HARI PERTAMA SETELAH MENIKAH

Dan kini, Livia dan Mateo duduk berdampingan di pelaminan. Pernikahan itu digelar secara sederhana di aula kecil milik keluarga Velasco. Tak ada musik, tak ada pesta mewah, bahkan tamu undangan pun hanya segelintir semuanya dari pihak keluarga Mateo.

Livia mengenakan gaun putih sederhana, wajahnya dirias tipis, namun sorot matanya kosong. Ia tidak tersenyum. Tidak juga bersedih. Ia hanya diam, seolah tubuhnya hadir tapi jiwanya tertinggal di tempat lain.

Tak satu pun keluarganya hadir. Ibunya yang paling ingin melihatnya menikah dilarang datang. Bahkan ketika Livia memohon lewat telepon, suara dingin dari asistennya Mateo menjawab tegas bahwa "hanya keluarga besar Velasco yang diperbolehkan hadir demi menjaga nama baik."

Dan Livia mengerti, ia tak pernah dianggap keluarga.

Mateo duduk di sampingnya dengan jas hitam rapi, ekspresinya datar. Tidak ada kehangatan dalam pandangannya pada mempelai wanita di sampingnya. Pernikahan ini bukan hasil cinta, bukan pula keinginan. Ini hanya cara untuk menambal reputasi, menutup mulut media, dan menyelamatkan nama keluarga.

Begitu foto pernikahan mereka mulai disebar oleh pihak keluarga Velasco, tentu dengan narasi indah yang penuh rekayasa berita skandal yang sebelumnya menghebohkan publik pun perlahan mulai mereda.

Sorotan media bergeser, komentar netizen mengendur, dan berita ‘CEO muda menikahi karyawan’ kini dikemas sebagai kisah cinta yang mengharukan oleh tim humas keluarga.

Namun tak ada yang tahu, bahwa di balik pelaminan mewah itu, dua orang sedang memulai hidup baru dalam keterpaksaan dan luka yang belum sembuh.

Dan pernikahan ini… hanyalah awal dari cerita yang jauh lebih rumit.

Malam telah larut. Angin malam berhembus pelan dari celah jendela kecil kamar pembantu di lantai bawah rumah keluarga Velasco. Di atas ranjang sempit berseprai polos, Livia terbaring menyamping, menatap dinding kosong di hadapannya. Gaun pengantinnya sudah disimpan dalam lemari tua, dan tubuhnya dibalut piyama pinjaman yang bahkan sedikit kebesaran.

Ia tidak menangis. Sudah terlalu lelah untuk menangis. Ia hanya diam, meresapi kesepian yang memeluk tubuhnya. Livia tidak pernah berharap untuk hidup mewah. Ia tahu persis, pernikahan ini bukan tentang cinta, bukan juga tentang dirinya. Ini semua tentang menyelamatkan harga diri keluarga Velasco tentang reputasi yang harus dijaga, tentang skandal yang harus dibungkam.

Sementara itu, di sisi kota yang berbeda, gemerlap lampu dan dentuman musik menggema di dalam club malam mewah milik Justin, sahabat dekat Mateo. Asap rokok mengepul, gelas-gelas berisi minuman keras berjejer di meja, dan tawa palsu memenuhi udara.

Mateo duduk dengan tubuh disandarkan ke sofa kulit, satu tangan menggenggam botol bir, sedangkan pandangannya kosong menatap layar ponsel yang menampilkan foto pernikahannya dengan Livia. Foto itu kini tersebar di internet, dilihat ribuan pasang mata.

“Kau tidak ingin melakukan malam pertama dengan istrimu, Mateo?” tanya Nathan, sahabatnya yang lain, terkekeh sambil menyodorkan ponselnya ke Mateo.

Mateo hanya menghela napas kasar, lalu menenggak minumannya sebelum menjawab, “Tidak sudi. Melihat wajahnya saja aku sudah ingin meludah.”

Justin tertawa sambil menggeleng pelan. “Kau terlihat terpaksa, bung. Bukan pengantin yang bahagia.”

Mateo mendengus sinis. “Karena memang aku terpaksa. Aku dipaksa menikahi gadis yang bahkan tak pantas untuk duduk di meja makan keluarga kami.”

Nathan menyeringai, “Tapi kini dia istrimu, sah secara hukum.”

“Di atas kertas, iya.” Mata Mateo menyipit penuh muak. “Tapi jangan berharap aku akan menyentuhnya.”

Sementara itu, di kamar kecil dan dingin, Livia akhirnya memejamkan mata, berusaha keras menenangkan pikirannya yang riuh oleh suara hinaan, tatapan sinis, dan luka yang belum sembuh.

Ia sadar, malam ini hanyalah awal dari neraka panjang yang harus ia jalani dalam ikatan yang tak pernah ia inginkan.

Keesokan paginya, cahaya matahari baru saja merayap masuk lewat celah jendela kamar kecil itu. Udara masih dingin dan sunyi, namun keheningan itu mendadak pecah saat cipratan air dingin mengguyur tubuh Livia yang sedang tertidur.

"Aaah!" Livia tersentak bangun, tubuhnya langsung menggigil. Piyama yang dikenakannya basah kuyup, menempel ketat di kulitnya. Ia terbatuk pelan, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

Matanya membelalak saat melihat sosok pria berdiri di depannya Mateo. Dengan kaus oblong tipis dan celana santai, otot-otot lengannya yang kekar terlihat jelas, lengkap dengan tato-tato hitam yang menghiasi kedua lengannya, membuat sosoknya semakin mendominasi ruangan kecil itu.

"Bangun kau, wanita jalang," hardiknya dingin. "Kau kira bisa enak-enakan tidur di rumahku, seperti ini?"

Livia masih berusaha duduk tegak, tubuhnya masih gemetar. “S-Saya… saya hanya tidur, Pak…”

“Berhenti bicara seolah kau gadis polos,” gumam Mateo sinis, melipat tangan di dada. “Setelah apa yang kau lakukan, kau pikir bisa nyaman hidup di rumah keluarga Velasco? Salah besar.”

Livia menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memerah. Tapi ia tidak membalas. Ia tahu, membela diri hanya akan membuatnya semakin dibenci.

Mateo mendekat, menatapnya dari atas dengan mata penuh kemarahan. “Kau di sini hanya karena nama baik keluargaku. Bukan karena aku menginginkanmu. Jadi jangan berharap perlakuan istimewa. Kau bukan istri, kau hanya aib yang harus disembunyikan.”

Livia menunduk dalam-dalam. Kata-kata itu menampar hatinya lebih keras dari air dingin yang membasahi tubuhnya barusan. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang nyaris tumpah.

Dalam hati, Livia tahu... neraka yang sebenarnya baru saja dimulai.

Mateo melangkah menjauh dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Suara langkah kakinya menggema di lorong sempit itu. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan kamar, ia berhenti di ambang pintu.

Tanpa menoleh, suaranya terdengar dingin dan penuh perintah.

“Tidak usah drama, cepat bangun dan buatkan sarapan untukku. Aku tidak suka menunggu.”

Livia masih terdiam di atas ranjang, tubuhnya basah dan menggigil. Namun sebelum ia sempat bangkit, suara Mateo kembali terdengar kali ini lebih tajam.

“Dan satu lagi.” Ia menoleh, menatapnya tajam dari balik bahunya. “Telepon ibumu… dan bilang padanya untuk jangan pernah menghubungi asisten keluargaku lagi. Wanita tua itu sungguh mengganggu.”

Livia membeku. Napasnya tercekat. Hatinya terasa diremas.

Mateo memandangnya untuk sesaat, lalu pergi begitu saja tanpa rasa bersalah, meninggalkan Livia yang kini duduk kaku di ranjang, dengan tubuh basah dan hati yang jauh lebih dingin dari air yang mengguyurnya tadi.

Ia tahu, di rumah ini... dia bukan istri. Hanya tahanan.

Livia mengusap air dari wajahnya, menggigit bibir untuk menahan isak yang nyaris pecah. Ia bangkit perlahan dari ranjang sempitnya, mengganti pakaian secepat mungkin lalu menuju dapur di area utama rumah keluarga Velasco.

Suasana dapur begitu mewah dan bersih, kontras dengan tempat tidur kecilnya tadi. Tak ada seorang pun di sana pagi itu, kecuali seorang chef paruh baya yang sudah mengenalnya sejak awal bekerja.

Tanpa banyak bicara, Livia menghampiri sang chef dan dengan suara lirih ia berkata, “Tolong... bantu saya siapkan menu sarapan untuk Tuan Muda Mateo. Saya tidak ingin membuatnya marah.”

Chef itu menatapnya sesaat, kasihan namun tak berani ikut campur. Ia menyerahkan selembar catatan kecil.

“Ini menunya. Tuan Muda hanya makan sarapan vegetarian. Jangan terlalu asin, jangan terlalu berminyak. Semua harus segar dan hangat saat disajikan,” jelasnya singkat.

Livia mengangguk cepat. “Baik, saya akan usahakan semampu saya.”

Tanpa menunda, Livia mulai memotong sayuran, menumis dengan hati-hati, dan meracik menu vegetarian sesuai daftar. Tangannya sempat gemetar, namun ia mencoba tetap fokus. Berkali-kali ia mencicipi dan memperbaiki bumbunya agar sempurna. Ia tahu, satu kesalahan kecil saja bisa menjadi alasan Mateo untuk kembali menghinanya atau lebih parah lagi membuangnya.

Saat matahari mulai merangkak naik, hidangan sederhana namun rapi itu akhirnya selesai. Livia menyajikannya di meja makan utama dengan hati-hati, lalu berdiri di samping meja menunduk, menunggu.

Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Mateo muncul dari lorong, mengenakan kemeja putih tipis dengan beberapa kancing terlepas di bagian atas, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi.

Ia menatap meja tanpa ekspresi, lalu melirik Livia yang berdiri kaku di ujung ruangan.

"Kalau rasanya tidak sesuai, kau akan tahu akibatnya,” ucapnya dingin sebelum duduk.

Livia hanya menunduk lebih dalam. Dalam hati ia berdoa, semoga pagi ini berlalu tanpa teriakan, tanpa caci maki, dan tanpa luka baru.

Terpopuler

Comments

Uthie

Uthie

menarik 👍

2025-05-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!