Malam tiba...
Dylan membatalkan janjinya dengan Sheryl untuk menonton film hari ini. Ia telah menyelesaikan masalahnya dengan Elena — sudah clear.
Setelah menangis seharian tadi, Dylan merasa lapar. Ia pergi ke dapur untuk memasak spaghetti pasta. Elena tidak keluar kamar lagi sejak tadi. Mungkin dia tidur.
Dylan memasak pasta dan memakannya sendirian. Ponselnya berbunyi — chat dari Sheryl cukup banyak, mungkin dia menghubunginya sejak siang, tapi Dylan memang belum sempat mengecek ponselnya.
Sebuah panggilan masuk. Dari Sheryl.
"Halo, sayang..." sapanya.
"Hei, sayang!" jawab Dylan.
"Kamu ke mana aja? Katanya janjian mau nonton, tapi gak datang juga. Aku udah nungguin loh di bioskop. Di-telepon gak diangkat, di-chat gak dibalas. Kamu jahat!" gerutu Sheryl.
"Maaf sayang, aku ketiduran. Seharian aku tidur," Dylan berbohong.
"Pokoknya lain kali gak boleh kayak gini lagi ya. Aku kecewa banget ini!" pintanya manja.
"Iya, sayang," jawab Dylan singkat.
"Ya sudah, aku mau tidur. Aku ngantuk! Good night, sayang! Muuaaahhh!" pamit Sheryl mesra.
"Good night, sayang," jawab Dylan, lalu mematikan telepon.
Dylan melanjutkan aktivitasnya memakan spaghetti pasta buatannya untuk mengganjal perut yang kosong sejak siang.
Setelah makan, Dylan kembali ke kamar dan membaringkan tubuhnya di kasur. Ia melirik ke arah Elena yang tidur di sebelahnya. Dia tertidur lelap.
Dylan menyingkirkan bantal guling yang selama ini ia letakkan sebagai pembatas. Perlahan, ia menggeser tubuhnya mendekati Elena yang membelakanginya. Ia meraih pundaknya dan mengubah posisinya jadi menghadapnya. Dylan menyibak rambut panjang yang menutupi sebagian wajah Elena. Ia menatap wajah istrinya — cantik alami. Baru sekarang Dylan benar-benar menyadarinya.
Cantik. Sama cantiknya dengan Sheryl, hanya berbeda gaya. Sheryl cantik dengan pesona wajah baratnya, sementara Elena memancarkan kecantikan alami khas wanita Indonesia. Kulit Elena tak seputih kulit Sheryl yang kemerah-merahan. Elena berkulit kuning langsat bersih, berhidung mancung, bermata agak besar, bibir tipis, dan dagu belah dua. Dia sangat cantik.
Dylan terpesona menatap wajah Elena. Kenapa baru sekarang ia menyadarinya? Selama ini, bidadari itu tinggal di rumah yang sama dengannya.
Ia menelan ludah saat melihat bibir Elena yang ranum tanpa lipstik. Warnanya merah muda menggoda. Ia ingin sekali menciumnya, namun tak berani. Ia takut Elena merasa dilecehkan lagi.
Akhirnya Dylan mendekatkan bibirnya ke arah kening Elena dan menciumnya lembut. Ia menyandarkan kepala Elena di lengannya lalu memeluknya erat. Tubuh Elena hangat.
Ah... apakah seperti ini rasanya pasangan lain menikmati hubungan mereka?
Kenapa Dylan baru merasakannya sekarang?
Ia pun tertidur lelap sambil memeluk Elena.
*****
Esok paginya...
Sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamar yang gordennya sudah terbuka. Mata Dylan silau. Pasti Elena yang membukanya.
Dia sudah tidak ada dalam pelukannya. Pasti sedang menyiapkan sarapan dan keperluan Dylan ke kantor. Dylan segera bangkit, masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya agar segar kembali.
Ia menyambar baju yang sudah disiapkan Elena di atas kasur. Setelah rapi, ia turun ke bawah menuju meja makan.
Di sana sudah tersaji nasi goreng sayur — makanan favoritnya. Elena duduk di hadapannya dan mereka sarapan bersama.
Elena tak banyak bicara. Ia lebih sering menunduk. Entah malu atau masih marah. Wanita memang sulit dimengerti.
Sarapannya habis tanpa sisa. Dylan bersiap pergi. Seperti biasa, Elena mengantarnya sampai ke teras. Tapi kali ini, dia tidak tersenyum. Wajahnya datar.
Dylan melangkah menuju mobil, namun kemudian berbalik dan berlari kecil menghampiri Elena, lalu mencium keningnya.
Elena bengong. Ini untuk pertama kalinya Dylan melakukan hal itu sebelum berangkat. Mungkin akan jadi kebiasaan baru.
Elena menatapnya tak percaya. Sorot matanya heran. Dylan tersenyum padanya dan berkata,
"Aku pergi dulu," ucapnya sambil mengusap pipinya.
Elena tak menjawab. Hanya mengangguk saja.
Dylan pun pergi ke kantor dengan hati ceria.
---
Setibanya di kantor, semua karyawan menyapa Dylan dengan hormat. Ia menyapa mereka kembali dan langsung masuk ke ruangannya.
Di sana, Sheryl sudah duduk di atas meja kerjanya, menunggu sambil menopang kaki. Rok mininya memiliki belahan di samping. Posisi duduk seperti itu membuat dua kaki jenjangnya tampak jelas. Dylan menelan ludah. Hasratnya bangkit. Ia lelaki normal. Wajar jika tergoda.
Sheryl menarik dasi Dylan hingga wajah mereka begitu dekat. Tanpa jarak. Bibirnya menempel pada bibir Dylan. Hangat.
Dylan menutup mata dan mulai menikmati ciuman itu. Ini pertama kalinya mereka berciuman setelah resmi pacaran. Namun tiba-tiba, bayangan Elena muncul dalam ingatannya. Ia terkesiap, membuka mata, dan langsung menjauh.
Sheryl kaget dengan respon Dylan.
"Kenapa, sayang?" tanyanya heran.
"Eh, oh, ehm... gak apa-apa. Aku cuma takut ada karyawan yang lihat," Dylan kembali berbohong.
"Karyawan gak bakal berani masuk kalau kamu gak kasih izin. Jadi santai aja," Sheryl meyakinkan. Dia mulai mendekatkan wajah lagi.
Dylan menarik diri, lalu duduk di kursinya.
"Kita banyak kerjaan hari ini. Ayo kerja," ucap Dylan, mengalihkan pembicaraan dan membuka laptopnya.
Sheryl kembali ke tempat duduknya dengan wajah kesal.
Malam harinya, Dylan mencoba menghubungi Sheryl, tapi tak diangkat. Mungkin marah karena kejadian di kantor.
Dylan ingin menikmati momen itu tadi, tapi bayangan Elena muncul begitu saja. Hasratnya langsung sirna.
Ia menenggak segelas wiski lagi. Pusing. Berurusan dengan wanita memang rumit — sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit nangis.
Dylan enggan pulang. Dari kantor, ia langsung menuju bar untuk sekadar minum. Mencari pelarian sementara.
Sudah lama sejak menikah, ia tidak pernah minum. Ia menahan diri agar tidak mabuk. Ia takut akan kebablasan seperti masa lalunya.
Kepalanya mulai pusing. Ia mengurangi minumannya — hanya dua gelas saja. Karena harus menyetir pulang.
Ia membayar bartender, lalu keluar dan masuk ke mobil. Ia menyalakan mesin dan mulai menyetir perlahan. Tak mau ngebut.
Namun setibanya di depan gerbang rumah, Dylan lupa mengerem. Mobilnya terus melaju dan menabrak tembok pinggir gerbang.
BRAKKKKK!
Mobil menghantam keras. Kepalanya terbentur setir. Dylan kesakitan, tak kuat bangkit.
Terdengar suara kaca digedor. Dylan yang masih setengah sadar mencoba membuka pintu.
"Mas! Kamu kenapa?!" Elena. Dia menggoyang-goyangkan tubuh Dylan agar sadar.
"Mas! Bangun, Mas!" Elena menangis sambil memeluk tubuh lemas suaminya. Dylan menatap Elena lemas.
"Aku ngantuk, El..." ucapnya lemah. Tubuhnya berat digerakkan.
"Kita ke rumah sakit, Mas!" Elena sesenggukan.
"Jangan, El. Aku gak apa-apa. Aku cuma ngantuk," Dylan berusaha meyakinkan.
"Tapi Mas—"
"Tolong bawa aku ke kamar. Aku ngantuk, El," pintanya. Ia tak ingin masuk rumah sakit. Merepotkan. Hanya benturan kecil, bukan kecelakaan parah.
Beberapa orang membopong Dylan ke kamar. Yang lain menarik mobil yang terperosok ke lubang got.
Elena gusar. Cemas. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Dylan masih setengah sadar.
"Kenapa kamu minum lagi, Mas? Itu bahaya buat kamu!" ucap Elena sambil membersihkan darah di kening Dylan.
Dia kesal, tapi juga khawatir.
Setelah darah dibersihkan, Elena memasang perban di kepala Dylan, mencegah darah keluar lagi.
Elena menyandarkan kepala Dylan di pangkuannya. Ia mengusap lembut wajah dan rambut suaminya.
"Tolong jangan pernah minum lagi, Mas. Aku gak mau kamu kayak gini lagi. Aku takut kehilangan kamu!" isaknya. Dylan mendengar jelas, meski matanya terpejam.
"Aku sangat mencintai kamu, Mas... Dari dulu sampai sekarang cintaku masih sama!" ungkap Elena tulus.
Dan tepat saat itu...
Dylan benar-benar tak bisa mendengar apapun lagi.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments