Semalam, setelah mengadu pada Tuhan, Amira terlelap di pojok bangunan Mushola. Udara malam menusuk tulang, tapi rasa letih mengalahkan segalanya sehingga begitu terlelap. Amira mengerjap ketika suara Adzan subuh berkumandang. Cuci muka, kemudian bersih-bersih sebisanya di area toilet maupun tempat wudhu. Dia memang tidak punya apa-apa untuk pegangan hidup, tapi dia tidak mau dikasih gratis begitu saja. Jadi Amira mengerahkan tenaga untuk sekadar balas menumpang tidur.
Waktu terus berlanjut sampai matahari menyibak tirai langit yang gelap. Sinarnya menghangatkan tubuh Amira. Perutnya mulai memprotes, kelaparan yang amat sangat menusuk ulu hati.
Amira bukan gadis bodoh yang meninggalkan rumah Ardi tanpa persiapan. Ia tahu, keluarga itu terlalu busuk untuk dituruti. Maka diam-diam, ia selipkan selembar uang dua puluh ribu di kantong, sisa simpanan yang ia rahasiakan.
Dengan tubuh lemas, Amira berjalan terseok-seok hendak menuju warteg terdekat. Di benaknya ia telah menyusun rencana kecil. Beli sepiring nasi dan tiga macam sayur dengan harga sepuluh ribu, lalu tawarkan diri untuk membantu di dapur atau mencuci piring. Urusan diterima atau tidak, itu belakangan. Yang penting mencoba dulu.
Namun ketika langkahnya baru saja menapaki tiga langkah, seorang ibu-ibu memanggil dirinya. Amira menoleh, dilihat-lihat sepertinya ibu itu yang mengurus Mushola.
"Mbaknya mau kemana? Ini saya bawa sarapan. Makan dulu, ya, sebelum lanjut jalan." Senyumnya lebar sekali. Ibu itu bak malaikat yang turun dari langit.
"Ah iya Bu...Terimakasih banyak." Amira menyambut pemberian itu dengan senyum lebar. Ia tidak berpura-pura menolak atau menjaga gengsi. Karena Amira tahu, seseorang yang hendak memberi akan senang ketika pemberiannya disambut dengan sukacita.
Amira kemudian menyantap makanan sarapan yang dibawa si ibu. Meskipun lapar dia tidak makan dengan tergesa-gesa. Sampai akhirnya makan selesai, ibu baik menghampiri Amira kembali untuk sekadar mengajaknya ngobrol.
"Mbak Amira," mereka sudah sempat berkenalan hingga menanyakan nama. "Maaf, kalau saya boleh tahu, Mbak Amira asalnya dari mana?"
"Saya dari Desa Rawa Kunyit, Bu."
"Oh, dari sana toh. Kalau boleh tahu, Mbak Amira ini mau ke mana?"
"Sebenarnya... saya juga belum tahu, Bu. Yang pasti, saya harus cari pekerjaan buat menyambung hidup. Maaf sebelumnya, Bu, apa Ibu ada info lowongan kerja? Jadi pembantu pun saya bersedia."
Sebenarnya agak canggung menanyakan hal itu pada orang yang baru ditemui. Tapi dalam keadaan sulit seperti ini, rasa malu harus disingkirkan.
Si ibu tampak mengangguk-angguk pelan. Wajahnya menunjukkan empati. Beberapa detik kemudian, si ibu tampangnya seolah teringat sesuatu. Ia pun berkata:
"Kemarin saya sempat dengar ada yang butuh ibu susu. Katanya, anaknya butuh ASI, jadi yang dicari tentu perempuan yang masih menyusui. Kalau info lowongan kerjaan lain semacam pembantu, saya tidak ada Mbak Amira."
Amira bergumam dalam hati. Kebetulan sekali, semenjak kepergian Galen, ASI-nya masih berlimpah. Amira pun langsung mengorek penuh minat tentang info tersebut.
"Pas sekali, Bu. Saya baru saja kehilangan anak yang masih saya susui. Jadi saya benar-benar ingin tahu lebih banyak tentang pekerjaan itu. Bisa Ibu beritahu saya ke mana saya harus menghadap?"
"Wah, benar-benar kebetulan ya," jawab si ibu dengan antusias. "Kalau Mbak Amira mau, saya antar saja langsung ke orang yang mengumumkan itu. Mudah-mudahan belum ada yang ambil, ya."
Amira mengangguk mantap. "Iya, Bu. Oh iya, Ibu baik sekali pada saya. Nanti kalau saya sudah punya uang--"
"Ah, itu jangan dipikir dulu," potong si ibu cepat. "Yang penting sekarang Mbak Amira ke sana dulu. Ayo, kita buru-buru biar nggak keduluan orang."
Amira tersenyum dan mengangguk lagi. Dalam hatinya, ia merasa haru. Ternyata di dunia ini masih ada orang baik. Ia pun berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
...*****...
Dari gerbangnya saja, Amira sudah dibuat menganga. Rumah yang dia datangi jauh melampaui ekspetasi, bahkan Amira belum pernah melihat rumah sebesar dan sebagus ini sebelumnya. Dalam hati, nyalinya mendadak ciut. Ia sadar, keluarga yang tinggal di tempat seperti ini pasti bukan orang sembarangan.
Lalu siapa dirinya? Seorang perempuan sederhana, bahkan bisa dibilang miskin, yang datang melamar menjadi ibu susu untuk anak dari keluarga super kaya. Kepercayaan dirinya mendadak turun, tersentuh oleh trauma lama tentang jurang antara si kaya dan si miskin, yang dulu pernah mengirisnya dalam-dalam.
"Silakan masuk, Nona," ucap seorang pria sopan yang mengantarnya ke dalam. Ibu yang tadi memberinya informasi telah menyerahkannya pada pria ini. Tugasnya selesai.
Amira masih diam, tubuhnya terpaku.
"Nona tak perlu khawatir, ini bukan penipuan atau hal mencurigakan lainnya. Jika Nona berkenan, silakan masuk. Tapi jika merasa ragu, kami takkan memaksa. Hanya saja...perlu Nona tahu, banyak yang menginginkan kesempatan ini."
Amira menggeleng pelan lalu tersenyum kaku. "Maaf, bukannya saya berfikir macam-macam, saya hanya terpana. Rumah ini... luar biasa. Saya siap masuk."
Pria itu mengangguk, lalu mempersilakannya berjalan di sampingnya. Langkah Amira sedikit ragu di awal, tapi kemudian ia mengikutinya. Mereka menapaki jalan setapak menuju pintu utama.
Begitu memasuki rumah itu, Amira nyaris kehilangan kata-kata. Nafasnya tercekat. Ruangan depan saja sudah seperti aula hotel berbintang. Langit-langitnya tinggi, lampu gantungnya berkilauan seperti berlian. Lantainya mengilap, perabotannya mewah, dan banyak lagi yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Ya ampun... ternyata sinetron-sinetron di TV itu belum ada apa-apanya dibanding kenyataan ini. Batinnya. Rumah keluarga kaya yang pernah ia tonton saja tidak semewah ini. Ini bukan sekadar rumah orang kaya, tapi ini bagi Amira sudah seperti istana.
"Silakan, Nona. Di dalam sudah menunggu Pak Genta."
Amira mengangguk sopan meski hatinya mulai berdebar. Ia melangkah masuk. Di dalam ruangan itu, Amira mendapati seorang pria berusia sekitar lima puluhan, berpenampilan rapi dengan jas abu-abu gelap, sedang berdiri menatap ke arahnya. Wibawanya langsung terasa.
"Silakan duduk," ucap pria itu, menunjuk kursi di hadapan mejanya.
"Terima kasih," balas Amira pelan, lalu duduk sambil menunduk sopan. Ia mencoba mengatur nafas. Dalam hati berguman, ini pasti ayahnya... pasti ini orang yang sedang mencari ibu susu untuk bayinya.
"Perkenalkan, saya Genta. Kepala pelayan di rumah ini. Saya ditugaskan untuk mewawancarai semua kandidat yang datang."
Amira terhenyak. Kepala pelayan? Kalau kepala pelayannya saja seperti ini lalu bagaimana majikannya?
Pak Genta lalu menatap Amira dengan tenang. Tak banyak basa-basi, hanya satu pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
"Jika Nona diterima, apakah bersedia tinggal di rumah ini?"
"Saya bersedia."
Pak Genta tersenyum tipis, puas dengan jawaban itu. "Baik. Prosesnya sederhana. Setelah ini, Nona akan kami antar menemui bayi yang sedang membutuhkan ibu susu. Kami menyebutnya Tuan Kecil."
Amira mengerutkan kening, agak kikuk mendengar panggilan itu. Tuan Kecil? Hatinya sempat berdesir geli, tapi ia sadar ini rumah orang kaya, dan mungkin memang begitu cara mereka menyebut anggota keluarga.
"Jika bayi itu tampak nyaman saat berada dalam pelukan Nona, maka tanpa perlu tahapan lain, Nona akan langsung diterima. Kami percaya naluri anak tak pernah bohong."
Amira mengangguk pelan, "Baik, Pak."
Pak Genta berdiri. "Kalau begitu, mari saya antar. Tuan Kecil sedang di ruang perawatan bersama pengasuhnya."
Dengan hati yang berdebar lagi, Amira mengikuti Pak Genta keluar dari ruangan itu. Ia belum tahu, hari berikutnya bukan hanya sekadar diterima menjadi ibu susu, tapi juga...
...*****...
"Bagaimana?"
"Tuan kecil sudah menemukan ibu susu, Tuan muda. Tadi saat tes kenyamanan, Tuan kecil begitu nyaman." Tutur Pak Genta.
"Bagus."
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Dewi Payang
tampangnya? atau tampaknya kak?
2025-05-04
1
Muliana
Nah, setidaknya payudara mu tidak menahan sakit, akibat membengkak
2025-05-09
1
Teteh Lia
Kak Zenun. kalau bikin cerita, nama na ada aja yang unik
2025-05-04
1