His Gifts

Malam itu sunyi.

Beberapa orang di jalanan metropolitan berjalan dengan tenang, tanpa keributan tanpa terburu-buru. Aktivitas tetap ada, tetap ramai, tapi orang-orang seakan sudah terlalu capek untuk memulai masalah baru.

Apa yang kulakukan di sini?

Aku di depan gerbang gedung Praba Grup.

Merindukannya.

Merindukan semua yang telah kita lalui bersama.

Merindukan semua kejadian pelik dan senang.

Merindukan semua pencapaianku.

Kini aku penasaran, apakah yang kulakukan selama ini bermanfaat bagi sebagian kecil orang?

Ataukah hanya membawa persoalan menyebalkan yang sebenarnya tidak bisa diterima orang.

Aku tahu dia tidak ada di dalam sana, dia sudah pulang tadi bersama kekasihnya.

Tak kusangka keberadaan bangunan besar ini adalah awal mula perpisahan kami.

Aku tahu kami harus berpisah, agar dia bahagia. Aku hanya membawa kesialan baginya.

Tapi aku harus pastikan dia memaafkan perbuatanku, karena menjadikannya tidak memiliki orang tua. Walau pun aku tak akan minta maaf telah ‘menculiknya’ karena tujuanku adalah menyelamatkannya dari busuknya dunia di sekitarnya.

Saat sedang termenung itu, aku mendengar keributan dari arah parkiran gedung.

Artemis... dan Lily.

Pria itu menarik tangan Lily.

Mereka berdebat.

Lily menampar pipi Artemis.

Artemis pun kembali menarik tangannya.

Dan mencium pacarku.

Aku melihat semuanya, tapi tidak ada rasa cemburu dalam hatiku. Hanya ada rasa khawatir.

Khawatir kalau Lily pergi dariku, aku akan diserang Artemis.

Kini aku malah melihat mereka bersama.

Aku tahu kalau Lily adalah mantan Artemis, dari sekian banyak cewek-cewek lain, tentunya.

Tapi yang kutahu, pria itu tidak menjalin hubungan serius setelah wanita yang ia beri perhatian meninggal karena sakit. Gosip sering terjadi di kantor, termasuk kantor yang ini.

Dan karena aku menyadap komputer Lily, sekaligus dengan grup chatnya dan semua akses media sosialnya, aku tahu seperti apa orang yang akan kuhadapi. Aku tahu dari gosip di WA Chat, dan di telegram Lily.

Artemis ini pernah terlihat begitu perhatian ke seorang wanita. Bukan dari kalangan pebisnis, namun adalah sahabat dari istri Big Boss. Setelah itu, ia sepertinya patah hati karena si wanita ni meninggal, sejak itu pacarnya gonta-ganti.

Lily adalah salah satunya.

Dan Artemis kembali mendekati Lily mungkin karena ia ingin Lily berpindah hati dariku, sehingga mereka bisa leluasa menyerangku.

Yang mana pun, aku merasa tak ada ruginya untuk sekarang.

Aku sudah mengutarakan ‘value’ yang kumiliki. Dan menurutku, mereka tak akan menyerangku dalam waktu dekat. Kejahatanku terhadap mereka remeh nilainya jika dibandingkan dengan kejahatan yang kulakukan terhadap Hani.

Hatiku lebih lega kini.

Aku tak ingin memperburuk suasana dan membuat tubuhku lelah, karena akan mempersiapkan diri untuk menghadapi Devon.

Selain itu ada hal yang mengganggu pikiranku.

Keluarga Hana Sasaki.

Keluarga dari pihak ibu Hani.

Devon sudah mengantongi info mengenai mereka.

Dan terus terang saja, aku ingin bertemu mereka.

Aku ingin menceritakan hal yang sebenarnya terjadi dengan putri mereka. Katanya Hana Sasaki punya adik? Aku juga ingin bertemu.

“...Le...” sebuah suara memanggilku.

Aku kaget.

Dan langsung menoleh dengan cepat ke arah samping.

Baron.

Astaga, kapan laki-laki datang? Kok aku tak mengendus keberadaannya?!

“Kok “le” sih? Gue bukan orang Jawa.” Desisku agak merasa aneh.

“Terus apa? Hai Ze? Atau Xiao peng you? Memang lo chinese?” balasnya padaku sambil terkekeh menggoda. “Atau gue panggil aja Bao Bei?”

“Bao Bei?! Berasa lo nyokap gue!” seruku langsung merinding. Dipanggil Bao Bei oleh pria penuh tato setinggi 190 senti kayaknya nggak banget pun dia itu bapakku, berasa dipanggil pedofil dengan teguran penuh kasih sayang dan merayu.

Hih...!

“Kan enakan “Le”, karena sekarang gue memosisikan diri sebagai ‘pembimbing’ lo.” Baron menyeringai padaku.

Aku membelalak menatapnya.

Malam ini semakin terasa aneh, dengan pria sangar ini bersikap ramah padaku.

Sementara di depan sana, Pacarku masih ciuman sama cowok lain.

“Terakhir gue punya Pembimbing itu waktu gue kuliah, itu pun gue cium dulu dia biar gue cepet lulus.” Kataku sambilmengernyit.

“Kalo mau cium, bisa diwakilkan Devon aja lah, gue kebagian ‘ngasuh’ aje. Kheheheh.”

“Nggak lucu Bos,” dengusku sebal. Devon lagi Devon lagi... Lagipula saat itu dosen pembimbingku ya wanita muda, Dosen Muda dengan gaya Glamornya.

“Jadi, kenapa lo bengong di sini? Gue yakin bukan gara-gara Lily, sih. Kayaknya lo nggak begitu perhatian ke Lily.” Kata Baron padaku.

Sepertinya malam ini aku tak perlu was-was akan dijotos algojo.

“Yah...” aku pun menarik nafas panjang. “Gue terbiasa dengan hidup yang berantakan. Sejak kecil. Bisa jadi sejak Bayi tapi kan gue nggak inget. Waktu kecil gue terbiasa ngeliat nyokap nangis karena bokap. Gue juga  terbiasa ngeliat cewek-cewek dateng berbuat anarkis nyariin bokap... terus terang aja, gue rasanya malas kalo berhadapan dengan dramanya cewek.” Kataku sambil mengernyit melihat kini Artemis memeluk Lily sambil mengecup keningnya.

“Bukan Dramanya cewek, lo aja yang sial melulu.” Aku mendengar Baron bergumam begini, aku pun setuju dengan kalimatnya ini.

“Yah, gitu deh. Jadi Lily mau kemana aja, sekarang nggak masalah buat gue. Tapi konflik gue dengan ‘wanita’ sepertinya akan berlanjut.” Feelingku mengatakan demikian.

“Yap.” Kata Baron.

Jawaban singkat dan padat ya.

Laki-laki ini mengiyakan kalau aku akan segera memiliki masalah lagi dengan wanita.

“Lalu...” aku pun menunduk menarik nafas panjang, “Keluarganya Hana Sasaki... siapa saja mereka?”

“Aaaah,” jawaban cepat Baron yang ini semakin membuatku was-was. Baron pun tampaknya sudah tahu kalau aku akan segera mendapatkan kesulitan hidup lain.

“Gimana?” aku berharap pria ini mau memberitahukan padaku, siapa saja yang akan kuhadapi, sesulit apa dan apa yang akan terjadi kalau aku meminta maaf kepada mereka.

“Jadi... ini nomor telepon Devon, dan tolong ya Axel, beli hape baru. Gue janji, untuk sementara sampai lo kasih tau info tentang bini gue, lo bakalan tetap hidup sehat.”

“Jadi gue harus beli hape baru biar gue bisa telponan sama Devon, gitu?! Buat apaaaaa?!’ seruku kesal.

“Kekekekekek,” Baron malah ngikik geli. Dia pikir tingkahku yang lagi nggak stabil ini lucu kali ya. “Ya kan siapa tahu lo kangen sama Devon.” Dia masih saja bercanda.

“Kalo sama Hani ya masih mungkin gue kangen! Siapa yang bakalan kangen sama-“

Yah, aku kena tulah.

Setelah semalaman aku bersikeras nggak bakalan beli hape baru, pagi ini Devon memasuki Cafe De Monsieur sambil meletakkan Tas kertas dengan logo ponsel terkenal buatan Korea dari toko ponsel,di atas konter, saat aku sedang meracik Caffe Latte.

Lily nggak pulang semalaman karena dia digeret Artemis masuk mobil, aku tidur sendiri gulang-guling nggak jelas dan akhirnya memutuskan untuk membersihkan apartemen Lily, dan pagi ini... ada bajingan yang meletakkan tas hape di atas konter cafe.

Ini Hari Sabtu.

Yang mana seharusnya kantornya libur

Dan shiftku saat ini 8 jam, aku ingin ambil lembur untuk merayu Bosku karena bisa jadi setelah duel dengan Devon aku akan tak masuk beberapa hari, bisa jadi lama.

Ngapain dia jam 7 pagi udah ada di dalam Cafe?!

“Hay Sayang! Makin ganteng aja kamu pagi-pagi.” Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, sambil menopang dagunya dengan tangannya.

“Bisa dibantu, Pak Devon?” aku tetap tersenyum ramah, tapi nada suaraku kubunyikan sedemikian rupa sehingga terkesan kalau ‘Gue Males Banget Ketemu Lo!’. Begitu.

“Hari ini kamu sengang jam berapa? Saya mau ajak kencan.” Katanya.

Kurasakan, suasana cafe langsung sepi.

Sialan ni orang.

Bisa-bisanya dia menebar skandal...

“Maaf, hari ini jadwal saya padat. Atau kalau Pak Devon demen ngeliatin saya, duduk saja di sana karena saya full day tugas di depan konter.” Aku menunjuk sofa yang berada di depan konter.

“Baron bilang, kamu nggak punya hape. Nih saya kasih kamu. Biar kita ngobrolnya bisa lebih mesra. Atau kalau Hani lagi ingin bicara sama kamu, tentunya dengan pengawasan saya karena dia masih kecil jadi ‘Parental Advisory’, ya.  Nggak usah diganti, saya udah tahu kamu nggak punya duit. Anggap aja ini...” Devon memicingkan mata sambil memiringkan kepalanya. Ia menatapku.

Aku merasakan firasat buruk.

Keberadaan di sini jelas-jelas menggangguku.

Aku tidak merasakan adanya ancaman... tapi ini sesuatu yang lain.

Yang aku belum bisa tebak.

Yang jelas, hatiku langsung  galau tak jelas.

“Anggap aja ini hantaran.” Katanya.

Aku langsung merasakan langit di atasku seakan runtuh.

Lututku langsung lemas

“Han... hantaran?!”

“Ya. Seserahan? Sejenis itu.” Kata Devon.

“Seserahan?!” nada suaraku makin tinggi.

Ditambah, aku reflek gebrak konter saji.

Devon menarik nafas panjang, “Siang ini, dua jam lagi, Saya dan Hani akan menikah di KUA setempat.”

Sial...

Lagi-lagi aku kecolongan.

Terpopuler

Comments

Lempongsari Samsung

Lempongsari Samsung

devon sama jackson tu kek tom 'n jerry...
ribut mulu... tapi sama2 sayang hany...
bukan hantaran kali von tapi panglangkah kalo adik nikah duluan mesti ngasih sesuatu sebagai panglangkah ke kakaknya karena diduluin gitu
makasih up nya madam ❤❤❤

2025-03-10

3

𝕭𝖚𝖊 𝕭𝖎𝖒𝖆 💱

𝕭𝖚𝖊 𝕭𝖎𝖒𝖆 💱

udah ah Xel ... ikhlasin aja Hani ... toh ada yg bamtu jagain dia nantinya... ntar kamu keteteran jagain sendirian si Hani

2025-03-10

1

Ummi Yatusholiha

Ummi Yatusholiha

ya ampyun devooonnn,bisa ae ksh hantaran ke axel 🤭🤭
btw, lily udah balikan sama bang temmy kah..

2025-03-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!