Uang Nafkah

Mentari

Ketika pernikahan yang kuimpikan akhirnya batal, hal yang aku pikirkan pertama kali adalah bagaimana caranya mengurangi rasa malu yang akan Bapak dan Ibu tanggung. Kami sudah menyebar undangan, tetangga sudah tahu kalau aku akan menikah dengan seorang lurah muda yang berasal dari keluarga kaya raya namun ternyata takdir berkata lain. Pernikahanku gagal dan aku tak mau orang tuaku menahan malu seumur hidup.

Saat ada yang bersedia menikahiku tanpa banyak mengajukan syarat, aku merasa seperti ada seorang penyelamat yang akan menutup aib keluargaku. Pesta pernikahan akan tetap dilakukan meskipun aku menikah dengan suami dadakan yang tak kucinta sama sekali.

Aku sudah mengenal Senja sejak lama, bahkan lebih lama dari mengenal Mas Bayu. Aku tahu anaknya memang agak aneh dan jahil tapi mau bagaimana lagi? Dimana kami bisa mencari pengantin dadakan yang akan menggantikan Mas Bayu yang seolah menghilang ditelan bumi. Toh niat kelurga Senja baik, mau menolong kami menutupi rasa malu.

Aku pikir Senja memiliki pekerjaan tetap di Jakarta. Buktinya dia mampu menyewa rumah kontrakan dan hidup mandiri selama ini. Apa yang aku lihat hari ini membuatku jadi banyak bertanya tentang laki-laki yang hari ini kembali membuatku terkejut dengan apa yang ia lakukan.

Di depan sana, tepatnya di pertigaan jalan yang ramai oleh kendaraan berlalu lalang, Senja duduk di bawah payung besar yang biasanya ada di depan cafe sambil memegang kardus kosong bertuliskan, "Mohon Bantuan Untuk Pembangunan Masjid."

Jadi... yang dimaksud bekerja oleh Senja selama ini adalah menjadi petugas yang meminta sumbangan untuk pembangunan masjid?

Ya ampun... kenapa cobaan hidupku bukannya berkurang malah tambah banyak? Bagaimana nanti hidupku di Jakarta? Aku tak mungkin meminta uang pada Bapak sementara statusku kini sudah menjadi istri orang. Senja yang harus menafkahiku, setidaknya sampai aku memiliki pekerjaan tetap dan bisa mandiri secara finansial. Sekarang, apa yang bisa aku harapkan dari seseorang yang bekerja sebagai petugas yang meminta uang sumbangan masjid?

Di saat aku sedang terpaku di tempat karena syok mengetahui apa pekerjaan suamiku, rupanya Senja melihatku dari kejauhan. Bak orang yang tanpa dosa, Senja berdiri sambil melambaikan tangannya padaku. Seakan itu belum cukup, ia berteriak di tengah jalan raya yang ramai padaku, "Mentari, sini! Bantu aku mencari sumbangan!"

Ya Allah... kenapa aku tidak tenggelam saja di bawah tanah yang aku pijak ini? Aku malu Ya Allah. Semua orang melihat ke arahku akibat teriakannya. Malu... Senja, malu.

Tunggu, kenapa aku disuruh ikut mencari uang sumbangan? Apa kalau kami tidak mendapat uang sumbangan yang banyak, kami tak punya uang untuk makan dan bayar uang kontrakan nanti? Ya ampun, aku harus bagaimana? Masa sih aku hidup dari uang sumbangan?

Tanpa kusadari Senja tiba-tiba menyebrang jalan dan menghampiriku. Wajahnya terlihat tanpa dosa dan tersenyum lebar seolah apa yang dia lakukan tak perlu dijelaskan padaku. "Kenapa malah melamun di pinggir jalan? Kamu mau kemana? Jangan jauh-jauh, nanti nyasar. Di sekitar sini banyak gang yang bentuknya mirip serta rumahnya padat, nanti kamu bingung. Kalau kamu nyasar, telepon aku. Kalau tak ada kesibukan, kamu mau ikut mencari uang sumbangan bersamaku?"

"Cari uang sumbangan? Bukannya tadi kamu bilang mau kerja?" tanyaku balik.

Dengan senyum lebar menyebalkannya, Senja menjawab pertanyaanku. "Loh, kamu ini bagaimana sih? Nyari uang sumbangan itu juga termasuk bekerja. Keringetan, kepanasan dan kena debu. Ini bekerja dan nyari uang juga bukan namanya?"

Ya ampun, ternyata benar pekerjaan Senja adalah meminta uang sumbangan pembangunan masjid.

Kenapa sih Bapak tidak tanya-tanya lebih dalam tentang Senja terlebih dahulu? Mudah sekali menikahkanku dengannya. Memangnya Bapak ingin aku menikah dengan laki-laki yang tak punya pekerjaan tetap?

Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik aku tetap mengejar cinta Mas Bayu yang sudah jelas pekerjaannya sebagai Lurah. Hidupku sudah pasti terjamin meski aku harus makan hati karena perselingkuhannya dengan Purnama. Kalau menikah dengan Mas Bayu, aku tak perlu pergi jauh dari kampung dan merantau ke Jakarta, kota yang sangat asing dan membuatku takut.

"Loh, kok melamun lagi sih?" Ucapan Senja membuatku tersadar. "Ini di pinggir jalan loh, kamu malah melamun. Sudah, tak perlu bantu aku cari sumbangan. Kamu pulang saja sana! Nanti aku ajak jalan-jalan, jangan jalan-jalan sendirian. Aku sudah masak buat kamu makan siang. Pulanglah!"

Aku menurut apa yang Senja katakan. Aku sudah tidak ingin jalan-jalan lagi. Sebelum pulang, kulirik teman-teman Senja yang juga menatapku dengan tatapan ingin tahu yang besar. Sudahlah, lebih baik aku kembali ke rumah dan nonton sinetron azab saja.

.

.

.

"Tadi siang memangnya kamu mau jalan-jalan kemana? Mau jajan? Mau beli apa? Bakso, seblak atau siomay?" Senja sudah pulang sebelum Adzan Maghrib berkumandang. Wajahnya makin terlihat kusam dan kucel karena terkena debu dan panas di jalan.

"Tidak mau kemana-mana. Aku bosan saja seharian berada di rumah," jawabku.

"Kamu keluar rumah tanpa bilang sama aku sebelumnya, kamu tuh membuat para tetangga menggunjingkan kita. Waktu aku pulang tadi, mereka nanya sama aku, kamu itu siapa? Aku belum sempat lapor ke Pak RT kalau sekarang aku tinggal berdua sama kamu." Senja mengambil air minum dan meneguk satu gelas sampai tak bersisa.

"Siapa suruh kamu belum lapor Pak RT?" balasku dengan dingin.

"Belum sempat. Aku sibuk. Nanti malam aku lapor. Sebenarnya, aku bingung mau melapor seperti apa. Kalau aku bilang kita suami istri, surat nikah kita belum jadi. Kartu keluarga kita juga belum ada. Aku harus bilang apa ya sama Pak RT?" Senja berjalan mendekat lalu duduk di sampingku. Tanpa permisi ia mengambil remote TV dan mengganti acara gosip yang sedang kutonton. Menyebalkan sekali, bukan?

Kami memang menikah dadakan. Semua surat-surat sudah diurus atas namaku dan Mas Bayu, tak bisa langsung diubah, sementara aku dan Senja harus segera pergi ke Jakarta karena tak mau mendengar gunjingan tetangga. "Bilang saja kalau aku saudara sepupumu. Suruh mereka telepon Bapakmu kalau mereka tak percaya dengan apa yang kamu katakan," jawabku asal.

"Iya juga ya. Pintar kamu. Ya sudah, nanti aku bilang kalau kamu saudara sepupuku sama Pak RT." Senja kemudian mengeluarkan selembar uang dari saku celananya. "Ini, untuk kamu jajan. Kalau kurang, bilang sama aku."

Senja memberikan selembar uang Rp100.000 padaku yang kuterima dengan ragu-ragu dan setengah hati. Dosakah aku menerima uang sumbangan dari masjid dan akan aku pakai untuk keperluan pribadi? Apa aku tidak akan mendapat azab nanti, seperti cerita di sinetron yang biasa aku tonton?

Aku bisa bayangkan judul sinetron itu. Azab Istri dan Suami yang Memakai Uang Sumbangan Pembangunan Masjid, Mayat Terbungkus Daun Pisang Jatuh Dari Keranda Terguling-guling Sampai Masuk Selokan. Hiiiiyyyy... amit-amit... jangan sampai deh.

Apa aku tolak saja ya? Ah, sayang sekali kalau aku menolaknya. Aku tak punya banyak uang saat ini. Aku butuh uang untuk biaya hidup dan melamar kerja nanti. Aku bisa pakai uang ini untuk ongkos naik angkutan umum atau ojek online saat dipanggil interview nanti.

Sebenarnya aku punya uang tabungan yang lumayan dari upahku menjaga toko, namun uang tabunganku habis untuk persiapan pernikahanku dan Mas Bayu. Lebih tepatnya, ini semua gara-gara aku kemakan gengsiku sendiri. Aku tak mau Bapak membiayai semua pernikahanku, jadi aku menawarkan uang tabunganku untuk membeli souvenir, mencetak undangan dan menyewa fotografer profesional beserta foto booth agar tetanggaku menganggap pernikahanku keren. Habis sudah uang tabunganku kini.

Akhirnya dengan terpaksa aku menerima uang yang diberikan oleh Senja. Semoga uang ini berkah, walaupun berasal dari uang sumbangan masjid. Aku janji, ketika aku mendapat pekerjaan, aku akan ganti uang ini.

"Terima kasih."

"Yoi, itu tugasku sebagai suami, memberi nafkah istri. Jangan lupa tugasmu sebagai istri ya!"

Apa? Tugas istri? Jangan-jangan Senja akan menagih haknya sebagai suami?

****

Terpopuler

Comments

Felycia R. Fernandez

Felycia R. Fernandez

ini yang namanya kurang berpikir...
coba pakai logika,klo pun senja kerjanya sebagai itu mana mungkin dia bisa menyewa rumah kontrakan 2 kamar ,adem dan nyaman seperti yang kamu tempati sekarang....
apalagi dia bisa beli makanan ke pasar.coba berpikir realista neng...

2025-05-06

7

Dien Elvina

Dien Elvina

terima aja pernikahan ini Mentari ..mungkin Senja lah jodoh terbaik untuk mu dari Tuhan ..gpp terima aja uang itu, walaupun dari hasil sumbangan untuk pembangunan mesjid tapi itu urusan Senja dgn yg maha kuasa..tapi semoga itu hasil dari kerja dia yg lain 🙊

2025-05-06

5

ᒍՄ🎐ᵇᵃˢᵉ

ᒍՄ🎐ᵇᵃˢᵉ

mungkin pernikahan bulan yang tari harapkan, semoga tari dan senja bisa langgeng ya..

2025-05-06

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!