Hari Pertama

Nayla menggertakkan giginya. Tak ada gunanya melawan. Ayahnya selalu menang.

"Dasar pria tua, mentang-mentang berkuasa,anaknya dipaksa buat ngikutin keinginannya, "

Setelah perjalanan panjang, akhirnya mobil berhenti di depan sebuah pesantren besar dengan gerbang besi kokoh. Bangunan bernuansa putih dengan halaman luas dan suasana tenang membuat Nayla merasa semakin tercekik.

Saat ia turun dari mobil, beberapa santri putri yang sedang duduk di taman melirik ke arahnya. Mereka berbisik-bisik, jelas penasaran melihat kedatangan seseorang dengan wajah penuh kemarahan seperti Nayla.

Di depan pintu utama, seorang pria tinggi dengan jubah putih dan sorban berdiri dengan tenang. Tatapan matanya teduh, senyum tipis menghiasi wajahnya yang tampan. Ia terlihat begitu berwibawa, seperti seseorang yang sudah terbiasa dengan dunia dakwah.

“Nayla.” Ayahnya menepuk bahunya, membuatnya menoleh. “Ini Ustadz Al Ghazali. Beliau yang akan membimbingmu di sini.”

Nayla menatap pria itu dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan sinis. Oh, jadi ini orangnya? Seorang ustadz muda yang kemungkinan besar akan mencoba 'menyadarkannya'.

Ustadz Al Ghazali mengangguk sopan. “Assalamu’alaikum, Nayla. Selamat datang di pesantren. InsyaAllah, ini akan menjadi tempat yang baik untukmu.”

Alih-alih menjawab salam, Nayla hanya mendecakkan lidah. “Dengar ya, Ustadz... Saya nggak mau di sini. Jadi jangan buang waktu untuk coba mengubah saya.”

Senyum di wajah Ustadz Al Ghazali tak pudar sedikit pun. Ia hanya menatap Nayla dengan tenang, seolah sudah terbiasa menghadapi santri pembangkang.

“Kamu tidak perlu berubah untuk saya, Nayla. Tapi mungkin suatu hari nanti, kamu akan menemukan alasan untuk berubah.”

Kata-kata itu entah kenapa membuat Nayla terdiam. Namun, ia segera menggelengkan kepala. Tidak! Aku nggak akan terpengaruh!

Namun, tanpa ia sadari, pertemuan ini akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Dan mungkin, tanpa bisa dicegah, hatinya juga akan tergerak oleh sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Hari-hari pertama di pesantren terasa seperti neraka bagi Nayla. Setiap pagi, ia harus bangun sebelum subuh, sesuatu yang sangat tidak biasa baginya. Tak ada lagi pesta, tak ada klub malam, dan yang lebih parah—tak ada kebebasan.

Namun, ada satu hal yang paling membuatnya kesal: Ustadz Al Ghazali.

Pria itu selalu muncul di setiap kegiatan pesantren. Dengan wajah tenangnya, dengan sorot matanya yang selalu tampak penuh pengertian. Nayla muak melihatnya.

Saat kajian pagi di masjid pesantren, Nayla duduk di barisan belakang dengan wajah bosan. Ustadz Al Ghazali sedang berbicara di depan, suaranya lembut namun berwibawa.

"Hati yang gelisah sering kali bukan karena keadaan sekitar, tapi karena jauhnya kita dari Allah."

Nayla mendengus pelan. Bullshit. Baginya, hidup di pesantren inilah yang membuatnya gelisah.

Setelah kajian selesai, para santri berbaris untuk memberi salam pada Ustadz Al Ghazali. Nayla mencoba kabur lebih dulu, tapi suara itu menghentikannya.

“Nayla.”

Ia memejamkan mata sejenak, lalu menoleh dengan malas. “Apa lagi?”

Ustadz Al Ghazali menatapnya dengan tenang. “Bagaimana harimu di pesantren?”

Nayla menyilangkan tangan di dada. “Seperti di penjara. Dan Anda adalah sipirnya.”

Alih-alih tersinggung, Ustadz Al Ghazali justru tersenyum kecil. “Penjara bisa menjadi tempat untuk merenung, mencari jati diri.”

Nayla mengerutkan kening. “Jangan coba-coba ceramahin saya.”

“Saya tidak berceramah. Hanya mengajak berpikir.”

Nayla menghela napas panjang. “Dengar ya, Ustadz. Saya nggak mau berubah, dan saya nggak akan tunduk di tempat ini. Papa mungkin bisa naruh saya di sini, tapi dia nggak bisa ngatur hati dan pikiran saya.”

Ustadz Al Ghazali mengangguk pelan. “Tentu saja. Hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati manusia.”

Nayla melengos. Ia tidak mau berdebat lebih lama. Tanpa pamit, ia langsung pergi, meninggalkan ustadz itu yang tetap berdiri tenang.

Tapi, di balik kemarahannya, ada sesuatu yang mengganggunya. Mengapa pria itu selalu tampak tidak terpengaruh oleh sikapnya? Mengapa tatapannya begitu teduh, seakan melihatnya bukan sebagai orang yang rusak, tapi seseorang yang bisa berubah?

Nayla membenci itu.

Dan semakin ia membenci Ustadz Al Ghazali, semakin sering ia memikirkannya.

Pagi itu, suasana di pesantren terasa lebih riuh dari biasanya. Para santri putri berlarian ke jendela, menyingkap tirai dengan wajah berbinar. Beberapa bahkan sudah berbisik-bisik dengan penuh semangat.

"Ustadz Al datang! Ustadz Al datang!"

"Astaghfirullah, kenapa sih Ustadz bisa setampan itu?"

"Ya Allah, aku sampai deg-degan kalau lihat beliau!"

Nayla, yang sedang duduk di serambi asrama, hanya mendengus kesal. Ia menatap ke arah sekumpulan santri yang histeris seperti melihat idol K-Pop.

"Dasar labil," batinnya.

Dari kejauhan, Ustadz Al Ghazali berjalan dengan tenang, mengenakan jubah putih bersih dan sorban di kepalanya. Cahaya matahari pagi menyorot wajahnya yang teduh dan menambah kesan berwibawa. Setiap langkahnya penuh keyakinan, dan senyumnya yang ringan justru membuat para santri semakin gempar.

"Astagfirullah... Aku nggak boleh suka sama Ustadz Al, tapi gimana dong?" seorang santri berbisik dengan pipi merona.

"Udah, kita istighfar rame-rame!" sahut yang lain sambil tertawa.

Nayla merasa mual melihatnya. Ia melipat tangan di dada, menatap sinis ke arah sosok pria yang selalu menjadi pusat perhatian. Kenapa sih semua orang tergila-gila sama dia?

Saat Ustadz Al Ghazali melewati serambi tempat Nayla duduk, pria itu melirik sekilas dan tersenyum.

"Assalamu'alaikum, Nayla," sapanya lembut.

Nayla hanya membuang muka. "Wa'alaikumsalam," jawabnya setengah hati.

Beberapa santri yang melihat itu langsung heboh.

"Astaga, Ustadz Al nyapa Nayla!"

"Nayla, kamu beruntung banget!"

"Tuh kan, aku bilang juga Nayla spesial di mata Ustadz Al!"

Nayla menatap mereka dengan mata melotot. "Diam kalian! Nggak ada yang spesial!"

Malam itu, di ruang utama pesantren, Ustadz Al Ghazali duduk berhadapan dengan Kyai Ridwan. Secangkir teh hangat mengepul di antara mereka, sementara suara jangkrik terdengar samar dari luar.

Kyai Ridwan menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka percakapan. “Ghazali, ada sesuatu yang ingin aku titipkan padamu.”

Ustadz Al Ghazali menatap gurunya dengan tenang. “Silakan, Kyai.”

Kyai Ridwan meletakkan cangkirnya dan menatap Al Ghazali dengan sorot mata penuh kebijaksanaan. “Gadis bernama Nayla. Dia bukan santri biasa. Ayahnya, Tuan Armand, datang kepadaku dengan hati yang penuh kekhawatiran.”

Al Ghazali mengangguk, mendengarkan dengan saksama.

“Ayahnya sudah menyerah, Ghazali. Nayla terlalu liar, terlalu bebas. Hidupnya selama ini penuh dengan kemewahan dan kebebasan yang tak terkendali. Ia hobi ke klub malam, sering mabuk, dan menganggap agama tak lebih dari aturan kaku yang membatasi dirinya.”

Ustadz Al Ghazali menundukkan kepala sejenak, mencerna semua informasi itu.

“Itulah sebabnya Tuan Armand membawanya ke sini,” lanjut Kyai Ridwan. “Dia ingin anaknya menemukan jalan pulang. Dan aku percaya, kau orang yang tepat untuk membimbingnya.”

Mata Al Ghazali sedikit menyipit. “Saya?”

Kyai Ridwan tersenyum. “Kau memiliki kesabaran yang luar biasa. Kau tidak mudah tersulut emosi, dan kau tahu bagaimana cara menyentuh hati seseorang tanpa harus memaksa.”

Ustadz Al Ghazali menghela napas pelan. Bayangan Nayla yang selalu bersikap sinis dan memberontak muncul dalam pikirannya. Gadis itu jelas tak suka berada di pesantren, dan lebih dari itu—ia sangat membenci dirinya.

“Apakah Nayla tahu tentang ini, Kyai?” tanyanya.

Kyai Ridwan menggeleng. “Tidak. Jika ia tahu, ia pasti semakin membencimu. Jadi biarkan ini tetap menjadi rahasia kita.”

Ustadz Al Ghazali mengangguk. “Baik, Kyai.”

Namun, dalam hatinya, ia tahu tugas ini tidak akan mudah. Nayla bukan sekadar gadis pembangkang—ia adalah seseorang yang terjebak dalam dunia yang berbeda dari tempatnya sekarang.

Dan mungkin, di antara semua tantangan ini, yang paling sulit adalah menghadapi perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya.

Ia langsung berdiri dan pergi dengan kesal. Namun, tanpa ia sadari, ada senyum tipis di sudut bibir Ustadz Al Ghazali saat melihatnya pergi.

Entah kenapa, Nayla adalah satu-satunya santri yang justru semakin menarik perhatiannya.

Terpopuler

Comments

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🇦ᴬᴿᴷᴬ 𝗗𝗘𝗪𝗜🌀🖌

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🇦ᴬᴿᴷᴬ 𝗗𝗘𝗪𝗜🌀🖌

itu buat kebaikan mu to ndok

2025-07-18

0

lihat semua
Episodes
1 Dunia Malam Nayla
2 Hari Pertama
3 Kena Hukuman
4 Kabur Dari Pesantren
5 Yang Selalu Ada saat dibutuhkan
6 Merasa Di Kucilkan
7 Fitnah
8 Akhirnya Terungkap
9 Mendadak Jadi Istri Ustadz
10 Ketukan Pintu Misterius
11 Ikut Suami Mengajar
12 Mulai Merasa ingin dicintai
13 Hati Yang Harus Dijaga
14 Mulai berubah Lebih Baik
15 Poligami??
16 Bertemu Masa Lalu
17 Perasaan ingin di cintai
18 Makin Gemuk?
19 Merasa Minder
20 Ternyata Suamiku Seorang CEO?
21 Dihargai Karena Status Sosial
22 Istri Ustadz atau Pengusaha?
23 Saat Mertua tak memberi Restu
24 Chapter 24
25 Chapter 25
26 Jangan pergi lagi ...
27 Kangen Cucu
28 Menawarkan jadi istri kedua suamiku?
29 Keluarga adalah Prioritas
30 Mengapa Kamu Memilihku ?
31 Merasa Kecil di Hadapan Mantan suami
32 Pindah rumah
33 Menghadiri Pesta
34 Lika liku Tinggal Bersama Mertua
35 Keputusan Keluarga Yang Menyakitkan
36 Fitnah Yang Kejam
37 Taktik Licik Hafidzah
38 Penikahan Kedua Suamiku
39 Salah Kamar
40 Terungkapnya kebenaran
41 Pengakuan Keluarga Suami
42 Gara-gara Kamu Mas ..
43 Ayah Mertuaku Klienku
44 Ternyata Dia ...
45 Tidak Perlu Pamer
46 Kencan Setelah menikah
47 Mengagumi Suami Orang
48 Langkah Pertama Raihan
49 Ultah Raihan
50 Jurus Anti Pelakor
51 Kualiti time
52 Godaan Istri Orang
53 Terbongkarnya Identitas
54 Menginap di hotel ?
Episodes

Updated 54 Episodes

1
Dunia Malam Nayla
2
Hari Pertama
3
Kena Hukuman
4
Kabur Dari Pesantren
5
Yang Selalu Ada saat dibutuhkan
6
Merasa Di Kucilkan
7
Fitnah
8
Akhirnya Terungkap
9
Mendadak Jadi Istri Ustadz
10
Ketukan Pintu Misterius
11
Ikut Suami Mengajar
12
Mulai Merasa ingin dicintai
13
Hati Yang Harus Dijaga
14
Mulai berubah Lebih Baik
15
Poligami??
16
Bertemu Masa Lalu
17
Perasaan ingin di cintai
18
Makin Gemuk?
19
Merasa Minder
20
Ternyata Suamiku Seorang CEO?
21
Dihargai Karena Status Sosial
22
Istri Ustadz atau Pengusaha?
23
Saat Mertua tak memberi Restu
24
Chapter 24
25
Chapter 25
26
Jangan pergi lagi ...
27
Kangen Cucu
28
Menawarkan jadi istri kedua suamiku?
29
Keluarga adalah Prioritas
30
Mengapa Kamu Memilihku ?
31
Merasa Kecil di Hadapan Mantan suami
32
Pindah rumah
33
Menghadiri Pesta
34
Lika liku Tinggal Bersama Mertua
35
Keputusan Keluarga Yang Menyakitkan
36
Fitnah Yang Kejam
37
Taktik Licik Hafidzah
38
Penikahan Kedua Suamiku
39
Salah Kamar
40
Terungkapnya kebenaran
41
Pengakuan Keluarga Suami
42
Gara-gara Kamu Mas ..
43
Ayah Mertuaku Klienku
44
Ternyata Dia ...
45
Tidak Perlu Pamer
46
Kencan Setelah menikah
47
Mengagumi Suami Orang
48
Langkah Pertama Raihan
49
Ultah Raihan
50
Jurus Anti Pelakor
51
Kualiti time
52
Godaan Istri Orang
53
Terbongkarnya Identitas
54
Menginap di hotel ?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!