Derap langkah berirama diiringi suara kilat kamera dan bisik-bisik penuh tanda tanya. Di ujung karpet merah yang dibentangkan dari pintu masuk hingga ke pelaminan berhias kaligrafi emas dan bunga melati putih, seorang wanita bergaun putih elegan berjalan pelan. Wajahnya tertutup cadar tipis, menambah aura misteri yang membius semua mata yang memandang. Setiap laDerap langkah berirama diiringi suara kilat kamera dan bisik-bisik penuh tanda tanya. Di ujung karpet merah yang dibentangkan dari pintu masuk hingga ke pelaminan berhias kaligrafi emas dan bunga melati putih, seorang wanita bergaun putih elegan berjalan pelan. Wajahnya tertutup cadar tipis, menambah aura misteri yang membius semua mata yang memandang. Setiap langkahnya diiringi dua orang yang tampak seperti keluarga terpandang—seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu dan seorang wanita berkerudung elegan dengan bros berlian menyala di bahunya.
Wartawan berlomba-lomba membidik sosok itu. “Siapa dia? Apa ini pengantin aslinya? Kenapa tertutup cadar?” bisik salah satu jurnalis.
Ruben berdiri tak jauh dari panggung utama, tersenyum penuh rasa lega. Ide gilanya—menyulap dua staf profesional menjadi “keluarga” si pengantin dadakan—berhasil menciptakan ilusi sempurna. Kini publik melihat sosok elegan dan berkelas, bukan gadis ojol yang tadi siang nyaris tumbang di halaman gedung.
Renata berdiri di samping pelaminan, menahan haru. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia ingin memeluk Ruben. “Kau benar-benar penyelamatku,” gumamnya dalam hati.
Amira berjalan dengan langkah tegap, anggun, menapaki karpet merah menuju pelaminan megah dengan lampu kristal menggantung dan nuansa putih-keemasan di setiap sudut. Tapi di balik cadarnya, wajahnya pucat. Jantungnya berdetak kencang. Ia bahkan belum tahu rupa laki-laki yang akan menjadi suaminya.
Di sisi pelaminan, Andika duduk bersandar, menatap lurus ke depan. Wajahnya dingin dan tajam.
"Dari mana Ibu menemukan perempuan ini? Dan bagaimana aku harus menjelaskan ini pada Bianka kalau dia muncul?"
Ia merasa seperti pion dalam permainan besar yang tidak pernah ia inginkan. Akad ini hanyalah formalitas. Sandaran nama. Benteng warisan.
Bagus yang duduk di barisan tamu VIP mencibir diam-diam. Gagal sudah rencananya menggagalkan pernikahan. “Sialan... dia tetap berhasil,” gumamnya.
Serena mendengus pelan. Ia yakin, pengantin ini pasti jelek. Ia bahkan sempat menyuruh anak buahnya menyelidik—katanya Renata menyuruh ojol masuk ke ruang make up. Ia mengira gadis itu hanya pengantar makanan. Dan Serena sudah menyiapkan kalimat sindiran dan cibiran pedas jika wajah mempelai terlihat.
Tapi saat sang pengantin duduk di sisi Andika di atas pelaminan megah yang bertabur bunga dan kaligrafi Allah-Muhammad, suasana langsung berubah. Semua tamu terdiam. Kilatan kamera terus menyala. Suasana hening berubah menjadi penuh decak kagum.
Amira tetap tenang. Meski di dalam hati, ia gemetar. Satu-satunya yang membuatnya diam dan tegak hanyalah bayangan wajah ayahnya—dan suara dokter pagi tadi: “Kita tak bisa tunggu lama. Harus segera operasi.”
Dan kini, di sinilah ia. Duduk di pelaminan, bersanding dengan pria asing yang tak tersenyum sedikit pun padanya.
Suasana memanas dalam keheningan sakral saat penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) naik ke atas pelaminan. Lelaki paruh baya berkopiah hitam itu membawa map berisi dokumen penting. Di hadapannya, Andika dan Amira duduk berjajar, sementara para saksi dari pihak keluarga duduk tak jauh dari mereka.
Renata berdiri tak jauh, tangannya dingin menggenggam kipas kecil yang dari tadi tak digunakan. Matanya terus mengawasi Amira—takut gadis itu tiba-tiba lari atau membatalkan semuanya. Tapi Amira duduk tenang. Dingin, seperti batu. Padahal hatinya menjerit.
Sementara itu, Viona duduk anggun di barisan depan. Ia menatap Amira tajam, penuh selidik. Tapi tak ada satu pun emosi negatif yang terpancar dari wanita tua itu. Ia hanya diam.
Penghulu memulai prosesi akad.
“Karena wali nasab dari mempelai wanita tidak hadir dan tidak dapat dihubungi, serta berdasarkan surat pernyataan dari pihak keluarga bahwa ia berasal dari panti asuhan, maka saya selaku wali hakim, atas nama negara dan agama, akan menikahkan saudari Amira binti—” penghulu sempat ragu, lalu membaca nama sesuai dokumen, “—binti tidak diketahui, dengan saudara Andika Pratama bin Adrian Wijaya.”
Beberapa tamu mulai saling berbisik. Tapi penghulu tetap tenang.
“Saudara Andika Pratama bin Adrian Wijaya,” ucap penghulu lantang, “saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Amira, yang walinya saya wakili sebagai wali hakim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang tunai seratus juta rupiah dibayar tunai.”
Andika menarik napas, lalu menjawab tanpa ragu, “Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti tidak diketahui, yang walinya diwakilkan oleh wali hakim, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
“SAH!” seru para saksi serempak.
Ruang pernikahan yang mewah dan berhiaskan lampu kristal itu sontak hening sejenak, sebelum kemudian disambut dengan tepuk tangan para tamu yang menahan keheranan. Meski semuanya berjalan cepat dan penuh tanda tanya, prosesi itu berlangsung sempurna di hadapan hukum dan agama.
Renata menutup wajah dengan tangan, tak kuat menahan air mata. Antara lega, syukur, dan takut akan konsekuensi ke depan. Tapi satu hal yang pasti: ia berhasil menyelamatkan keluarganya—untuk hari ini.
Di sisi lain, Andika tak memandang Amira sedikit pun. Ia masih berpikir tentang Bianka. Ia tahu ini hanya drama. Tapi hatinya tetap terasa perih.
Dan Amira?
Ia duduk diam, seperti boneka. Bahkan senyum tak sanggup ia hadirkan. Tapi di dalam hatinya, suara sang ayah terus bergaung. “Kalau tak segera dioperasi, Bapak bisa...”
Tangannya gemetar di balik cadar. Pernikahan itu sah. Tapi apakah ia sanggup menjalani kebohongan ini selama enam bulan?
Penghulu meletakkan mapnya, lalu menatap Amira yang masih duduk tenang di sisi Andika.
"Saudari Amira," ujarnya sopan, "sebelum kami lanjutkan pencatatan, mohon untuk membuka cadar. Sebagai bagian dari administrasi resmi, wajah mempelai perempuan harus terlihat jelas dan didokumentasikan."
Ruangan seketika sunyi. Semua mata tertuju pada sosok berselendang lembut berwarna gading di pelaminan. Amira menunduk sejenak, tangannya gemetar. Ia menatap Renata di kejauhan yang hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dengan gerakan perlahan, Amira mengangkat cadarnya. Dan sesaat kemudian—semua terdiam.
Sorotan lampu menggantung jatuh di wajahnya. Kulit putihnya bersinar lembut, mata cokelat bening itu menyiratkan kekuatan dan luka yang tersembunyi dalam diam. Alis yang tegas, bibir tipis yang kaku karena ketegangan. Tapi semua menyatu sempurna—bukan seperti pengantin darurat, tapi seperti putri raja yang memang ditakdirkan duduk di sana.
Bisikan mulai terdengar. Kamera-kamera media yang sejak tadi mencari celah langsung membidik wajahnya. Beberapa tamu undangan sempat menahan napas.
Serina yang berdiri agak jauh spontan mencibir, “Cantik sih… tapi jangan-jangan hasil operasi. Ojol bisa berubah secepat itu? Ini pasti permainan sulap Renata.” Ia melangkah ke depan, bersiap membuka aib yang telah disiapkannya.
Tapi sebelum ia sempat bicara, terdengar suara cepat dari salah satu penyambut tamu yang berlari kecil ke arah depan.
"Bu! Wapres sudah tiba. Iringannya baru masuk halaman!"
Kegemparan langsung berganti arah. Para tamu yang tadinya fokus pada wajah Amira kini berdiri, bersiap menyambut tamu paling terhormat hari itu. Viona segera berdiri, berjalan dengan anggun menuju pintu utama. Renata, dengan langkah cepat dan gugup, menyusul di belakangnya. Gubernur pun ikut menyambut, menyusun senyum resmi khas acara kenegaraan.
Serina mengernyit—rencananya untuk mempermalukan Renata tertunda. Sorotan mata publik kini tak lagi tertuju pada pengantin. Mereka semua sibuk menyambut sang Wakil Presiden, sang simbol kehormatan negara.
Sementara itu, Amira menarik napas dalam. Sesaat, sorot lampu itu bukan lagi tentang siapa dirinya. Tapi tentang siapa yang sedang datang.
Andika menoleh pelan ke arahnya. Untuk pertama kalinya sejak mereka duduk berdampingan, ia benar-benar menatap Amira. Mata itu... wajah itu... memang cantik. Bahkan lebih anggun dari yang ia bayangkan. Tapi...
"Maaf," bisik Andika dingin, "Kamu bukan Bianka."
Amira tak menjawab. Ia hanya menunduk, menyembunyikan luka yang terasa seperti pisau dingin di dada. Dan pernikahan yang barusan diuc
apkan itu terasa lebih hampa dari ruang pesta mewah yang dipenuhi senyum pura-pura.
ngkahnya diiringi dua orang yang tampak seperti keluarga terpandang—seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu dan seorang wanita berkerudung elegan dengan bros berlian menyala di bahunya.
Wartawan berlomba-lomba membidik sosok itu. “Siapa dia? Apa ini pengantin aslinya? Kenapa tertutup cadar?” bisik salah satu jurnalis.
Ruben berdiri tak jauh dari panggung utama, tersenyum penuh rasa lega. Ide gilanya—menyulap dua staf profesional menjadi “keluarga” si pengantin dadakan—berhasil menciptakan ilusi sempurna. Kini publik melihat sosok elegan dan berkelas, bukan gadis ojol yang tadi siang nyaris tumbang di halaman gedung.
Renata berdiri di samping pelaminan, menahan haru. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia ingin memeluk Ruben. “Kau benar-benar penyelamatku,” gumamnya dalam hati.
Amira berjalan dengan langkah tegap, anggun, menapaki karpet merah menuju pelaminan megah dengan lampu kristal menggantung dan nuansa putih-keemasan di setiap sudut. Tapi di balik cadarnya, wajahnya pucat. Jantungnya berdetak kencang. Ia bahkan belum tahu rupa laki-laki yang akan menjadi suaminya.
Di sisi pelaminan, Andika duduk bersandar, menatap lurus ke depan. Wajahnya dingin dan tajam.
"Dari mana Ibu menemukan perempuan ini? Dan bagaimana aku harus menjelaskan ini pada Bianka kalau dia muncul?"
Ia merasa seperti pion dalam permainan besar yang tidak pernah ia inginkan. Akad ini hanyalah formalitas. Sandaran nama. Benteng warisan.
Bagus yang duduk di barisan tamu VIP mencibir diam-diam. Gagal sudah rencananya menggagalkan pernikahan. “Sialan... dia tetap berhasil,” gumamnya.
Serena mendengus pelan. Ia yakin, pengantin ini pasti jelek. Ia bahkan sempat menyuruh anak buahnya menyelidik—katanya Renata menyuruh ojol masuk ke ruang make up. Ia mengira gadis itu hanya pengantar makanan. Dan Serena sudah menyiapkan kalimat sindiran dan cibiran pedas jika wajah mempelai terlihat.
Tapi saat sang pengantin duduk di sisi Andika di atas pelaminan megah yang bertabur bunga dan kaligrafi Allah-Muhammad, suasana langsung berubah. Semua tamu terdiam. Kilatan kamera terus menyala. Suasana hening berubah menjadi penuh decak kagum.
Amira tetap tenang. Meski di dalam hati, ia gemetar. Satu-satunya yang membuatnya diam dan tegak hanyalah bayangan wajah ayahnya—dan suara dokter pagi tadi: “Kita tak bisa tunggu lama. Harus segera operasi.”
Dan kini, di sinilah ia. Duduk di pelaminan, bersanding dengan pria asing yang tak tersenyum sedikit pun padanya.
Suasana memanas dalam keheningan sakral saat penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) naik ke atas pelaminan. Lelaki paruh baya berkopiah hitam itu membawa map berisi dokumen penting. Di hadapannya, Andika dan Amira duduk berjajar, sementara para saksi dari pihak keluarga duduk tak jauh dari mereka.
Renata berdiri tak jauh, tangannya dingin menggenggam kipas kecil yang dari tadi tak digunakan. Matanya terus mengawasi Amira—takut gadis itu tiba-tiba lari atau membatalkan semuanya. Tapi Amira duduk tenang. Dingin, seperti batu. Padahal hatinya menjerit.
Sementara itu, Viona duduk anggun di barisan depan. Ia menatap Amira tajam, penuh selidik. Tapi tak ada satu pun emosi negatif yang terpancar dari wanita tua itu. Ia hanya diam.
Penghulu memulai prosesi akad.
“Karena wali nasab dari mempelai wanita tidak hadir dan tidak dapat dihubungi, serta berdasarkan surat pernyataan dari pihak keluarga bahwa ia berasal dari panti asuhan, maka saya selaku wali hakim, atas nama negara dan agama, akan menikahkan saudari Amira binti—” penghulu sempat ragu, lalu membaca nama sesuai dokumen, “—binti tidak diketahui, dengan saudara Andika Pratama bin Adrian Wijaya.”
Beberapa tamu mulai saling berbisik. Tapi penghulu tetap tenang.
“Saudara Andika Pratama bin Adrian Wijaya,” ucap penghulu lantang, “saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Amira, yang walinya saya wakili sebagai wali hakim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang tunai seratus juta rupiah dibayar tunai.”
Andika menarik napas, lalu menjawab tanpa ragu, “Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti tidak diketahui, yang walinya diwakilkan oleh wali hakim, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
“SAH!” seru para saksi serempak.
Ruang pernikahan yang mewah dan berhiaskan lampu kristal itu sontak hening sejenak, sebelum kemudian disambut dengan tepuk tangan para tamu yang menahan keheranan. Meski semuanya berjalan cepat dan penuh tanda tanya, prosesi itu berlangsung sempurna di hadapan hukum dan agama.
Renata menutup wajah dengan tangan, tak kuat menahan air mata. Antara lega, syukur, dan takut akan konsekuensi ke depan. Tapi satu hal yang pasti: ia berhasil menyelamatkan keluarganya—untuk hari ini.
Di sisi lain, Andika tak memandang Amira sedikit pun. Ia masih berpikir tentang Bianka. Ia tahu ini hanya drama. Tapi hatinya tetap terasa perih.
Dan Amira?
Ia duduk diam, seperti boneka. Bahkan senyum tak sanggup ia hadirkan. Tapi di dalam hatinya, suara sang ayah terus bergaung. “Kalau tak segera dioperasi, Bapak bisa...”
Tangannya gemetar di balik cadar. Pernikahan itu sah. Tapi apakah ia sanggup menjalani kebohongan ini selama enam bulan?
Penghulu meletakkan mapnya, lalu menatap Amira yang masih duduk tenang di sisi Andika.
"Saudari Amira," ujarnya sopan, "sebelum kami lanjutkan pencatatan, mohon untuk membuka cadar. Sebagai bagian dari administrasi resmi, wajah mempelai perempuan harus terlihat jelas dan didokumentasikan."
Ruangan seketika sunyi. Semua mata tertuju pada sosok berselendang lembut berwarna gading di pelaminan. Amira menunduk sejenak, tangannya gemetar. Ia menatap Renata di kejauhan yang hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dengan gerakan perlahan, Amira mengangkat cadarnya. Dan sesaat kemudian—semua terdiam.
Sorotan lampu menggantung jatuh di wajahnya. Kulit putihnya bersinar lembut, mata cokelat bening itu menyiratkan kekuatan dan luka yang tersembunyi dalam diam. Alis yang tegas, bibir tipis yang kaku karena ketegangan. Tapi semua menyatu sempurna—bukan seperti pengantin darurat, tapi seperti putri raja yang memang ditakdirkan duduk di sana.
Bisikan mulai terdengar. Kamera-kamera media yang sejak tadi mencari celah langsung membidik wajahnya. Beberapa tamu undangan sempat menahan napas.
Serina yang berdiri agak jauh spontan mencibir, “Cantik sih… tapi jangan-jangan hasil operasi. Ojol bisa berubah secepat itu? Ini pasti permainan sulap Renata.” Ia melangkah ke depan, bersiap membuka aib yang telah disiapkannya.
Tapi sebelum ia sempat bicara, terdengar suara cepat dari salah satu penyambut tamu yang berlari kecil ke arah depan.
"Bu! Wapres sudah tiba. Iringannya baru masuk halaman!"
Kegemparan langsung berganti arah. Para tamu yang tadinya fokus pada wajah Amira kini berdiri, bersiap menyambut tamu paling terhormat hari itu. Viona segera berdiri, berjalan dengan anggun menuju pintu utama. Renata, dengan langkah cepat dan gugup, menyusul di belakangnya. Gubernur pun ikut menyambut, menyusun senyum resmi khas acara kenegaraan.
Serina mengernyit—rencananya untuk mempermalukan Renata tertunda. Sorotan mata publik kini tak lagi tertuju pada pengantin. Mereka semua sibuk menyambut sang Wakil Presiden, sang simbol kehormatan negara.
Sementara itu, Amira menarik napas dalam. Sesaat, sorot lampu itu bukan lagi tentang siapa dirinya. Tapi tentang siapa yang sedang datang.
Andika menoleh pelan ke arahnya. Untuk pertama kalinya sejak mereka duduk berdampingan, ia benar-benar menatap Amira. Mata itu... wajah itu... memang cantik. Bahkan lebih anggun dari yang ia bayangkan. Tapi...
"Maaf," bisik Andika dingin, "Kamu bukan Bianka."
Amira tak menjawab. Ia hanya menunduk, menyembunyikan luka yang terasa seperti pisau dingin di dada. Dan pernikahan yang barusan diuc
apkan itu terasa lebih hampa dari ruang pesta mewah yang dipenuhi senyum pura-pura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments