Episode 1 - Pelayan Cerewet dan Pewaris Tahta

Aku baru saja terbangun dari tidur enam hari yang absurd. Tubuh ini masih lemas, tapi setidaknya sekarang aku bisa duduk sendiri. Aku mulai mengamati sekeliling kamar yang terlalu mewah untuk ukuran orang biasa. Tirai tebal, jendela tinggi, dan ukiran-ukiran emas di dinding. Semua terasa seperti lukisan.

Lalu… pintu kamar terbuka pelan.

“Permisi, saya bawa bubur ayam herbal hangat untuk—YAAAARGH?!”

BRAK!

Nampan logam terlepas dari tangannya, sendok beterbangan seperti shuriken, dan semangkuk bubur menari indah di udara sebelum mendarat… tepat di atas kepalanya.

“Tu-Tuan Muda?! Anda—ANDA BANGUN?! TIDAK MUNGKIN!”

Wanita itu—seorang pelayan muda dengan rambut kecokelatan bergelombang sebahu, mengenakan seragam pelayan berpotongan rapi tapi elegan—langsung berlari mendekat. Mata cokelatnya membelalak, tangan gemetar, dan ekspresinya campuran antara panik, terharu, dan... kesal?

“Astaga... saya sudah siapin pidato duka cita, lho! Tuan Muda tahu nggak betapa stresnya kami selama enam hari ini?! Saya sampe puasa gula karena khawatir, tahu nggak?!”

"...Kau siapa?" tanyaku pelan. Bukan akting. Aku beneran nggak kenal.

Dia terdiam sejenak.

“Eh?”

Lalu, wajahnya menegang. Dia memandangi wajahku dengan serius, mendekat sedikit, lalu—

“Aduh… ini bukan karena bubur saya, kan? Jangan bilang Anda amnesia karena saya sempat taruh sedikit cabai rawit di buburnya…”

“...Bukan itu,” jawabku cepat. “Aku cuma... belum terbiasa.”

Dia memelototiku, lalu menghembuskan napas panjang.

“Baiklah. Ulang tahun Anda tanggal dua belas bulan Gelora. Nama lengkap Anda Arlan De Liones Argus. Anak satu-satunya Raja Argus yang Agung. Pewaris tahta kerajaan Argandia yang sangat, sangat beruntung karena punya pelayan sehebat saya, Lyra.”

Aku mengerjap. “Lyra?”

“Iya! Saya ini pelayan senior, kepala pelayan pribadi Anda, pencatat waktu makan Anda, sekaligus, dalam enam hari terakhir menjadi pemimpin tidak resmi kelompok doa pagi untuk kesembuhan Anda!”

Dia mengacungkan jari telunjuk tinggi-tinggi, penuh semangat dan... dramatis.

Dan entah kenapa, ada energi menyenangkan dari kehadirannya. Cerewet, ya. Tapi rasanya hangat. Akhirnya, aku tersenyum kecil.

“Makasih, Lyra.”

Dia terdiam sejenak, lalu wajahnya memerah.

“Y-Ya ampun... Anda senyum?! Oke, catat... hari ini akan saya tulis di jurnal istana. ‘Tuan Muda Arlan akhirnya tersenyum setelah enam hari koma!’ Uhuhuhu~ Saya tahu suatu hari senyum Anda bakal menyinari dunia ini!”

Dia drama. Tapi menyenangkan. Kurasa... aku bakal baik-baik saja di sini.

Tapi ternyata, harapanku untuk menikmati lima menit ketenangan itu terlalu muluk.

Karena detik berikutnya, Lyra membeku. Seperti patung. Matanya menatap kosong ke depan, lalu perlahan-lahan membelalak. “O. M. G…” bisiknya pelan.

Aku mengangkat alis.

“Kenapa…?”

“Sayaaaaa…” katanya panjang-panjang. “Baru saja nyadar. Tuan Muda yang baru bangun dari koma... DENGERIN SAYA NGEDUMEL!!”

“Yah, lumayan seru juga sih.”

“ITU BUKAN PUJIAN!!”

Dia langsung memutar badan seperti gasing, panik total.

“Aduh! Aduh! Aduh! Gimana ini?! Saya harus lapor Baginda! Harus! Tapi rambut saya berantakan! Eh, nggak penting! Pokoknya—Tuan Muda—Anda tunggu di sini! Duduk manis! Jangan bergerak! Jangan mati lagi! Saya balik sebentar!”

BRUK!

Dia menabrak pintu. Dengan wajah datar, aku hanya menonton saat dia memantul mundur, mengumpat pelan, lalu membuka pintu dan…

“YANG MULIAAAAAAAA!! TUAN MUDA BANGUNNN!! TUAN MUDA ARLAN SUDAH BANGUN DENGAN MATA TERBUKA DAN BICARA DAN SENYUM DAN SEMUANYAAAAA!!!”

Teriakannya menembus dinding seperti ledakan sihir. Beberapa suara dari kejauhan terdengar—teriakan kaget, suara benda jatuh, dan bahkan suara seorang pria tua yang jelas-jelas panik,

“APA?! TUAN MUDA HIDUP LAGI?!”

Lyra tidak peduli. Dia meluncur di lorong seperti peluru, sambil mengoceh pada siapa pun yang bisa dia tangkap.

“CEPAT PANGGIL TABIB! KITA PERLU PERIKSA APA INI MUKJIZAT ATAU SANTET BAIK!”

“PANGGIL JURU MASAK! TUAN MUDA BUTUH ENERGI! TAPI JANGAN YANG ADA CABAI RAWITNYA!”

“DAN KALAU BISA, ADAKAN PESTA KECIL! CUMA 200 ORANG! OKE?!”

Aku cuma bisa duduk di tempat tidur, memandangi pintu yang terbuka setengah sambil merenung dalam diam.

“…Dia pelayan atau panglima perang, sih?”

Tapi jujur, itu lucu. Dan entah kenapa, suara paniknya yang berisik itu justru membuat kamar yang tadinya terasa asing dan sunyi… jadi lebih hidup. Lebih hangat.

Beberapa menit berlalu, dan aku mulai mendengar suara-suara mendekat dari luar kamar. Terdengar langkah-langkah terburu-buru di koridor marmer. Suara sepatu berat para penjaga, diselingi suara ringan para pelayan yang mencoba menahan tawa.

“Eh, beneran bangun?”

“Dengar-dengar, Tuan Muda sampai senyum ke Lyra?”

“Lyra yang mana? Yang cerewet itu?”

“Sst! Pelan dikit! Itu pelayan kesayangan Tuan Muda!”

Aku mendesah. Jadi pusat perhatian bukan hal baru buat seorang bangsawan, tapi ini... aneh. Rasanya seperti hidup lagi di dunia yang sudah memutuskan aku mati.

Pintu kamar terbuka lebar, dan Lyra muncul lagi, kini ditemani oleh dua tabib dan—sial—beberapa penjaga istana yang ikut menyelinap karena penasaran.

“Saya bawa bala bantuan!” seru Lyra bangga. “Dan juga laporan keadaan saya—eh, maksud saya TUAN MUDA!”

Tabib tua dengan janggut putih langsung mendekat dan mulai memeriksa nadiku, memeriksa pupil mataku, bahkan mencoba mengetuk lututku dengan palu kecil.

“Hmm… denyut stabil… reaksi normal… ini... luar biasa.”

“Yang luar biasa itu bukan saya, tapi yang bisa tidur enam hari tanpa kena encok,” komentarku—pelan.

Lyra tersedak tawa. Tabib pura-pura tak dengar.

Lalu suara lain datang. Lebih berat. Lebih tenang. Dan membuat semua orang mendadak diam.

“Arlan...?”

Seketika, suasana kamar berubah. Tabib langsung berdiri tegak. Pelayan yang tadinya bersembunyi di balik pintu buru-buru kabur. Dan Lyra—yang biasanya seperti badai tropis—mendadak diam total seperti patung.

Aku memutar kepala. Seorang pria tinggi berdiri di ambang pintu. Jubah biru tua dengan bordir emas, pundak lebar, sorot mata tajam... dan mahkota di tangannya. Wajahnya dingin, seperti batu. Tapi di balik itu, ada keretakan samar. Seolah dia mencoba menyembunyikan emosi yang nyaris tumpah.

Raja Argus. Ayah kandung Arlan.

Ayah kandung... aku sekarang.

Kami saling memandang. Diam. Hening.

Lalu dia berkata pelan, suaranya berat, tapi terdengar jelas.

“Selamat kembali.”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Bukan karena takut. Tapi... aku bahkan belum tahu seperti apa hubungan mereka sebelumnya.

Jadi, aku cuma mengangguk kecil.

Dan untuk sesaat, aku melihat bibirnya bergerak. Sedikit. Nyaris seperti... senyuman.

Tapi hanya sebentar.

“Tabib. Laporkan ke Dewan. Arlan sudah pulih. Penobatan... bisa dibicarakan kembali.”

Penobatan?

Aku hampir protes, tapi... belum waktunya. Satu langkah dalam sehari. Pelan-pelan saja. Aku baru hidup kembali.

Lyra menoleh ke arahku, mata berbinar.

“TUAN MUDA! ANDA DENGAR ITU? PENOBATAN! AAAAAAA SAYA HARUS JAHIT BAJU BARU!!!”

Dan suara tawa kecil di hatiku mulai tumbuh.

Ya. Mungkin aku benar-benar bisa hidup di dunia ini. Dengan tubuh lemah, ingatan yang tidak lengkap... dan pelayan cerewet yang terlalu dramatis.

Tapi setidaknya, aku tidak sendiri.

Terpopuler

Comments

Abu Yub

Abu Yub

lanjut dek/Pray//Ok//Good/

2025-04-22

0

Abu Yub

Abu Yub

tapi jujur

2025-04-22

0

Abu Yub

Abu Yub

Aduh

2025-04-22

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 25 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!