Kevin memberhentikan motornya tepat di depan gerbang rumah Tania. Pria itu melepas helm dan meminta Tania segera turun. Sejak perjalanan menuju rumah Kevin dan Tania sama-sama membungkam mulut, tidak ada yang angkat suara, walaupun biasanya Tania yang akan terus bercerocos sepanjang perjalanan.
Tania memasang ekspresi cemberut sedangkan Kevin memasang ekspresi jengkel. "Gue mau tanya, kenapa tadi lo marahin si Aldo?"
"Karena dia buat gue jatuh."
"Karena Aldo atau emang karena lo sendiri?" tanya Kevin.
Tania mengesah panjang. "Iya gue sadar, gue yang salah."
Kevin menghela napas panjang. Dia tidak bisa marah pada Tania, yang ada hanya jengkel. Tapi jika sudah mendengar pengakuan dari Tania maka kejengkelannya akan sirna. "Lain kali berpikir dulu sebelum lo bertindak. Berapa kali sih orang-orang bilang jangan lakukan hal ceroboh?"
"Maaf," lirih Tania.
"Iya udah, sana lo masuk."
"Makasih udah nganterin."
Kevin mengangguk seraya memakai helm. "Salam buat tante Mila."
Tania mengangguk.
Kevin menyalakan mesin motornya. "Gue duluan, jangan cemberut lama-lama, gue nggak suka," ujar Kevin lalu segera melesatkan motornya.
Mendengar ujaran itu membuat tubuh Tania menegang. Dia memegang kedua pipinya yang terasa panas. "Damage-nya bukan main."
...******...
Setelah kedatangan Kevin ke sekolah dan rapat telah usai diadakan. Hanya rapat untuk memperkenalkan calon ketua OSIS yang baru, tidak lebih. Aldo dan Bima membereskan ruang kelas yang digunakan sebagai ruangan rapat. Mereka berdua menaikkan kursi ke atas meja. Jean sedang mengambil tas kedua lelaki itu.
"Gue mau tanya, Do," ujar Bima.
"Apa?" tanya Aldo setelah selesai mengangkat satu baris kursi ke atas meja.
"Dengar-dengar tadi ada cewek yang marah-marah ke lo, ya?"
"Hm."
"Siapa?"
Aldo mengedikkan bahu. "Gue nggak kenal."
"Cakep nggak orangnya?"
Sontak Aldo segera menatap Bima dengan napas tersengal. Merasa lelah karena mengangkat kursi lebih banyak daripada Bima. "Angkat kursi di bagian pojok baru gue jawab," ujar Aldo berjalan menghapus papan tulis yang berisikan jadwal kampanye.
Bima berdecak sebal. "Enggak asyik lo, gue 'kan nanya gitu doang. Ya, siapa tahu dia mau jadi gebetan gue."
Aldo menghela napas panjang. "Gimana jika seandainya orang yang mau lo jadiin gebetan adalah orang yang nonjok lo sewaktu istirahat?"
Sontak Bima langsung berjalan maju setelah selesai dengan kursi terakhir yang sengaja dia letakkan secara kasar. "Idih, amit-amit gue jadiin dia pacar. Sampai kapan pun enggak akan pernah, walaupun dia satu-satunya cewek yang mau sama gue."
Mendengar ucapan terakhir dari Bima membuat Aldo rasanya ingin muntah. Dia meletakkan penghapus pada tempatnya.
Alih-alih Aldo yang merespons ucapannya, Bima justru terpikirkan sesuatu. "Tunggu deh, kenapa lo bandingin orang yang nabrak gue, sama yang maki-maki lo? Emangnya itu orang yang sama?"
"Menurut lo?" Aldo menaikkan sebelah alis dan berjalan keluar ruangan.
Bima memasang ekspresi terkejut. "Mereka orang yang sama? Berarti bener dong, cewek itu agresif?"
"Lebih agresif dari macan."
Mereka telah turun dari anak tangga dan bertepatan dengan itu Jean datang memberikan tas pada Aldo dan Bima.
"Siapa nama cewek itu." Bima mengetuk-ngetuk kepalanya, berusaha mengingat nama cewek agresif tersebut.
"Tania?" celetuk Jean.
"Nah, itu dia." Bima menjentikkan jari seraya tersenyum senang. Tapi setelah itu, dia memasang wajah bingung. "Kok lo tahu, Jean?"
Alih-alih Jean yang menjawab justru Aldo memukul lengan kekar berlemak milik Bima. "Tanya aja lo, pulang sana. Ayo, Jean." Aldo meraih tangan Jean, menggenggamnya kuat.
"Kalau aja lo nggak berwibawa udah gue bully lo," maki Bima namun sayangnya Aldo menulikan indra pendengaran.
...******...
Aldo selalu membawa mobil ke mana pun itu jika bersama Jean. Alasannya adalah supaya Jean merasa nyaman, padahal Jean tidak menuntut ini itu pada Aldo. Baik, sebutlah kembali Aldo bucin batas teman. Dia ingin yang terbaik untuk Jean, dia bahkan rela memberikan nyawanya hanya demi Jean.
Saat di dalam mobil perjalanan pulang, hanya keheningan yang merebak. Aldo sibuk mengemudi dan Jean sibuk memainkan jari. Sampai akhirnya gadis itu menoleh pada Aldo. "Nanti wakil lo siapa?"
Aldo menoleh lalu kembali fokus. "Nanti juga ada.
"Gue minta maaf nggak bisa bantu lo untuk kali ini."
Aldo tersenyum. Satu tangannya membelai pipi Jean. "Selagi lo selalu ada di sisi gue, itu udah cukup."
Jean tersenyum. Sentuhan Aldo masih tetap sama. Walaupun tangannya kasar, tapi rasanya halus dan hangat. "Oh iya, gue pasti akan bantu kampanye lo, kok."
"Thanks."
Jean mengangguk.
...******...
Sore hari pukul 16.30, apa yang biasa umumnya dilakukan gadis remaja pada jam itu? Apakah bersantai di dalam kamar, atau jalan-jalan bersama teman? Tapi sepertinya seorang Tania akan memilih opsi pertama jika saat ini Amanda dan Nabilla sedang latihan cheers.
Gadis itu berbaring di atas kasur, bersantai di sana lengkap dengan camilan dan laptop untuk menonton film. Setidaknya Tania telah menghabiskan sepotong kue dan beberapa camilan yang membuat seprai yang ditindihnya kotor. Banyak sisa-sisa makanan yang jatuh, begitu pun dengan plastik bekas makanan yang berserakan. Huh, ini lebih mengerikan dari TPA.
Keasyikan Tania terganggu di kala pintu kamar tiba-tiba terbuka secara kasar, menampakkan Mila seorang diri. Wanita paruh baya itu langsung sakit kepala melihat keadaan kamar Tania, amarahnya sudah naik ke ubun-ubun. Lain halnya dengan Tania yang hanya memperlihatkan ekspresi tidak peduli sambil meminum jus kaleng.
"Taniaaaaaa!" teriak Mila dengan napas berderu. Dia berkacak pinggang dan melotot tajam pada sang anak. "Kenapa kamar kamu berantakan gini? Ini sudah sore, Tania!"
Tania menelan camilannya. "Tania juga tahu ini sudah sore."
Mila menghela napas panjang dan menepuk jidatnya. Mengurus Tania sama saja seperti mengurus seekor bebek. "Kamu anak gadis, Tania! Enggak baik leha-leha di sore hari gini."
Tania tidak peduli.
"Sekarang, ganti sprei kamu yang kotor itu!"
"Lima belas menit lagi filmnya selesai dan Tania akan ganti sprei," ujar Tania.
"Enggak, pokoknya sekarang!" tekan Mila.
Tania tidak peduli.
Mila habis kesabaran karena tingkah Tania. Dia bergegas menghampiri Tania dan menutup kasar laptop gadis itu membuat sang pemilik menatap kecewa.
"Kok ditutup, Ma?"
Mila mengambil laptop Tania membuat gadis itu melotot tajam. "Angkat sprei terus cuci bekas makan kamu! Setelah itu mama akan kasih laptop kamu." Mila bergerak melangkah.
"Lho, Mama! Laptop Tania!"
Brak!
Telat! Mila telah menutup pintu kamar secara kasar membuat Tania menghela napas kecewa. Dia melihat sekitarnya, kamarnya berantakan seperti kapal pecah.
"Haduh, gimana dong? Gue harus angkat sprei dan cuci piring?" tanya Tania menatap dirinya pada pantulan cermin.
Mau tidak mau, demi laptop dan film yang ingin dia tonton Tania bergerak melaksanakan perintah Mila. Gadis itu mengangkat seprai dengan gerakan malas, membuang plastik bekas makanan pada tong sampah, lantas turun ke meja makan.
Tania berkacak pinggang melihat 1 piring kotor dan 1 mangkuk kotor. Sebetulnya itu adalah bekas makan Tania, Mila sudah menyuruhnya untuk segera dicuci. Tapi namanya Tania, dia selalu menunda sesuatu.
Gadis itu berjalan dan bergerak memakai celemek.
"Cuci piringnya yang bener, jangan sampai pecah. Mama mau ke supermarket."
Tania menoleh ke belakang, Mila menghilang dari balik pintu seraya membawa rinjing belanjaan. Tania menghela napas. Dia menyalakan keran, dan mulai mencuci piring.
Tapi, namanya juga Tania. Sekukuh apa pun dia berusaha untuk tidak ceroboh, nyatanya dia akan selalu ceroboh. Mungkin gadis itu sudah mendapat takdir yang tidak bisa dielakkan. Terbukti saat dia ingin mengalihkan piring ke rak tapi karena tangannya licin membuat piring itu jatuh dan pecah begitu saja.
"Yah," desah Tania. Dia mematikan keran dan bergegas membersihkan beling.
"Awh!" Tania meringis saat tanpa sengaja jari telunjuk kanannya tergores beling. Gadis itu refleks memasukkan telunjuknya ke dalam mulut dan mengisap darahnya. Tapi sayangnya itu terasa sakit membuat dia semakin meringis. Seperti gerakan orang bodoh Tania mencuci telunjuknya.
"Darahnya kok enggak berhenti." Tania panik. Dia mematikan keran, menekan telunjuknya dengan tisu yang dia ambil di meja makan. Darahnya mulai berhenti, tidak bercucuran seperti tadi.
"Aduh, Tania. Pantas aja kak Kevin nggak suka sama lo. Lo terlalu ceroboh," gerutu Tania pada diri sendiri. Dia mengambil kotak P3K dan menutup lukanya dengan hansaplast.
Dan, hari itu benar-benar menjadi hari paling sial bagi Tania. Hal itu disebabkan semenjak kejadian lusa lalu di mana dia memaki seorang laki-laki di sebuah mal.
...******...
Rutinitas Aldo sebelum tidur adalah memastikan dirinya belajar terlebih dahulu. Biasanya kegiatan itu akan berjalan dengan lancar selancar kereta berjalan. Tapi malam ini adalah pengecualian, itu disebabkan karena kedatangan 2 temannya; Bima dan Nico.
"Lo mau jadiin gue sebagai wakil lo?" tanya Nico.
Kedatangan mereka tidak buruk juga. Aldo bisa membujuk Nico untuk menjadi wakilnya. Setidaknya Nico lebih baik daripada Bima. Pria itu punya keunggulan otak yang lumayan, hanya saja kadang suka mengeluh.
Aldo mengangguk seraya menstabilo tulisan penting. "Iya."
"Kenapa nggak Jean aja?" protes Nico.
Aldo memutar kursinya setelah selesai menutup buku. "Lo tahu 'kan kalau Jean nggak boleh forsir tenaganya lebih?"
"Kalau gitu kenapa nggak Bima aja?"
Bima yang sedang nyemil dan rebahan di sofa seraya menonton animasi Jepang melemparkan kulit kacang pada Nico. "Eh, lo itu harusnya bersyukur, karena setidaknya dengan Aldo milih lo artinya lo lebih baik daripada gue," celetuk Bima.
Nico duduk di tepi ranjang. "Jangan mentang-mentang waktu pagi gue nggak berangkat terus kalian semua giniin gue."
"Siapa suruh lo enggak berangkat," celetuk Bima.
"Do, lo tahu 'kan gue kadang suka nyerah?" tanya Nico.
Aldo menghela napas dan memperbaiki posisi duduknya. "Gue tahu itu. Tapi gue butuh pemikiran inovatif lo," ujar Aldo. "Dan apa pun itu, lo akan tetap jadi wakil gue."
Nico berdecak sebal. "Gue—"
Drrrttt!
Baru saja Nico ingin protes jika saja Aldo tidak segera menempelkan ponselnya di telinga. Bima sudah yakin 100% penyebab Aldo dengan cepat mengabaikan ucapan Nico dan lebih memilih mengangkat telepon adalah karena yang tertera di layar nama Jean.
"Halo! Iya udah gue bawain ke sana. Iya, Jean." Aldo segera menutup telepon dan menyambar jaketnya, menatap dua orang yang ada di dalam kamarnya. "Lo berdua kalau mau di sini jangan recokin kamar gue!" tegas Aldo.
Setelah melihat anggukan kepala Nico, Aldo keluar dari dalam kamar.
Nico menghela napas panjang lalu menatap Bima. "Bim?"
"Apaan?"
"Lo mau nggak jadi babu gue nanti?"
"Bodo, mending gue jadi babunya si Robby sama Nina daripada lo."
"Sialan!"
...******...
Malam ini Tania memutuskan untuk belajar, dia mengganti buku pelajaran untuk esok, memastikan apakah ada PR atau tidak. Gadis itu membiarkan buku-bukunya berserakan di atas kasur. Dia sudah menjelaskan kepada Mila perkara telunjuk tangan kanannya yang tertutup hansaplast.
"Oke, semuanya udah beres. Dan gue pastikan besok nggak akan ceroboh lagi," ujar Tania seraya meritsleting tasnya. Dia mengambil ponsel yang ada di atas nakas lalu menelepon seseorang.
...******...
Amanda berdecak sebal, itu karena aktivitas belajarnya diganggu oleh dering ponsel. Amanda melihat nama Tania yang tertera, gadis itu segera menggeser tombol hijau.
"Ada apa?" tanya Amanda ketus.
"Biasa aja kali, Man. Sensi mulu, PMS ya lo," ujar Tania.
Amanda menghela napas kasar. "Enggak, ada apa?" tanyanya sedikit melembut.
Tania tersenyum manis. "Nanti pagi lo ke rumah gue ya, nebeng mobil lo."
Amanda berdecih. "Kenapa? Biar enggak telat?"
"Iya, gue akan berusaha menjadi lebih baik."
"Pret! Awas aja kalau gue ke sana dan lo masih tidur."
"Tenang aja, gue janji akan bangun jam tiga pagi."
Muak rasanya mendengar janji manis Tania. Paling-paling dia bangun jam tiga sore. "Iya."
"Iya apa?"
"Gue akan jemput lo."
"Nah, gitu dong."
Amanda segera mematikan ponsel sebelum akhirnya Tania akan bercerita panjang lebar mengenai hal-hal tidak penting. Sebelum Amanda mematikan layar ponselnya satu pesan masuk membuat senyum Amanda tercetak jelas.
Nico: Masih belajar?
...******...
Jean itu jarang makan dan minum, maka jangan ditanya kondisi fisik Jean. Gadis itu sangat rentan pingsan dan sakit, makanya Aldo selalu mewanti-wanti gadis itu untuk menjaga kesehatan. Berhubung Jean hanya tinggal seorang diri di sebuah apartemen. Itu terjadi karena orang tua Jean sibuk bekerja daripada memikirkan anaknya.
Malam ini Aldo membawakan nasi goreng untuk Jean. Pria itu memarkirkan motornya di basement tepat di sebelah mobil Jean yang jarang sekali digunakan. Aldo beranjak masuk dan naik lift. Pria itu menunggu beserta dengan orang lain.
Sesampainya di depan apartemen Jean, Aldo mengetuk pintu.
Tok! Tok!
"Jean," panggil Aldo.
Tok! Tok!
"Jean!"
Tidak ada sahutan membuat kening Aldo berkerut. Dia ingin membuka kenop pintu, tetapi rasanya lancang jika melakukan itu.
Tok! Tok!
"Jean, lo ada di dalam?"
Tidak ada sahutan membuat Aldo cemas. Pintunya dikunci, tetapi berhubung Aldo tahu kata sandinya membuat dia begitu mudah menerobos pintu berfuniture cokelat itu. Wajah Aldo cemas, matanya menatap sekeliling.
"Jean!" Aldo beranjak ke dapur, tidak ada Jean.
"Jean, lo di mana?"
Dia masuk ke dalam kamar Jean, nihil. Hanya kasur dengan seprai rapi. Aldo meletakkan bungkusan di atas sofa. Dia melangkah pelan, matanya bergerak menatap pintu kamar mandi, bibirnya bergetar.
"Jean," lirih Aldo.
Pintu kamar mandi di depan mata. Perlahan Aldo mengetuk pintu.
Tok! Tok!
"Jean? Lo ada di dalam, 'kan? Jawab, Jean."
Tok! Tok!
Aldo ingin sekali membuka kamar mandi jika saja dia tidak memikirkan hal-hal yang akan dilihatnya. Aldo meneguk ludah, menguatkan mental, menepis penglihatan-penglihatan buruk yang kemungkinan dia lihat. Kenop itu dibuka oleh Aldo membuat pria itu membelalakkan mata dan mulutnya terbuka lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments