apa-apa harus dituruti,” sungut Oline.
Dia merasa tenang kala itu tanpa tau kejadian yang akan menimpanya suatu saat nanti.
“Tetapi Zola sangat beruntung, mendapatkan kasih sayang kedua orang tua yang utuh, sedangkan aku? Bahkan tak pernah melihat seperti apa wajah Ibuku,”
Buliran bening dari matanya jatuh membasahi novel yang sedang ia baca, pikirannya menerawang jauh di waktu para polisi memborgol tangan ayahnya tepat dihadapannya. Para polisi menyeret dan tak segan memukul bahkan menendang ayahnya.
Awalnya Oline tak percaya kalau ayahnya membunuh beberapa orang, hingga pengakuan itu meluncur bebas dari mulut sang ayah saat di pengadilan. Bagai disambar petir, dadanya sesak menerima kenyataan itu, ayahnya seorang pembunuh dan sekarang dialah yang harus menerima kebencian dari orang-orang di sekitarnya karna ulah sang Ayah, meski ditanya alasan kenapa dia membunuh dia tidak menjawab dan hanya tersenyum sinis, bahkan sudah ribuan kali ditanya ayah Oline tetap bungkam. Dia seakan enggan, dan apabila dipaksa dia akan mengamuk seperti kesetanan.
Oline tersadar dari lamunannya, dia baru teringat kalau besok dia harus menjenguk ayahnya, meski waktu itu dia diusir dan bahkan sang ayah mengatakan kalau tak ingin melihat wajahnya lagi. Tetapi pria itu tetap ayahnya bukan? Seburuk apapun dia, bagi Oline hanya dialah satu-satunya keluarga yang ia punya.
Tepat jam 05:00 pagi alarm di handphone Oline berbunyi, dia memang sengaja bangun sepagi itu meski sekarang hari libur, dia bersiap-siap membuat makanan kesukaan ayahnya, nasi goreng ayam suwir dengan beberapa sayur yang menghiasi. Setelah siap Oline langsung membersihkan seluruh rumah, dari menyapu hingga mengepel lantai semua ia lakukan dengan senang hati, Oline tidak suka jika rumah dalam keadaan kotor dan berantakan.
“Akhirnya beres juga, kalau begini 'kan aku bisa langsung rebahan nanti setelah pulang menjenguk ayah,”
“Baiklah, sekarang sudah jam setengah 7, waktunya mandi,” lanjutnya sambil berlari kecil ke dalam rumah.
Seseorang tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah kekanak-kanakan Oline, entah apa yang dia pikirkan hingga sudah berada di depan rumah Oline sepagi ini, dia pergi dari situ saat perutnya sudah berbunyi minta di isi.
Oline bersiap-siap, dia memakai baju oversize dan celana jeans panjang, dia keluar dari rumah dengan menenteng 2 rantang nasi ditangannya. Dia bergembira, pagi ini suasana hatinya sedang tenang, tak ia pedulikan tatapan aneh orang-orang pada dirinya, dia hanya ingin cepat sampai dan bertemu ayahnya.
Di Halte, Oline memberhentikan sebuah bus dan langsung buru-buru naik, semua orang di bus sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, ada yang sibuk dengan handphonenya, ada yang sibuk bercerita dengan teman sebangkunya, sedangkan Oline dia memakai earphone dan menyalakan musik K-Pop kesukaannya.
Tidak butuh waktu lama, bus pun berhenti di tempat tujuan Oline, dia berjalan sambil bersenandung kecil, menyapa dan memberi senyum pada para polisi yang ditemuinya, para polisi membalas senyuman Oline, ada rasa iba dalam hatinya karna biasanya anak seumur Oline mendapat perhatian yang khusus dari orang-orang terdekatnya, tetapi Oline hidup sendiri, ayahnya entah sampai kapan harus mendekam di penjara dengan hukuman berlapis pembunuhan dan penganiayaan.
Oline menemui penjaga sel, tak lupa senyum manis selalu ia tebarkan.
“Selamat pagi om,” sapanya.
“Pagi juga Oline, mau jenguk ayah?”
“He’em”
“Oh iya, ini tadi Oline masak banyak, ini buat om-om polisi. Tolong dibagi ya om,” lanjutnya sambil menyerahkan satu rantang berukuran besar kepada si polisi.
“Wah ... terima kasih banyak ya.”
Oline hanya mengangguk dan duduk di kursi ruang tunggu, tidak butuh waktu lama Oline sudah bertatap muka dengan ayahnya.
“Ayah, Oline bawakan nasi goreng ayam suwir,” jelasnya sambil membuka tutup nasi itu.
Ayahnya tersenyum dan langsung memakan masakan Oline. Biasanya Oline akan langsung menceritakan hari-harinya kepada ayahnya, tapi kali ini dia diam sambil melihat ayahnya makan dengan lahap.
“Kau tidak bercerita hari-harimu pada ayah?” tanyanya memulai obrolan.
Oline hanya menggeleng, sepertinya sang ayah paham, dia juga bersalah telah membuat Oline hidup menanggung beban untuk anak seusianya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments