Mateo belum menelan suapan pertamanya ketika ekspresinya langsung berubah. Ia menyemburkan makanan itu ke atas piring dengan kasar, lalu membanting sendoknya ke meja hingga mengeluarkan suara nyaring.
Livia yang berdiri di sisi meja tersentak, tubuhnya tegang mendengar suara benturan logam itu. Ia memandang Mateo dengan mata membesar, tidak mengerti apa yang salah.
"Ini makanan apa, sialan?!" teriak Mateo dengan nada penuh amarah. "Kau ingin meracuniku, hah?!"
Livia mundur selangkah, hampir menangis. Napasnya mulai berat, namun ia menahan suaranya agar tidak pecah. “S-Saya sudah melakukan semuanya sesuai dengan resep yang chef Anda berikan... Saya tidak menambahkan apa pun…”
Mateo berdiri, matanya menyala tajam. Dalam beberapa langkah ia sudah berada tepat di hadapan Livia. Tanpa peringatan, tangannya mencengkeram pipi chubby milik gadis itu, menekan keras hingga kulitnya memerah.
“Kau tahu kesalahanmu, Livia?” desisnya dingin, penuh tekanan. “Kesalahanmu adalah menambahkan penyedap rasa ke dalam makananku. Apa kau tidak bisa membaca?! Sudah kubilang aku alergi pada MSG!”
Livia menggeleng cepat, panik. “Saya… saya tidak tahu, saya hanya mengikuti—”
“Diam!” bentak Mateo sebelum menghempaskan wajah Livia ke samping. Tubuh gadis itu terhuyung, nyaris terjatuh jika saja ia tidak berpegangan pada sisi meja.
Matanya panas, tapi ia tetap berusaha menahan air mata. Bukan karena rasa sakit di pipinya… tapi karena harga dirinya terasa diremukkan tanpa sisa.
Mateo menarik napas kasar, lalu kembali duduk dengan kasar di kursinya. Ia menatap piring makanannya seakan itu racun. “Sana. Pergi dari hadapanku. Sebelum aku benar-benar kehilangan kendali dan melemparkan piring ini ke wajahmu.”
Tanpa berkata-kata, Livia membungkuk pelan dan melangkah mundur. Langkahnya berat, namun ia tahu... tidak ada tempat untuk marah, tidak ada ruang untuk membela diri.
Di rumah ini, suara Livia hanya akan menjadi gema yang tak pernah ingin didengar.
Livia terbaring di ranjang sempitnya, masih mengenakan pakaian yang basah sebagian karena cipratan air pagi tadi. Pipinya yang tadi dicengkeram Mateo terasa perih, meninggalkan jejak kemerahan yang memudar perlahan, namun rasa sakitnya tak sebanding dengan luka di dalam hatinya.
Tangis itu akhirnya pecah. Tak bisa ditahan lagi.
Ia memeluk guling kecil miliknya, menggigit ujungnya sambil mencoba meredam suara isakan. Tapi dadanya terasa sesak. Sesak karena rasa takut, sesak karena dihina, dan sesak karena dirinya tak tahu berapa lama lagi harus bertahan dalam neraka ini.
“Apa salahku…?” gumamnya lirih di antara isak. “Aku tidak pernah meminta untuk dinikahi…”
Air mata terus mengalir membasahi pipinya. Livia menggenggam kuat guling di pelukannya, seolah hanya itu satu-satunya pelindung yang ia miliki di rumah megah ini. Rumah yang dingin, asing, dan penuh kemarahan.
Ia memejamkan mata, berharap saat membuka nanti semuanya hanya mimpi buruk… tapi ia tahu, ini nyata. Ini adalah awal dari kehidupan barunya sebuah kehidupan tanpa cinta, tanpa perlindungan… hanya demi menutupi aib bagi keluarga kaya raya yang bahkan tak menganggapnya manusia.
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan panas yang menyengat dari langit yang tak lagi biru. Di halaman belakang rumah megah keluarga Velasco, Livia berdiri dengan sapu dan sekop di tangannya ia menatap lapangan golf pribadi yang luas dan hampir tak berujung.
Keringat mengalir di pelipisnya, membasahi kerudung tipis yang menutupi rambutnya. Tangannya yang lembut dulu kini mulai lecet, punggungnya nyeri, namun tak ada yang peduli.
Tugasnya hari ini: membersihkan lapangan golf. Sendirian.
Jika orang luar melihatnya tinggal di rumah keluarga Velasco, mungkin mereka akan mengira Livia menjalani kehidupan mewah bak putri bangsawan. Tapi kenyataannya? Ia tak ubahnya seperti pembantu rumah tangga atau lebih buruk, budak tak bergaji yang tidak dianggap keluarga.
Sebelum Mateo berangkat ke kantor pagi tadi, pria itu menatapnya tajam sambil mengenakan jas mahalnya.
“Kalau kau membuka mulut soal kehidupanmu di sini, walau hanya satu kata, satu senyum palsu yang gagal… Aku pastikan ibumu tidak akan aman, Livia.”
Ancaman itu menghantam keras ke dalam benaknya. Mateo bukan hanya menyakitinya secara fisik dan verbal, tapi juga mengikatnya dengan ketakutan yang menjalar sampai ke akar hatinya.
Maka, saat ada tamu atau orang luar yang melintas, Livia akan tersenyum palsu. Ia akan menunduk sopan dan mengatakan semua baik-baik saja persis seperti yang diminta oleh suaminya yang tampan namun berhati dingin itu.
Tangannya kembali bergerak, menyapu dedaunan yang berserakan di antara rerumputan hijau. Tubuhnya lelah, jiwanya lebih lelah lagi. Tapi tak ada tempat untuk mengadu, tak ada tangan yang akan memeluk dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Di rumah ini, Livia bukan istri. Ia adalah bayangan yang dipaksa tersenyum... agar nama Velasco tetap bersinar tanpa noda.
Cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit aula utama kediaman Juan Carlos Velasco berpendar indah, memantul dari gaun-gaun mewah yang dikenakan para tamu. Aroma wine mahal dan tawa tinggi penuh gengsi memenuhi udara malam itu. Tapi di sudut ruangan, duduklah seorang gadis bertubuh besar dengan gaun sederhana berwarna pastel pucat milik Livia.
Ia menunduk, menyentuh ujung gelasnya yang kosong. Tidak ada yang menyapanya, bahkan pelayan pun seolah melupakan kehadirannya. Ia duduk di kursi paling pojok meja makan panjang, jauh dari pusat percakapan. Seolah keberadaannya hanyalah bayangan samar di antara kemewahan yang membutakan.
Gaun sederhana yang ia kenakan malam itu membuatnya makin tak terlihat. Sebelum berangkat, Mateo sempat membentaknya.
"Kau tahu gaun itu harganya berapa?! Sudah mahal dan tetap saja terlihat norak di tubuhmu."
Padahal saat Livia diam-diam melihat label harganya, ia justru terkejut gaun itu tidak sebanding dengan citra seorang CEO muda terkaya di negeri ini. Tapi Livia tidak membantah. Ia tidak bisa.
Dan sekarang, di tengah keluarga Velasco yang semuanya tampil elegan dan menyilaukan, ia seperti noda yang tidak diinginkan. Tidak ada yang mengajaknya bicara. Tidak ada yang mengenalkan dirinya secara formal. Mereka hanya melirik sebentar, cepat, dan penuh penilaian.
Livia menunduk lebih dalam, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Hatinya sesak, dadanya penuh luka yang tak tampak. Ia ingin pulang, tapi ia tahu... ia tidak punya tempat pulang.
Di dunia ini, ia hanya perempuan yang ‘kebetulan’ menikahi Mateo Velasco karena skandal. Bukan cinta. Bukan kehendak. Dan bukan pilihan siapa pun termasuk dirinya sendiri.
Langkah Livia pelan, menyusuri lorong panjang yang memisahkan aula utama dengan bagian dalam rumah. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri entah karena rasa sesak di dada, atau karena terlalu lelah berpura-pura tegar.
Tujuannya bukan benar-benar toilet. Ia hanya butuh tempat yang sunyi. Tempat di mana ia bisa menangis tanpa menjadi tontonan.
Tapi saat melewati dapur yang setengah terbuka, langkah Livia terhenti. Suara dua wanita yang sedang berbicara terdengar jelas dari balik rak minuman. Ia mengenali salah satunya Ariana Velasco, ibu mertuanya sendiri.
“Menantumu sungguh kampungan, Ariana. Bagaimana bisa dia ikut hadir di acara keluarga kita?” suara sinis seorang wanita terdengar jelas. Livia tak melihat wajahnya, tapi mengenali rambut merah maroon yang tadi berdiri di dekat Ariana saat makan malam.
Livia menahan napas. Jantungnya berdebar cepat.
“Papa yang memintaku membawanya,” jawab Ariana sembari meneguk anggur dalam gelas kristal. Suaranya terdengar malas dan sedikit muak. “Apalagi ada sesi foto keluarga. Aku awalnya menolak, tapi Don malah menyetujuinya.”
“Kasihan Mateo... laki-laki seperti dia seharusnya bersama model atau sosialita, bukan perempuan... seperti itu,” lanjut wanita berambut merah itu dengan nada menghina.
Livia menggigit bibirnya, berusaha keras agar isaknya tidak lolos keluar.
Tubuhnya kaku. Ucapan-ucapan itu menampar telinganya seperti cambuk. Seolah keberadaannya benar-benar hanya beban yang dipikul keluarga ini. Tidak ada yang menginginkannya. Tidak satu pun.
Matanya memanas. Ia segera melangkah cepat, masuk ke dalam toilet. Begitu pintu tertutup, Livia bersandar pada dinding, tubuhnya bergetar menahan tangis.
Di sana, dalam kesunyian toilet mewah keluarga Velasco, ia menangis sendirian. Tangis yang tak didengar siapa-siapa. Tangis yang dipendam seorang wanita yang dipaksa masuk dalam dunia yang tidak pernah menginginkan dirinya.
Isaknya baru saja mereda ketika ponsel di dalam tas kecilnya bergetar. Livia menunduk, melihat nama yang tertera di layar adalah Mateo.
Ia ragu. Enggan. Tak ingin menjawab.
Detik berikutnya, sebuah pesan masuk:
“Kau di mana, tolol? Cepat ke aula. Akan ada sesi foto keluarga.”
Livia menggertakkan rahangnya, menggenggam ponsel itu erat. Kata-kata kasar itu menusuk, tapi entah kenapa ia sudah tidak terlalu terkejut. Ini hanya tambahan luka dari luka yang lebih dalam yang baru saja ia dengar di luar tadi.
Ia memejamkan mata sejenak. Mencoba menelan rasa sakitnya tanpa suara. Tanpa air mata.
Dengan napas yang berat, Livia perlahan berdiri dari duduknya di sudut toilet. Ia melangkah ke depan cermin menatap bayangannya sendiri.
Wajahnya masih sama. Pucat. Lelah. Tapi untungnya, tidak ada bekas tangis yang terlalu kentara. Riasan tipis di wajahnya masih bertahan. Matanya tidak bengkak, dan itu sudah cukup.
"Kau bisa, Liv. Untuk satu foto lagi. Satu senyuman palsu lagi," bisiknya pada diri sendiri, berusaha menguatkan hatinya.
Ia mengambil tisu, merapikan sedikit lipstik dan bedak di hidungnya. Menyisir rambutnya dengan jari, lalu berdiri tegap.
Dengan langkah pelan namun mantap, Livia keluar dari toilet. Ia menuju aula menuju sesi foto yang katanya penting, tapi jelas bukan untuknya. Ia bukan bagian dari keluarga ini. Ia hanya... topeng yang dipaksa tersenyum agar dunia percaya bahwa keluarga Velasco sempurna.
Langkah Livia terasa berat saat ia kembali ke aula. Hatinya seolah tertinggal di cermin toilet tadi bersama sisa-sisa air mata yang gagal membanjir. Saat pandangannya menyapu ruangan, ia langsung menangkap sorot mata Mateo. Dingin. Tajam. Seperti panah yang siap menembus dadanya.
Dan benar saja, begitu ia mendekat, tangan Mateo langsung mencengkram lengannya dengan kuat.
"Apa kau tidak bisa, sehari saja tidak membuatku marah? Gadis tolol," bisik Mateo pelan tapi penuh tekanan, rahangnya mengeras.
"Maaf," sahut Livia lirih. Bahkan untuk sekadar membela diri pun ia sudah terlalu lelah.
"Don, giliran keluargamu," suara Romeo Velasco menggema, memanggil keluarga inti untuk sesi foto utama.
Mateo langsung menarik paksa Livia. Ia menggiringnya ke depan panggung kecil tempat sesi foto berlangsung. Don dan Ariana duduk di kursi tengah sebagai kepala keluarga, sementara Mateo berdiri di samping kanan mereka, menarik Livia berdiri di sisinya.
Semua mata tertuju pada mereka. Tapi bukan tatapan hangat. Bukan pula bangga. Hanya tatapan menilai... penuh bisik-bisik dan cibiran samar.
"Tersenyum lebar," bisik Mateo, sambil menyodok pinggang Livia dari belakang, mencubitnya dengan keras.
Livia sedikit meringis. Tapi ia tahu ia tak punya pilihan. Ia memaksakan senyuman. Senyuman yang tidak pernah menyentuh matanya.
Klik.
Kamera memotret mereka.
Klik. Klik. Klik.
Setiap kilatan cahaya bukan hanya merekam gambar, tapi juga merekam kepalsuan. Livia berdiri di antara keluarga yang tak pernah menerimanya. Tubuhnya mungkin ada di sana, tetapi jiwanya terasa terlempar jauh.
Di belakang kamera, beberapa sepupu Mateo tertawa pelan. Menunjuknya. Seseorang bahkan sempat berbisik pelan:
"Astaga, apa tidak ada gaun lain yang lebih... masuk akal untuk tubuh sebesar itu?"
Livia mendengarnya. Tapi ia diam. Ia hanya berdiri dan tersenyum... seperti yang diminta.
Seolah semuanya baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Uthie
kasian nya 😢
2025-05-22
0