Laras melangkah keluar dari kamar hotel dengan kepala tegak, tetapi baru beberapa meter berjalan, seorang pria menghalanginya.
"Maaf, Nyonya. Perintah Tuan Edward, Anda harus pulang ke rumah utama. Ada pengawal yang akan mengantar."
Laras menatapnya tajam. "Aku mau ke rumahku sendiri."
"Maaf, tidak bisa. Kami hanya menjalankan perintah. Jika Nyonya menolak, kami diperintahkan untuk mengawal Anda sampai ke gerbang rumah Tuan Edward. Mobil sudah menunggu."
"Tak ada jalan keluar yang mudah," pikir Laras, "jika aku melawan sekarang, Edward bisa bertindak lebih gila lagi. Dan aku belum siap kehilangan kendali. Belum sekarang."
Dengan suara dingin, ia menjawab, "Baik. Tapi katakan pada Tuanmu… aku bukan boneka yang bisa ia seret ke mana pun seenaknya."
Mobil hitam mewah itu melaju pelan melewati gerbang menuju rumah megah yang tampak angkuh dalam keheningannya.
Di Dalam Rumah Edward
Laras berjalan menyusuri lorong panjang, langkahnya bergema di tengah kesunyian. Seorang pelayan tua menunduk singkat.
"Selamat datang, Nyonya. Kamar Tuan Edward sudah disiapkan. Silakan ikuti saya."
Laras mengangguk tanpa kata, mengikuti pelayan menuju kamar di lantai atas—ruangan mewah yang terasa dingin, seperti hati pria yang telah menikahinya.
"Ini bukan kamar, ini penjara," bisik hatinya. "Dindingnya megah, ranjangnya besar, tapi semua terasa seperti kuburan."
Saat pintu dibuka, aroma parfum Edward menyergapnya, membuat dadanya sesak.
"Ini kamar Anda mulai malam ini," ucap pelayan itu. "Tuan Edward menyampaikan bahwa beliau akan menyusul."
Laras tak menjawab. Begitu pelayan pergi, ia duduk di tepi ranjang, menatap cincin perak di jari manis kirinya—hadiah ulang tahun dari Bayu.
"Bayu..." Nama itu terucap dengan bibir bergetar.
Bayu pernah menggenggam tangannya erat dan berkata dengan mata penuh harapan, "Suatu hari cincin ini akan kuganti dengan cincin berlian, Laras. Tapi bukan sekarang. Nanti. Saat semua sudah siap."
Kenangan itu menusuk. "Tapi ‘nanti’ itu tak pernah datang."
Laras mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Ia teringat ruangan putih rumah sakit, suara dokter yang datar tapi menghancurkan, “Sangat kecil kemungkinan Anda bisa mengandung…”
Air matanya jatuh tanpa suara.
"Andai aku wanita yang sempurna... andai aku bisa memberinya keturunan..." Laras memejamkan matanya menahan sesak di dada. "Bayu...aku ingin bersamamu..."
Suara langkah berat mendekat. Laras bergegas menghapus air matanya. Pintu terbuka, dan Edward berdiri di ambang, kemejanya terbuka sebagian, matanya penuh kemenangan.
"Sudah nyaman di kamar barumu?"
Laras menatap lurus ke depan, menolak menanggapi.
"Aku tak suka suasana murung di rumahku. Dan mulai malam ini, kau akan belajar bersikap seperti istri yang baik. Duduk diam. Melihat. Tapi tidak pernah ikut campur."
Laras masih diam, hingga Edward membungkuk, menyentuh dagunya, memaksa wajahnya menghadap ke arahnya. "Lihat aku saat aku bicara, Laras."
Mereka saling menatap—Edward dengan senyum sinis, Laras dengan ketegaran dingin.
"Aku bukan bonekamu, Edward," ujarnya, suara bergetar tapi tegas.
Edward tertawa pendek. "Benar. Kau bukan boneka. Kau milikku. Dan aku akan memastikan kau tak pernah lupa itu."
Ia berbalik, berjalan ke pintu. Sebelum pergi, ia melemparkan kalimat terakhir:
"Oh ya, malam ini… aku akan membawa teman. Kuharap kau tidak keberatan dengan penonton tambahan." Senyumnya mengerikan. "Atau mungkin kau mulai menikmatinya?"
Pintu tertutup. Laras menggigit bibir hingga nyaris berdarah.
"Dia pikir aku akan diam? Dia pikir aku akan menyerah?"
Tangannya mengepal erat, cincin Bayu menekan di kulitnya.
"Tidak, Edward. Aku mungkin terjebak di sini, tapi aku tidak akan hancur begitu saja."
Dan untuk pertama kalinya, api pemberontakan menyala dalam matanya.
Sementara itu, setelah menutup pintu di belakangnya, Edward berdiri mematung. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras.
"Aku akan membuatmu takluk, Laras." Napasnya berat, nyaris seperti geram yang ditahan. "Tapi penyakit sialan itu..." Ia mengepalkan tangan. "...selalu jadi penghalang."
Matanya menatap lantai kosong, tajam dan kelam. "Tubuh rapuhnya. Gen cacat itu. Bahkan jika dia hamil... anak kami bisa lahir membawa kutukan."
Edward mengusap wajahnya kasar. Ada amarah, ada frustrasi, dan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebencian—obsesi.
***
Laras berdiri di balkon. Angin malam menyapu wajahnya. Langit hitam, bintang-bintang seakan enggan menampakkan diri. Mungkin jijik melihat dunia sebusuk ini.
Cklek.
Suara pintu terbuka. Heels tinggi berdetak di atas marmer. Tawa nyaring menyusul, renyah tapi palsu—seperti sengaja diperdengarkan.
Suara Edward terdengar. Rendah. Liar. "Aku harap malam ini kau bisa membuatku lupa waktu."
"Aku tak akan mengecewakanmu, Sayang~"
Tawa perempuan itu menusuk gendang telinga.
Laras menutup mata.
“Menjijikkan.”
"Edward... Ini kamar istrimu, ya? Kamu gila."
"Justru itu yang membuatnya lebih... panas. Kau suka bahaya, 'kan?"
Laras mencengkram pagar balkon. Dingin. Tajam. Tapi tak setajam perih di dadanya.
“Dia bawa perempuan ke kamar ini... ke kamar kami. Tidak—kamar dia. Aku cuma boneka. Penonton yang dipaksa menyaksikan.”
Terdengar suara ranjang berdecit. Ciuman basah. Desahan.
"Apa istrimu beneran diam aja di balkon? Seperti... boneka rusak?"
"Dia tahu tempatnya. Sudah kuberi pelajaran. Patung tak boleh bersuara."
Laras menggigit bibir.
“Jangan menangis. Jangan beri dia kemenangan. Kau bukan korban. Kau pejuang. Lihat… cincin ini masih di jarimu. Cincin dari Bayu. Itu artinya kau masih punya ‘diri’ yang belum sepenuhnya mati.”
Gemetar. Tapi ia tetap berdiri.
"Ah! Edward—kau...!"
"Ughh..."
Dari celah pintu kaca, siluet dua tubuh terlihat. Melilit. Membakar tempat tidur dengan hasrat murahan. Seakan Laras tak ada.
Ciuman. Desahan. Tawa perempuan itu meledak lagi.
"Kau memang tahu cara buatku gila," bisik Edward dengan napas terengah.
"Tentu saja." Suara wanita itu terdengar bangga. "Istrimu jinak banget, ya. Diam aja. Nggak protes."
"Tentu. Semua wanita bisa kujinakkan."
Laras mendengar kesombongan itu seperti tamparan.
Ia membuka mata.
Bukan tangisan yang keluar. Tapi kehampaan. Sunyi yang beku.
Ia menunduk. Cincin perak di jarinya masih di sana. Bayu. Satu nama yang tak pernah menyakiti.
Dalam hati, ia bicara.
“Kau bisa hina aku, Edward. Tapi aku belum mati. Dan selama aku hidup… aku akan membalas semuanya.”
***
Pagi menjelma dalam keheningan yang asing. Edward membuka matanya perlahan, merenggangkan tubuh di atas ranjang yang masih menyisakan aroma malam tadi. Sisi ranjang di sebelahnya kosong. Wanita penghibur itu sudah pergi.
"Malam yang indah," gumamnya, suaranya serak oleh sisa tidur. "Tapi bukan itu yang paling berkesan."
Matanya beralih ke balkon. Ingatannya menyusup kembali—semalam, Laras berdiri di sana. Diam. Menyaksikan segalanya dengan mata yang tak berkedip.
"Aku melupakan istriku."
Senyumnya mengembang, dingin dan puas. Ia turun dari ranjang, tubuh polosnya bergerak tanpa malu. Handuk di nakas dililitkan di pinggang, tapi udara pagi masih menyentuh kulitnya dengan dingin yang menusuk. Tak peduli. Langkahnya mantap menuju balkon. Tatapannya tajam, dan senyum licik terbit saat melihat sosok yang dicarinya.
“Oh… ternyata istriku tersayang masih tertidur,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan ejekan.
Laras meringkuk di sofa, seperti mencoba menghilang. Wajahnya pucat. Kelopak mata sembap. Napasnya tenang—tapi Edward bisa mencium aroma luka yang tak terlihat.
"CK. CK. Apakah istriku tersayang kedinginan?"
Suaranya rendah, hampir seperti belaian—tapi bukan belas kasihan yang ada di sana. Ini kepuasan. Kepuasan melihatnya hancur.
Ia berjongkok, menatap wajah Laras dalam diam.
“Masih bisa tidur nyenyak setelah semalam?” bisiknya pelan. “Atau kau terlalu lelah membenci?”
Tangannya terulur, menyentuh pipi Laras yang dingin. Sentuhan perlahan, nyaris seperti kelembutan… jika saja bukan dari seorang pria yang penuh dendam.
Ia tersenyum kecil.
“Pipi ini… yang dulu berani menamparku di depan semua orang.”
Edward tertawa pendek, getir. “Dan sekarang? Lihat dirimu.”
Laras menggeliat pelan. Tubuhnya menegang seketika saat kulitnya menangkap sentuhan asing.
Bulu kuduknya meremang.
Tanpa membuka mata, ia menarik tubuhnya menjauh, refleks. Bibirnya bergetar, napas tercekat.
Edward terkekeh pelan. “Bahkan dalam tidur pun kau membenciku, ya?”
Tangan Laras mengepal, masih gemetar. Tapi matanya tetap terpejam. Enggan memberinya kemenangan, bahkan sekadar dari tatapan.
"Kau ingat itu, bukan?" bisiknya. "Kau satu-satunya wanita yang berani menolakku. Mempermalukanku. Dan justru karena itulah... aku takkan pernah melepasmu."
Ia berdiri, meninggalkan Laras yang masih terlelap. Tapi senyumnya tak hilang.
"Permainan baru saja dimulai, Sayang."
Dan ia tahu—Laras takkan bisa lari lagi.
...🔸🔸🔸...
..."Hidup seseorang boleh kau permainkan, tapi kau bukan Tuhan. Akan tiba waktunya... karma menunjukkan siapa pemilik takdir yang sesungguhnya."...
..."Dhanaa724"...
...🍁💦🍁...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Laras tidak akan takluk sm Edward.. lagian laras mau2nya menikah sm Edward yg doyan gonta-ganti perempuan celup sana celup sini......
2025-04-13
3
naifa Al Adlin
biarkan laras tak tersentuh oleh Edward,,, kasian klo sampai dia hamil anak Edward makin menderita karena perlakuan Edward pada laras.
2025-04-18
1
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
ada banyak dokter. kenapa laras tidak periksa ke dokter yang lain ya?
2025-04-06
1