09. Rayuan Bulan

"Ibu yakin mau jualan kue-kue kering? Mendingan istirahat aja di rumah, biar aku yang cari uang tambahan."

Sepulang dari kafe semalam, Risa memang sudah menyibukkan diri dengan adonan kue yang ingin ia jual. Tanpa sepengetahuan Meta, dia membeli bahan-bahan keperluan untuk kue kering itu, kemudian mengerjakannya sendirian. Sekarang sudah pukul enam pagi, Risa masih terjaga tanpa tidur barang semenit pun. Tangannya terus bergerak dan tidak mau berhenti jika pekerjaannya belum selesai. Hal itu membuat Meta menghela napas dalam, mulai khawatir akan kesehatan Risa yang terancam. Sementara dirinya tidak diperbolehkan untuk ikut campur. Jika memaksa, mungkin Meta akan didiamkan dua pekan kedepan oleh Risa.

Risa tersenyum lebar, wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak merasa tertekan melakukan semua pekerjaan itu sendirian. "Kamu belajar aja yang rajin, jangan sering-sering bolos. Ibu mau liat kamu sukses dan punya keluarga yang bahagia, jangan kayak ibu sama bapak," katanya dari meja di dekat kompor, mengaduk rata bumbu nasi goreng di wajan.

Meta yang sedang duduk di meja makan lengkap dengan seragam sekolah memberengut. Tidak suka kalau ibunya itu sudah memintanya untuk tidak membolos dan belajar dengan baik. Karena yang Meta inginkan bukanlah itu semua, tetapi hidup bahagia dengan Risa tanpa gangguan dari Beni. Itu saja sudah cukup, Meta tidak akan meminta hal lebih jika hal itu berhasil dipenuhi.

"Aku khawatir Ibu kenapa-napa. Lebih baik istirahat di rumah, bapak juga pasti bakalan marah kalau tau Ibu jualan."

"Bapak nggak akan tau kalau kamu nggak ngasih tau, Ta. Udah jangan banyak mikir, Ibu janji akan baik-baik aja," pungkas Risa cepat, tidak ingin melihat raut khawatir di wajah Meta semakin kentara.

Meta menoleh menuju dapur yang posisinya berdekatan dengan meja makan. "Ibu janji nggak akan kecapekan dan bakalan jaga kesehatan?"

Risa mengangguk, lekuk di bibirnya yang dipoles lipstik berhasil menyembunyikan wajah pucatnya dari keingintahuan ibu-ibu sekitar rumah. "Ibu janji. Tapi sebelum berangkat sekolah, kamu bantu anterin kue-kue ini ke warung yang di dekat sini, ya. Ibu udah ngasih tau mereka sebelumnya, dan mereka setuju. Jadi Ibu nggak perlu keliling kampung sini buat jual kue-kuenya."

"Siap, jangan khawatir. Putra bakalan borong kuenya kalau nggak laku," kekeh Meta di tempatnya setelah membalas perkataan sang ibu dengan jempolnya.

"Oh, ya? Putra emang mau?" tanya Risa tak percaya. "Buat apa juga, Ta, beli banyak tapi nggak dimakan. Mubadzir."

Meta mengedikkan bahu. "Kali aja, Bu. Anaknya suka nggak tau diri banget, orang tuanya juga nggak pernah membatasi uang saku dia, kok. Putra nggak kayak kita, Ibu santai aja."

Risa mengangguk paham di tempatnya. Dari penampilannya yang super rapi dan terlihat mahal itu, memang terlihat jelas bahwa Putra berasal dari keluarga berada. Kendati begitu, dia terlahir sebagai sosok pemuda tampan yang dermawan dan rendah hati. Itulah alasan mengapa hingga kini Meta dan Putra masih berteman baik, begitu pula dengan kedua orang tua mereka.

"Beli hape baru, Ta?"

Ketika berjalan mengantarkan sarapan berupa nasi goreng dan telur ceplok kepada putri angkatnya di meja makan, Risa tak sengaja melihat kotak ponsel berwarna putih. Menduga bahwa putrinya membeli ponsel baru untuk keperluan komunikasi yang memang mendesak.

"Enggak, Bu," jawab Meta cepat sambil menyentuh kotak ponsel tersebut. "Punya Aksel, mau aku balikin. Aku tau aku miskin, tapi aku bukan pengemis yang minta sana-sini. Aku nggak pernah minta dibeliin hape sama dia, anaknya ngeselin parah, mau aku tonjok habis-habisan karena berani mukul Putra."

Kening Risa berkerut dalam, menganalisis wajah kekesalan Meta dari jarak dekat. Otaknya sedang mencerna situasi yang terjadi antara Meta, Putra, dan Aksel. Apa yang menyebabkan marahnya Meta yang berlarut-larut pada Aksel?

"Ta ..." panggil Risa pelan, mengerti jika Meta tidak pernah suka dibantu oleh orang lain. Karena sejak kecil, dengan perekonomian keluarganya yang sulit, Meta selalu diminta untuk berusaha sebelum mendapatkan apa yang ia mau. Seperti orang-orang yang pada umumnya harus mengucurkan peluh demi sesuap nasi. Meta juga demikian, dimana jasanya terpakai, disitulah keinginannya tercapai.

Disaat semua remaja seusianya hidup bergelimang harta, tanpa takut akan dimarahi atau habis karena terlalu sering dihambur-hamburkan, Meta justru mencekik keinginannya untuk memiliki apa yang ia inginkan. Semakin beranjak dewasa, ia semakin mengerti sekeras apa kehidupan yang ia jalani. Beban di pundaknya yang semakin memberat, biaya hidup yang membengkak dari waktu ke waktu, serta pikiran yang tak lagi hanya tentang bermain. Meta memikirkan segalanya, ia menimbang berat semua persoalan yang datang menghampirinya.

Dan ketika ada orang baik seperti Aksel yang mengulurkan bantuan sepenuh hatinya, Meta merasa seperti manusia hina yang tidak bisa apa-apa. Ia merasa kerdil, persis seperti dulu waktu pertama kalinya ia mengerti betapa berharganya uang, jabatan, kekuasaan dan lingkungan sosial yang mewah dan bersih. Meta merasa terpojok, ia tidak suka dikasihani.

Itulah yang diperdebatkan oleh hati dan pikirannya, yang membuat Meta harus berkali-kali menghela napas untuk mengambil sebuah keputusan penting.

"Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu sama Aksel, dia berniat baik sama kamu. Kalaupun kamu nggak mau, kembalikan hapenya secara baik-baik. Ibu nggak suka kamu judes-judes sama Aksel. Hargai juga perjuangan dia untuk kamu supaya nanti kamu nggak menyesal-menyesal banget."

Meta mencebik di tempatnya, tepat di samping Risa. "Menyesal karena mengabaikan dia? Yang ada aku bersyukur, Bu. Baik ke aku juga karena ada maunya. Semalam dia mukul Putra karena Putra belain aku. Terus maksa banget pake hape yang dia kasih, emangnya dia siapa? Baru kenal udah titah aku ini-itu. Hama!"

"Pokoknya jangan kasar sama Aksel, balikin hapenya baik-baik kalau memang kamu nggak mau. Ibu di tim-nya Aksel, bukan Putra!"

"Aku nggak mau dua-duanya, nggak peduli juga Ibu mau di tim siapa."

"Mau sampai kapan kamu kayak gini, Ta? Nggak semua laki-laki itu berengsek, coba deh buka hati," ujar Risa seraya memohon agar Meta memilih satu diantara lelaki yang saat ini mendekatinya.

Seolah tak ingin pusing, Meta mengaduk susunya di atas meja, sengaja acuh pada Risa yang mulai mengatakan hal-hal aneh mengenai dua lelaki yang tidak memiliki hubungan khusus dengannya. Jika semakin diladeni, Risa pasti akan membangga-banggakan Aksel di depannya, jelas hal itu menguji kesabaran Meta dan akan meruntuhkan suasana hati baik yang sejak tadi ia bangun.

Ketika mulai menikmati sarapan, Meta melirik tipis-tipis ibunya. Yang mulai sibuk membungkus kue-kue kering itu dan menaruhnya pada wadah yang sudah disiapkan. Terdapat tiga wadah berupa keranjang yang masing-masing tempatnya sudah diberikan alamat agar tidak salah dan tertukar.

"Warnanya ada tiga, ya. Merah, hijau sama biru. Kamu perhatikan baik-baik alamatnya biar nggak salah antar." Risa mulai menatanya di atas meja disaat semua sudah hampir selesai. Meta juga sudah menyelesaikan sarapannya, kemudian menepikan piring untuk dibawa ke bak cuci piring yang tidak jauh dari letak kompor.

"Ibu yakin kuenya bakalan dibeli orang-orang sekitar sini? Selera mereka tinggi, loh, Bu."

Tak memedulikan pertanyaan Meta yang justru menjatuhkan semangat juangnya, Risa berjalan ke arah depan. Melihat situasi di halaman rumah, barangkali Beni pulang lebih awal, untungnya tidak seperti yang Risa perkirakan. Beni tidak pulang, namun dua buah sepeda motor berbeda merk langsung memasuki pekarangan rumah.

Risa yang tak menyangka dua sosok yang sempat ia bicarakan muncul di hadapannya, langsung berlarian menuju tempat dimana Meta sedang mencuci piring bekas sarapannya tadi.

"Ta! Kamu bilang mereka berantem, Ibu liat baik-baik aja, kok. Kamu bohong, ya?" cercanya tanpa membiarkan Meta memotong kalimat. Yang bisa Meta lakukan hanya mengerutkan kening sedalam mungkin, berharap memahami apa yang sedang ibunya bicarakan.

"Ibu ngomong apa, sih?"

"Itu, loh, di depan ada Putra sama Aksel. Kayaknya mau ngajak ke sekolah bareng!"

Demi ikan paus yang bernapas menggunakan paru-paru, yang terlalu bersemangat untuk membahas Aksel adalah Risa. Meta sendiri sudah mual dan hampir muntah mendengar nama lelaki itu, kalau bisa, dia ingin tidak bertemu lagi dengan yang namanya Aksel Daru Achilles. Cowok menyebalkan yang terus-terusan mengejarnya. Bak orang bodoh yang urat malunya sudah putus, Aksel tidak memedulikan semua cacian dan penghinaan Meta terhadapnya.

Rasanya menyebalkan, seperti dikejar-kejar masalah. Hidup Meta sudah layaknya neraka jika terus bersinggungan bersama Aksel.

"Ibu usir aja, bilang kalau Meta udah berangkat duluan."

"Nggak bisa gitu, dong, Ta. Kamu samperin dulu di depan, udah manggil-manggil, tuh!" desak wanita itu, menyolek lengan putrinya berkali-kali agar segera beranjak menuju teras.

Meta yang sudah kepalang kesal pun tidak bisa meledak meluapkan emosinya, hingga lagi-lagi ia terpaksa menutup rapat bibirnya. Setibanya Meta di teras, Putra dan Aksel menyambut dengan senyuman paling hangat. Mengalahkan sinar mentari yang masih malu-malu di ufuk Timur. Sedangkan Risa sudah menenteng keranjang yang berisi kue untuk diantar ke warung-warung.

"Bareng, Ta?" tanya Putra lebih dahulu, diikuti lekukan dalam bibirnya.

Aksel memandangi Putra, wajahnya sedikit memar berkat pukulannya semalam. Tapi yang namanya cowok, masalah kecil seperti itu tidak akan ada artinya. Hanya saja, Aksel masih merasa kesal pada Putra dan begitupun sebaliknya. Niat keduanya sudah sama-sama terbaca, persaingan mereka mulai semakin ketat setelah Aksel tahu perasaan Putra untuk Meta.

"Nih, hape lo. Gue nggak butuh!"

Kotak hape yang ada di tangannya sudah berpindah tempat ke pangkuan Aksel sekarang, hingga sang empunya menatap kosong benda pemberiannya pada Meta itu. Tampak sangat tidak berharga, membuat Putra kelewat senang hingga Aksel ingin menenggelamkan cowok itu ke rawa-rawa.

"Ta, gue nggak main-main sama ucapan gue semalam." Saat Meta berbalik, menghadap Risa untuk mengambil dua buah keranjang, peringatan Aksel membuatnya membeku di tempat.

Meta membalikkan punggung, berhadapan dengan Aksel kembali. Wajahnya kesal, tidak suka cowok itu berbuat sesuka hati.

"Jangan sentuh Putra!"

"Terima pemberian gue. Sederhana, Ta, jangan mempersulit semuanya."

"Emang anjing lo! Hama, nggak tau diri!" maki Meta tak tahan, kemudian merampas kembali kotak hape yang ada di tangan Aksel. Berjalan dengan menghentak agar lebih dekat dengan Putra. Tak lagi memedulikan Aksel yang sudah menang darinya.

Malu dilihat tetangga yang lewat, Meta terpaksa menahan emosinya pagi-pagi begini. Padahal dadanya sudah sangat sesak untuk menahan diri, tapi keadaan tidak memberinya izin untuk berkelahi. Terlebih Risa sudah melotot sempurna padanya, memperingatkan agar tidak bertindak kasar pada kandidat pilihannya.

"Bantuin gue anter kue ke warung, bisa?" tanyanya begitu tiba di hadapan Putra.

"Bisa, Ta. Buat lo apa yang nggak gue bisa, sih," balasnya sombong, membuatnya mendapatkan delikan ganas dari Aksel.

"Bisa aja ampas tahu!" cibir Aksel pelan.

Merasa sudah sangat tertolak, Aksel pun mengulum senyum alih-alih marah pada Risa. Menyalim tangan wanita berdaster itu dan mengambil satu keranjang yang tersisa untuk diantarkan ke warung. Dalam permasalahannya, yang menolak perasaannya adalah cewek yang bersangkutan, bukan keluarganya. Jadi Aksel akan mengambil perhatian keluarga Meta lebih dahulu, terutama Risa.

"Duluan, ya, Tan. Kuenya biar saya yang borong, nggak usah dititipin ke warung. Assalamualaikum."

Mendengar itu, Risa cengengesan di tempatnya sambil menjawab salam dari menantu idamannya. Sementara Meta dan Putra masih berdiri di tempat mereka dengan tatapan bingung dan kesal yang bercampur jadi satu. Mereka bertiga hanya bisa memandangi kepergian Aksel yang seperti pemenang sesungguhnya dalam pertempuran ini.

"Sialan! Sok keren lo hama!" desis Meta. "Emang keren, sih, tapi."

***

Jam istirahat pertama berbunyi, menandakan bahwa sudah saatnya untuk mengisi perut yang mulai keroncongan di kantin sekolah. Bu Inggit mengemasi barang-barangnya di atas meja, menyudahi pelajaran dengan tugas yang akan dikumpulkan minggu depan. Setelahnya, beliau meninggalkan kelas dan Aksel mengeluarkan sekeranjang kue kering milik ibu Meta.

Hal tersebut membuat Aksel mendapatkan delikan menyeramkan dari Meta untuk kesekian kalinya, namun cowok itu sama sekali tidak terusik. Sibuk dengan kue kering yang hendak ia bagikan pada teman-teman sekelas dan guru-guru di sekolah ini. Namun saat Aksel hendak membawa keranjang kue itu pergi, Meta menahan lengannya. Mereka bertatapan, setelah sejak pagi saling membuang muka.

"Mau lo apain kue-kue itu? Nggak usah sok jadi pahlawan, gue nggak butuh rasa kasihan lo!"

Aksel menaruh keranjang kue itu di atas meja, enggan merasa pegal karena memeganginya terlalu lama. Matanya kembali menentang kedua iris hitam kecoklatan milik Meta. "Bukan buat lo, buat Tante Risa. Nggak usah kegeeran!" balasnya, sengaja mempermalukan Meta disaat tiga temannya beserta tim inti Destroyer berada di dalam kelas.

Meta merasa malu hingga mengedarkan pandangannya pada seluruh siswa yang tersisa di kelas. Ditatapnya dengan tajam wajah yang menertawakan dirinya, memperingatkan untuk berhenti.

"Lo mau kita duel dimana ntar sore? Ngeselin banget bikin gue muak sama kelakuan lo."

"Kita nge-date aja gimana? Kalau duel, gue takut lo akan mempermalukan diri lo sendiri," ujar Aksel sambil tersenyum manis, lalu mencondongkan tubuhnya pada Meta. "Persis kayak waktu itu. Dimana gue dipermalukan karena udah suka sama cewek kayak lo."

Plak!

Seluruh siswa menganga, mata mereka membola seolah hampir keluar. Entah apa yang Aksel katakan hingga Meta melayangkan sebuah tamparan keras pada lelaki bertubuh indah itu. Tim inti Destroyer hanya menyunggingkan senyum, mereka tahu hal cemen seperti itu tidak akan menyurutkan niat Aksel untuk menjadikan Meta sebagai pacarnya. Lain hal dengan ketiga sahabat Meta, mereka justru meringis dan malu punya sahabat segalak Meta.

"Ini yang bikin gue cinta mati, Ta, sama lo. Galak lo udah jadi candu buat gue."

"Sakit jiwa lo hama!" desis Meta dengan napas yang mulai berat. "Mau lo apa sebenernya?!"

"Sejak awal lo tau mau gue apa. Jadi gue nggak perlu jawab pertanyaan lo barusan."

Menyebalkan! Cowok itu mengatakan dengan enteng soal perasaannya, padahal teman-temannya ada di sana. Aksel memang sudah tidak punya rasa malu, bahkan meski ditertawakan oleh teman-temannya, cowok yang Meta anggap seperti hama itu tetap tidak mau berhenti menyatakan cintanya. Bodoh.

"Sial!" cicit Meta, menatap kepergian Aksel bersama teman-temannya yang tidak ia tahu kemana tujuannya.

Saat sedang menatap mereka, tiba-tiba Aksel berbalik dengan senyum yang lebar menampakkan sederet gigi putihnya.

"Kencannya nanti malam settel, ya. Awas aja kalau nggak jadi, lo gue pacarin beneran," kata cowok gila itu sambil terkekeh sok tampan. Meta membalasnya dengan sebuah kepalan tangan dan membawanya ke leher. Mengeluarkan sebuah jempol lalu membuat gerakan seperti menyayat leher.

Bibirnya bergerak mengatakan, Lo bakalan mati!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!