Memberi waktu tiga hari

Clara menatap layar ponselnya dengan bingung. Pesan singkat yang baru saja masuk membuat keningnya berkerut tajam.

“Clara, siapa itu?” tanya Vanya penasaran, memperhatikan ekspresi sahabatnya yang tampak gelisah.

“Aku… nggak tahu,” jawab Clara, mengangkat bahu. Tapi matanya tetap terpaku pada layar. Belum sempat berpikir panjang, ponsel itu kembali berdering.

Dengan ragu, Clara menggeser ikon hijau. Suara berat dan dingin langsung terdengar dari seberang.

“Waktumu tinggal empat menit lima belas detik.”

Klik. Panggilan langsung terputus.

“Hei! Kau ini siapa?!” teriak Clara, tapi sia-sia. Hanya nada sambung yang menjawab.

“Ada apa, Clara? Siapa yang nelpon?” tanya Vanya lagi, semakin curiga.

“Aku pergi dulu,” ucap Clara cepat, menghindari pertanyaan lebih lanjut. Ia segera berlari ke arah parkiran, napasnya tak beraturan.

Di parkiran, sekelompok mahasiswi sedang berkumpul. Mereka saling berbisik, memandangi seorang pria dewasa yang baru turun dari mobil sport hitam mengilap. Kacamatanya gelap, posturnya tegap, auranya dingin dan dominan.

“Gila… ganteng banget. Aku rela deh jadi sugar baby-nya,” celetuk salah satu mahasiswi, disambut tawa dan gumaman iri.

Clara ikut melirik. Saat pandangannya bertemu dengan pria itu, tubuhnya langsung menegang.

“Astaga… orang itu…”

Belum sempat kabur, pria itu—Arsen—sudah berdiri di hadapannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik kerah kemeja Clara.

“Mau ke mana? Ikut aku.”

“Tu-tuan, ampun… saya akan ganti nanti! Sekarang saya benar-benar nggak punya uang,” ujar Clara panik, mencoba berontak. Tapi Arsen tetap mendorong tubuhnya masuk ke dalam mobil dan menutup pintu keras-keras.

Brak!

Jantung Clara berdetak hebat. Ia memegangi dadanya, wajahnya memucat. Arsen membuka kacamata hitamnya, menatapnya tajam.

“Tu… tuan…” gumam Clara pelan.

Arsen diam. Ia mengeluarkan secarik nota dan melemparkannya ke pangkuan Clara.

“Ini… apa?” tanya Clara bingung, membuka lembaran kertas itu.

“Buta huruf?” sindir Arsen tajam.

Clara tertegun. Angka yang tertera di sana membuat tengkuknya dingin. Hampir lima puluh juta. Bagaimana bisa?

“Ini biaya ganti rugi kemarin. Kau pikir aku main-main?”

“Tu-tuan… saya hanya mahasiswi biasa. Dari mana saya dapat uang sebanyak itu?” Clara memohon, hampir menangis.

Arsen tersenyum miring. “Clara Wijaksono. Putri Anton Wijaksono. Jangan pura-pura miskin, aku tahu segalanya.”

Clara membeku. Darimana pria ini tahu latar belakang keluarganya?

“Kalau tidak bisa bayar… mungkin ada cara lain,” lanjut Arsen, mengangkat alis.

Clara menggigit bibir. Ucapan Vanya tadi soal sugar baby melintas cepat di kepalanya. Dengan ragu, ia bersuara.

“B-bagaimana kalau… saya bayar hutangnya dengan… jadi sugar baby Anda?”

Arsen diam. Ia menatap Clara dari atas ke bawah. Wajah polos tanpa makeup, kemeja kebesaran, jeans lusuh. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada wajah yang membuat hatinya bergetar. Gadis ini terlalu mirip seseorang dari masa lalu—dan itu alasan ia mencarinya.

“Sugar baby?” Arsen mencibir.

“Emm… saya cuma perlu menemani Anda makan, jalan-jalan…”

Arsen mendekat. Napasnya terasa di wajah Clara yang mundur panik.

“Selain itu… kau juga harus menemaniku tidur. Siap?”

Mata Clara membelalak. Tidak! Vanya tidak pernah bilang soal ini!

“Saya tidak mau!” teriak Clara panik. Ia mendorong Arsen dan berusaha membuka pintu, tapi terkunci rapat.

“Tuan! Tolong buka pintunya! Saya tarik kata-kata saya. Saya tidak mau jadi sugar baby! Apalagi tidur dengan Anda!”

Arsen tak bergerak, hanya memperhatikannya seperti kucing melihat mangsa.

“Pilihannya di tanganmu. Jadi sugar baby-ku selama tiga bulan, hutangmu lunas, dan kau akan kuberi uang tiap hari. Tapi jika menolak… besok aku ke sini lagi. Bawa lima puluh juta, tunai.”

Klek.

Pintu mobil terbuka. Clara segera berlari keluar, tak berani menoleh sedikit pun.

“Dasar bocah ingusan. Gaya sok polos, tapi nawarin diri jadi sugar baby,” gumam Arsen, mencibir.

Clara belum sempat menarik napas lega, saat suara tawa sinis menyambutnya. Beberapa mahasiswi langsung mengejeknya.

“Pura-pura alim, ternyata simpanan,” ujar Bella, berdiri di antara kerumunan, sengaja menunggu Clara keluar.

Clara ingin lenyap dari muka bumi. Wajahnya terbakar malu.

“Clara!” seru Vanya yang berlari menghampiri dan menarik tangannya cepat menuju kelas.

“Kau nggak apa-apa?” tanyanya khawatir. Telapak tangan Clara dingin, wajahnya pucat.

“Aku… nggak apa-apa,” jawab Clara lemah, duduk di kursinya.

Belum sempat mengatur napas, ponselnya kembali berbunyi. Sebuah pesan masuk:

"AKU MEMBERIMU WAKTU TIGA HARI."

Keringat dingin langsung mengalir dari pelipisnya.

“Matilah aku…”

Terpopuler

Comments

partini

partini

Arsen mafia bukan sih masa sekelas mafia ga tau Clara kehidupan nya seperti apa ,,kurang gercep mah si Arsen

2025-03-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!