Selamat membaca
“Kerjakan dengan baik jangan sampai ada kesalahan sekalipun!”perintah Babeh padanya.
Ia menganggukkan kepala sebagai jawaban. Dan menerima kertas yang diberikan Babeh padanya. Setelah Babeh keluar dari kamar, ia pun melangkah menuju balkon kamarnya dan menatap halaman tetangganya.
Ia melihat setiap orang yang ada disana sedang bahagia dalam melepas kepenatan sehari-harinya. Mereka mengobrol banyak hal dan bercanda ria dengan wajah yang senang, menggambarkan bahwa keadaan mereka hari ini begitu menyenangkan.
Setiap sosok yang ada di sana ia pandangi dengan raut wajah bahagia, seakan memancarkan keceriaan. Mulai dari orang dewasa, remaja seumurannya, serta anak kecil yang berlarian dengan melakukan permainan tangkap-tangkap. Dan semua itu, terlihat jelas dari penglihatannya.
Terkadang, ia selalu bermimpi tentang kebahagiaan di dalam keluarganya. Menghabiskan waktu libur dengan berkumpul akrab bersama keluarga terdekat, berbagi cerita tentang keseharian, dan meluapkan keluh kesah tentang sosok-sosok menyebalkan yang mewarnai kesehariannya.
Ia ingin melakukan semua itu, ia ingin melakukannya bersama dengan keluarga. Namun untuk saat ini, dirinya hanya bisa membayangkan semua itu dalam mimpi. Mimpi indah yang setiap malamnya akan selalu hadir ketika tidur. Begitu banyak keinginan yang ingin ia wujudkan meskipun hanya sekali.
Namun itu, hanyalah pengharapan yang tak akan terwujud. Dia iri dengan keadaan tetangganya yang tidak terkekang, dia iri pada setiap orang yang selalu bahagia dan kuat dalam menghadapi rintangan di hadapannya. Terlebih lagi, dukungan yang mereka miliki semakin menguatkan keinginannya untuk merasakannya.
Hidupnya dari ketika ia lahir, sudah ditakdirkan untuk selalu menjadi beban yang seharusnya bukan tanggungannya. Kehidupan yang dijalaninya seolah sudah diatur oleh kedua orangtuanya, bahwa hidupnya tidak bisa dilakukan sesuai kemauannya.
Hidupnya yang penuh dengan ambisi dan pencapaian jika ingin mendapatkan sesuatu lebih. Pencapaian yang harus selalu terpenuhi dan ambisi yang bisa dibilang tidak diinginkannya.
Yang harus ia ambil dan diwujudkan.
Lelah memang jika di rasakannya waktu awal-awal. Namun, ia tidak bisa mengungkapkan kata lelah itu. Akan sangat beresiko bagi dirinya mengucapkan kata itu.
Didikan orang tuanya yang harus selalu diikuti, dan juga harus selalu membuatnya dominan di antara yang lain. Itu, sangat membuatnya tersiksa. Dirinya tidak pernah mengeluh dengan apa yang dilakukan orang tua terhadap dirinya. Ia berpikir semua itu untuk masa depannya yang cerah. Meskipun tersiksa.
Mereka akan melakukan segala cara supaya anak keturunan mereka tidak mengalami kehidupan pahit di masa mendatang. Karena hal itulah, ia tidak berani mengeluh dengan keadaan yang dialaminya. Dirinya lebih baik memendam semuanya sendirian daripada mengungkapkan rasa lelah itu.
Terkadang dia ingin berhenti sejenak dari semua kegiatan rutinnya.Mengistirahatkan pikiran dan mental dari didikan orang tuanya yang selalu membuatnya dominan di antara lainnya. Ia ingin beristirahat, namun kedua orangtuanya seakan tidak perduli dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Ia hanya ingin beristirahat sejenak dari semua rutinitas yang seharusnya tidak dirasakannya dalam umurnya sekarang.
“Kapan ya bisa ngerasain seperti mereka?”
“Raut wajah cerah yang selalu ditampilkan ketika di hari libur, tanpa bayang-bayang tumpukan buku yang harus dipelajari.”
“Mereka melakukan aktivitas yang menyenangkan untuk dirasakan setiap hari.”
“Warna hidup yang cerah dan juga rasa bahagia untuk kehidupan sehari-hari dengan tuntutan yang tak berlebihan.”
Ia menatap halaman rumahnya, membandingkannya dengan kehampaan halaman tetangganya. Kontras yang mencolok terlihat jelas di antara keduanya. Halaman rumahnya hanya dihiasi oleh pepohonan dan tanaman hijau, dilengkapi dengan sebuah kursi yang seolah tak berfungsi, tanpa jejak aktivitas yang menghidupkan suasana.
Sementara itu, di halaman tetangganya, dia menyaksikan banyak orang terlibat dalam beragam permainan dan obrolan ceria, menciptakan atmosfer yang penuh keceriaan. Betapa berbeda dengan halaman rumahnya yang sepi.
Kehidupan yang monoton dan melelahkan menyelimuti harinya. Setelah menjalani aktivitas di luar, ia mengurung diri di kamar, tenggelam dalam lembaran-lembaran buku demi menambah wawasan. Rasa lelahnya begitu mendalam, seolah ingin dia teriakkan di hadapan orangtuanya. Namun, keberanian itu tak pernah ia miliki.
Keberanian yang ia tampilkan selama di luar, itu hanya lah kamuflase pertahanan diri agar dirinya tidak dianggap lemah.
Namun ketika berada di rumah, topeng kuat itu seakan menghilang dari dalam dirinya. Bayang-bayang ketakutan masa kecil dan rasa bersalah terus menghantuinya, menamparnya setiap kali ia terperosok dalam perbuatan yang sama.
“C’mon Erica kamu bukan orang selemah itu”ucapnya dengan memandangi atap balkonnya.
Ucapan yang seakan menjadi penyemangatnya agar tidak lemah, adalah hal yang sering dilakukannya.
Tuntutan dan paksaan yang sering dilakukan kedua orangtuanya, seakan menjadikannya robot untuk selalu berbenah diri setiap saatnya.
Dan ia harus melakukan hal itu agar tidak mendapat pukulan serta cacian yang berakhir trauma pada tubuhnya.
Di satu waktu namun di tempat yang berbeda. Ada yang memandangi Erica dengan tatapan heran.
“Kenapa?”
“Ah nggak papa, yuk turun”ajaknya.
Sekelebat ia melihat seseorang yang terus memandangi rumahnya sedari tadi. Tetangga yang menurutnya begitu misterius dan sulit untuk diajak bersosialisasi.
μμ
Semua pengajaran yang di ucapkan guru privatnya selalu ia pahami dengan mudah. Tak hanya itu, dirinya juga mampu dalam mempelajari hal baru di dunia pengetahuan dengan cepat. Berkat pelatihan yang intensif untuk memahami segala sesuatu dengan cermat, ditambah sikap tegas orang tuanya dalam mendisiplinkannya, ia mampu menyerap informasi dengan kilat.
Membuat nya cepat memahami segala sesuatu dengan cepat.
Dirinya tidak pernah menginjakkan kaki ke sekolah umum. Dia hanya sekolah privat di rumah dengan satu guru yang mengajarnya. Tak punya teman adalah kehidupannya sedari kecil. Saudara yang tidak pernah bisa dekat dengannya, karena orangtuanya selalu memberi jarak padanya.
Sepi yang selalu menemaninya setiap saat, namun ia juga tak bisa munafik. Bahwa ia ingin kebebasan dalam hidupnya.
“Sekarang kamu paham kan?”tanya guru itu padanya.
“Iya”jawabnya singkat. Ia pun menutup bukunya dan merapikannya menjadi satu. Tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih pada gurunya karena telah mengajarkannya.
Setelahnya ia berdiri dari tempatnya dan berjalan menuju kamarnya. Tatapan datar tanpa senyum yang selalu terlihat dan juga rumah sepi tanpa penghuni di dalamnya.
Rumah ini akan ramai jika jam pulang sekolah sudah tiba. Karena adik dan para sepupunya akan berdatangan dengan suara ramai dalam mengisi kesunyian nya.
Ia menarik napas dalam dan mengeluarkan nya perlahan. Menatap atap kamarnya dengan perasaan yang sama. Sepi dan lelah. Ia berjalan menuju tempat balkonnya dan melihat sekeliling rumah yang ada di sekitarnya.
Dia melihat semua aktivitas yang ada di sekitar rumahnya. Bersosialisasi dengan sesama tetangga dan para anak sekolah yang baru pulang. Hal yang tak
pernah terjadi padanya selama ini.
Menatap semua aktivitas yang ada dan membayangkan di antara mereka bahwa dirinya ada di sana.
Dia ingin melakukan semua itu. Kebebasan dalam berekspresi tanpa memenuhi ekspektasi orangtuanya. Adalah kebahagiaan yang ingin sekali diwujudkan nya.
“Enyak Babeh sadar nggak ya kalau aku juga ingin seperti yang lainnya?”
"Mereka menjalani setiap momen dengan penuh kealamian, sementara aku… terkurung dalam sangkar yang dibangun oleh harapan mereka.”
Kesadaran kedua orangtuanya menjadi kunci penting agar ia dapat menikmati pengalaman yang sama seperti saudara-saudaranya.
Namun, kesadaran tersebut tampak sirna menghilangkan jejak, menyisakan dirinya terperangkap dalam bayang-bayang harapan yang tak terwujud.
μμ
“Kenapa kamu nggak becus dalam menangani hal ini Erica?!”bentak Enyak padanya.
“Kamu itu udah belajar banyak hal bahkan Enyak sama Babeh ngeluarin duwit banyak buat kamu paham gimana caranya nyelesain ini masalah, tapi apa tadi?!”marahnya sambil menunjuk dahi Erica dengan jari telunjuknya.
Enyak bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondar-mandir di depan Erica, kemarahan terpancar jelas dari wajahnya yang penuh rasa frustrasi.
Tatapan bingung dan cemas menyatu dalam diri, membuatnya merasa terjebak dalam ketidakpastian. Gelisah, ia menyaksikan orangtuanya yang berputar-putar, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan cemas yang mendominasi secara bersamaan dengan posisi berdiri. Dan juga perasaan yang khawatir akan suatu sebab membuat orang itu berjalan mondar-mandir.
Ia tahu, baru saja dirinya melakukan kesalahan yang berakibat fatal untuk bisnis orangtuanya. Dan ia tahu bahwa apa yang dilakukannya tadi, membuat kedua orangtuanya marah besar dan
memukulnya berkali-kali.
Ia paling benci dengan kegagalan. Ia paling benci dengan kesedihan. Dan ia paling benci dengan tatapan amarah dari kedua orang tuanya. Dia tidak dapat mengendalikan semua itu, namun dirinya paling tidak senang jika mengalami
hal itu.
Karena setelah mengalami hal itu, tubuhnya harus menerima pukulan berkali-kali serta cacian yang menyayat hati. Ia harus berusaha kuat untuk menahan rasa sakit akibat pukulan itu. Dan menguatkan dirinya setelah mereka selesai memukulinya. Ia tidak berdaya dengan semua itu.
Dia benci dengan kelemahan. Dia benci dengan tatapan remeh kedua orangtunya. Dan dia benci jika harus berpura-pura kuat
untuk menahan rasa sakit itu.
“Pokoknya Enyak enggak mau tahu, kamu harus selesaikan semuanya dengan benar kalau nggak jangan harap bisa keluar kamar ini, ngerti?!!”sentak Enyak padanya dan berjalan keluar dari kamarnya.
Tak lupa wanita itu juga membanting pintu kamarnya dengan keras. Yang artinya menandakan bahwa orang itu sedang tersulut amarah akibat perbuatannya.
Erica berdiri dari duduknya dan berjalan menuju balkonnya. Ia menatap sekeliling rumahnya dan melihat berbagai aktivitas yang menurutnya sangat menyenangkan jika ia juga melakukannya.
Hatinya merasakan kehampaan yang begitu mendalam dengan hal ini. Kemarahan yang ditunjukkan orangtuanya seperti hantaman keras padanya. Perasaan tidak tenang dan juga kepala nya yang pusing. Membuat dirinya tidak mampu untuk mengucapkan satu kata dari mulutnya.
Kelopak mata kendur dan tangisan dengan suara pelan adalah hal baik dalam meredakan rasa sakit tubuhnya akibat pukulan tadi. Pukulan yang diberikan ibunya tadi sangatlah kuat dan mengakibatkan tubuhnya menjadi
berdarah di beberapa titik.
Dia benci menangis, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya dalam menahan rasa sakit. Dia benci menjadi lemah, tapi ia juga tidak kuasa untuk selalu menjadi kuat. Dia ingin kebebasan, dia ingin menjalani kehidupan seperti orang lain yang seumuran dengannya. Ia ingin melakukan apa yang ia suka tanpa paksaan dari orang lain. Ia ingin melakukan apa saja yang diminatinya.
“Kapan aku bisa meraih kebebasan itu?”
“Mengapa semua hal yang kuinginkan tidak sesuai rencana?”
“Dan juga, mengapa aku harus menanggung masalah yang seharusnya bukan ranahku?”
“Mengapa mereka tidak melakukannya sendiri tanpa melibatkan ku?!”
Negoisasi yang dilakukannya tadi, harus berujung kegagalan karena dirinya yang terlampaui gugup. Dirinya dibawa oleh kedua orangtuanya untuk mengajak kerja sama dari salah satu kolega impian orangtuanya.
Sekaligus untuk mengetes dirinya masih layak atau tidak dalam meneruskan bisnis kedua orangtuanya. Erica disuruh untuk berbicara pada kolega itu dan mengajaknya untuk kerja sama dengan
perusahaan orangtuanya.
Namun ketika dirinya berbicara dengan kolega itu, ia harus mengalami kegugupan karena tatapan orang-orang di sana seperti akan menelanjangi nya.
Dia sangat gugup karena tatapan aneh orang-orang di sekitarnya saat itu. Dirinya, saat malam ini itu ingin segera pergi dari sana, namun ia juga tak bisa melakukan itu.
Ada tatapan ancaman yang ditunjukkan oleh orangtuanya. Dan ia tak berani untuk pergi dari sana.
“Masalah yang seharusnya bukan menjadi masalahku, dan kegagalan yang memang seharusnya gagal. Apakah masih harus disalahkan?”tanya Erica pada dirinya sendiri. Dia memang benci kegagalan, namun dirinya juga tahu bahwa setiap orang pasti akan mengalami
kegagalan.
Sementara di tempat yang sama namun di rumah yang beda. Ada seorang pria yang menatap balkon tetangganya dengan tatapan heran. Setiap kali dirinya ke balkon kamarnya, ia selalu menatap balkon tetangganya.
Meskipun tidak dekat, namun ia masih bisa melihat dengan jelas aktivitas yang dilakukan tetangganya.
Dia sampai hafal dengan semua aktivitas yang dilakukan tetangganya itu. Dan menurutnya itu sangatlah membosankan.
“Apa dia tidak bosan dengan aktivitas seperti itu? Mengapa juga dia tidak keluar rumah untuk sekedar merilekskan diri?”
Ia menghela napasnya dengan kelalukan tetangganya. Ingin sekali dia berkenalan dengan wanita itu, namun sayangnya dia tidak pernah bertemu dengan wanita itu ketika di luar rumah.
Meskipun sekedar berjalan-jalan di luar. Dia pun kembali memasuki kamarnya setelah berdiam diri melihat pemandangan tetangganya yang sedang melamun di balkon.
“Erica!!”panggil Babeh padanya yang melihatnya sedang berdiam diri di balkon.
Dengan penuh kemarahan, ia melepaskan ikat pinggangnya dan menghampiri Erica. Setelahnya ia membawa Erica ke dalam kamar dan memukulkan ikat pinggang itu ke tubuh Erica. Dengan penuh kemarahan, ia melepaskan ikat pinggangnya dan menghampiri Erica.
Berkali-kali ikat pinggang itu dipukulkan kepadanya dengan amarah yang terus membara. Wajahnya yang memerah dan juga matanya menatap tajam ke arahnya. Terlihat jelas di penglihatan Erica.
“Dasar anak tidak berguna! Kamu gua sekolahin biar bisa berguna buat orangtua malah kagak becus buat nyelesain semuanya!!”
“Kamu tahu nggak mereka udah tidak mau kerja sama lagi sama kita gara-gara ulah mu tadi!! Kamu benar-benar malu-maluin Babeh aja!!”
Teriakan demi teriakan, pukulan yang terus bertambah kencang, dan juga amarah yang dilampiaskan padanya. Serta, kepalanya yang sudah mulai pusing. Seakan menandakan bahwa mungkin dirinya setelah ini akan pingsan akibat ulah orang yang mengaku orang tuanya. Dia tidak menangis, dia hanya berusaha menahan rasa sakit pukulan itu.
Air matanya sudah ia keluarkan setelah ibunya memukulnya tadi. Dan sekarang air mata itu, sudah mengering untuk di keluarkan lagi. Babeh pun berhenti memukulinya dan mengatur napasnya yang terengah. Ia pun menjatuhkan ikat pinggang itu ke lantai dan menatap tajam ke arah Erica.
“Babeh nggak mau tahu, kamu harus belajar caranya buat menarik investor. Babeh kagak mau tahu, kamu harus bisa menarik investor lain buat mau kerja sama dengan perusahaan kita. Ngerti!!”
Babeh keluar dari kamar Erica dengan perasaan lebih lega karena telah melampiaskan amarah itu padanya.
Sedangkan dirinya sulit untuk bangkit dari tempat duduknya akibat pukulan tadi.
Bajunya yang berlumuran darah dengan goresan-goresan bekas cambukan ikat pinggang tadi. Ia melepas kemeja yang dipakainya dan melihat semua bekas cambukan tadi dari cermin.
Ia menatap wajahnya ke arah cermin dengan tatapan menyedihkan. Wajahnya yang kusam dengan lebam di area mulut, serta darah yang keluar dari pelipis.
“Huft, Erica buktiin ke mereka bahwa lo bisa untuk memenuhi ekspektasi mereka dan… meraih kebebasan.”
Selamat membaca
Banyak hal yang telah dilewati dalam masa dirinya mengalami pertumbuhan. Masa dimana ia melewatkan hal menyenangkan dalam hidupnya.
Masa kecil yang penuh keceriaan dan masa remaja yang seharusnya dimanfaatkan untuk menjalin banyak persahabatan sering kali menjadi kesempatan yang terlewat. Hal ini adalah pengalaman yang umum dialami oleh banyak orang.
Banyak hal yang sulit untuk di ungkapkan dalam hidupnya saat itu. Ia yang tak berani untuk menegakkan pendirian, ketakutan yang terus dibayangi oleh orang-orang terdekat. Dan juga tatapan amarah yang selalu ditunjukkan orang terdekatnya ketika ia mengalami kegagalan.
Kegagalan sering kali menjadi pengingat bahwa ada yang kurang dari usaha seseorang. Itu bisa dianggap sebagai titik awal bagi setiap individu yang berambisi meraih kesuksesan. Kegagalan adalah hal yang biasa dialami oleh banyak orang dalam perjalanan panjang menuju pencapaian.
Namun baginya, kegagalan bisa dibilang aib yang akan terus menghantui dirinya hingga nanti.
Tatapan amarah yang ditunjukkan oleh mereka setiap kali ia mengalami kegagalan semakin memperburuk situasi. Kegagalan, yang bagi banyak orang mungkin dianggap hal yang wajar dalam proses belajar, namun menjadi beban tersendiri baginya.
Kegagalan bisa dibilang adalah hal yang tak seharusnya menjadi kebanggaan dari keluarga Nurzaki. Dalam pandangannya, kegagalan bukan sekadar sebuah pengalaman, tetapi penilaian bahwa dirinya tidak layak untuk melakukan sesuatu yang lebih baik.
Dan sebab hal itulah, dirinya menjadi bahan cemoohan bagi orang-orang terdekatnya. Terutama paman dan bibinya, serta anak-anak mereka.
Setiap kali dirinya mendapat kegagalan, ia harus menebalkan kupingnya untuk tidak mendengar ucapan-ucapan kotor dari mereka. Ia benci ketika berada di rumah, dia ingin memiliki rumah sendiri tanpa adanya mereka. Namun ia tidak bisa, ada beberapa hal yang tidak bisa ia tinggalkan begitu saja dari rumah ini.
Terutama dengan orang yang selalu dilindunginya dan yang selalu ada setiap dirinya mengalami kegagalan. Dia bisa saja memiliki rumah sendiri dengan tabungan yang ia hasilkan sendiri. Namun ia tidak bisa melakukan hal itu, karena ada beberapa orang yang disayanginya berada di rumah ini.
Terutama saudara kandungnya, yaitu adiknya sendiri. orang yang selalu dilindunginya ketika mereka ingin pelampiasan amarah. Dia adalah alasan dirinya, enggan untuk pergi dari rumah ini. Adiknya adalah sumber kekuatan baginya ketika dirinya sedang menjadi lemah. Dia adalah orang yang berarti di dalam hatinya.
“Gagal lagi gagal lagi, sebenarnya kamu itu bisa menghandle perusahaan nggak sih Rik? Masak gitu aja nggak bisa buat menanganinya?”tukas Nurlaela dengan nada ejekan padanya. Adik dari ibunya yang tinggal di rumah ini sekitar 5 tahun lalu. Perasaan iri yang juga lontaran ejekan. Selalu terucap dari mulut bisa wanita itu. Keluarga mereka memang tidak akan pernah akur satu sama lain.
Akibat perasaan iri dan dengki, serta keinginan untuk memiliki semuanya. Adalah hal yang sulit untuk dihilangkan dari diri mereka. Termasuk kemampuannya. Ia sudah tak heran dengan ucapan serapah mereka ketika dirinya mengalami kegagalan. Dan ia sudah terbiasa akan hal ini dalam hidupnya.
“Yah namanya juga urusan perusahaan nggak mudah buat ditangani sendiri, masih harus belajar banyak hal agar lebih terasah. Dan juga nggak menyerah di tengah jalan hanya karena percintaan yang nggak tergapai. Masih mending lah aku gagal dalam menangani masalah ini, daripada membuat ulah yang tersorot media hingga akhirnya mempermalukan keluarga sendiri. Oh ya bukankah Reno baru-baru ini disorot media?”jawab Erica dengan sindiran pada Nurlaela dan bertanya pada bibinya lagi.
Dia ingin memberi pelajaran dari orang yang menjadi bibinya itu, bahwa Reno sepupunya. Baru saja melakukan hal yang memalukan untuk dirinya sendiri. Dan juga keluarganya. “Sepertinya Tante memang harus melihat berita hari ini, tapi nanti jangan kaget ya. Soalnya berita ini bikin jantungan buat orang tua.”
“Setidaknya… kegagalanku bukanlah sesuatu yang memalukan, karena kegagalanku tidak membawa nama keluarga ku sendiri,” jawabnya tenang. Setelah itu, ia melangkah menuju kamarnya untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah setelah seharian bekerja.
Bekerja seharian penuh. Ia telah berkutat dengan tumpukan kertas dan lembaran tanda tangan yang harus ditanganinya sendiri. Di usianya yang masih muda, kebebasan tampak seperti sesuatu yang sudah di depan mata.
Namun kebebasan ini, bukanlah kebebasan yang ia inginkan. Erica menghembuskan napasnya pelan, ia pun berjalan menuju ke tempat favoritnya. Yaitu balkon. Melihat pemandangan sekitar dan menikmati udara yang ada. Kegiatan yang akan selalu dilakukannya setiap kali selesai bekerja.
“Mari, Erica, lakukan segala sesuatunya dengan tenang. Nikmati setiap hasil yang telah dicapai” bisiknya lembut pada diri sendiri, sambil menyunggingkan senyuman manis yang merekah di wajahnya.
Senyuman itu bukan sekadar hiasan, melainkan sebuah pengingat akan perjalanan yang telah dilalui, mengisi hatinya dengan rasa syukur dan damai.
Emosi itu mengalir, membawanya pada momen-momen kecil yang penuh arti, seolah waktu berhenti sejenak untuk menghargai setiap detik yang telah berlalu.
μμ
“Semuanya jadi 110 ya, nggak bisa dikurang lagi!”
“Iya iya nek, astaga kayak aye pernah minta diskon aja.”
“Emang iya kan? Bahkan sering?”
Pelanggan itu mendengus setelah nenek Amita mengucapkan hal itu. Ia juga tak bisa menampik bahwa dirinya juga sering meminta diskon di toko nenek Amita. Bahkan bisa dibilang dari banyaknya pelanggan yang membeli di toko ini, hanya dirinya lah yang sering meminta diskon pada nenek Amita.
“Udah semuanya kan?”tanya pelanggan itu pada karyawan toko nenek Amita. Karyawan itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Makasih ya nek, aye pulang dulu”pamit pelanggan itu pada nenek Amita yang sedang menghitung penghasilannya.
“Iya”jawab nenek Amita yang menjilat tangannya dengan uang yang ada di genggamannya. Kegiatan yang selalu dilakukannya sehari-hari.
Berada di toko dan mencatat kebutuhan yang ada di toko, serta menghitung penghasilan dari penjualan. Kegiatan rutin yang selalu dilakukannya setiap hari.
Di masa tuanya yang sunyi ini, ia hanya ingin mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang bermanfaat. Mengelola toko ini bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi juga sebuah cara untuk tetap terhubung dengan dunia di sekitarnya.
Ada rasa bangga dan kebahagiaan tersendiri saat melihat pelanggan keluar dengan senyuman, meski kadang diiringi dengan tawar-menawar yang menggelikan.
Mengelola toko kecil yang berisi kebutuhan sembako bagi setiap orang, dan juga mendapat bagian dari tokonya sendiri. Agar dirinya tidak terlalu bersandar pada anaknya. “Kip, semua udah selesai dicatat. Nanti jangan lupa beri tahu pak Dadang buat nganterin pesanannya”suruh nenek Amita pada Akip karyawan yang bekerja di tokonya.
“Siap nek”jawab Akip. Ia pun melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi.
“Kayaknya lagi banyak pelanggan nih?”tanya seseorang yang dikenali nenek Amita. Nenek Amita pun menolehkan kepalanya dan melihat cucunya yang datang berkunjung ke tokonya. Ia pun menghampiri cucunya dan memeluknya dengan erat.
"Cucu Nenek akhirnya datang juga! Kamu sehat kan?” tanya Nenek Amita dengan nada ceria. Ia memeriksa keadaan cucunya dari atas hingga bawah, sambil memutar tubuh cucunya untuk melihatnya dengan seksama.
“Aku baik nek. Astaga. Udah muter-muterin akunya. Jadi pusing nih kepala.”
“Hah syukurlah kalau kamu baik-baik aja. Tiap kali kesini kamu itu selalu bikin jantung nenek deg-degan.”
Erica menyengir dengan pernyataan nenek Amita. Yang diucapkan neneknya, itu memang benar adanya. Setiap kali dirinya berkunjung, tubuhnya selalu saja dipenuhi dengan luka memar dan darah yang bercucuran. Dan karena hal itulah, nenek Amita selalu memeriksa tubuhnya ketika dirinya berkunjung.
“Cucu nenek baik-baik saja kok, tenang nek Erica udah bisa melindungi diri sendiri kok kalau mereka nyakitin cucu nenek ini”jawab Erica dengan nada tenangnya.
“Tahu kok kamu emang bisa jaga diri, tapi nggak bisa nglawan kalau mereka nyakitin kamu kan?”sarkas nenek Amita. Erica menyengir mendengar ucapan neneknya, ia terlalu lemah jika menyangkut perlawanan terhadap orangtuanya.
Ada banyak hal yang tak bisa dilakukannya dalam melawan mereka. Karena ancaman dan juga kekangan yang selalu memberatkannya. Untuk itulah, dirinya tidak bisa melawan mereka. Dan juga, ia masih mempunyai beberapa orang yang harus dilindunginya dalam hal ini. Maka dari itu, ia tidak berani untuk melawan mereka berdua.
“Sudahlah, yuk kita pulang dulu. Nenek tadi masak semur jengkol sama tahu bacem, lumayan banyak juga. Kalau disuruh ngabisin sendiri nggak bisa nenek,”
“Yuk cucu nenek ini perutnya juga udah mulai kelaparan dari tadi,” Nenek Amita menatapnya dengan penuh kasih sayang dan membentuk senyuman tipis di wajahnya.
Ia pun menolehkan kepalanya ke arah Akip karyawan nya. “Kip nanti tokonya jangan lupa dikunci ya, semua barang-barang yang ada diluar dimasukin ke dalam”pesan nenek Amita pada Akip.
“Iya nek”jawab Akip.
μμ
Membolak-balikkan kertas dengan berisi tulisan yang membuat siapa saja akan pusing untuk melihatnya. Termasuk dirinya, banyak kejanggalan dan juga kecurangan yang dilakukan orang-orang kepercayaan orangtuanya.
Membuat dirinya harus bekerja ekstra dalam memeriksa semua kejanggalan itu. Dan ada yang lebih menyebalkan lagi adalah, semua yang ia lakukan sekarang bukanlah tugasnya. Semua kelakuan buruk dari orang-orang kepercayaan orangtuanya, selalu melakukan hal buruk dalam mendapat keuntungan diri sendiri.
Kedua orangtuanya selalu melimpahkan semua ini kepada dirinya. Ada rasa jengkel setiap kali dirinya mengemban semua ini sendirian tanpa ada bantuan dari pihak lain. Meskipun dirinya memiliki sekretaris, namun ia rasa itu masih kurang dalam menangani semua ini sendirian.
“Semua ini hasil rekapan saya bos, setelah ini apa yang bakal dilakuin?”tanya Fyneen. Sekretaris kepercayaannya. Ia menghela napas dan mendongakkan kepalanya ke atas. “Apa nggak ada yang bantuin dalam mengatasi masalah ini Fyn?”tanya Erica.
“Semua, sedang disidang oleh pak bos. Gara-gara ulah yang dilakuin kemarin,”jawab Fyneen. “Mereka cuma bisa bikin masalah tapi nggak mau bertanggung jawab, mereka cuma bisa lempar tanggung jawab tanpa mau menyelesaikan masalah nya sendiri.”
“Mau bagaimana lagi bos, di antara keluarga bos. Cuma bos doang yang paling normal. Lainnya… bos tahu sendirilah.”
“Kebiasaan mereka dari kecil dimanja, ketika udah gede minta lebih. Lalu setelah itu yang disalahin gue, kan aneh.”
“Paman dan bibi bos sepertinya memang tidak ada yang waras. Semuanya seperti terperangkap dalam kebodohan mereka sendiri.”
Ia memejamkan matanya dan meresapi setiap wewangian yang selalu ia nyalakan di dalam ruangannya. Santai dan juga tenang di dalam ruangannya, adalah hal menyenangkan baginya.
Karena ketika seperti ini,dirinya tidak akan mengalami gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apalagi dengan cacian dari mulut kedua bibinya. Membuat dirinya harus menebalkan telinga lebih tebal dari biasanya.
Telinganya seolah ada yang melindungi dari ucapan serapah mereka. Kelebihan yang ia miliki, memang akan selalu membuat beberapa orang iri dengan apa yang ia punya.
Dalam dunia bisnis, persaingan sering kali memicu individu-individu untuk berkompetisi secara ketat. Tanpa ragu, mereka bersedia mengorbankan segalanya demi meraih kemenangan. Tak perduli harus mengorbankan apa saja, jika persaingan yang terjadi pemenangnya adalah diri sendiri.
Mereka akan melakukan segala cara untuk mengalahkannya di segala hal. Namun, persaingan itu seolah menjadi ajang untuk mengkambinghitamkan anak yang mereka rawat untuk dijadikan boneka.
Anak yang tidak tahu apa-apa, harus mengikuti arus yang sudah ditentukan oleh kedua orangtuanya tanpa bertanya apa keinginan anak itu sendiri.
“Oh iya bos, kabarnya si Reno bakalan di kirim ke keluar negeri buat ngeredain kasusnya. Si Reno nih, emang kagak punya rasa manusiawi. Udah nabrak orang saat mabuk, nggak tanggung jawab sama apa yang dia perbuat”gerutu Fyneen pada ponakannya.
“Kalau dia dikirim keluar negeri, pekerjaan kita jadi lebih banyak dong”keluh Erica. Mereka berdua menghembuskan napasnya. Pasrah, adalah hal yang selalu mereka lakukan ketika ada salah satu anggota keluarga Nurzaki melakukan kesalahan. Dan jika pekerjaan yang bersangkutan belum selesai, maka mereka berdua yang akan menyelesaikan semua itu.
“Yang punya kerjaan siapa, tapi malah lempar tanggung jawab. Kagak punya prinsip banget tuh orang!!”gerutu Fyneen pada sepupu bosnya.
μμ
“Semuanya udah selesai kan?”
“Sudah Bu, sesuai dengan perintah ibu semua dijalankan sesuai rencana.”
“Baguslah, akhirnya bisa istirahat juga setelah penantian panjang.”
Ia mendudukkan tubuhnya di sofa yang ada di ruangannya. Bernapas lega setelah menyelesaikan pekerjaan yang berhari-hari menguras tenaga, dan bernapas lega karena setelah sekian lama berjalan dirinya bisa duduk dengan tenang. Pekerjaan yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya harus diselesaikan tepat waktu, sesuai tenggat yang telah ditentukan.
Tentu saja, itu bukanlah hal yang mudah baginya. Ia juga memiliki tanggung jawab lain yang harus diselesaikan sendiri. Namun, ia tidak berani menolak. Semua ini terjadi karena desakan dari orang tuanya, demi menjaga martabat perusahaan agar tidak runtuh hanya karena kesalahan sepupunya.
Dan ia harus mengurus semua pekerjaan yang dititipkannya itu. Erica memejamkan matanya sejenak, mengosongkan pikiran dari aktivitas yang menguras tenaga dini hari. Serta merilekskan otot-otot, dari kelelahan aktivitas hari ini.
Semua masalah yang terjadi hari ini, ia berharap tidak akan ada masalah lagi di hari selanjutnya. Dia berharap, dia tidak akan mengalami masalah itu juga nantinya. Dirinya terlalu lelah untuk menghadapi semuanya sendirian.
“Bos Rika!!” panggil seseorang yang ia kenal. Suara itu mengguncang ketenangannya. “Gawat bos, bos besar dan nyonya besar mengalami kecelakaan. Mereka saat ini sedang dirawat di rumah sakit dalam kondisi kritis. Dan satu lagi… nenek Amita baru saja jatuh dari jembatan akibat ulah pengendara yang tak hati-hati,” ucapnya pelan, suaranya tersekat oleh ketakutan.
Erica yang sedang berusaha tidur pun bangkit dari baringnya, tatapannya tajam dan penuh kebingungan. Ia menatap sekretarisnya dengan alis yang berkerut, berusaha memahami apa yang baru saja didengar.
“Apa maksudnya?” tanyanya, suaranya bergetar penuh kekhawatiran.
“Seperti yang saya bilang, bos. Saat ini orangtua bos sedang berada di rumah sakit dalam kondisi kritis. Sementara nenek Amita…” ucapnya, suara itu semakin melemah. “Belum ada kabar sampai sekarang tentang keberadaannya,”
Erica menutup mulutnya dengan kedua tangan, dan pupilnya membesar setelah mendengar ucapan Fyneen. Ia merasa seperti bumi terbelah di bawah kakinya.
Dalam sekejap, semua rasa lelah dan harapan untuk ketenangan sirna. Dengan cepat, ia berdiri dari tempat duduknya dan mengambil tasnya, hati berdegup kencang, siap menghadapi badai yang tak terduga ini.
“Antar aku ke tempat kejadian nenek terjatuh sekarang!” perintahnya tegas kepada Fyneen, suaranya bergetar penuh kepanikan. Dia tak peduli dengan keadaan orang tuanya yang mungkin sedang terpuruk; saat ini, yang terpenting baginya adalah neneknya. Nenek yang telah ia anggap sebagai sosok kedua setelah ibunya, nenek yang selalu menjadi cahaya dalam kegelapan hidupnya.
Amita, nenek yang tak hanya memberikan kasih sayang, tetapi juga menjadi alasan dia bertahan dalam setiap cobaan yang datang.
Dengan langkah cepat, hatinya berdebar kencang, penuh harap dan rasa cemas. “Semoga nenek baik-baik saja,” bisiknya dalam hati, berdoa agar wanita tua itu tetap kuat dan selamat.
Dalam pikirannya, nenek adalah satu-satunya tempat berlindung yang tulus, sementara orangtuanya, ia tidak perduli dengan keadaan dua orang itu. Dia harus menemukan neneknya, menyelamatkan satu-satunya orang yang selalu ada untuknya, sebelum semuanya terlambat.
Selamat membaca
Ketakutan yang seharusnya tidak terjadi, ketakutan yang seharusnya tidak di inginkannya. Harus kembali mendera tubuhnya, karena berita yang dibawa sekretaris nya.
Ketakutan yang sudah lama ia hilangkan dari dirinya, harus kembali lagi karena berita tentang neneknya. Nenek Amita yang begitu ia sayangi dan cintai melebihi keluarga kandungnya.
Nenek yang begitu ia hormati dengan segenap jiwa, dan nenek yang selalu ada untuknya ketika dirinya mengalami penderitaan.
Nenek Amita bukanlah anggota keluarga kandungnya, namun rasa kasihnya kepada nenek itu melebihi cinta yang ia miliki untuk siapapun semasa hidupnya. Berkat nasihat-nasihat yang diberikan oleh nenek Amita, hatinya yang keras ini menjadi lebih lembut. Meskipun neneknya sering berbicara dengan suara yang keras dan sedikit kasar, ia tahu betul bahwa nenek Amita bukanlah sosok yang seperti dipikirkan orang-orang.
Sesampainya di tempat kejadian, Erica segera menghampiri petugas pencarian untuk menanyakan keberadaan nenek Amita. Rasa cemas, panik, dan ketakutan bercampur aduk di dalam dirinya. Ia cemas akan keadaan nenek Amita, panik karena berita yang begitu mendadak, dan ketakutan akan kehilangan sosok yang sangat dicintainya. Erica merasa tidak siap jika harus menghadapi kenyataan pahit itu saat ini.
Dirinya belum sepenuhnya mampu untuk berdiri sendiri di tengah keadaan yang seringkali menyiksa batinnya. Ia tak sanggup membayangkan kehilangan orang yang paling dihormati dan disayangi dalam hidupnya. “Nenek…” gumamnya pelan, seolah mengharapkan suara itu dapat menyentuh hati nenek Amita di suatu tempat.
Dengan penuh harapan, ia berusaha membelah kerumunan ribuan orang yang menyaksikan tragedi ini. Keramaian dan keberadaan beberapa petugas keamanan yang menjaga situasi membuatnya kesulitan untuk menjangkau tim SAR.
Butuh beberapa menit bagi mereka untuk sampai di lokasi. “Pak, saya adalah salah satu anggota keluarga dari korban. Apakah ada kabar tentangnya?” tanya Erica dengan nada yang penuh harap. Salah satu anggota tim SAR yang ditanya oleh Erica tidak langsung menjawabnya. Melihat situasi tersebut, Fyneen yang datang bersamaan dengan Erica berusaha menjelaskan dengan jelas.
“Pak, kakak ini adalah anggota keluarga dari korban. Dia menanyakan tentang pencarian orang yang jatuh dari jembatan. Apakah ada informasi terbaru?” jelas Fyneen dengan pelan agar anggota tim SAR itu dapat memahami situasinya.
“Untuk saat ini, pencarian korban masih berlangsung mbak. Kami dan tim sedang berusaha untuk mencari korban yang jatuh ke bawah”jelas anggota tim SAR.
“Bukankah sudah berjam-jam pencarian ini dilakukan? Apakah hingga sekarang masih belum ada hasil?! Nenek saya sudah berumur, Pak. Tolong, carilah dengan serius! Bagaimana mungkin belum ditemukan?!” sentak Erica dengan nada penuh emosi kepada petugas tersebut.
“Maaf, saat ini kami sedang mencari dengan penuh ketelitian. Karena waktu sudah malam dan kondisi cuaca kurang mendukung, pencarian menjadi sedikit lambat. Kami mohon kerja samanya,” ucap petugas itu.
“Bukankah kalian adalah ahli yang berpengalaman dalam pencarian? Mengapa dalam kondisi seperti ini kalian jadi lambat! Apakah kalian tidak kompeten dalam bekerja?!” seru Erica dengan nada tinggi.
“Tolong, mas, ditenangkan dulu kakaknya,” ujar petugas itu kepada Fyneen. Melihat situasi tersebut, Fyneen menganggukkan kepala dan membawa Erica ke tempat yang lebih sepi untuk menenangkannya.
Namun, Erica tetap melawan dan berteriak kepada anggota tim SAR. Ia tidak terima dengan respon petugas itu. Sudah berjam-jam lamanya, tetapi nenek Amita belum juga ditemukan. Dengan penuh emosi, ia terus meneriaki dan memarahi anggota tim SAR yang sedang bertugas, bahkan melontarkan kata-kata kasar untuk mengumpati mereka.
“Bos, tenang!!” seru Fyneen kepada Erica. “Dengan keadaan bos seperti ini, mereka tidak akan peduli. Mereka sedang mencari nenek Amita sekarang, dan situasi saat ini sangat tidak kondusif untuk mencari nenek!”
“Nenek sudah tua, Fyn. Gue takut nenek kenapa-kenapa, gue takut nenek kedinginan di sana!!”
“Tapi kalau bos terus seperti ini, masalah tidak akan selesai begitu saja! Bos harus tenang!” Erica duduk di trotoar dan memeluk tubuhnya sendiri. Dalam kedinginan dan gerimis yang terus mengalir, semua itu terasa samar di tengah kepanikan yang melandanya. Dia takut dengan keadaan neneknya yang tidak baik-baik saja. Dia takut karena sampai sekarang belum ada kabar tentang neneknya.
“Bos sebaiknya kita ke rumah sakit dahulu buat menjenguk orang tua bos. Bos harus mengetahui keadaan mereka sekarang”ajak Fyneen.
“Tapi gimana dengan nenek?”tanya Erica dengan khawatir.
“Kita percayakan nenek Amita pada mereka bos”ucap Fyneen. Dua berita duka yang membuatnya begitu panik dan khawatir. Adalah hal yang tak pernah terjadi dalam hidupnya. Dua berita yang membuatnya begitu terkejut dan panik sekaligus.
Membuat seorang Erica harus kembali mengalami trauma yang sudah lama menghilang. Dulu dirinya pernah mengalami trauma yang begitu menyakitkan akibat perlakuan orang tuanya. Tidak seperti perlakuan orangtua pada anaknya.
Trauma yang sering kali muncul ketika sendirian dan membuatnya mengalami depresi, hingga dirinya menjadi lepas kendali setiap bertemu dengan seseorang. Ia sangat membenci kondisinya saat itu, dimana dirinya benar-benar sendirian dalam menyembuhkan traumanya.
Tak ada yang menemani dan mendampingi, semua orang-orang terdekatnya menjauh darinya saat itu termasuk adik kandungnya.
Hingga dirinya bertemu dengan nenek Amita. Wanita tua yang begitu ia hormati dan sayangi melebihi keluarga kandungnya. Wanita tua dengan nada keras namun mengandung kelembutan di setiap tutur katanya. Wanita tua yang selalu menasehatinya untuk tidak terlalu membenci keluarganya.
“Nona tenang saja ya, kita berdoa semoga nenek Amita bisa ketemu dalam keadaan baik-baik”tenang Arga supir pribadinya.
Erica tidak mendengarkan ucapan supirnya, ia malah fokus dengan jalanan. Raut wajah khawatir yang masih terlihat, dan juga kegelisahan yang terus mendera dirinya tak mampu ia tenangkan begitu saja. Dirinya, benar-benar sangat mengkhawatirkan keadaan nenek Amita.
Dia sangat khawatir dengan keadaan neneknya sekarang. Kepedulian dan kegelisahan yang terjadi sekarang, ia curahkan pada wanita tua itu. Dirinya benar-benar khawatir dengan keadaan wanita tua itu sekarang.
“Kita sudah sampai nona”ucap Arga. Erica pun keluar dari mobilnya dan berjalan menuju ke ruangan kedua orangtunya bersama Fyneen. Wajahnya yang khawatir tadi, berubah menjadi datar.
Perubahan yang selalu ia tunjukkan ketika berurusan dengan kedua orangtuanya. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang menatapnya dengan aneh padanya. Yang jelas dirinya akan melakukan hal ini ketika berurusan dengan kedua orangtuanya.
"Kakak ke mana saja? Kenapa kakak lama sekali?" tanya Ranum, nada khawatirnya tak bisa disembunyikan.
"Apa yang terjadi dengan mereka berdua?" Erica menatap adiknya dengan cemas, tak langsung menjawab pertanyaannya.
"Enyak dan Babeh, kak," suara Ranum bergetar pelan, seolah berat untuk diucapkan. "Mereka... sudah tiada," lanjutnya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Dia melangkah mundur dengan terkejut. Ucapan yang baru saja dilontarkan oleh adiknya membuatnya tak mampu menerima kenyataan yang ada. Semua peristiwa yang terjadi begitu mendadak dan menyakitkan. Neneknya yang masih belum ditemukan, ditambah lagi dengan kehilangan orang tuanya yang meninggal dunia saat dirinya baru saja tiba di rumah sakit.
Dengan langkah pelan, dia menuju kursi yang disediakan di rumah sakit. Bahunya membungkuk, dan kepalanya tertunduk, merenungi setiap kejadian yang baru saja menimpanya.
“Setelah ini, apa yang akan terjadi lagi?” tanyanya dalam hati, menyelami kedalaman kesedihan yang menggerogoti jiwanya.
μμ
Hari yang begitu melelahkan dan menguras banyak tenaga. Dimana dirinya harus menyalami banyak orang sebagai perwakilan dari anggota keluarga yang sudah meninggal. Berita tentang kematian kedua orangtuanya yang begitu menghebohkan beberapa pengusaha.
Sekaligus menjadi berita utama dalam satu hari ini. Membuat dirinya harus berjalan kesana-kemari untuk mengurusi semuanya. Dikarenakan dia adalah anggota dari orang yang meninggal, dan dirinya adalah anak pertama.
Dia harus mengemban tanggung jawab semua yang terjadi sekarang. Dan ia tidak merasakan apapun ketika kedua orangtuanya meninggal.
Kesedihan yang dirasakan beberapa orang, sama sekali tak berefek padanya untuk saat ini. Kelelahan yang seharusnya terjadi sedari tadi, sama sekali tak ia rasakan ketika dirinya sedang melayani beberapa pelayat yang mengucapkan bela sungkawa.
Kematian kedua orangtuanya, seperti rasa yang menghilang dari dalam dirinya. Bukan kesedihan akibat ditinggal mereka berdua, melainkan rasa bebas dari belenggu ikatan yang dilakukan orang tuanya selama ini padanya. Ada sedikit rasa bahagia dan kebebasan yang ia idamkan selama ini ketika dirinya tak pernah merasakan itu.
Selama ini ketakutan yang terjadi sesekali menderanya, atau tidak rasa was-was setiap saat ketika dirinya harus menghadapi kemarahan dari kedua orangtuanya.
Ada rasa kelegaan darinya setelah kedua orang tuanya tiada. Mungkin hal ini terdengar kurang ajar sebagai anak, ketika mayat orang tuanya yang masih berada di rumah dan belum dikebumikan. Dirinya harus mengalami kelegaan yang tak pernah dirasakannya. Dan sedikit bahagia.
Tapi itulah Erica, dia hanya ingin mengungkapkan sesuatu yang tak pernah berani ia ucapkan di depan orangtuanya. Ia memandangi mayat kedua orang tuanya dengan tatapan kelegaan.
Senyum tipis yang terbit dari bibirnya, dan raut wajah lelah karena dia tidak beristirahat sama sekali sedari kemarin. “Terima kasih sudah merawatku selama ini. Dan juga mengajarkan banyak hal kepadaku tentang bertahan hidup.”
“Mungkin ini terdengar kurang ajar untuk di dengar, tapi yang jelas. Aku… membenci kalian berdua.”
“Tapi untuk sekarang, aku akan mulai memaafkan kelakuan kalian terhadapku dulu. Seperti kata nenek Amita ‘seburuk apapun orang tuamu, mereka tetaplah orangtua yang membuatmu ada’ untuk itulah aku akan berusaha memaafkan kalian.”
“Tapi maaf, ini akan membutuhkan waktu yang lama dan mungkin bertahun-tahun. Karena… kalian berdua terlalu banyak menorehkan penyakit yang begitu dalam.”
Ungkapan yang terpendam selama ini, akhirnya ia keluarkan di depan orangtuanya. Meskipun sekarang mereka berdua sudah menjadi jenazah. Namun hal itu tak menyurutkan niatnya untuk mengungkapkan isi hatinya.
Ucapan yang begitu pelan agar tidak terdengar oleh para peziarah. Dan juga, agar tidak terlalu kentara bahwa ia sama sekali tidak bersedih dengan kejadian hari ini.
“Kak udah waktunya Babeh dan Enyak dimakamkan”ucap Ranum padanya yang sedang duduk di tengah jenazah kedua orangtuanya. Ia menganggukkan kepalanya. Dia pun berdiri dari tempat duduknya dan ikut serta dengan anggota keluarga nya yang lain untuk mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
Suasana duka yang sangat terasa, dan sebagian orang yang menangisi kepergian orang tuanya. Termasuk anggota keluarga besarnya sendiri, entah itu air mata kedukaan atau air mata palsu untuk mendapat perhatian. Dia tidak tahu itu.
Yang jelas menurutnya tangisan dari keluarga terdekatnya itu, hanyalah tangisan cari perhatian agar mereka tersorot dengan kedekatan mereka kepada orangtuanya.
Begitu banyak hal yang selalu ia ikuti bersama orangtuanya dalam perjalanan bisnis. Dan ia menjadi tahu tentang beberapa orang yang menjadi palsu ketika ingin bekerja sama. Babehnya selalu bilang padanya bahwa “Akan banyak pengkhianat yang ada di sekitar kita tanpa disadari. Termasuk keluarga sendiri”kata Babeh padanya saat itu.
Untuk itulah dirinya tahu, bahwa sebagian orang-orang yang menangisi kematian orang tuanya itu, hanyalah kamuflase untuk mendapat perhatian dari media. Bahwa mereka sangat dekat dengan kedua orangtuanya.
Helaan napas selama pemakaman terjadi ia lakukan sepanjang nya. Begitu banyaknya orang-orang munafik yang berkamuflase, dan juga begitu banyaknya orang-orang yang memberi ucapan duka cita dengan rasa tidak ikhlas.
Dia tak menampik bahwa, saat ini dirinya sangat lelah dengan suasana sekitar.
Dirinya harus menanggapi setiap ocehan orang tentang keluarganya yang begitu baik pada mereka. Padahal kalau mereka paham lebih dalam lagi, itu hanyalah keuntungan yang dimanfaatkan orang tuanya untuk diri sendiri.
“Kita sudah sampai rumah nona”ucap Arga. Erica pun turun dari mobilnya dan langsung memasuki rumahnya. Dirinya sangat lelah hari ini, dan ingin mengistirahatkan tubuhnya di
“Erica, bisa kita bicara sebentar?” suara Nurlaela, kakak dari Enyak, memecah keheningan. Erica mengikuti langkah Nurlaela dengan rasa penasaran yang menggelayuti pikirannya. Mereka melangkah ke ruang tamu, dan Erica merasa tatapan heran dari orang-orang di sekitarnya.
Setibanya di ruang tamu, ia melihat seluruh anggota keluarganya berkumpul. Di samping Haris, suami Nurlaela, duduk seorang pengacara keluarga, Pak Bagas. Erica mengambil tempat di samping Ranum, adiknya, sambil bertanya, “Ada apa? Mengapa semuanya berkumpul di sini? Dan juga, mengapa ada Pak Bagas?”
Semua mata yang hadir di ruang tamu kini tertuju pada pengacara yang duduk di samping Haris.
“Pak Bagas yang akan menjelaskan semuanya padamu,” ucap Haris dengan nada datar, seolah tak ada beban di hatinya.
Erica menatap Bagas dengan tajam. “Jadi begini, nona Erica. Seperti yang sudah nona ketahui, kedua orang tua nona baru saja meninggal dunia. Saya turut berduka cita untuk kehilangan yang mendalam ini," kata Bagas, suaranya tenang namun terkesan dingin. “Namun, kedatangan saya hari ini bukan hanya untuk melayat. Saya memiliki pesan penting terkait pemindahan beberapa aset yang diwariskan oleh orang tua nona sebelum mereka tiada.”
Bagas mengeluarkan sebuah lembar kertas dari dalam amplop hitam yang terlihat usang. Ia menyodorkannya kepada Erica, matanya tajam meneliti reaksi gadis itu. “Ini adalah pesan warisan yang harus nona baca,” lanjutnya, suaranya tegas namun ada nada menyindir di baliknya.
Erica meraih kertas itu dengan tangan bergetar. Ia membaca setiap kata yang tertulis, merasakan beratnya makna di balik kalimat-kalimat tersebut. Setiap huruf seolah mengejek rasa duka yang menggelayuti hatinya, mengingatkan akan kehilangan yang tak tergantikan. Dalam keraguan dan ketidakpastian, ia bertanya-tanya: apa sebenarnya yang ingin disampaikan orang tuanya, dan mengapa semuanya terasa begitu misterius dan menakutkan?
“Apakah surat ini benar-benar tulisan Babeh? Mengapa tulisan ini sangat berbeda dari biasanya?” tanya Erica dengan nada sinis, matanya menyempit penuh keraguan.
“Tulisan itu dibuat ketika bapak nona Erica berkunjung ke rumah saya. Saya adalah saksi ketika surat tersebut ditulis,” jawab pria itu, suaranya tegas meski hatinya bergetar.
“Kapan tepatnya?” Erica menuntut, nada suaranya semakin tajam.
“Lima hari yang lalu, mbak,” jawabnya, berusaha tetap tenang di bawah tatapan tajamnya.
Erica meletakkan kertas itu kembali di meja, suara kertas yang terjatuh terdengar nyaring, seolah menggema di ruangan yang hampa. Dia menyilangkan kakinya dan melipat tangan di dada, sikapnya menuntut penjelasan lebih lanjut.
“Lalu, apa hubungannya dengan saya?”
“Menurut isi surat ini, bapak nona Erica berniat mewariskan semua bisnisnya kepada adik nona Erica, yaitu nona Ranum. Karena beliau yakin, nona Ranum lebih mumpuni dalam menjalankan bisnis ini.”
“Lalu apa hubungannya dengan saya?” Erica bertanya lagi, suaranya kini mengandung nada tantangan.
“Seperti yang tertulis di sini, nona Erica sudah tidak berhak untuk memegang kendali dalam perusahaan ini. Semua itu akan diambil alih oleh adik nona sendiri, yaitu nona Ranum.”
Kebencian mulai membara di mata Erica, seolah dia tidak bisa menerima kenyataan pahit yang terhampar di depannya. “Jadi, saya hanya akan menjadi penonton dalam permainan ini?” tanyanya, nada suaranya mencerminkan kepahitan yang mendalam.
Pria itu menatapnya dengan tegas, “Itulah yang tersirat dalam surat ini, nona. Dan sepertinya, itu adalah keputusan yang tak terhindarkan.”
Suasana di antara mereka semakin menegang, seakan ada percikan api di udara yang bisa membakar segalanya.
“Apakah Bapak pernah melihat Ranum bekerja di kantor?! Apakah Bapak pernah melihat Ranum memegang kertas kerja yang berada di ruangan Babeh? Apakah Bapak pernah melihat Ranum memenangkan tender?!”
“Erica, jaga ucapanmu!!” sergah Dian dengan nada tegas, matanya melotot penuh amarah ke arah Erica. Erica membalas tatapan itu dengan tajam, seolah ingin menembus jiwa Dian, anak sulung Nurlaela dan Haris yang baru saja kehilangan orang tua.
“Saya hanya menyampaikan apa yang seharusnya nona ketahui! Jika pun nona tidak menerima kenyataan ini, semua keputusan ada di tangan nona Ranum. Saat ini, beliau yang lebih berhak untuk memutuskan!” ucap Bagas dengan nada final, berusaha menegaskan posisinya tanpa mau bertele-tele lebih jauh.
“Kak, tenang dulu,” suara Ranum terdengar lembut, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. “Kenapa? Kamu senang dengan situasi ini? Baru saja orang tua kita meninggal dunia, kuburannya bahkan masih basah, tapi kalian sudah berbicara tentang pemindahan harta!”
“Pak Bagas hanya ingin menjelaskan semuanya! Beliau pasti memiliki kesibukan lain. Makanya, beliau ingin membahas ini sekarang,” jawab Ranum, berusaha meredam ketegangan yang semakin membara.
Ranum terdiam, hatinya terombang-ambing antara rasa kehilangan dan tanggung jawab. Dalam keheningan itu, pertarungan batin pun dimulai, menyisakan satu pertanyaan yang menghantui: siapa yang benar-benar layak mengambil alih semua ini?
“Lalu? Apakah kesibukannya itu tidak menghormati orang yang baru saja pergi? Apakah pengacara keluarga ini tidak memiliki etika saat melayat?!” Erica mengerahkan semua emosinya, melihat adiknya yang seolah tidak mau membela.
“Lalu, kakak mau apa? Beliau hanya ingin menyampaikan apa yang harus disampaikan!” Adiknya menjawab dengan nada defensif, namun tatapan tajam Erica membuatnya mundur.
Dengan langkah cepat, Erica meninggalkan ruang tamu, amarahnya membara seperti api yang tak tertahan. Harapannya untuk mendapatkan waktu beristirahat sejenak sirna, terhempas oleh kenyataan yang menyakitkan.
“Erica!” panggil Fauzan, pamannya, suaranya menggema dengan nada dingin. “Kamu sudah tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Semua barang-barangmu telah kami keluarkan dari kamarmu.” Kata-kata itu seperti sembilu yang menancap di hati Erica. Ia menatap Fauzan dengan mata penuh kebencian, seolah mampu membakar pria itu dengan pandangannya.
“Apa yang kalian lakukan pada barang-barangku?!” tanyanya, suaranya meninggi, menggema dalam keheningan yang mencekam. Amarahnya bukan hanya untuk melindungi dirinya, tetapi juga untuk melawan ketidakadilan yang dirasakannya, seolah seluruh dunia bersatu untuk merenggut haknya.
“Kamu sudah tidak bisa tinggal di sini lagi. Rumah ini bukan lagi tempatmu, dan harta apapun yang ada di sini bukan milikmu!” ucap Fauzan dengan nada menekan.
“Siapa yang memberi hak kepada kalian untuk mengusirku dari rumahku sendiri?” Erica membalas dengan suara bergetar, penuh kemarahan.
“Aku!” jawabnya dengan senyuman dingin, matanya berkilat tajam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!