Ada-ada Aja

Hari ini ada kabar bahwa Argantara Winata atau yang sering disebut Tuan Arga tidak akan pulang larut seperti biasanya. Tepat pukul delapan malam, pria itu sudah tiba di rumah megahnya. Seperti sudah menjadi ritual tak tertulis, para staf segera bersiap beberapa menit sebelumnya. Mereka merapikan seragam, memastikan posisi, dan berbaris rapi untuk penyambutan.

Dan saat yang dinanti pun tiba.

Tuan Arga--pemilik rumah yang kharismanya membuat siapa pun terdiam--muncul dengan langkah tegas. Di belakangnya, dua bodyguard berjas hitam mengikutinya dengan ekspresi dingin yang tidak kalah memikat. Wajah sang tuan dan antek-anteknya nyaris tak ada senyum, apalagi sapaan.

Namun, justru dari ketidakramahan itulah aura kekuasaan memancar kuat. Banyak wanita diam-diam berandai-andai, bagaimana rasanya menjadi istri dari pria sedingin itu? Mungkin, sangat beruntung. Setidaknya pria seperti Tuan Arga tak mudah disentuh, tak sembarang wanita bisa mendekat, apalagi merebut hatinya. Pria modelan Tuan Arga tidak gampang terkontaminasi pelakor karena sikap dingin dan eksklusifnya.

"Selamat malam, Tuan Arga," ucap seluruh staf dengan serempak sambil membungkukkan badan dengan sopan.

Tuan Arga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya membalas sapaan para staf dengan anggukan kecil tanpa mengurangi rasa hormat yang semestinya ia tunjukkan. Anggukan itu cukup untuk membuat semua orang tahu bahwa kehadiran mereka dihargai.

Pak Genta, kepala pelayan senior yang telah mengabdi puluhan tahun, segera melangkah maju. Dengan sigap, ia membawa jas tuannya dan berjalan mengikuti Arga menuju kamar pribadi pria itu di lantai atas. Setibanya mereka di ambang pintu kamar, suara langkah kaki memudar, dan seluruh staf pun membubarkan diri dengan tertib.

Di antara mereka, beberapa staf wanita tampak masih tersenyum sendiri. Kehadiran Arga adalah pemandangan langka yang kegantengannya patut disyukuri.

Para koki langsung bergegas ke dapur, menyiapkan makan malam sesuai kebiasaan tuan rumah. Mereka tahu, makanan harus tersedia tidak lama setelah Tuan Arga mengganti pakaian dan beristirahat sejenak.

Ditengah kesibukan tersebut, ada yang masih terpaku sambil cengar-cengir seperti orang yang sedang kasmaran. Dia adalah Mia, staf wanita bagian pengelolaan pakaian. Senyum tak pernah benar-benar menghilang dari bibirnya sejak Tuan Arga lewat di depan mata.

Sementara itu, di sisi lain dalam moment tersebut, hanya Amira yang tidak ikut berdiri di barisan penyambutan saat Tuan Arga tiba. Bukan karena dia tak tahu jadwal kepulangan sang pemilik rumah, informasi itu bahkan sudah beredar sejak sore. Tapi, Amira sedang dilanda kepanikan kecil. Seragam kerjanya tiba-tiba menghilang.

Dengan wajah cemas, ia mengobrak-abrik laci penyimpanan yang biasa menyimpan pakaian staf, namun hasilnya nihil. Seragam atas namanya tidak ada di tempat biasa. Nafasnya mulai berat. Dia segera bertanya pada Ika, staf bagian pengelolaan pakaian yang cukup friendly terhadapnya.

"Mbak Ika, baju seragam atas nama Amira di mana ya? Biasanya langsung ada di tempatnya, tapi ini enggak ketemu."

Ika mengerutkan alis lalu menjawab, "Iya sih, biasanya kan memang ditaruh di loker masing-masing. Harusnya sih ada. Coba tanyakan ke Mbak Mia. Dia yang bagian antar pakaian ke box masing-masing."

Saran itu masuk akal. Mia memang bagian distribusi pakaian bersih ke staf. Amira pun segera mencari Mia, meskipun agak ragu karena merasa kurang akrab. Tapi tak pernah sedikit pun terlintas di benaknya bahwa Mia menyimpan rasa tak suka padanya.

Saat bertemu, Mia menjawab pertanyaannya agak kurang ramah.

"Lho, kamu tahu sendiri kan tadi aku sudah taruh di box kamu," katanya sembari menyilangkan tangan. "Kalau sekarang enggak ada, ya mungkin kamu kurang teliti aja."

Amira terdiam sejenak. Kata-kata Mia terdengar masuk akal, tapi tetap saja ada yang terasa janggal. Ia yakin betul sudah memeriksa dengan teliti. Tapi seragam itu benar-benar lenyap. Meleng sedikit, kok bisa-bisanya seragam hilang.

Karena insiden kecil ini, Amira akhirnya melewatkan moment penyambutan Tuan Arga. Ia tidak mungkin hadir dengan pakaian biasa, itu melanggar aturan rumah besar ini. Dengan berat hati ia memilih terus mencari, berharap seragamnya entah bagaimana bisa ditemukan.

...****...

Arga sudah duduk di meja makan, menyantap makan malamnya. Di sampingnya berdiri Pak Genta, setia menjaga sisi kanan sang Tuan. Dua koki pribadi juga siaga di tempat, tak berani bergerak jauh. Wajah mereka tampak tegang, maklum, selama Tuan Arga belum selesai makan, segalanya bisa terjadi. Bisa saja ada piring yang melayang.

Suasana hening, hanya terdengar dentingan sendok yang sesekali beradu dengan piring.

Tiba-tiba, Amira lewat. Pandangannya bersirobok dengan Pak Genta. Ia langsung memberi salam hormat dengan sopan. Tapi bajunya, astaga, bukan seragam. Pak Genta alisnya naik satu senti, penuh tanda tanya.

"Maaf, Pak," ucap Amira cepat-cepat. "Bukan saya melanggar aturan. Sumpah, saya lagi cari seragam saya. Entah kenapa tidak ada di tempat biasanya. Saya lagi berusaha mencarinya, Pak. Permisi, Pak Genta." Ia membungkuk sopan.

Lalu matanya beralih ke pria yang sedang makan. "Permisi, Mas."

Detik itu juga, suara sendok berhenti. Arga berhenti makan.

Mas?

Pak Genta langsung memijit pelipisnya. Dua koki yang sudah setegang kawat biola makin pucat. Amira tanpa sadar baru saja menyapa Tuan Arga... dengan sebutan Mas. Apakah Amira menyangka Tuan Arga adalah sesama pekerja?

Baru tiga langkah Amira berbalik meninggalkan ruangan, tiba-tiba tubuhnya membeku. Bak tersambar petir. Otaknya mulai menyambung ke titik-titiknya. Pak Genta berdiri siaga. Meja makan besar. Hanya satu orang yang cukup penting buat dilayani segitunya...

Ya ampun. Itu Tuan Arga?! Mati aku.

Amira menoleh pelan, seperti adegan drama slow motion. Wajahnya pucat, ekspresinya seperti Upin-ipin ketahuan nakal sama Kak Ros. Pak Genta cepat-cepat memberi isyarat dengan tangannya. Pergi saja, jangan tambah kacau.

Arga kembali makan dengan tenang seperti tak terjadi apa-apa. Tapi begitu suapan terakhir selesai, pria itu berkata,

"Sekarang tahu, kan, apa yang harus kamu lakukan?"

Pak Genta mengangguk, "Iya, Tuan. Akan saya laksanakan."

Tanpa berkata lagi, Arga berdiri dan melangkah menuju kamarnya. Seperti biasa, Pak Genta hendak mengikutinya, tapi kali ini Arga menghentikannya dengan satu isyarat tangan.

"Kau tak perlu ikut, karena tugasmu itu dimulai dari sekarang."

"Baik, Tuan."

Arga pun menghilang di balik pintu, sementara Pak Genta segera berbalik. Tak butuh penjelasan panjang, dengan satu kalimat pertanyaan: Sekarang tahu, kan, apa yang harus kau lakukan? Hanya begitu saja Pak Genta sudah paham betul apa yang harus dilakukan.

Sementara Pak Genta mau melaksanakan tugasnya, Amira di dalam kamarnya berwajah pias. Ika--satu kamar dengannya-- bertanya,

"Mbak Amira kenapa? Apa seragamnya belum ketemu?"

Ditanya begitu, Amira semakin nangis tanpa air mata.

.

.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Dewi Payang

Dewi Payang

Sesama pekerja hobinya suka liat yang lain jatuh....

2025-05-06

1

nowitsrain

nowitsrain

Buruan ngaku siapa yang usil, sebelum kuhancurkan bumi ini

2025-05-06

1

RE💜

RE💜

Wkwkwk Mas tukang bakso kali ah, lucu kali kau Amira. Jadi gada foto Arga di rumah itu ya jd bener² pd gk bisa tau wajahnya klo blm ketemu lsg.

2025-05-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!