"Mas, bangun! Aku minta uang buat belanja sayur!" Karina membangunkan suaminya dengan suara yang keras dan mendesak.
Rudi membuka matanya dengan enggan dan memandang Karina dengan mata yang masih mengantuk. "CK... Apa-apaan sih Karin, pagi-pagi duit terus yang diminta," katanya dengan nada yang tidak sabar.
Karina memandang Rudi dengan mata yang tajam dan berani. "Kalau nggak minta kamu, minta siapa lagi? Ibu? Mana mungkin ibu mau ngasih duit," katanya dengan nada yang sedikit sarkas. "Yasudah kalau memang kamu nggak mau kasih uang, gampang. Aku nggak masak hari ini."
Mendengar ancaman istrinya, Rudi langsung mengambil uang dari dompetnya dan menyerahkannya kepada Karina. Ia tidak ingin berdebat lebih lanjut dengan Karina, karena ia tahu bahwa istrinya bisa menjadi sangat keras kepala jika sudah marah.
Rudi menyodorkan uang sejumlah 30 ribu rupiah kepada Karina dengan nada yang tidak sabar. "Nih," katanya dengan singkat.
Karina melototkan matanya dengan kesal, memandang uang yang disodorkan oleh Rudi. "Yang benar saja mas, 30 ribu dapat apa?" tanyanya dengan nada yang tinggi dan kesal. "Yang ada diprotes ibu dan adik-adikmu nanti."
Rudi menggelengkan kepala dengan lemah, tidak mau berdebat lebih lanjut. "Sudahlah, yang penting masak. Tanggal segini, nggak ada uang lagi," katanya dengan nada yang pasrah.
Karina pun kesal, menghentakkan kakinya dengan keras lalu pergi keluar kamar dengan langkah yang cepat dan marah. Ia merasa bahwa Rudi tidak memahami kebutuhan keluarga mereka dan tidak mau berusaha untuk mencari solusi. "Percuma meskipun ngemis sama suaminya juga nggak bakalan keluar uang," gumamnya dengan kesal, sambil meninggalkan Rudi.
Sebenarnya, Karina merasa serba salah. Setiap kali suaminya memberinya uang yang pas-pasan, ia hanya bisa memasak dengan ala kadarnya. Namun, penghuni rumah selalu protes karena merasa bahwa makanan yang disajikan tidak cukup lezat atau variatif. Karina merasa pusing dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Ah, entahlah," gumamnya dengan kesal. "Biarkan saja diprotes, toh memang uang untuk membeli sayuran cuma 30 ribu."
Dengan perasaan yang tidak enak, Karina segera pergi ke tukang sayur langganan. Sesampainya di sana, ia melihat bahwa tempat itu sudah ramai oleh ibu-ibu lainnya yang juga belanja. Suara-suara yang ramai dan aroma sayuran yang segar membuat Karina merasa sedikit lebih baik, meskipun masih ada perasaan kesal di hatinya.
"Pagi ibu-ibu," sapa Karina dengan senyum yang ramah.
"Pagi mbak Karin," jawab ibu-ibu lainnya dengan senyum yang sama ramahnya.
Karina memilih-milih sayuran, tapi bingung mau beli apa. Uang 30 ribu yang ia miliki harus cukup untuk memasak lauk buat seharian. Ia memandang sayuran yang tersedia dengan mata yang teliti, berusaha untuk memilih yang paling baik dan murah.
Tiba-tiba, Bu Rita, salah satu ibu-ibu yang berbelanja di sana, memanggil Karina dengan suara yang penasaran. "Eh, mbak Karin, kemarin sore ada mas-mas ganteng sama ibu-ibu, nyariin mbak Karina. Memangnya mereka siapa nya mbak Karin?" tanyanya dengan nada yang ingin tahu.
Karina berpikir sejenak, mencoba untuk mengingat siapa yang dimaksud oleh Bu Rita. Ia berpikir bahwa yang dimaksud oleh Bu Rita adalah Oma dan papanya Aldo, yang kemarin sore datang ke rumahnya. Namun, Karina bingung juga harus menjelaskan seperti apa, karena situasi yang terjadi kemarin sore cukup rumit dan tidak mudah untuk dijelaskan.
"Eh, itu teman saya Bu, jemput anaknya yang kebetulan sedang dititipkan kepada saya," jelas Karina dengan senyum yang ramah.
Bu Rita mengangkat alisnya dengan penasaran. "Duh, mbak Karin ini mau-mau nya dititipin anak orang lain," katanya dengan nada yang sedikit heran.
Karina tersenyum dan menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa kok Bu," katanya dengan santai.
Bu Rita melanjutkan pertanyaannya dengan nada yang sedikit penasaran. "Memangnya mbak Karina tidak punya kesibukan apa, kok sampai mau disuruh jagain anak orang. Oh iya, lupa, kan mbak Karina itu nggak punya anak ya," katanya dengan nada yang sedikit menyindir.
Bu Dea, yang berdiri di sebelah Karina, langsung memotong perkataan Bu Rita dengan nada yang tegas. "Hussttt... Bu Rita itu kok ngomongnya gitu sih. Mbak Karina itu bukan nggak punya anak! Tapi belum dikasih kepercayaan saja," sahutnya dengan nada yang sedikit membela Karina.
Mendengar ucapan Bu Rita, Karina menjadi tidak nyaman dan merasa tersinggung. Ia buru-buru memilih sayur apa saja dan membayar belanjaannya, lalu pergi dari sana dengan langkah yang cepat.
Bu Dea memandang Karina yang pergi dengan rasa kasihan. "Bu Rita itu kalau ngomong mbok ya disaring. Kasihan mbak Karin," ucapnya dengan nada yang lembut.
Bu Ratih, yang berdiri di sebelah Bu Dea, mengangguk setuju. "Iya betul apa kata Bu Dea. Kasihan mbak Karina, pasti kepikiran dengan ucapan Bu Rita tadi," sahutnya dengan nada yang simpatik.
Bu Rita, yang merasa disalahkan, langsung membela diri. "Duh ibu-ibu ini, kan yang aku katakan tadi kenyataannya. Aku nggak fitnah mbak Karin kan. Terus salahnya dimana ibu-ibu," katanya dengan nada yang defensif.
Bu Dea dan Bu Ratih saling memandang dan menggelengkan kepala. Mereka tahu bahwa Bu Rita tidak mau mengalah meskipun salah. "Ah, sudahlah kalau bicara dengan Bu Rita mah tidak ada habisnya. Tidak mau mengalah meskipun salah," gumam Bu Dea dengan nada yang pasrah.
****
Karina dengan cekatan mengolah tempe menjadi orek tempe yang lezat dan harum. Sedangkan telurnya, ia masak menjadi balado telur ceplok yang pedas dan menggugah selera. Meskipun masakan hari ini hanya terdiri dari dua menu saja, namun Karina merasa bersyukur karena dengan uang 30 ribu, ia bisa menyajikan makanan yang lezat dan bergizi untuk keluarganya.
Sekarang, semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Bu Marni, ibu mertua Karina, memandang menu sarapan yang disajikan dengan mata yang penasaran. "Cuma dua macam lauk saja hari ini?" tanyanya dengan nada yang sedikit kecewa.
Karina tersenyum dan menjelaskan situasi yang sebenarnya. "Memang maunya ibu berapa macam lauk?" tanyanya dengan nada yang santai.
Bu Marni menggelengkan kepala. "Biasanya juga 3 macam. Itu pun pasti ada ayam juga. Kamu kemana kan uang dari Rudi?" tanyanya dengan nada yang sedikit curiga.
"Mas, tadi kamu ngasih uang belanja berapa?" tanya karina.
"Eh, anu cuma 30 ribu," jawab Rudi dengan nada yang pelan dan tidak berani.
Suasana di meja makan menjadi sedikit tegang setelah Rudi mengakui bahwa ia hanya memberikan uang 30 ribu untuk belanja sayur. Bu Marni memandang Rudi dengan mata yang kecewa.
Karina tersenyum tipis dengan nada yang sedikit sarkas. "Tuh Bu, dengerin! Anak ibu cuma kasih 30 ribu. Memang ibu berharap lauk apa dengan uang segitu?" tanyanya dengan nada yang sedikit menantang.
Bu Marni memandang Karina dengan mata yang sedikit terkejut, namun Karina tidak berhenti di situ. "Apa-apa sekarang serba mahal Bu. Bersyukur Bu, dengan 30 ribu bisa makan dengan enak. Itupun karena aku yang pandai masak," katanya dengan nada yang sedikit bangga.
Rudi, yang duduk di sebelah Karina, terlihat tidak nyaman dengan ucapan istrinya. Namun, Karina tidak peduli dan melanjutkan ucapanannya. "Coba kalau mas Rudi nggak nikah sama aku, belum tentu istrinya bisa masak enak dengan uang 30 ribu. Iya kan mas?"
Rudi terbatuk-batuk mendengar ucapan istrinya. "Kamu kenapa mas? Sudah, jangan kaget seperti itu. Mending sekarang kita makan saja deh! Kalau nggak suka sama masakanku, bisa masak sendiri atau beli sendiri!" kata Karina dengan nada yang menantang.
Suasana di meja makan menjadi sedikit tegang setelah Karina mengucapkan kata-kata yang sedikit menantang. Rudi terlihat tidak nyaman, sementara Bu Marni memandang Karina dengan mata yang sedikit terkejut.
Bu Marni pun terdiam, kali ini dirinya kalah telak dengan ucapan menantunya yang tajam dan menantang. Ia memandang Karina dengan mata yang sedikit terkejut, namun tidak dapat menemukan kata-kata untuk membalas ucapan menantunya.
Sedangkan si kembar, memilih diam saja dari pada kena sasaran kakak iparnya. Mereka berdua lebih memilih untuk menikmati sarapan mereka dengan diam, daripada terlibat dalam percakapan yang sedang tegang.
****
"Sayang, makan siang bareng yuk!" ajak Lisa dengan senyum yang manis.
Rudi menggelengkan kepala dengan lemah. "Maaf Lis, aku nggak bisa," katanya dengan nada yang sedikit berat.
"Kenapa?" tanya Lisa dengan penasaran.
Rudi menghela napas berat dan memandang Lisa dengan mata yang sedikit lesu. "Lagi bokek," katanya dengan nada yang sedikit malu.
Lisa memanyunkan bibirnya dengan sedikit kesal. "Gajian masih seminggu lagi, masa udah nggak ada duit sih," katanya dengan nada yang sedikit tidak percaya.
Rudi menggelengkan kepala dan memandang Lisa dengan mata yang sedikit putus asa. "Ya mau bagaimana lagi. Tiap hari buat traktir kamu makan siang. Belum lagi kalau kamu minta tas lah, sepatu lah, baju lah," katanya dengan nada yang sedikit kesal.
Lisa memandang Rudi dengan mata yang sedikit marah. "Owh, jadi sekarang kamu itung-itungan sama aku? Yasudah kalau begitu kembalikan kepuasan yang sudah aku berikan sama kamu!" katanya dengan nada yang sedikit keras dan menantang.
Hubungan antara Rudi dan Lisa memang sudah lebih dari sekedar berpacaran. Dibelakang Karina, istri Rudi, ia sudah tidur bersama Lisa. Tentu saja, hampir semua karyawan ditempat Rudi bekerja, mengetahui hubungan antara Rudi dan Lisa, yang sudah menjadi rahasia umum di kantor.
Rudi memandang Lisa dengan mata yang sedikit kesal. "Kamu itu selalu begitu kalau ngambek. Sukanya mengungkit sesuatu yang sudah terjadi. Padahal kamu sendiri yang menggodaku," katanya dengan nada yang sedikit keras.
Lisa memandang Rudi dengan mata yang sedikit marah, namun kemudian ia menggelengkan kepala dan berpaling untuk pergi. "Ah ya sudahlah.." katanya dengan nada yang sedikit putus asa.
Lisa pun pergi meninggalkan Rudi begitu saja, tanpa menoleh kembali. Setelah Lisa pergi, Firman, rekan kerja Rudi, pun datang menghampiri Rudi dengan wajah yang sedikit penasaran.
"Sampai kapan?" tanya Firman.
Rudi menoleh ke arah Firman dengan mata yang sedikit tidak sabar. "Maksudnya apa?" tanyanya dengan nada yang sedikit keras.
Firman memandang Rudi dengan mata yang sedikit serius. "Sampai kapan kamu akan berselingkuh dengan Lisa? Kasihan istrimu dirumah. Kalau sampai Lisa hamil bagaimana coba?" tanyanya dengan nada yang sedikit khawatir.
Rudi tersenyum dengan nada yang sedikit sinis. "Ya bagus dong, itu artinya aku mau punya anak. Kamu tau sendiri kan, Karina sampai saat ini belum hamil juga. Aku berpikir, kalau Karina itu m4ndul deh," katanya dengan nada yang sedikit meremehkan.
Firman memukul lengan Rudi dengan keras. "Kamu ngomong apa sih? Darimana kamu tau kalau Karina m4ndul? Memang kalian sudah sama-sama periksa?" tanyanya dengan nada yang sedikit marah.
Rudi menggelengkan kepala dengan lemah. "Buktinya sampai saat ini Karina belum hamil juga."
Firman mengeluarkan kata-kata yang bijak dan penuh makna. "Belum tentu Karina belum hamil karena m4ndul. Bisa jadi bukan Karina kan yang m4ndul," katanya dengan nada yang santai namun penuh arti.
Rudi terlihat terkejut dengan ucapan Firman. "Maksudnya, aku gitu yang mandul?" tanyanya dengan nada yang tidak percaya.
Firman mengangguk dengan lembut. "Laki-laki itu juga bisa punya masalah tentang kesuburan, Rud. Bisa saja kan, yang tidak subur itu kamu. Makanya, untuk kepastiannya, kalian harus melakukan tes kesuburan di rumah sakit," katanya dengan nada yang serius dan penuh kepedulian.
Namun, Rudi tidak menerima nasihat Firman dengan baik. "Ah, buang-buang duit saja. Sudah sana, kamu pergi! Malah ceramah didepanku," katanya dengan nada yang marah.
Firman memandang Rudi dengan mata yang kecewa, namun ia tidak membalas ucapan Rudi. Ia tahu bahwa menasihati Rudi tidak akan ada gunanya, tapi ia tetap melakukan itu karena ia peduli dengan kehidupan Rudi dan Karina. Dengan menghela napas berat, Firman akhirnya pergi meninggalkan Rudi yang masih terlihat marah.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments