Pagi-pagi buta, tidur Daffa sudah terganggu saat mendengar suara seseorang sedang mengaji. Matanya yang tengah terpejam perlahan mulai terbuka demi bisa melihat wajah si pemilik suara yang begitu meneduhkan hati. Dan benar saja, disamping ranjang kini Aini yang baru saja menjalankan sholat subuh tengah membaca ayat suci Al-Qur'an.
Sedikitpun Daffa tidak marah dan hanya memandangi wajah gadis itu dari arah samping. Padahal tidurnya tidak bisa dibilang nyenyak, butuh waktu untuk beradaptasi kembali saat ada orang lain yang tidur disebelahnya. Meskipun tidak ada obrolan, keduanya sama-sama terjaga hampir semalaman hingga rasa kantuk datang menghampiri dan mata yang sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi akhirnya terpejam dengan begitu saja.
Gadis itu bahkan tidak mengganggu tidurnya sama sekali. Entah karena tidak berani atau takut, istrinya itu tidak membangunkannya untuk sekedar menjadikannya imam supaya mereka bisa sholat subuh bersama. Ya meskipun dibangunkan dirinya juga belum tentu mau bangun, sudah lama sekali Daffa tidak menjalankan kewajiban, yaitu sholat lima waktu. Dirinya terlalu disibukkan dengan urusan duniawi hingga melupakan kewajibannya sebagai umat muslim.
Menyadari Aini sudah selesai dengan mengajinya, buru-buru Daffa menutup matanya kembali rapat-rapat sebelum ketahuan tengah mencuri pandang pada istri kecilnya itu. Pergerakan Aini bahkan hampir tidak terdengar, hingga dia merasakan Aini tengah membenarkan selimut yang menutupi tubuhnya, menaikkannya sedikit keatas.
Ketika terdengar pintu kamar terbuka dan ditutup kembali dengan rapat, Daffa membuka matanya kembali dan melihat Aini sudah tidak ada disana. Entah apa yang akan dilakukan oleh gadis itu pagi-pagi begini.
_
_
Sarapan kali ini sedikit berbeda karena Aini yang memasak dan menyiapkannya. Kebiasaan bangun pagi memang sudah diterapkan sejak kecil oleh kedua orang tuanya. Meskipun menjadi anak satu-satunya tak membuat Aini menjadi gadis yang manja dan bergantung pada kedua orang tuanya. Sejak kecil Aini sudah mulai ikut ibunya membantu berjualan sayuran di pasar. Malu? Tidak, Aini bukanlah gadis seperti itu, justru dia merasa sangat bangga dan hampir tak pernah mengeluh.
Devita sebagai mama mertua terus saja melontarkan pujian, karena masakan Aini memang seenak itu. Istri pertama Daffa dulu bahkan tak pernah mau menyentuh dapur apalagi sampai memasak, untuk urusan dapur dan bersih-bersih dilakukan oleh asisten rumah tangga yang ada. Begitupun Daffa yang begitu memanjakannya dan selalu menuruti semua kemauan mantan istrinya.
"Ai, kamu masih mau bekerja di pabrik?" tanya Devita saat melihat Aini sudah memakai seragam pabrik tempatnya bekerja.
"Iya, Ma. Gak apa-apa kan kalau Aini tetap kerja?"
"Eh, kok nanyanya ke Mama sih..." Devita melirik ke arah sang putra yang duduk dihadapannya. "Kamu tanya Daffa coba, boleh apa nggak sama dia,"
Aini menarik nafas dalam, jujur saja dia malas untuk bertanya, seolah sudah tau jawaban apa yang akan dia terima nantinya. Namun demi menghargai suaminya, Aini tetap bertanya.
"Mas, aku bolehkan..."
"Terserah kamu saja," jawab Daffa cepat tanpa mau menoleh ke arah Aini sedikitpun.
Seperti dugaannya, Daffa pasti akan menjawab seperti itu. Meskipun sudah tau tapi tetap saja sakit saat mendengar kata terserah yang terucap dari bibir suaminya.
"Aku berangkat dulu, banyak pekerjaan yang harus aku urus di kantor," pamit Daffa.
"Tunggu, Daf," cegah Arya sebelum Daffa sempat melangkah pergi, "Kenapa kamu tidak berangkat sekalian sama Aini saja, kasihan Aini tidak ada yang mengantar,"
Dirinya sudah seperti tersangka saat semua orang dimeja makan kini tengah menatap padanya yang sudah berdiri dan hendak pergi. Daffa menoleh ke arah Aini yang masih terduduk di kursi sebelahnya, gadis itu langsung menundukkan wajahnya begitu dia menatap ke arahnya.
"Kamu berangkat sama Dina saja, kebetulan dia ada kuliah pagi. Suruh dia mengantarkan kamu sekalian," tak ingin mendengar bantahan dan berakhir ribut pagi-pagi, Daffa langsung memilih pergi meninggalkan ruang makan setelah mengatakan itu.
Kecewa, bukan hanya Aini, tapi Arya, Devita dan juga Dina yang ada disana jelas kecewa mendengarnya. Sedingin itukah hati Daffa hingga sangat sulit untuk dicairkan. Padahal hanya mengantarkan sekalian Aini ke pabrik sebenarnya bukanlah hal yang merepotkan, namun memang Daffa nya saja yang tidak mau, mau dipaksa bagaimana juga rasanya percuma.
"Nggak apa-apa kok Ma, Pa, kebetulan aku juga nanti mau dijemput sama teman. Kami memang sudah biasa berangkat bareng," Aini mencoba mencairkan suasana, hingga perhatian tiga orang itu kembali tertuju ke arahnya.
"Teman?" alis Devita terangkat sebelah, "Teman cewek apa teman cowok?" tanyanya penuh selidik, tentu saja dia tidak rela jika menantunya ini sampai dekat-dekat dengan pria lain.
"Oh itu, teman cewek kok, Ma. Namanya Hana." jawab Aini.
"Oh kirain..." Devita mengelus dada lega.
"Kak Aini seriusan ini mau dijemput sama teman? Nggak mau berangkat sama aku aja sekalian?" tanya Dina memastikan, pasalnya dia juga sudah selesai sarapan dan bersiap untuk pergi ke kampus.
"Iya beneran nggak usah... Bentar lagi temen kakak juga jemput kok, kan tadi kakak sudah kirimkan alamat yang kamu berikan ke teman kakak," selesai memasak tadi, Aini memang pergi ke kamar Dina untuk menanyakan alamat rumah mereka supaya bisa dikirimkan ke Hana, sahabatnya.
"Ya udah, kalau begitu aku duluan ya kak," pamit Dina. Sebelum pergi tak lupa Dina mencium punggung tangan kedua orang tuanya, membuat Aini teringat jika tadi dia tidak sempat menyalami Daffa karena suaminya itu langsung buru-buru pergi.
_
_
_
"Ma, Aini sama Hana berangkat kerja dulu ya," pamit Aini pada Devita saat mereka sudah berada di teras rumah. Disana, Hana juga sudah datang menjemput dengan membawa motor Scoopy-nya. Gadis dengan seragam yang sama dengan Aini, dan rambutnya yang dikuncir satu keatas itu tersenyum mengangguk saat namanya ikut disebutkan.
"Ya sudah, Ai. Kamu hati-hati ya dijalan,"
Sejujurnya, Devita merasa tidak setuju jika Aini masih harus bekerja setelah menikah dengan putranya. Tapi apa mau dikata, putranya saja sebagai suami tidak peduli dan malah membiarkan Aini pergi sendirian tanpa mau mengantarnya.
"Ngidam apa aku dulu pas hamil si Daffa ya? Apa karena aku ngidam pengin pergi ke negara yang sedang turun salju makanya si Daffa jadi dingin begitu?" Devita menggerutu sendiri, sambil tatapannya mengiringi kepergian Aini yang pergi dibonceng motor oleh sahabatnya.
_
_
Motor Scoopy berwarna merah itu melaju dengan kecepatan sedang. Dibelakangnya, Aini membonceng dengan menggunakan helm bogo berwarna biru muda, sama seperti warna seragam kerja yang dia pakai sekarang.
Ketika lampu kuning di pinggiran jalan berubah menjadi lampu merah, Hana segera menghentikan laju motornya. Sejenak Aini terpaku saat melihat mobil dari arah berlawanan datang melaju, didalamnya Daffa sedang duduk bersama dengan seorang wanita yang Aini tidak kenal. Keduanya tampak begitu mesra, dimana Aini melihat tangan wanita itu menyentuh rambut Daffa, seperti sedang membantu merapikannya.
Aini segera memalingkan wajahnya, kembali menatap lurus kedepan dengan mata tertunduk. Rasanya seperti seorang istri yang sedang memergoki suaminya berselingkuh, tapi bedanya Aini tidak akan berani sampai melabraknya atau hanya sekedar bertanya saat dirumah nanti. Bukankah Daffa sudah mengingatkan untuk tidak menuntut ini itu, dan Aini akan menurutinya.
Tanpa Aini sadari, saat ini Daffa juga sedang melihat ke arahnya sebelum mobilnya benar-benar melaju melewati motor yang sedang dinaiki oleh istrinya itu.
...💧💧💧...
Gimana-gimana? Masih mau lanjut nggak??? Bonus juga nih visual versi author...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
〈⎳ FT. Zira
kalo aku bangun pagi... main hp duluuu sampe agak terang gitu langitnya... baru keluar kamar, nyampu dlll../Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/ tipe pemaless yaa/Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2025-04-23
0
〈⎳ FT. Zira
jadi sopir ppribadi. antar jemput ntar kebablasan/Proud//Proud//Proud//Proud//Proud/
2025-04-23
0
〈⎳ FT. Zira
kok gak ngapa ngapain sih Daf?sayang tau di anggurin gitu/Slight//Slight//Slight/
2025-04-23
0