Hujan turun sejak sore, membasahi halaman rumah megah keluarga Pratama. Malam telah larut saat Andika dan Amira tiba di rumah yang kini, untuk sementara, menjadi tempat tinggal mereka berdua.
Kamar pengantin terletak di lantai dua. Luas, mewah, dan berhias warna netral yang elegan. Namun suasana di dalamnya jauh dari kata romantis. Andika berjalan masuk lebih dulu, melempar jasnya ke sofa, lalu membuka dasinya dengan kasar.
Hawa dingin merayap lewat celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah. Seharusnya ini malam penuh kehangatan bagi pengantin baru—kasur empuk, selimut hangat, dan pelukan pertama. Tapi tidak bagi mereka. Yang ada hanyalah kebekuan, kebencian, dan kemarahan yang siap meledak.
“Taruh saja barangmu di pojok. Jangan sentuh apa pun yang bukan milikmu,” ujar Andika tanpa menoleh.
Amira diam. Ia mengedarkan pandang, menatap kamar yang akan menjadi "penjara" selama enam bulan ke depan. Tangannya sibuk mencari colokan untuk mengisi daya ponselnya yang mati sejak pagi.
Andika duduk di tepi ranjang, lalu bangkit lagi. Wajahnya menegang. “Jangan pernah berpikir aku akan menyentuhmu malam ini. Jangan bermimpi menjadi istriku yang sebenarnya. Cintaku hanya untuk Bianka.”
Amira tetap tenang, sibuk mengetuk layar ponsel yang tak kunjung menyala.
“Kau dan Mamah sama saja. Rakus. Menjual harga diri demi warisan,” ucap Andika penuh kebencian.
Akhirnya ponsel Amira menyala. Wajahnya sedikit cerah. Ia langsung menekan layar dan menelepon.
Andika semakin terbakar. “Kamu itu wanita murahan! Pengantin pengganti yang cuma mengincar uang! Karena kamu sudah memilih menjadi alat Mamah, mulai malam ini aku akan menyiksa kamu. Sampai kamu menyesal sudah lahir ke dunia ini.”
Tiba-tiba, ia melepas gesper dari pinggangnya. Suara gesekan kulit membuat bulu kuduk berdiri. Ia mengangkat tangannya, bersiap mencambuk.
“MAMAHHHHH!!” Teriakan Amira menggema di kamar itu, membuat langkah Andika terhenti.
Ponsel di tangan Amira masih aktif. Suara Rahayu dari seberang terdengar panik, “Amira? Kenapa kamu teriak?!”
“Mamah, bapak gimana?” suara Amira tercekat.
“Bapak besok siang jam sembilan akan dioperasi. Sekarang lagi puasa,” jawab Rahayu, terdengar lega.
“Syukurlah… Alhamdulillah,” ucap Amira serak, nyaris menangis.
Rahayu kemudian bertanya curiga, “Kamu dapat uang dari mana, Mi?”
“Nanti aku jelaskan di rumah sakit, Mah. Aku pasti datang.”
Andika merebut ponsel dari tangan Amira. “Amiraaaa!”
Amira membalas dengan nada tajam, “Apa, Andikaaaa?!”
“Apa-apaan kamu bicara seenaknya?!”
Amira menatap tajam. “Bisa enggak orang lagi nelpon itu kamu DIAM?! Dari tadi ngoceh kayak emak-emak tukang gosip!”
Andika terdiam sejenak, tercengang. Amira, yang semula lemah dan pasrah, kini berubah jadi petarung.
Wanita sialan ini… kemarin lembut, sekarang garang… pikir Andika. Rahangnya mengeras.
“Dengar baik-baik,” ucap Andika tajam. “Kau hanya istri bohongan. Jangan pernah berharap jadi istri sungguhan. Kau enggak pantas.”
Amira menegakkan bahu. “Hey, lelaki plin-plan! Siapa yang mau jadi istri kamu, hah? Jangan GR! Lelaki bodoh kayak kamu enggak layak jadi suamiku.”
“Apa?!” teriak Andika, matanya membelalak. “Kamu bilang aku… bodoh?!”
Andika marah besar. Dadanya naik turun, napasnya berat. Ia mendekat dengan sorot mata tajam, lalu meraih dagu Amira kasar.
“Lepasin, anj1n9...” Amira menepis tangannya.
Andika makin naik darah. Tangannya terkepal, siap menghantam.
“Krakkk!”
Tangannya tertahan. Mata Andika membelalak. Wanita itu menahan pukulannya.
“Anjrit, ini tangan atau besi?” gumam Andika.
“Punya kemampuan juga nih orang...” batin Amira.
“Sialan lu!” geram Andika, mencoba menyerang lagi.
“Stop!” Amira angkat tangan. “Kalau mau fight, bukain dulu baju aku. Dari tadi aku susah buka baju ini—ketat banget! Pacar kamu pasti kurus, ya.”
Amira berdiri, menatap tajam. Andika memasang kuda-kuda, siap hajar.
“Tunggu,” ucap Amira. “Aku buka dulu bajunya. Susah tarung pakai rok.”
Andika cuek. Ia langsung menerjang.
Amira merunduk. Pukulan Andika cuma kena angin.
“Bugh!”
Tinju Amira mendarat di perut Andika.
“Anj1n9! Kalau mau berantem yang adil, aku susah nendang kamu, b4ngs4t!”
Napas Andika mulai ngos-ngosan. “G1la, ini wanita... Sepertinya hidup gue bakal lebih menderita,” batinnya.
“Sudahlah, males gue berantem sama cewek.”
“Alah, omong kosong! Buka dulu resleting aku! Kalau enggak, aku teriak! Nenek kamu masih di rumah ini, kan? Dia nggak bakal kasih perusahaan ke kamu. Dan ibu kamu bakal makin kecewa!”
“Lu ngancam gue?”
“Aku nggak ngancam. Aku serius. Aku akan benar-benar teriak!”
“Iya, iya, aku buka,” kesal Andika.
Ia mendekat. Aroma bedak murahan Amira menyengat, tapi... entah kenapa, nyaman.
“Cepat buka. Jangan diliatin terus. Nanti kamu tergoda lagi. Dan asal tahu aja, aku nggak mau hamil dari cowok pecundang kayak kamu!”
Andika membuka resleting. Kulit putih Amira terpampang.
"Aneh banget... driver ojol kulitnya mulus begini," pikir Andika.
“Makasih, suamiku,” ucap Amira santai.
Tanpa sungkan, ia buka bajunya.
“Hei! Orang G1la! Kenapa buka baju depan aku?!”
“Eh, biasa aja kali. Kamu kan suami aku. Halal dong. Emang kamu nggak tergoda lihat tubuh seksi aku?” senyum Amira menggoda.
“Cih! Najis aku tergoda sama kamu!”
“Hahaha! Mulut kamu sih begitu, tapi punya kamu maju ke depan,” Amira menunjuk paha Andika.
“ASTAGA! Aku lupa bawa baju,” keluh Amira, buka koper. Isinya cuma make-up, charger, dan keripik singkong.
Andika duduk malas. “Bukan urusan aku. Jangan harap aku beliin baju kamu.”
“Peliiiit banget sih kamu!” Amira drama total. “Kamu nikah sama aku dapet perusahaan dari nenek kamu, cuma beliin baju doang nggak mau. Ini juga bukan minta gaun pesta, cukup daster seratus ribu di Tanah Abang juga udah cukup tauk!”
“Aku nggak mau, titik,” tegas Andika. “Jangankan seratus ribu, sepeser pun aku nggak sudi keluarin buat kamu.”
“PELIT! PELIT! PELIT!” teriak Amira, tiru suara kodok.
Dengan manyun, Amira buka lemari Andika, ambil kaos abu-abu dan boxer biru garis.
“Itu baju aku sialan, kenapa kamu pake?!”
Amira balik badan. “Terus aku harus pake apa? Mau aku keluar cuma pakai BH dan celana dalam? Siapa tahu kamu tergoda, nerkam aku, terus aku hamil anak kamu.”
“STOP!!! Pake! Pake sana!” Andika tutup mata, geleng kepala.
“Ah sialan ibu aku,” gumam Andika. “Nemu manusia beginian dari mana coba...”
Amira pakai kaos kebesaran, nutupin pahanya. Boxer pun dia kenakan tanpa dosa. Sambil bersiul, masuk kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, dia keluar. Wajah segar, rambut dikuncir asal, kulitnya kinclong.
Andika melirik. “Anjrit... cantik juga... sialan,” buru-buru buang muka.
Amira duduk di kasur. “Aku tidur di sini.”
Andika otomatis lompat, “KAMU TIDUR DI BAWAH, BRENGSEK! INI KASUR AKU!”
Amira santai. “Kamu G1la, ya? Nggak menghargai pengorbanan aku. Aku kehilangan jam ngojek! Kalau pelanggan aku kabur gimana? Kalau akun aku jadi anyep, siapa tanggung jawab? Kamu? Jadi kamu yang tidur di bawah.”
Andika tunjuk-tunjuk, “Kamu udah dibayar nyokap aku! Apanya yang rugi?! Aku nggak mau tidur sama kamu. Pergi sana!”
Amira lempar bantal ke sofa. “Gini aja. Pilihan kamu cuma dua: tidur bareng aku, atau tidur di sofa. Mulai malam ini, kasur ini milik aku. Protes? Aku acak kamar kamu. Deal?”
Andika garuk kepala. Melawan Amira tuh kayak lawan puting beliung. Mau sekuat apa, kalah juga akhirnya.
Akhirnya, Andika terdampar di sofa, meratapi nasib. Katanya pengantin, tapi rasanya kayak korban.
Tak lama kemudian...
“Nggokkk... ngokkk...”
“ASTAGA... cewek ngorok kayak kodok,” bisik Andika sambil megang jidat.
Geleng-geleng kepala. “Kenapa gue yang tersiksa ya? Bukannya di novel cowok yang ngatur. Kenapa di hidup gue malah jadi korban?”
Ia coba tidur. Tapi suara ngorok Amira makin heboh. Kayak dangdut versi kodok.
Andika ambil bantal, nutup telinga. Tapi suara Amira kayak tembus dimensi.
Tengah malam. Udara dingin. Amira keluar kamar, jalan pelan, mata masih merem.
Dia masuk kamar mandi. Pintu kebuka, suara air terdengar.
“Anj1n9... jorok amat. Pipis berdiri, pintu nggak ditutup... bau pete lagi,” keluh Andika setengah sadar.
Amira keluar, tetap merem. Tapi bukannya ke kasur, malah naik ke sofa. Tidur di atas Andika.
“Eh brengsek! Salah tempat, sialan!” bisik Andika. Tapi... hangat. Nyaman. Dan... Amira nggak ngorok.
Andika perlahan terpejam. Akhirnya bisa tidur tenang.
Tapi...
PLAK!
Tamparan mendarat keras.
“Anj1n9! Sialan kamu! Merawanin aku ya?!” bentak Amira. Wajah pucat. Mata melotot.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
kalea rizuky
mau nantang amira
2025-04-29
0