Keesokan Harinya...
Dylan dan ibunya, Veronica, datang ke rumah bibi Elena untuk melamar, sesuai janjinya.
Meski Veronica sangat malas, namun beliau tak mau menjilat ludahnya kembali.
Mereka disambut hangat oleh keluarga Elena. Mereka tersenyum sumringah menyalami Dylan dan Veronica. Dylan menerima uluran tangan mereka dan mencium punggung tangan mereka satu per satu, sementara Veronica, ketika bibi Elena mengulurkan tangan hendak bersalaman, malah melipat tangannya di dada. Sejujurnya, Dylan merasa malu dengan sikap ibunya, tapi apa daya? Veronica saja mau menuruti keinginan Dylan, itu sudah syukur.
Bi Sumi, bibi Elena, menarik kembali tangannya dengan malu. Dylan pun meminta maaf atas sikap ibunya, dan Bi Sumi hanya tersenyum simpul.
Mereka masuk ke dalam rumah yang sangat sederhana itu. Rumah itu beralaskan keramik dan dinding tembok yang sebagian terkelupas. Mereka duduk di kursi tua.
Elena datang menyambut, hendak menyalami Veronica. Seperti tadi, Veronica menepisnya, tapi Dylan menatap ibunya dengan kesal hingga akhirnya Veronica mengulurkan tangan dan menyalami Elena.
Pembicaraan dimulai. Karena Veronica tidak mau berlama-lama di sana, akhirnya Dylan langsung mengutarakan tujuannya untuk melamar Elena. Paman dan bibi Elena gembira karena Elena akhirnya akan menikah—entah karena Elena akan dinikahi pria kaya seperti Dylan. Entahlah...
Setelah lamaran dan menentukan tanggal pernikahan, Dylan dan Veronica pulang untuk menyiapkan keperluan pernikahan mereka. Dylan mulai belanja untuk bahan seserahan, mas kawin, hingga cincin kawin untuk acara yang akan diadakan seminggu ke depan.
"Gak usah berlebihan Dylan, dia hanya gadis miskin, beli yang murah saja, dia toh gak akan tahu harganya!" ketus Veronica ketika Dylan memilah-milah barang yang akan dibelinya untuk seserahan.
Ucapan itu cukup membuat Dylan kesal. Terlalu merendahkan.
"Sudahlah Ma, jangan bicara seperti itu. Lagi pula Elena gadis baik-baik. Sudah sepantasnya dia mendapatkan barang-barang yang bagus. Aku gak suka Mama merendahkan dia seperti itu. Ingat janji Mama!" jawab Dylan tegas.
Veronica diam tak menjawab. Sepertinya ucapannya tadi cukup menusuk.
---
Hari pernikahan pun tiba. Dylan sudah siap dengan segala yang diperlukan. Ia melangkah dengan gagah masuk ke rumah bibi Elena untuk menikahi keponakannya itu.
Acara pernikahan sangat sederhana, hanya dihadiri kerabat dan keluarga terdekat saja.
Hari itu Elena tampak cantik dengan kebaya putihnya. Ya, dia memang cantik meski tanpa make-up, dan itu yang selalu Dylan sukai sejak dulu.
Setelah acara pernikahan selesai, Dylan membawa Elena ke rumah pribadinya, pemberian dari almarhum ayahnya sebelum wafat.
Lokasinya cukup jauh dari rumah Veronica, jadi Dylan yakin Elena tidak akan terganggu dengan sikap sang ibu.
Sesampainya di sana, Dylan langsung mengajak Elena masuk dan segera beristirahat.
Mereka memutuskan untuk tidur di kamar yang sama, namun mereka tidak pernah melakukan malam pertama. Mereka tidur saling membelakangi. Intinya, Dylan tidak mau menyentuh Elena lagi dan Elena masih takut sejak kejadian malam itu.
*****
Kembali ke Saat ini...
Jika mengingat semua itu, terkadang Dylan menyesali kejadian malam itu yang tanpa ia sadari menodai seorang gadis. Belum lagi perjuangannya demi mendapat restu Veronica yang sulit, dan akhirnya Dylan justru menyesal menikahi Elena. Bukan karena Elena tidak baik atau banyak tingkah, tapi setiap hari ketika pulang ke rumah rasanya seperti perang dunia kedua. Elena selalu memulai pertengkaran yang ujung-ujungnya berakhir diam-diaman juga.
"Hoaammm..." Dylan menguap. Ia melirik jam dinding, sudah jam 20:15 malam. Seharian hanya berbaring di tempat tidur dan menghabiskan waktu libur dengan tidur. Malas untuk ke mana-mana.
Elena masuk ke dalam kamar dan menghampiri Dylan.
"Mas, kamu belum makan. Seharian cuma tidur. Makan dulu ya!" pinta Elena.
Memang, Dylan hanya sarapan pagi tadi. Belum mengisi perutnya lagi.
Ia bangkit dan mengikuti Elena ke meja makan.
Elena menyodorkan nasi dengan lauk pauk kesukaan Dylan. Jujur saja, masakan Elena sangat enak. Dylan menyantapnya dengan lahap.
"Mas, mau mandi air hangat? Biar aku siapin," tawarnya. Dylan mengangguk.
Elena pergi menyiapkan air hangat, lalu memberitahunya ketika sudah siap.
Ya, Elena memang istri yang baik, selalu berusaha melayani Dylan dengan sepenuh hati. Tapi Dylan merasa dirinya sangat kejam—seolah tak pernah menganggap Elena ada. Rasa cinta yang dulu hadir, kini sudah tak ada sejak Elena memutuskan hubungan dengannya dahulu.
Ia selalu memandang Elena seperti orang asing yang tidak ia sukai. Setiap perilakunya terasa mengganggu. Mungkin karena pernikahan mereka dipaksa oleh keadaan, oleh tuntutan, membuat Dylan merasa muak setiap kali bicara dengannya.
Dylan mandi sambil berendam di bathtub. Nyaman sekali, sampai ia cukup lama di sana, betah berlama-lama.
Setelah mandi, ia memakai piyama dan kembali ke tempat tidur.
"Mas, lusa kamu bisa antar aku ke dokter kandungan gak? Dokter bilang kamu harus ikut sekali-kali nemenin aku biar tahu perkembangannya," Elena meminta. Lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Dylan tak pernah sekalipun mengindahkan permintaan itu.
"Ah, kamu kan biasa pergi sendiri. Ya sendiri aja seperti biasa. Lagian aku sibuk!" jawabnya sambil memainkan ponselnya.
"Sekali aja Mas, kandunganku kan udah masuk 4 bulan. Setiap diajak kamu nggak mau, alasan terus!" Elena memalingkan wajah kesal.
"Jangan mulai Elena! Aku malas berantem! Lagipula aku gak pernah menginginkan anak itu. Kalau kamu merasa dia menyusahkan, sebaiknya gugurkan saja! Aku gak peduli! Berhentilah menyusahkan aku!" bentak Dylan kasar sambil menunjuk wajah Elena tepat di hidungnya.
Wajah Elena seketika berubah. Dari cemberut kesal menjadi sedih. Bulir-bulir bening jatuh dari matanya.
"Baik Mas, maafkan aku yang selalu menyusahkan. Aku gak akan menyusahkan kamu lagi, aku janji. Maafkan aku karena aku memaksa kamu menikahi aku," ucapnya lirih sambil menangis.
Elena menarik selimut lalu tidur membelakangi Dylan. Masih terdengar isakannya yang pelan. Begitupun Dylan, tanpa rasa bersalah, langsung tidur setelah memarahinya.
"Bikin kesal aja!" batinnya.
*****
Keesokan paginya, Dylan bangun, mandi, lalu mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Elena di gantungan pintu lemari seperti biasa. Setelah sarapan, ia bergegas pergi ke kantor. Hari itu ada meeting penting, jadi Dylan harus cepat sampai.
Hari ini sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus Dylan selesaikan setelah meeting. Hingga siang, ia belum sempat makan, dan perutnya sudah mulai keroncongan.
"Kamu belum makan siang, Dylan?" tanya Sheryl menghampirinya di meja kerja.
"Belum, aku belum sempat, sibuk banget," jawab Dylan sambil memijat kepalanya yang terasa pusing karena tekanan pekerjaan.
"Gimana kalau kita makan siang bareng?" tawar Sheryl.
"Aku malas perginya, Sher. Bisa gak aku nitip?" Dylan memang sedang malas keluar kantor.
"Hmm, boleh. Mau beli apa?"
"Samain aja sama kamu deh. Aku gak pilih-pilih soal makanan, yang penting pedas."
"Ya sudah, aku beli dulu," jawab Sheryl sebelum melenggang pergi keluar.
Sejenak, Dylan menatap postur tubuh Sheryl yang bisa dibilang sangat indah. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih, hidung mancung, dan rambut pirang keemasan khas wanita barat. Sheryl memang blasteran—ibunya orang Indonesia, ayahnya Amerika—membuatnya tampak sempurna dari segala sisi.
Benar kata Veronica, Sheryl memang sangat sempurna!
Tak lama, Sheryl kembali dengan dua kantong plastik kecil berisi makanan. Ia menyodorkan salah satunya pada Dylan. Mereka menikmati makanan bersama di meja Dylan. Kebetulan, Sheryl memang asisten pribadinya, dan hubungan mereka cukup akrab, seperti teman. Apalagi ayah mereka adalah sahabat sejak muda—sudah seperti saudara sendiri.
Dylan menatap Sheryl lekat. Tetap cantik, bahkan saat sedang makan. Gumamnya dalam hati, lalu tersenyum.
Sheryl yang sadar dirinya sedang dipandangi, menoleh dan menggoda.
"Kenapa? Cantik?" godanya sambil tersenyum manja.
"Y-ya, ya... cantik. K-kan cewek!" jawab Dylan gelagapan.
"Kamu boleh pandangi aku sesukamu," jawab Sheryl dengan senyum manis yang membuat Dylan tambah salah tingkah.
Mungkin pipinya memerah seperti Chibi Maruko Chan—dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri.
Setelah makan siang, mereka kembali bekerja.
Jam kerja selesai. Dylan bersiap pulang, meski sebenarnya malas. Ia enggan bertemu Elena, takut pertengkaran kembali terjadi.
"Elena?" pikirnya tiba-tiba. Tadi pagi ia tak melihat istrinya. Apa Elena pergi ke luar? Tapi semua kebutuhannya sudah disiapkan seperti biasa. Aneh, biasanya Elena menunggunya hingga benar-benar berangkat.
Saat Dylan sedang memikirkan keberadaan Elena, sebuah tepukan ringan mendarat di pundaknya. Sheryl.
"Kamu belum pulang?" tanyanya.
"Belum. Kamu sendiri, kok belum pulang?" Dylan balik bertanya.
"Mobilku mogok. Masuk bengkel. Tadi ke kantor naik taksi online," jawab Sheryl. Dylan memang tidak melihat mobilnya hari itu.
"Boleh nebeng gak?" lanjutnya.
"Aku takut pulang sendirian malam-malam naik taksi," tambahnya dengan nada memohon.
"Hmmmm boleh, ayo!" Dylan tak tega membiarkannya pulang sendirian. Apalagi gadis secantik Sheryl sangat rawan jadi sasaran kejahatan.
Setelah Sheryl masuk ke dalam mobil dan Dylan mengizinkan, mereka pulang bersama.
Sepanjang perjalanan, Sheryl banyak bercerita. Mereka tertawa dan bercanda. Dylan merasa sangat nyaman bersamanya.
Sesampainya di rumah Sheryl, Dylan menghentikan mobilnya. Sheryl hendak keluar, lalu tiba-tiba mencium pipi Dylan dengan cepat.
"Thanks," ucapnya sambil tersenyum manis.
"O-o-oke!" Dylan melongo, tak percaya. Barusan dia dicium.
Apakah Dylan jatuh cinta padanya?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments