Meskipun suara jangkrik bersahut-sahutan dari luar jendela, namun malam itu terasa terlalu sunyi. Sunyi yang aneh, yang membuat dada terasa sesak. Prayitno duduk di samping ranjang Danang, menggenggam tangan kecil anaknya yang semakin dingin.
Tubuh Danang makin kurus. Nafasnya pendek-pendek. Matanya tak mau terbuka. Dokter yang dipanggil tak bisa menjelaskan apa-apa, hanya berkata bahwa ini mungkin karena kelelahan dan stres.
Tapi dalam hati, Prayit tahu ini lebih dari sekadar sakit.
"Tidak mungkin Danang stress, memangnya dia tahu apa??"
Sementara itu Nurul yang sedang mencuci piring di dapur tiba-tiba tersentak kaget, saat gelas-gelas yang sudah di cucinya tiba-tiba pecah sendiri.
"Prang!"
Wanita itu segera mematikan kran air dan menatap tajam pecahan gelas itu.
“Lagi-lagi gelas pecah sendiri. Ini pasti ada yang tidak beres!"
Ia pun segera berteriak memanggil suaminya
“Mas,” suara teriakan Nurul menggema dari dapur.
"Mas Prayit!"
Prayitno menoleh. Di tangannya masih tergenggam segelas air hangat yang hendak diberikan ke Danang. Ia baru saja akan bangun dari duduknya saat tiba-tiba lampu kamar padam seketika.
*Buk!!
Ruangan menjadi gelap gulita, hanya diterangi cahaya rembulan dari sela tirai.
Danang menggeliat. Tangannya terangkat perlahan. Mulutnya terbuka, tapi suara yang keluar bukan suara anak kecil.
“Dia sudah datang, nenek itu lapar!"
Prayitno membeku. Tubuhnya kaku. Nurul kembali berteriak dari luar kamar saat suaminya tak kunjung menghampirinya.
“Mas! Lantai dapur dingin banget seperti air es!”
Saat Prayit hendak melangkah, tiba-tiba dari arah loteng terdengar suara seretan. Seperti kaki tua yang diseret perlahan di atas papan kayu.
Belum selesai suara seretan kaki, Lalu terdengar suara ketukan.
Tiga kali.
Lambat.
Berirama.
Tok… tok… tok…
Ketukan itu bukan dari pintu. Tapi dari balik lemari tua di sudut kamar. Lemari yang belum pernah dibuka sejak mereka tinggal di sana.
Dengan tubuh gemetar, Prayit mencoba bangkit. Ia mendekati lemari itu. Tangan kanan menggenggam obor kecil, tangan kiri membuka pintu lemari yang berat dan berdebu.
Saat pintu lemari terbuka tak ada apapun di sana.
Kosong.
Namun di bagian belakang lemari ada garis samar seperti celah.
Pintu rahasia??
Sebelum ia sempat menyentuhnya, suara dari belakang membuatnya menoleh cepat.
“Biar aku yang buka,"
"Danang," Prayit mengusap dadanya
Ia termangu melihat putranya tiba-tiba bangun.
Ia berdiri. Mata terbuka, tapi tatapannya kosong. Bola matanya putih. Langkahnya pelan tapi pasti, menuju lemari. Prayit mencoba menghentikannya, tapi tubuhnya tak bisa digerakkan.
Seperti ada kekuatan tak terlihat menahannya. Meskipun ia sudah berusaha menggerakkan tubuhnya namun kekuatan itu terlalu kuat. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan saja.
Danang menyentuh pintu rahasia itu, dengan perlahan.
“KRIEEEET…”
Pintu kayu itu terbuka. Di baliknya lorong gelap dan sempit terlihat jelas. Udara dari dalam lembab dan amis, seperti bau tanah bercampur darah.
Dari dalam lorong itu, terdengar suara napas berat, serak, dan suara tawa kecil nenek-nenek.
“Hehehe... akhirnya, tumbalku datang juga,"
Lorong sempit itu seperti menelan cahaya. Bau anyir darah dan tanah basah menyengat sejak pintunya dibuka. Dinding-dindingnya terbuat dari batu bata hitam yang berlumut. Di beberapa bagian, terlihat bekas cakaran dan noda kecokelatan yang Prayitno tak ingin menebak darimana asalnya.
Bercak darah yang mengering namun baunya seperti masih baru.
Danang masih dalam kondisi kerasukan, berjalan di depan, tanpa suara. Tubuhnya kecil, tapi langkahnya seperti dituntun oleh sesuatu. Bocah itu terus melangkah masuk kedalam lorong.
Prayitno yang panik ingin menariknya, tapi tubuhnya masih terasa berat. Ia benar-benar tak bisa berbuat apa-apa selain memandanginya.
Baru setelah lorong itu semakin dalam dan udara semakin dingin, kekuatannya kembali. Ia langsung menyusul Danang. Ia berlari sekencang-kencangnya meraih lengannya, memeluk anaknya dan membalikkan badannya.
“Danang! Sadarlah, Nak!”
Tapi Danang hanya menatap kosong, lalu pingsan di pelukan ayahnya.
Prayitno membaringkan tubuh Danang di lantai, lalu menoleh ke depan lorong. Ada cahaya temaram dari ujungnya, seolah berasal dari lilin. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat.
Ruang itu, adalah ruang sesaji.
Dindingnya dipenuhi foto-foto lama yang ditempel sembarangan. Sebagian sudah gosong terbakar, sebagian sobek. Tapi satu hal yang membuat dada Prayitno tercekat di antara foto-foto itu, ada wajah yang sangat ia kenal.
Ibunya. Ningsih.
"Ibu??" wajah Prayit seketika berubah gusar, ada kerinduan mendalam saat menatap wajah wanita di foto itu.
Dalam foto itu, Ningsih tampak mengenakan pakaian pembantu. Di belakangnya berdiri seorang perempuan tua yang tersenyum menyeramkan. Dia adalah Nenek Mariani.
Prayitno memandangi meja batu di tengah ruangan. Di atasnya tergeletak benda-benda aneh, ada kain kafan, boneka dari tanah liat, darah kering, dan rambut manusia. Di sisi kiri, ada kendi besar berisi cairan kehitaman, yang bergerak sendiri seperti bernyawa.
Prayit mundur, menjauh dari meja batu itu. Ia tahu tempat itu bukan tempat biasa.
Dan di sudut ruangan, bersandar di kursi roda berkarat, duduklah sosok yang membuat bulu kuduk Prayitno berdiri. Tiba-tiba Prayit melihat sosok wanita tua diatas kursi goyang.
"Nenek Mariani??"
Tubuhnya kurus kering, kulitnya pucat keabu-abuan. Mata setengah terbuka. Tapi bibirnya menyeringai.
“Kamu akhirnya datang juga, anak dari Ningsih.” ucap wanita tua itu
Prayitno melangkah mundur, Ia bahkan hampir terpeleset.
“Kau harusnya bersyukur, Nak. Karena aku akan meneruskan takdir ibumu.”
Tiba-tiba, semua lilin padam. Ruangan menjadi gelap gulita. Terdengar suara tertawa keras, panjang, dari berbagai arah. Membuat suasana semakin mencekam.
Danang menjerit dari belakang. “Ayah! Dia masuk ke dalam tubuh ku lagi!”
Prayitno memeluk anaknya erat-erat, lalu dengan sekuat tenaga berlari keluar dari lorong itu, membawa Danang kembali ke kamar.
Tapi saat sampai di kamar…
Nurul tidak ada.
Prayit memanggilnya, berharap ia segera keluar menghampirinya.
"Dek, Dek Nurul!"
Sepi, tak ada suara sahutan Nurul. Wanita itu benar-benar menghilang.
Yang tersisa hanya baju tidurnya di lantai, dan cermin di kamar yang retak. Tubuhnya seketika lemas.
Ia melangkah mendekati cermin itu.
Di balik retakan cermin itu, untuk sekejap Prayit melihat wajah Nurul. Tapi matanya kosong. Dan di belakangnya berdiri sosok Nenek Mariani yang kini wajahnya tampak jauh lebih muda
"Aku sudah mendapatkannya," ucap Mariani menyeringai seram
"Nurul, tidaaaakkk!!"
Prayitno berteriak histeris.
Tumbal telah diambil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Yuli a
ya Allah.... udah hidupnya susah... malah jadi tumbal lagi... duh Gusti...
2025-05-11
3
@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈
yang pertama jadi tumbal adalah Nurul... sungguh miris nasib keluarga itu
2025-05-14
1
🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ
mungkin kah Nurul JD korban nya
2025-04-29
2