5 : Peluang Dalam Hubungan Antara Tuan Dan Pelayan.
Sekitar pukul 04:30 WIB Meera terbangun. Ia memilih untuk langsung mandi dan beribadah. Setelah selesai, dirinya menatap pada kamar samping — Ailin, Lika dan Risa masih tidur, yang sudah bangun Mah Lilin. Dan beliau jelas bersiap-siap untuk sarapan sepagi ini.
Sebagai bentuk tanda terima kasih, setiap pagi pun Meera selalu menyiapkan teh hangat tawar, lalu duduk bersama untuk menemani beliau makan.
Seperti sekarang …
“Kemarin gimana, Nduk?”
“Ya gitu, Mah.”
“Gitu gimana? Kebiasaan kamu ini kalau ditanyain.”
Meera menatap lurus pada area luar Villa dimana sekitar masih gelap dan diterangi oleh lampu. “Aku nggak nyangka aja bisa hemat dua kali lipat,” jawabnya.
“Hemat dua kali lipat itu gimana toh?”
“Kayaknya kemarin Mah Lilin nggak lihat, ya? Aku pulang ke rumah juga sama Tuan.” Meera menjeda. “Aku sebenarnya nggak ngerti. Itu kebetulan apa gimana? Soalnya kemarin mau hujan dan tiba-tiba ada mobil berhenti di depan aku. Akunya nggak mikir aneh-aneh, barangkali aja mobilnya mirip doang. Eh ternyata … Tuan Abhimana.”
“Terus kamu diajak pulang bareng?” ujar Mah Lilin dengan menyeduh teh perlahan.
“Iya. Mau nggak mau aku harus ikut. Soalnya — mau hujan.”
Mah Lilin terkekeh pelan. Ya ampun, apasih yang lucu? “Yaudah, Nduk. Lumayan juga, kan? Hemat ongkos pulang,” ujar beliau.
Meera kesal — bersedekap dada, dan enggan menatap Mah Lilin. “Mah Lilin mah sama aja. Pasti pikiran Mah Lilin nggak jauh-jauh kayak mereka.”
“Gini, Nduk. Peluang itu memang selalu ada, kan? Tapi kalau kamunya ndak minat, yasudah ndak akan bisa. Kecuali, kalau …”
Kalau apa? Meera menunggu ucapan Mah Lilin selanjutnya.
“ … Tuan maksa kamu. Itu beda lagi.” Mah Lilin membelah dua roti itu. Lalu kembali berkata, “Lebih baik kamu berhenti kerja, Nduk. Demi kebaikan kamu.”
Ya. Benar.
Berbicara tentang pemaksaan tentu sesuatu yang kriminal. Meera masih ingat dengan jelas, wanita itu — anak tidak sah dari Bapak Gautama, dipaksa untuk tetap tinggal. Bahkan … dipaksa untuk berpisah dari suami. Entah apa yang dipikirkan oleh keluarga besar ini?
Meski Meera meyakini bahwa tidak semua keluarga Adiwangsa buruk. Tetapi … siapa yang tidak takut? Meera jelas saja takut. Apa lagi, semalam ia begitu berani berkata seperti itu pada Tuan Abhimana. Apakah Tuan tidak tersinggung? Ya Allah … harapannya ya … semoga saja tidak.
“Tuan ndak ada maksa-maksa kamu, kan, Nduk?” imbuh Mah Lilin bertanya.
Meera menggeleng. “Nggak ada Mah aman. Kalau hal-hal kayak gitu kejadian. Orang pertama yang aku kasih tahu jelas Mah Lilin.”
Pukul 9 pagi Tuan Abhimana baru saja keluar dari kamar. Setelah menyediakan sarapan di ruangan Tuan. Meera langsung saja membersihkan area kamar. Tolong … jangan ketemu Tuan Abhi dulu. Please … aku harus beresin kamar, sampai selesai!
Okay, terakhir! Setelah mengepel ia akan langsung keluar. Namun belum sempat memulai saja, Tuan Abhimana tiba-tiba masuk. Dan Meera tidak punya pilihan selain berhenti juga menunduk.
Tuan Abhimana terlihat membuka lemari, laci dan berdiri di depan kaca besar. Lalu berjalan mendekati … dirinya. Ya Allah apa lagi ini?
“Hari ini saya flight ke Jakarta. Selama saya nggak di Villa. Kamu tetap harus menjalankan tugasmu.” Tuan Abhimana menjauh. “Kalau sampai — saya kembali. Dan menemukan sedikit debu di meja. Kamu jelas tahu apa yang bisa saya perbuat, kan, Meera?”
Meera patuh. “Baik, Tuan. Saya jelas tahu. Saya tidak akan melalaikan pekerjaan saya.”
📍Bandara Udara Abdul Rachman Saleh.
Gadis itu — jelas saja bingung dengan apa yang terjadi. Kedatangan Abhimana di depan Gedung Kesenian Malang di sore itu, bukan lah kebetulan. Kedatangannya sangat disengaja.
Ingin dikata mencari perhatian. Oh, tentu saja tidak! Siapa yang membutuhkan perhatian? Kedatangannya adalah sesuatu yang diharapkan. Meera jelas harus bersyukur!
Namun sial … dari mata itu sama sekali tidak nampak terpesona atau bahkan setidaknya berbinar. Mengapa selalu serius? Seolah takut akan sesuatu, terkadang-kadang? Ya … jika dipikir-pikir. Gadis muda mana yang tidak takut dimintanya membersihkan kamar pribadi, kan? Atau kecuali, Meera memang gadis yang seperti itu ...
Yang suka dan menormalisasikan hubungan … ah, menjijikan. Mengingat hubungan buruk — Abhimana jelas tidak pernah mau mengikuti jejak sang Ayah, atau juga sang Kakak. Apa-apaan Papa Tama itu? Mempunyai anak dari hasil hubungan memaksa anak seseorang? Dan juga, apa-apaan Kak Rajendra itu? Video syur dimana-mana hasil masuk sana-sini tanpa rasa bersalah, pun tidak dihukum.
Ah … bajingan. Muak sekali, rasanya.
“Silakan, Tuan.”
Sungguh bukan apa-apa. Abhimana memilih first class karena ingin saja. Jadi — yasudah. Apa yang dipermasalahkan?
Dan kedatangan Abhimana ke Jakarta untuk bertemu salah satu temannya. Bukan bertemu Nailah Syakilah itu. Sial, sial, sial. Dirinya saja baru tahu diberitakan. Nailah? Wanita itu — jelas terbahak-bahak dijodoh-jodohkan dengannya. Sebab apa yang menjadi pemicu? Hanya karena endorsement yang dilakukan untuk Lazuardi Hotel, tiba-tiba ada berita?
Gila!
Durasi 1 jam 40 menit telah berlalu. Abhimana dijemput oleh pihak Lazuardi Hotel.
Andai saja Linggar tidak memilih menetap di Norwegia, mungkin Papa Tama sudah mengangkat Linggar menjadi Chief Executive Officer (CEO) Tetapi apa yang bisa dilakukan? Mungkin … Linggar memilih meninggalkan Indonesia demi bertahan hidup juga. Sebab pria mana yang baik-baik saja setelah ditinggal selamanya oleh kekasih tercinta? Terlebih-lebih, Shanum telah memberi Linggar seorang anak.
“Tuan ingin langsung ke Hotel?”
Abhimana menjawab, “Ke Damai Indah PIK Golf Course, Pak.”
“Baik, Tuan.”
📍Villa Catra Paraduta, Batu.
Bebas.
Tidak ada yang memintanya untuk tiba-tiba memasak, tiba-tiba membersihkan kamar, dan apa saja yang tiba-tiba, tidak akan ada sementara waktu.
Jadi … ia akan bebas. Dibandingkan mendekam untuk membersihkan ruang pribadi Tuan terus-menerus. Meera memilih bertingkah sewajarnya dulu. Dimana setiap hari, ia menggelilingi Villa, mulai dari kebun bunga dan perkebunan — yang di kelola oleh Pak Said dan Pak Lin.
“Cah Ayu.”
“Dalem?”
“Jangan deket-deket sama Tuan.”
Kening Meera mengerut. “Maksudnya, Pak? Aku nggak merasa dekat. Lagi pula sejak kapan babu dibolehin berdekatan sama Tuannya?”
“Ndak. Bukan gitu maksud Bapak, Cah Ayu.”
Meera menatap. “Terus maksud Bapak gimana? Aku agak nggak ngerti."
Jambu air yang telah dicuci bersih oleh Pak Said, diberikan pada Meera. “Bapak rasa yo … semua pekerja disini. Termasuk Miss Ferdina — salah paham loh Cah Ayu, tentang kamu sama Tuan.”
“Sa-lah paham?” Ya ampun. Apa karena Miss Ferdina juga tahu jika ia pulang pergi dengan Tuan Abhimana kemarin? “Pak tapi aku nggak ada hubungan yang semacam itu sama Tuan. Lagi pula aku denger-denger Tuan sudah punya pacar.”
“Wong lanang wedok siji ndak akan cukup, (laki-laki perempuan satu nggak akan cukup)” sahut Pak Lin — yang sebenarnya bukanlah orang jawa pure tapi sangat khas logatnya.
Beliau ada benarnya, sih.
“Pak, tapi sampean juga laki-laki loh,” sahut Meera dengan senyum jahil.
Pak Lin tertawa. “Walah Bapak sama Pak Said beda. Setia kita ini Nduk! Yo toh, Pak?”
“Tapi Cah Ayu … dengerin Bapak loh.” Pak Said menjeda. “Pokoknya kamu jangan deket-deket. Mau Tuan punya pacar ataupun ndak, wes kamu tetap biasa aja sama Tuan. Ngerti kamu?”
Jadi benar ya … orang-orang disini mikir … aku punya hubungan sama Tuan?
...[TBC]...
1114 kata, Kak. Jangan lupa tekan like, sub dan komentar juga boleh. 🤏🏻😭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
KurniaWulanSailah
Beda....setia ...😹
2025-05-11
0
Yuyun ImroatulWahdah
tuh ati2 meer🤭
2025-03-20
1