..."Pernahkah kamu melihat anak berusia 6 tahun terjebak pada tubuh remaja berusia 17 tahun? Itulah yang sedang aku alami saat ini. Dan tidak ada yang mau menarikku untuk keluar...
...dari tubuh ini."...
...~Elea Baskara~...
...🥀🥀🥀...
Wanita berkulit tan itu memasuki gubuk reyot dengan langkah gontai, sesekali ia cegukan. Suara pintu yang terbuka dan tertutup kembali membuat anak perempuan itu terbangun.
"Elea!" seruan keras mengalun.
"Ya, Bu!" Elea langsung berdiri dan melangkahkan keluar dari kamar sempit.
Sorot matanya memerah, melirik Elea dengan ekspresi yang selalu saja sama. Tersenyum lembut lalu beberapa detik kemudian berubah merenggut, ia melangkah mendekati Elea.
"Cantik," gumamnya serak, "tapi, apakah kamu tau? Dia tidak peduli lagi padamu. Hanya beberapa bulan lalu melupakanmu. Malangnya kamu, Elea."
Dahi Elea berlipat, tidak paham apa yang dimaksud oleh wanita paruh baya yang ia anggap sebagai ibunya ini. Setidaknya itulah yang Elea ketahui, ia tidak ingat siapa dirinya, namanya, dan siapa keluarganya.
"Bu," panggil Elea takut-takut.
"Andai aja mereka tidak ngelakuin itu, apakah aku akan begini? Nggak! Aku cuma mau anakku kembali. Tapi, yang mereka lakukan dengan kuasanya, apa? Mereka mengambil semua Dokter untuk menyelamatkan putri mereka yang berharga. Membuat putriku mati di atas ranjang rumah sakit," racaunya, "jika mereka tidak mencintai putrinya. Harusnya biarkan putriku saja yang hidup, bukankah begitu?"
"Bu, El-AKH! Sakit, Bu!" Elea terpekik di saat rambutnya ditarik keras ke belakang.
"Sakit?" tanyanya pada Elea.
"Sa-sakit, Bu! Ampun, Bu!" Elea kecil memelas dengan air mata berlinang.
Kepala wanita itu menggeleng, ditariknya rambut Elea menuju kamar depan. Meskipun Elea meronta-ronta, tenaga anak kecil tidak ada-apanya.
"Jangan, Bu! Jangan! Elea takut. Elea takut. Ampun, Bu! Ampun."
BRUK! KLIK!
Tubuh Elea lagi-lagi dimasukan ke dalam lemari, dikunci dari luar. Gedoran kasar, permintaan ampun terus mengalun bersamaan dengan pukulan keras pada lemari berbahan jati.
Sorot mata wanita itu tampak marah, kecewa, merindu, dan terluka. Elea merosot, tubuh kecil bergetar ketakutan.
"Bu," panggil Elea lemah, "ampun."
Apa ada artinya permintaan itu, perempuan di luar sana sama sekali tidak iba. Apakah Elea anak nakal, apakah Elea anak jahat, Elea tidak seperti itu.
Elea rela tidak bisa bermain di luar, Elea rela mengerjakan semua tugas rumah agar ibunya bahagia. Elea kecil hanya ingin dipeluk seperti teman-teman di lingkungannya, air mata Elea merembes.
"Putriku, putriku, putriku. Ibu rindu," racau perempuan paruh baya itu kala matanya melirik boneka beruang di atas kasur.
Elea menyandarkan punggung belakangnya di dinding lemari, mengatur napasnya yang sesak. Memeluk lututnya sendiri, ia harus bersabar. Sampai ibunya kembali membuka pintu lemari, beruntung pintu lemari itu memiliki celah-celah kecil untuk masuknya udara dari luar ke dalam.
"Non, Non Elea! Bangun Non!"
Elea mengerang kecil, pencahayaan matahari langsung memasuki kamar Elea di saat tirai kamar ditarik ke samping. Elea menggeliat kecil, tangannya terangkat menyentuh matanya yang basah.
"Air mandinya Non Elea sudah disiapkan, apakah ada yang Non Elea butuhkan lagi?"
"Nggak, keluarlah." Elea menggerakkan tangannya mengusir semua maid yang bertugas mengurusnya.
"Baik, Non."
Mereka semua pun mulai bergegas pergi dari kamar Elea, takut-takut gadis remaja galak itu akan melakukan hal aneh di pagi hari.
"Mimpi itu," gumam Elea lirih.
Ia sempat melupakan kepedihan dan penyiksaan di masa kecil, ada alasan dari semuanya. Elea bangkit dari posisi tidurnya, mengedarkan pandangan matanya ke arah seluruh penjuru kamar.
Manik mata Elea berhenti di satu lemari, lama sekali ia menatap lemari tersebut, kedua kakinya diturunkan. Elea melangkah menuju lemari, dibukanya satu tempat sengaja di kosongkan.
"Jangan lupain itu semua Elea, penderitaan yang mana cuma lo yang ngalami," monolog Elea serak.
Elea menutup pintu lemari, melangkah mendekat standing mirror. Elea berdiri menyamping, ditariknya baju tidur bagian belakangnya ke atas. Garis tak beraturan terlihat samar, senyum kecut terbit di bibirnya.
"Indah sekali cap cinta di masa lalu," cibir Elea.
Suara ketukan dua kali di daun pintu, membuat Elea menurunkan baju bagian belakangnya.
"Buka aja!" seru Elea.
Pintu kamar terbuka, pria berwibawa itu melirik putrinya. "Papi boleh masuk?"
"Hm," gumam Elea menyetujui.
Guntur melangkah masuk ke dalam kamar, berhenti tepat di depan sang putri.
"Papi denger katanya Elea mau belajar bermain piano?" tanya Guntur, "kalo Elea mau, Papi akan atur les pianonya untuk Elea. Tapi, sebelum itu. Ada yang lebih penting, yaitu les privat belajar beberapa pelajaran yang tertinggal. Elea harus belajar yang rajin, jika nanti Elea bisa meningkatkan ilmu pengetahuan. Maka, mau les apapun, Papi akan mendukung Elea."
Dahi Elea berlipat. "Rasanya pembahasan les piano tidak pernah Elea omongin ke Papi, deh. Apakah semua hal yang Elea lakuin harus disetujui oleh Papi?" tanya Elea tidak paham.
Elea hanya membicarakan ini dengan pengasuhnya, meminta wanita itu mencarikan guru les terbaik via pesan whatsapp. Setiap anak-anak di keluarga kaya memiliki ibu asuh, sampai saat nanti mereka menikah termasuk Elea.
"Bukan seperti itu, Pa—"
"Ada apa dengan Papi? Bisanya Papi nggak peduli loh. Kok sekarang malah ikut campur, oh, atau karena putri kesayangan Papi juga bermain piano. Makanya Papi nggak mau Rania tersaingi, jadi langsung ngalihin perhatian Elea, kek gitu?" potong Elea cepat.
Guntur sontak saja mengatup kedua kelopak matanya, semua hal yang dilakukan mulai mengundang rasa curiga.
Kelopak mata Guntur kembali terbuka. "Ya, sudahlah. Lakuin aja apa yang kamu mau," putus Guntur pada akhirnya.
Pria paruh baya itu membalikkan tubuhnya, melangkah keluar dari kamar sang putri. Tak lupa menutup pintu kamar, Elea mengerutkan dahinya.
"Gaje banget sih," gumam Elea sebelum berdecak kecil.
...***...
"Aw, aw, aduh! Sakit, Bang!" Elea mengerang kesakitan sebelum pergelangan tangannya disentak kasar.
Zion mendesah frustrasi dibuatnya, ia berkacak pinggang. Kenapa tidak ada matinya, keanehan dari Elea. Nama yang didaftarkan pada lomba piano yang akan di adakan beberapa bulan lagi ada nama adiknya ini.
"Lo, mau mempermalukan keluarga kita, hah? Lo sama sekali nggak bisa main piano, Elea," ujar Zion geram.
"Gue bisa belajar, gampang 'kan," jawab Elea santai.
"Ha? Belajar? Lo pikir main piano cuma butuh 1 sampek 3 bulan, hah? Lo *bego*k nggak ketulungan, ya. Rania aja butuh waktu bertahun-tahun buat ngasah kemampuannya, Elea. Cuma Rania yang bisa, lo bukan tandingan Rania. Percaya diri boleh tapi, nggak tau diri itu begok," cecar Zion marah.
Kedua telapak tangan Elea mengepal, wajahnya berubah datar.
"Gue penasaran sedari awal soal ini, sebenernya. Lo nggak pernah ngangap gue Adik kandung lo, bukan? Lo sedari awal nggak pernah bahagia saat gue balik ke keluarga lagi, kan? Cuma gue di sini yang nganggap lo sebagai Abang." Elea berucap dalam satu kali tarikan napas.
Zion terkekeh mencemooh. "Ya, sedari awal. Bayangan di otak gue, soal Adik gue sangat berbeda. Elea yang ada di otak gue, gadis yang anggun, seorang Adik yang dewasa, pintar, dan berbakat. Tapi, Elea yang tiba-tiba dateng ke keluarga gue adalah seorang pecundang yang culas, licik, dan menjijikan. Gue ampek jijik ngebayangin lo sedarah sama gue," jawab Zion menggebu-gebu.
Kepala Elea mengangguk-angguk pertanda ia paham, mendesah kasar. Hatinya terluka akan tetapi, bukan Elea namanya jika ia menangis.
"... cukup disayangkan. Elea yang Abang inginkan berbeda, gimana gini aja. Abang dan Rania keluar dari kartu keluarga Baskara, biar nggak keliatan satu keluarga sama gue," jawab Elea membuat Zion melotot, "tenang aja, Bang. Gue akan menginjak-injak dan mencabik-cabik Rania. Makin sadis, setelah dengerin apa yang barusan Abang omongin. Entah kenapa gue jadi ngerasa menggebu-gebu buat menginjak dia. Karena dengan kek gitu, sesekali tepuk. Gue bisa nyakitin dua orang sekaligus, yaitu Abang dan Rania."
"ELEA!" teriak Zion menaikan intonasi nada suaranya, muka Zion langsung memerah padam.
Elea malah tersenyum lebar, menyeringai setelahnya. Membalikkan tubuhnya, membelakangi Zion—kakaknya.
"Oh, iya. Hampir aja gue lupa, Abang mungkin ingin ngelupain soal masa lalu. Tapi, gue nggak. Jika aja Abang nggak ngajak gue main di luar rumah malem itu, bermain petak umpet. Gue nggak akan diculik, dan Abang diam nggak ngomong apapun saat detektif bertanya. Gue harap, Abang pun akan dihantam rasa sakit dan ketakutan yang sama. Karena Abang nggak nganggep gue sebagai Adik, gue pun nggak akan menahan diri buat nyakitin Abang Zion."
Elea mengayunkan langkah kakinya setelah memberikan Zion peringatan, Elea mungkin tidak ingat tentang malam kelam itu. Tapi, pengasuhnya ingat. Elea ditarik bermain oleh Zion keluar, meskipun telah dicegah.
Karena takut ikut dimarahi, sang pengasuh malah bungkam. Elea mengetahui fakta ini, di saat mendengar sang pengasuh berbicara sendiri di saat ia dipikir telah tertidur lelap.
'Gue nggak akan hancur sendirian, yang ngelukain gue. Maka akan gue balas dua kali, gue akan tunjukan apa itu perempuan licik.' Elea semakin tersulut untuk memberontak.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments