“Clarissa, tolong ambilin file biru di meja kerja saya, ya. Yang sebelah printer,” ujar Madeline, setengah memerintah seperti biasa.
“Baik, Bu.”
Suara itu pelan, nyaris seperti bisikan. Clarissa mengangguk sopan sebelum melangkah cepat namun ringan, seperti sudah hafal semua sudut rumah mewah itu bahkan dalam gelap.
Dia bukan tipe orang yang menonjol. Tidak seperti para asisten rumah tangga di rumah keluarga elite lainnya yang suka bicara berlebihan atau berusaha akrab. Clarissa kalem, tidak banyak omong, dan selalu rapi. Rambutnya dikuncir rendah dengan pita cokelat lusuh yang entah mengapa selalu dia pakai. Wajahnya manis, tapi bukan tipe cantik glamor yang biasa Nate temui di pesta-pesta. Justru karena itu, Clarissa terasa... nyata.
Saat gadis itu kembali dengan map biru di tangannya, Nate baru turun dari lantai dua, mengenakan kaus hitam polos dan celana jogger.
Mereka nyaris berpapasan.
Mata mereka bertemu.
Sesaat.
Lalu Clarissa cepat-cepat menunduk. “Selamat pagi, Tuan.”
Nate menahan napas. Dalam pikirannya, ia ingin membalas dengan kalimat manis, mungkin mengajak bicara lebih lama, atau setidaknya menanyakan kabar. Tapi yang keluar hanya gumaman singkat, “Pagi.”
Clarissa buru-buru menyerahkan map ke Madeline, lalu kembali ke dapur seperti embun yang menguap pelan-pelan. Menghilang, tapi meninggalkan rasa dingin di dada.
Nate masih menatap punggungnya. Selalu seperti itu. Ia terlalu kaya, terlalu tinggi, terlalu ‘berbeda’ untuk sekadar membuka pembicaraan biasa. Clarissa juga bukan gadis yang mudah diajak bercanda atau flirting.
Dia seperti bunga kecil yang tumbuh di antara beton, hampir tak terlihat, tapi tetap bertahan.
“Nathan.”
Suara Madeline mengagetkannya. “Kamu ngelamun liatin pembantu lagi?”
Nate pura-pura tertawa. “Enggak. Tadi mikir kerjaan.”
Madeline memutar matanya. “Mama harap kamu nggak punya niat aneh-aneh ke anak itu. Dia bukan level kamu.”
Kalimat itu menampar lebih keras dari yang Nate harapkan. Tapi dia sudah terbiasa. Semua orang selalu bicara soal level. Keluarga Alvaro punya standar, dan Clarissa tidak masuk daftar.
“Dia kerja dengan baik. Nggak pernah buat masalah,” jawab Nate datar.
“Itu bagus. Tapi tetap saja, jangan terlibat terlalu jauh,” kata Madeline, lalu berjalan pergi.
Nate menatap ke arah dapur.
Dia ingat hari pertama Clarissa datang. Dengan koper kecil, wajah lelah, dan senyum yang dipaksakan. Waktu itu hujan deras, dan Madeline bahkan tak menyuruh siapa pun menjemput gadis itu dari gerbang. Nate yang melihat dari balkon akhirnya turun diam-diam, membawakan payung. Clarissa kaget setengah mati.
Sejak saat itu, Nate memperhatikan dari jauh.
Dia tahu Clarissa kerja keras. Tiap malam gadis itu membaca buku kuliah dengan mata berat, sambil duduk di tangga belakang. Dia tahu Clarissa pernah jual ponsel demi bayar biaya semester. Dan karena itulah, tanpa suara, Nate yang mengurus semuanya. Mendaftar ulang kuliah, melunasi semesterannya, bahkan diam-diam membelikan laptop baru dan menyuruh supir mengaku itu “donasi kampus”.
Clarissa tak pernah tahu.
Dia hanya bilang, “Alhamdulillah, ternyata dosen bantuin.”
Nate hanya tersenyum di balik pintu kamarnya, tidak tega membetulkan cerita.
Apa dia bodoh? Mungkin. Tapi dia tidak butuh ucapan terima kasih. Cukup melihat Clarissa bahagia, cukup. Meski Clarissa tak pernah tahu bahwa semua itu dari pria yang dia panggil “Tuan”.
Dan entah sejak kapan, Nate mulai menunggu pagi hanya untuk mendengar ucapan “Selamat pagi, Tuan” dari bibir gadis itu.
*
Sore itu, Clarissa sedang menyiram tanaman di taman kecil belakang rumah. Nate berdiri di balkon, memperhatikan dari lantai dua. Hujan rintik mulai turun. Clarissa belum sadar. Rambutnya mulai basah, tapi dia masih tersenyum, memperhatikan satu demi satu bunga yang dia rawat sendiri.
Nate turun cepat. Kali ini bukan karena kasihan. Dia hanya... ingin berdiri di sebelahnya.
“Clarissa,” panggilnya saat sampai di tangga taman.
Gadis itu terlonjak kaget. “T-Tuan? Maaf, saya... saya nggak tahu kalau—”
“Payung,” kata Nate, sambil menyodorkan benda itu. “Kamu kehujanan.”
Clarissa ragu. “Nggak apa-apa, Tuan. Hujannya kecil.”
Nate tetap mengangkat alis. “Nanti kamu sakit. Terus Mama nyuruh aku cari ART baru. Aku males.”
Clarissa tersenyum kecil. “Baik, Tuan.”
Mereka berdiri di bawah payung bersama. Sunyi. Canggung.
Tapi Nate merasa... nyaman.
“Ada yang bilang... kalau orang yang suka hujan itu orang yang hatinya sedih,” kata Clarissa pelan, masih menatap bunga mawar yang basah.
Nate menoleh ke arahnya. “Kamu sedih?”
Clarissa menggeleng. “Enggak. Saya cuma suka hujan.”
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Nate merasa... dia juga suka hujan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments