Nayla berjalan tanpa tujuan di trotoar kota yang benderang oleh lampu jalan. Angin malam menusuk kulitnya, tapi itu bukan apa-apa dibandingkan dengan rasa sakit yang mengoyak hatinya. Uang di sakunya sudah habis, perutnya mulai lapar, dan ia tak punya tempat untuk pergi.
Ia menatap layar ponselnya yang sudah mati—baterainya habis. Tidak ada uang untuk membeli makan, apalagi mengisi daya. Ia benar-benar terjebak dalam kebodohannya sendiri.
Ayahnya pasti sangat marah. Jika ia pulang, bisa dipastikan ia akan dikirim kembali ke pesantren atau lebih buruk lagi, dihukum tanpa ampun.
Ia mendesah, matanya menatap sekeliling, berharap menemukan sesuatu—apapun—yang bisa membantunya.
Langkahnya membawanya ke sebuah taman kota yang masih cukup ramai. Beberapa gelandangan terlihat tidur di bangku taman, sementara pasangan muda-mudi tertawa menikmati malam. Nayla merasa asing di antara mereka.
Dengan berat hati, ia duduk di salah satu bangku kosong, memeluk tubuhnya sendiri untuk menghangatkan diri.
"Harusnya aku nggak kabur," gumamnya dalam hati.
Namun, di tengah keputusasaannya, sebuah suara mengagetkannya.
"Nayla?"
Ia menoleh cepat.
Di bawah cahaya lampu taman, berdiri seorang pria dengan wajah tampan dan sorot mata tajam yang sangat ia kenal.
Ustadz Arsyan Al Ghazali.
Nayla menelan ludah, tubuhnya menegang saat melihat Ustadz Al Ghazali berdiri di depannya dengan ekspresi datar, nyaris tanpa emosi. Di sampingnya, seorang santri laki-laki yang sepertinya lebih tua darinya berdiri dengan sikap tenang.
"Ayo ikut," suara Al Ghazali terdengar tegas, tidak membuka ruang untuk penolakan.
Nayla mendengus, menatapnya penuh perlawanan. "Kenapa aku harus ikut? Aku bukan tahanan pesantrenmu."
Al Ghazali tidak bereaksi. Dengan tangan di saku gamisnya, ia hanya menatapnya dalam diam. Namun, tatapan itu begitu menusuk hingga membuat Nayla merasa tidak nyaman.
Santri laki-laki di sampingnya akhirnya angkat bicara. "Ustadz tidak akan pergi kalau kamu tidak ikut, Kak Nayla. Kami diutus untuk membawamu kembali."
Nayla mendengus pelan. "Aku nggak mau balik ke sana. Mending aku tidur di sini."
Al Ghazali menghela napas, lalu berjongkok di depannya hingga wajah mereka sejajar. "Kau mau tidur di jalanan? Dengan pakaian seperti itu? Dengan kondisi seperti ini?" matanya melirik ke arah kakinya yang kotor, rambutnya yang berantakan, dan tubuhnya yang terlihat lelah.
Nayla menggigit bibir. Ia benci mengakuinya, tapi Ustadz itu benar. Ia bahkan tidak tahu harus ke mana.
"Aku nggak punya pilihan," gumamnya lirih.
Al Ghazali berdiri, menatapnya lebih dalam. "Kamu selalu punya pilihan, Nayla. Tapi kalau kamu terus memilih jalan yang salah, jangan kaget kalau akhirnya kamu tersesat."
Nayla mendengus, merasa dipermalukan. Namun, ia tahu perutnya lapar, tubuhnya lelah, dan di luar sana, dunia malam tidak akan sebaik hati seperti hidupnya dulu.
Akhirnya, dengan berat hati, ia bangkit. "Baiklah. Tapi jangan kira aku akan betah di sana."
Al Ghazali tidak menjawab, hanya berjalan menuju mobil. Santri laki-laki itu membuka pintu belakang untuknya.
Dengan sisa harga diri yang masih ia genggam, Nayla melangkah masuk.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa seperti seorang tawanan.
Saat Al Ghazali menarik tangan Nayla dengan tegas menuju mobil, Nayla berontak sekuat tenaga. “Lepasin aku! Aku nggak mau balik ke pesantren!” teriaknya, membuat beberapa orang di taman mulai menoleh.
Namun, Al Ghazali tetap tenang. “Jangan bikin drama di sini, Nayla.”
Nayla makin frustrasi dan tiba-tiba memegangi perutnya. “Aku lapar!” ujarnya dengan suara setengah merengek.
Al Ghazali menatapnya, lalu tanpa banyak bicara, ia melonggarkan genggamannya. “Baik. Kita makan dulu.”
Nayla mengerjap. “Hah?”
“Kamu bilang lapar. Ayo kita cari makan.” Tanpa menunggu jawaban, Al Ghazali membuka pintu mobil.
Nayla ragu. Ia mengira ustadz itu akan membentaknya atau memaksanya langsung kembali ke pesantren, tapi justru sekarang dia setuju untuk makan dulu?
Dengan enggan, Nayla masuk ke mobil, diikuti oleh santri laki-laki di sampingnya. Al Ghazali duduk di depan dan mobil mulai melaju.
Beberapa menit kemudian, mereka berhenti di sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Bukan restoran mahal yang biasa Nayla datangi, tapi bau makanan yang menguar dari dalam membuat perutnya semakin keroncongan.
Mereka duduk di salah satu meja, dan Al Ghazali memanggil pelayan. “Nasi goreng satu, teh hangat.”
“Dua,” sahut Nayla cepat.
Al Ghazali menatapnya sekilas sebelum kembali menoleh ke pelayan. “Dua.”
Saat makanan datang, Nayla langsung makan dengan lahap. Al Ghazali hanya mengamati tanpa berkata apa-apa.
Setelah beberapa suapan, Nayla akhirnya bicara. “Kenapa kamu mau beliin aku makan?”
Al Ghazali tetap tenang. “Kamu lapar.”
Nayla terdiam. Jawaban sederhana, tapi anehnya membuatnya merasa sedikit lebih… dihargai.
Namun, setelah makanan habis, kenyataan kembali menghantamnya. Ia tetap harus kembali ke pesantren.
Saat Al Ghazali membayar makanan di kasir, mata para wanita di warung itu terpaku padanya. Beberapa dari mereka berbisik satu sama lain, tersenyum malu-malu, bahkan ada yang sengaja memperbaiki kerudungnya agar terlihat lebih rapi.
Nayla mendengus sambil melipat tangan di dadanya. “Aku nggak ngerti apa menariknya laki-laki kaku dan dingin kayak dia,” gumamnya pelan.
Santri laki-laki yang duduk di sampingnya, yang sejak tadi diam, menoleh sekilas. “Ustadz Al itu dihormati banyak orang. Dia nggak cuma tampan, tapi juga berwibawa.”
Nayla mencibir. “Bukan dihormati, tapi dipuja. Itu beda. Lihat saja tuh, para cewek di sini kayak nggak pernah lihat laki-laki.”
Santri itu hanya tersenyum kecil, sementara Al Ghazali berjalan kembali ke meja dengan sikap santainya yang khas. Wajahnya tetap datar, seolah tidak peduli dengan tatapan para wanita yang mengaguminya.
Tanpa menunggu lebih lama, ia menatap Nayla. “Sudah kenyang? Kita berangkat.”
Nayla mendengus lagi. “Aku masih mau duduk di sini.”
Al Ghazali tidak bereaksi, hanya melipat tangannya di depan dada. “Kalau kamu menunda, kita bisa pulang lebih larut. Kalau pulang lebih larut, kamu akan lebih capek. Aku rasa kamu nggak mau kelelahan setelah perjalanan panjang.”
Nayla terdiam. Sejujurnya, ia memang sudah lelah. Dan ia juga tahu tidak ada gunanya melawan lebih lama.
Akhirnya, dengan malas, ia bangkit dari kursinya. “Baiklah, Tuan Sempurna. Mari kita kembali ke neraka.”
Al Ghazali menghela napas panjang. “Pesantren, Nayla. Bukan neraka.”
Nayla memutar mata, lalu berjalan mendahului mereka keluar dari warung. Sementara itu, para wanita di sana masih tetap mencuri pandang ke arah Al Ghazali, seakan pria itu adalah sosok pangeran impian mereka.
Dan itu membuat Nayla makin ingin muntah.
Saat mobil berhenti di depan pesantren, Nayla menatap gerbang tinggi itu dengan tatapan muak. Ia sudah kembali ke "penjara"-nya.
Ia baru saja turun dari mobil ketika tiba-tiba Al Ghazali menyodorkan sesuatu ke arahnya—kain sorban putih miliknya.
Nayla menatap benda itu dengan bingung. “Buat apa ini?”
Al Ghazali tetap tenang. “Tutup kepalamu. Kau lupa kalau kau sudah di pesantren?”
Nayla mendengus, lalu memutar bola matanya. “Astaga, serius? Aku baru saja kabur, sekarang kamu pikir aku bakal langsung patuh begitu saja?”
Al Ghazali tak membalas, hanya menatapnya dalam-dalam dengan mata tajamnya yang sulit dibantah. Ada kesabaran, tapi juga ketegasan di sana.
Nayla mengerang kesal. Ia tidak mau ribut sekarang, terlebih dengan para santri yang mulai memperhatikannya. Dengan enggan, ia mengambil sorban itu dan melilitkannya ke kepalanya, menutupi rambutnya asal-asalan.
“Puas?” katanya ketus.
Al Ghazali tak menjawab, hanya berbalik menuju dalam pesantren. Santri laki-laki yang ikut mengawal mereka pun tersenyum kecil sebelum mengikuti sang ustadz.
Nayla mendengus lagi. “Dasar ustadz sok suci.” Namun, tanpa ia sadari, kain sorban yang masih membungkus kepalanya itu membawa aroma khas—segar, sedikit wangi, dan anehnya… menenangkan.
Dan itu membuat Nayla semakin kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments