Diusir

Sudah empat bulan Xander tidak ada kabar, laki-laki itu menghilang tanpa jejak. Sudah ribuan kali Alea menghubungi nomor Xander, tetapi tidak ada satupun panggilan yang direspon, ribuan kali pula Alea mengirim chat pada Xander, tetapi tidak ada satupun yang masuk. Alea bahkan datang ke rumah itu orang tua Xander, tetapi rumah itu justru kosong seperti tidak berpenghuni. Alea yang sudah merasa putus asa akhirnya menceritakan semuanya pada keluarganya.

PLAK

Tamparan keras mendarat di pipi Alea, pelakunya tidak lain adalah Romi. Mendengar kabar kehamilan Alea, pria paruh baya itu kalap. Dirinya kehilangan kendali alhasil melayangkan pukulan terhadap putri kandungannya itu.

"Dasar anak bodoh! Bagaimana bisa kau melakukan kesalahan fatal, Alea!" bentak Romi.

"Ma-af, Pi," ucap Alea lirih nyaris tidak terdengar.

"Sudah Papi katakan sebelumnya, keluarga itu bukan keluarga baik-baik. Sekarang kau tahu, bukan. Kau ditinggalkan setelah dia mendapatkan tubuhmu," geram Romi.

"Xander tidak seperti itu, Pi," bela Alea.

"Kau masih saja membela laki-laki berengsek itu?" bentak Romi.

Romi kembali murka dan siap melayangkan pukulan.

"Papi! Cukup!" Nina yang merupakan ibu tiri Alea mencegah Romi yang ingin kembali memukul Alea. Wanita itu berdiri di hadapan Alea, merentangkan kedua tangannya, menjadi tameng untuk anak tirinya.

"Minggir, Nina!" suruh Romi.

"Jangan berani memukul anakku lagi!" cegah Nina.

"Jangan ikut campur!" larang Romi.

"Dia putriku! Bagaimana mungkin aku tidak ikut campur dan membiarkanmu terus memukulnya," balas Nina sambil menahan amarahnya.

"Dia melakukan kesalahan yang besar, Nina. Aku harus memberinya hukuman," geram Romi.

"Banyak wanita di luaran sana yang hamil di luar nikah. Anak kita hanya sial karena laki-laki itu tidak mau bertanggungjawab," bela Nina. "Harusnya kita sebagai keluarganya mendukungnya, bukan memojokannya seperti ini."

"Aku tidak peduli. Dia sudah membuat malu keluarga kita. Jadi sudah sepatutnya aku menghukumnya!"

"Tapi tidak dengan cara memukulinya," ujar Nina.

"Jika aku mau, akupun bisa melenyapkannya," sergah Romi.

"Kalau begitu langkahi dulu mayatku," tantang Nina membuat Romi diam seketika.

"Mam." Alea memeluk Nina, tangisannya pun langsung pecah.

"Tenang, Sayang." Nina mengusap-usap rambut juga pundak Alea.

"Pergi dari sini!" usir Romi. "Papi tidak ingin melihatmu!" sambungnya.

Alea menarik diri, memberikan jarak dengan Nina. Setelah itu maju satu langkah ke hadapan Romi.

"Pi, tolong. Jangan usir Alea," mohon Alea dengan menyatukan kedua tangannya.

"Baik, Papi tidak akan mengusirmu. Tapi dengan satu syarat," ucap Romi.

Alea langsung mengusap air matanya dan bertanya pada Romi, "apa syaratnya, Pi."

"Gugurkan kandunganmu!" jawab Romi.

Semua orang yang mendengar langsung terbelalak, terkejut dengan syarat yang diajukan oleh Romi. Alea sendiri langsung lemas, kakinya bahkan sudah tidak bisa lagi menahan berat tubuhnya hingga membuat Alea kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Beruntung ada Nina yang menahan tubuh Alea.

"Alea, kau tidak apa-apa?" tanya Nina dibalas gelengan kecil oleh Alea. "Ayo duduk!" Nina menatap tajam Romi sebelum membantu Alea duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Tubuh Nina kembali menegak, pandangannya mengarah pada Romi, menatap suaminya itu dengan tatapan marah.

"Kau keterlaluan! Bagaimana bisa kau berpikir untuk melenyapkan cucumu sendiri!" marah Nina.

"Aku tidak sudi memiliki cucu yang mengalir darah Bagaskara," balas Romi.

"Turunkan egomu sedikit. Dari pada kau terus marah-marah sebaiknya cari keberadaan Bagaskara! Minta pertanggungjawaban anak mereka!" suruh Nina.

"Keluarga sialan itu sudah pergi dari kota ini. Tidak ada yang tahu ke mana mereka pergi," ungkap Romi. "Tidak ada cara lain selain menggugurkan kandungannya untuk menyelamatkan reputasi keluarga kita," ucap Romi.

Alea sendiri masih duduk dengan tatapan kosong, tetapi masih bisa mendengar perdebatan mami dan juga papinya.

Menggugurkan kandungannya?

Kehamilannya sudah memasuki usia empat bulan lebih. Tidak mungkin untuk menggugurkan kandungannya, itu sama saja dengan membunuh anak kandungnya sendiri. Selain itu, anak dalam kandungannya adalah satu-satunya kenangan dari Xander.

Mata Alea terpejam dengan erat diikuti cairan bening yang menetes dari matanya lantas Alea membukanya kembali. Alea sudah memikirnya matang-matang dan siap mengambil keputusan.

"Alea tidak bisa menggugurkan kandungan Alea," ucap Alea setelah lama diam. "Alea tidak bisa membunuh anak Alea sendiri."

Nina dan Romi sama-sama melihat ke arah Alea. Nina tersenyum puas dengan keputusan Alea, tetapi tidak dengan Romi. Pria paruh baya itu bertambah murka.

"Kalau begitu pergi dari rumah ini!" perintah Romi.

Alea berdiri, menatap Romi dengan matanya yang basah, "Baik. Alea akan pergi dari sini."

Alea mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, melewati Romi begitu saja. Ia lantas berjalan menuju kamar, mengabaikan panggilan dari Nina. Sampai di kamarnya Alea memasukkan beberapa pakaian juga beberapa barang yang pernah Xander berikan padanya.

"Alea."

Mendengar ada yang memanggil namanya, Alea menghentikan kegiatannya. Perempuan itu melihat ke arah pintu, ibu tirinya baru saja masuk.

"Mam …." Alea tidak kuasa menahan kesedihannya hingga kembali menangis dipelukan Nina. Tangisannya pecah bahkan Alea sampai menangis sesegukan.

"Control your self, Alea." Nina memeluk erat putri tirinya, tangannya bergerak naik turun di punggung perempuan itu. "Dengar kau harus kuat. Keadaanmu saat ini akan mempengaruhi perkembangan bayimu."

Alea mengangguk lantas menarik diri dari pelukan itu, menarik napasnya dalam-dalam lalu kembali menghembuskannya. Perempuan itu melakukannya secara berulang, sampai rasa sesak di dadanya mereda.

"Lebih baik kau memang pergi dari sini," ujar Nina membuat Alea menoleh ke arahnya. "Maaf, Sayang. Bukannya Mami ikut mengusirmu, tapi saat ini papi sedang kalap. Mami takut papimu akan berbuat nekat padamu atau pada bayimu," jelas Nina.

"Aku tahu, Mam," sahut Alea.

"Ayo, Mami bantu bereskan barang-barangmu." Nina bangun lantas membantu memasukkan barang-barang ke koper. "Kau jangan memakai pakaian yang ketat lagi. Pakai baju yang longgar," ucap Nina seraya memasukkannya beberapa pakaian ke dalam koper. "Makan sayur dan buah, jangan terlalu banyak makan junk food," beo Nina.

Wanita itu sengaja bicara banyak hal untuk mengalihkan rasa sedihnya. Tetapi itu justru semakin membuat Alea sedih, apalagi matanya menangkap beberapa kali ibu tirinya itu mengusap air matanya.

"Ingat, jangan tidur terlalu—"

"Mam …." Alea menahan langkah Nina lantas membawa dirinya masuk ke dalam pelukan Nina.

"Alea." Nina membalas pelukan Alea. Mereka akhirnya sama-sama menangis. "Dunia mungkin tahu kau bukan putri kandungku. Tapi bagi Mami kau adalah putri kandungku, Alea. Mami yang merawatmu dari bayi sampai sebesar ini. Kau seperti ini Mami ikut sakit," ucap Nina di sela isak tangisnya.

"Thank you very much."

"You're welcome."

"You're so kind. I will never forget what you have done."

"You are my daughter."

Alea menganggukkan kepala.

Nina lebih dulu menarik diri lantas memberikan sesuatu kepada Alea.

"Ini." Nina memberikan account m-banking miliknya. "Pakai untuk keperluanmu."

"Tapi —"

"Ini milik Mami pribadi. Penghasilan dari butik. Papi tidak akan tahu," tukas Nina. "Satu lagi, Mami memiliki apartemen yang tidak diketahui oleh papimu. Mami ke sana kalau Mami sedang bertengkar dengan papimu untuk memenangkan diri." Nina memberitahu di mana letak apartemen juga unitnya juga password apartemen pribadinya. "Pergilah sebelum malam." Alea mengangguk. "Ayo, Mami antar sampai teras."

Terpopuler

Comments

Rosmayanti 80

Rosmayanti 80

lanjut punya yg bnyk kk

2025-03-16

2

Sulistia Anggraini

Sulistia Anggraini

lanjut up nya

2025-03-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!