Hari ini sama seperti hari biasa yang sibuk namun terkendali, tampak di ujung lorong pak Karta sibuk memberi pengarahan pada beberapa orang bawahannya akan kinerja divisi mereka yaitu Housekeeping yang kurang memuaskan di akhir bulan ini.
Bangunan itu memiliki 206 kamar dan ruangan lain di antaranya, coffee shops, restoran, serta pusat kebugaran lengkap dengan spa, kolam renang ukuran dewasa dan anak-anak. Fasilitas ruang konferensi yang besar dengan didukung perlatan terkini dan ditunjang tempat parkir yang luas, tersebar di dua lantai.
Lantai dasar memiliki 2 buah ruang pertemuan dengan kapasitas yang besar. Lantai kedua memiliki 3 buah denga kapasitas masing-masing 80 orang, yang semua ruang terhubung dengan ruang utama yang dapat menampung 300 orang tamu.
Modelnya adalah semi-modern dengan didominasi warna cokelat muda dan putih. Terletak di kawasan yang sangat strategis, hal ini membuat Hotel Wisteria mudah diakses dan dapat mengundang banyak wisatawan yang sedang mencari tempat menginap.
Sementara itu di bagian lain seorang pria muda mengenakan stelan jas formal yang rapi tapi jika diperhatikan warna yang digunakannya selalu sama dari hari ke hari sedang berjalan dengan sangat terburu-buru sambil membawa beberapa berkas di tangannya.
Beberapa kali langkah pria itu terhenti untuk memastikan semua orang dalam posisi mereka dan fokus pada apa yang mereka kerjakan. Jona masuk lift sambil mengecek kembali berkas yang dia bawa untuk diserahkan kepada bos yang dia sendiri tidak tau kapan akan datang. Ruangannya berdekatan dengan ruangan sang bos tepatnya meja kecil di sudut dekat pintu masuk, tidak terlalu kecil, cukup nyaman dan sangat rapi.
Jona masuk ke dalam ruangan yang didominasi dengan warna hitam, aura maskulin terpancar dari dalam ruangan itu. Tidak banyak perabotan di dalamnya karena bosnya tidak terlalu suka dengan ruangan yang penuh sesak. Jona meletakkan berkas-berkas yang dia bawa lalu merapikan sebentar meja yang ada di hadapannya semua harus ditata dengan rapi dan teratur, tiba-tiba bunyi ponsel terdengar dari luar ruangan tepat di atas mejanya, dia pun bergegas mengangkatnya, "Halo bos. Iya saya segera ke sana."
***
Di sebuah hunian luas dan megah terlihat seorang pria yang terlihat berusia 30-an lebih sedang duduk di taman dengan seorang wanita paruh baya yang tampak sangat bersemangat, matanya berbinar sembari memegang tangan sang anak.
Di belakangnya ada seorang perempuan cantik sedang mencoba menenangkan ibunya yang tampak sangat tidak biasa hari ini, "Ma, mungkin ada baiknya kita jangan terlalu memaksanya," ucapnya sambil melirik kearah adik laki-lakinya yang hanya bisa menghela nafas tanda ketidaksetujuannya.
Sang ibu yang biasa dipanggil Nyonya Rastomo menginginkan agar anak bungsunya itu bisa bahagia atau setidaknya bisa melangkah maju keluar dari hidupnya yang tidak menyenangkan. Dia ingin setelah tiada nanti anaknya bisa lebih menghargai hidup dan merasakan kebahagiaan yang sama seperti kakak perempuannya yang sudah punya keluarga sendiri yang menurut anak laki-lakinya itu tidak terlalu penting baginya, dia senang bisa hidup sendiri tanpa usikan dari orang lain seperti itulah kurang lebih apa yang ada dibenaknya.
Semenjak dia ditinggal oleh ayahnya, anak itu menjadi tertutup dan cenderung menyendiri, dia sudah dibebani hal yang sangat berat di usia muda. Dia harus menduduki posisi yang ayahnya tinggalkan dan melepas kesenangan di masa mudanya, untungnya dia tidak pernah mengeluh akan hal itu tapi tetap saja ibunya khawatir akan masa depan anaknya itu. Apalagi semenjak insiden beberapa tahun yang lalu itu rasanya sulit bagi Baswara untuk keluar dari bayang-bayang kelam masa lalu yang menghantuinya hingga kini. Anak itu pantas mendapatkan kebahagiaan atas semua yang telah ia lalui.
Bukannya tanpa kekhawatiran, ibunya pernah bebarapa kali ingin mengenalkan ia dengan anak dari kenalannya, tapi pada akhirnya selalu saja ada komentar yang sampai padanya bahwa dia tampak tidak tertarik dengan mereka.
Baswara sering kali terlihat seperti orang yang tidak peduli atau bahkan tidak punya empati. Dia cenderung diam, berpikir dulu sebelum bicara dan tidak menunjukkan perasaannya dengan mudah tapi sebenarnya dia anak yang sangat baik, mungkin dia tidak memperlihatkan perasaannya secara terang-terangan, tetapi ia sangat peka terhadap emosi orang lain, dia juga mampu membaca bahasa tubuh dan memberikan dukungan tanpa harus mengeluarkan banyak kata-kata karena itu hanya membuat segalanya terlihat bertele-tele.
"Kita bisa membicarakan hal ini nanti ma, yang penting kesehatan mama yang utama.”
"Cuma itu harapan mama nak, tidak ada yang lain. Mungkin berat tapi cobalah pertimbangkan dulu." Pria itu mencoba merenungkan kata-kata ibunya tapi semakin dalam dia berpikir kepalanya menjadi sangat sakit.
Dengan tenang dia berusaha untuk menyenangkan hati ibunya yang dia tau permintaan itu akan sulit untuk ditolak, "Baswara akan pertimbangkan dulu, mama tenang aja dan jangan banyak pikiran," jawabnya sembari menggenggam tangan sang ibu yang 5 bulan lalu divonis oleh dokter hidupnya tidak akan lama karena penyakit kanker hati yang dideritanya.
Tidak lama setelahnya pria itu pamit pulang untuk membiarkan ibunya beristirahat sang kakak terlihat mengikuti adiknya yang melangkah keluar dari pintu rumah mereka, "Waktumu cuma seminggu atau paling lama 2 minggu untuk mengurus hal ini Bas," ucap si kakak sambil menepuk pundak adiknya itu dan dijawab dengan helaan nafas berat darinya.
Sepanjang jalan Jona sesekali mengintip dari kaca depan memperhatikan Baswara yang duduk di belakang sembari memasang tampang kusut sepulang dari rumah keluarga besarnya. Hal yang tidak biasa pikirnya. Sesampainya di hotel Baswara berjalan melewati lobi disambut dengan sapaan hangat dari para staff hotel dan dibalas dengan anggukan singkat diikuti dengan Jona yang tersenyum ramah di belakangnya.
Di dalam lift Jona yang berdiri di depan pintu segera menekan angka lantai yang akan mereka tuju yaitu lantai paling atas tempat di mana ruangan mereka berada.
Baswara yang berdiri bersandar tiba-tiba menyahut, "Sial! bagaimana ini?".
Jona terkejut dan balik menatap Baswara dengan penuh tanda tanya di wajahnya, sesampainya di ruangan dia buru-buru menutup pintu dan kembali memasang wajah bingung atas apa yang barusan dia dengar.
"Bos?Apa anda baik-baik saja?". Baswara berdiri di depan jendela yang menjulang tinggi di depannya menatap pemandangan dari bawah hotel yang tampak mulai sibuk, tamu-tamu mulai berdatangan dengan beberapa barang yang mereka bawa.
"Tidak. Pertanyaan yang tepat siapa yang harus aku nikahi," ucapnya yang agak terdengar kurang yakin.
"Bos, sejujurnya saya tidak mengerti apa yang sedang anda katakan dari tadi."
"Ya. Kita harus mencari orang itu." Baswara perlahan berbalik badan menatap sang sekertaris yang masih setia di tempatnya menatap dirinya dengan wajah penasaran dan sekaligus bingung.
"Sebenarnya apa yang sedang terjadi?" Jona menyahut pelan.
"Aku akan menikah. Lebih tepatnya harus menikah."
**Note: Ini Karyaku pertama di NovelToon semoga bisa menghibur kalian semua. Kalau ada saran dan kritikan boleh banget. Jadi, selamat membaca kawan.
Baswara menatap jauh keluar dari kaca mobilnya, di seberang jalan terdapat restoran favorit seseorang yang setiap bulan selalu mereka kunjungi bahkan apa makanan favorit dan bagaimana ekspresi wanita itu ketika memakannya masih tergambar jelas dibenak pria itu.
Dari semenjak kuliah mereka bersama, berteman akrab hingga memutuskan untuk menjalani hubungan yang lebih serius. Cinta pertama Baswara yang masih dia rasakan sedikit kenangan manis tertinggal dan agak samar, mungkin jika dulu dia akan mati-matian menunggu wanita itu untuk kembali pulang padanya namun kini dia telah sadar bahwa dunianya berjalan dengan baik meskipun tanpa wanita itu di sisinya.
Suasana rumah Baswara tidak berbeda jauh dengan ruangan di hotel tempat dia bekerja, penuh dengan aura suram dan tidak ada rasa sukacita di dalamnya begitulah kata Jona waktu lalu dia menginjakkan kakinya di sana, rumahnya cukup luas lengkap dengan perabotan minimalis serta di belakang ada halaman luas tempat di mana biasanya keponakan kecilnya puas bermain, hanya sesekali karena pada dasarnya dia benci suasana ramai.
Setelah mandi Baswara bergegas mencari baju untuk tidur di dalam lemari, sembari mengeringkan rambutnya yg basah dengan handuk matanya jatuh pada sebuah kotak yang terletak di sudut bawah lemari, kotak berwarna kuning.
Baswara ragu dan meraih kotak itu, setelah berpakaian lantas dia duduk di ranjangnya dan perlahan membuka kotak itu, munculah kembali kenangan lama. Banyak benda-benda kenangan dia dan wanita itu. Baswara meraih sebuah sapu tangan putih bermotif bunga dengan pinggiran dihiasi renda, pikirannya tiba-tiba jauh menerawang kembali ke masa itu.
10 September 2010
Baswara muda tampak berlari kencang menembus kerumunan orang-orang yang melintasi koridor itu. Di pundaknya tas ransel coklat bergantung mantap, rambutnya agak panjang tampak berkibar-kibar mengikuti ritme tubuhnya, penampilannya tampan dan segar dengan kemeja kotak-kotak hitam merah dipadu dengan celana hitam bisa dibilang dia cukup mengikuti tren berbusana pada jaman itu.
"Permisi, tolong minggir beri jalan," ucapnya sembari menerobos kerumunan orang didepannya yang sedang menyaksikan sesuatu.
Tepat di bawah sana terlihat sahabat karibnya sedang duduk terpaku bersender ke dinding, wajahnya tampak sedih dan menahan rasa malu Axel Wargen nama pria muda malang itu.
Pemuda jakarta yang memiliki darah amerika dari sang ayah, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi namun reputasinya terbilang cukup buruk karena sering bergonta-ganti pacar.
Baswara meraih tubuh Axel hingga dia berdiri dan menariknya meninggalkan orang-orang yang menatapnya dengan geli, "Kali ini siapa lagi yang jadi korban ?" tanpa perlu dikatakan lebih lanjut Baswara sudah tau bahwa temannya ini baru saja ditolak.
Ya, petualangan cinta Axel mungkin terbilang sukses karena berhasil mendapatkan beberapa perempuan cantik dan populer dikampusnya tapi ada juga yang gagal dia dapatkan dan ini justru menjadi berita hits karena itu berarti ada wanita waras yang mampu menolak mahluk setampan Axel.
"Apa kau benar-benar ingin tau, atau hanya sekedar basa-basi? Karena sumpah aku tidak ingin dengar apapun pendapatmu tentang ini."
Baswara merangkul bahu temannya dengan sedikit senyum nakal di wajahnya, "Oh tentu aku tidak bisa berpendapat apapun tentang itu, karena kau sudah tidak tertolong Ax, ayolah katakan siapa orangnya. Kau tau kan setiap kali kau ditolak maka sudah pasti semua orang penasaran dengan perempuan yang menolakmu." berbanding terbalik dengan temannya.
Axel memasang wajah kusut kini tampak mulai kembali ke dirinya yang normal saat dia melihat seorang perempuan yang sedang ada di seberang gedung duduk di taman membaca buku, seketika itu Axel langsung menarik tangan Baswara menuju ke tempat perempuan itu berada.
"Hai," ucap Axel yang tampak tidak terganggu dengan sikap acuh lawan bicaranya.
"Dia pasti tidak mau diganggu, ayo kita pergi," ucap Baswara sembari mengamati sosok perempuan yang duduk membelakanginya, lalu sekejap dia menyimpulkan bahwa perempuan ini adalah subjek yang mereka bicarakan dari tadi.
Tiba-tiba perempuan itu menoleh kearah Axel sambil menghela nafas dan berdiri merapikan bukunya tanpa sepatah kata dia berjalan pergi dan melewati Baswara, mereka bertemu pandang perempuan itu memandangi wajah Baswara lalu dengan cepat mengalihkan pandangan kejalan di hadapannya.
"Dia pasti menyesal. Aku yakin, mungkin aku harus merubah taktik lain, bukan begitu? Benar! Aku akan memikirkannya nanti. Ayo kita ke kantin Bas," ucap Axel sembari pergi dengan langkah gontai.
Di sisi lain Baswara yang masih tertegun memandangi punggung perempuan itu tiba-tiba sadar bawah tidak jauh dari kakinya ada sebuah sapu tangan putih terjatuh, Baswara mengambilnya dan buru-buru memasukkannya kedalam kantong celananya.
Baswara menghirup sapu tangan itu, samar-samar masih ada aroma yang tertinggal di sapu tangan yang sudah bertahun-tahun berada di dalam kotak, aroma dari seseorang yang sangat disayanginya.
Dulu, dia yang meninggalkannya empat tahun yang lalu dan menoreh luka dalam di hati Baswara, seseorang yang namanya tersulam rapi di ujung sapu tangan itu Hany Biru Kirana.
Waktu menunjukkan pukul jam sembilan malam, di luar tampaknya hujan mulai turun membasahi pokok pohon yang baru ditanam Baswara seminggu lalu, tiba-tiba suara bel pintu berbunyi siapa yang bertamu malam-malam begini ? pikirnya. Bukan Axel namanya kalau tidak memberikan kejutan yang tidak dinanti.
"Tadinya aku akan mengunjungi Nico di klubnya ada pesta ulang tahun pacarnya, dia mengundangku datang sepertinya kau juga. Tapi tiba-tiba aku teringat sesuatu yang jauh lebih penting makanya aku mampir," ucapnya sembari mencari sesuatu untuk bisa dia nikmati dari dalam lemari es milik temannya itu.
"Jika itu bukan hal yang benar-benar penting, aku akan membunuhmu Ax." Axel tampak sangat yakin dan bersemangat dengan apa yang ada dibenaknya.
"Ini menyangkut hidup dan matimu, aku dengar kau dapat restu dari ibumu untuk menikah ya? Wah! aku tidak menyangka kau akan menikah duluan padahal aku pikir sampai setidaknya sepuluh tahun kau tidak akan berada ditahap itu," ucap Axel sambil menyeringai nakal kearah Baswara yang tampak jengah dengan kelakuan sahabatnya itu, bukan rahasia bahwasannya Axel sudah melakukan pertobatan atas dosa masa lalunya.
Kini dia berjanji akan setia dengan satu wanita yang mengikat hatinya yang katanya merupakan momen terindah hidupnya karena mereka bertemu di bawah menara Eiffel.
"Ini hidup dan matiku. Jadi jangan ikut campur Ax lagipula ini bukan restu tapi mandat yang harus dilaksanakan. Aku akan mengurusnya dengan tepat dan cepat," ucap Baswara mantap.
Namun tampaknya Axel pesimis dengan itu, "Bagaiman caranya? Apa kau akan membuat sayembara? Atau membuka lowongan kerja merangkap lowongan istri? Lagipula kau tidak bisa sembarangan mencari wanita asing yang tidak jelas, ini menyangkut reputasi, bukan hanya dirimu tapi seluruh keluargamu." Baswara tampak merenung sejenak.
"Itu hal yang mudah. Sudahlah aku akan mengurusnya nanti." Tiba-tiba mata Axel tampak berbinar, dia seperti telah menemukan ide cemerlang yang dapat merubah tatanan hidup manusia.
"Aku punya ide cemerlang, kau pasti menyukainya Bas. Kujamin ini solusi yang paling aman dan cepat." Entah kenapa Baswara merasa agak sedikit khawatir dengan apa yang baru saja didengarnya, karena sebagian besar ide-ide cemerlang Axel selalu berakhir gagal maka dari itu dia enggan mencobanya.
"Haruskah aku mendengarnya?" ucap Baswara tidak tertarik.
"Lakukan kawin kontrak. Dengan batas waktu tertentu, ikatan tanpa perasaan dan sikap profesional dari pasanganmu maka ini solusi yang paling tepat! Kau harus memujiku untuk ide cemerlang ini Bas," ucap Axel dengan wajah bahagia sekaligus bangga.
Baswara menatap Axel dengan takjub tak lupa dia memberikan senyum terbaiknya sembari berkata, "Pergi dari rumahku! dasar gila!".
Kani berlari sekuat tenaga untuk mencapai gedung yang ada di ujung jalan, hari ini dia bangun kesiangan bukan pertama kali pastinya tapi dia bertekad untuk sampai secepat mungkin.
Dia bekerja disebuah toko perhiasan mewah yang ada di kawasan perkantoran elit. Sudah tiga tahun ia bekerja di tempat itu dengan segala suka dan duka, Kani senang bekerja di sana karena bisa bertemu dengan berbagai macam orang.
Tidak semua orang kaya yang datang ke tokonya kadang ada pasangan yang keuangannnya pas-pasan datang ke sana dengan cerita si wanita yang sangat ingin dibelikan cincin mahal oleh sang pacar.
Sesampainya di tempat kerja Kani bergegas memakai baju kerjanya dan menjumpai manajernya yang sudah menunggu di ruangannya.
"Ini sudah yang keberapa kalinya Kani?" ucap bu Dian sambil menyeruput teh hangat miliknya.
"Maaf bu. Saya janji ini yang terakhir kalinya," ucap Kani dengan penuh penyesalan.
"Sudah empat kali. Jika berikutnya terjadi lagi akan ada konsekuensinya." Kani tau ini akan terjadi dan dia tidak bisa lagi melakukan kesalahan yang sama.
"Baik. Saya terima hukuman apapun jika saya terlambat lagi. Sekali lagi saya minta maaf karena terlambat hari ini."
Kani merupakan karyawan yang cukup disukai oleh sang manajer karena kinerjanya yang bagus hubungan dia dan teman-teman kerjanya juga baik, hanya Kani beberapa kali terlambat masuk kerja dan itu memberi kesan yang tidak terlalu bagus pada reputasinya. Sekitar kurang lebih dua tahun ini Kani harus banting tulang mengumpulkan uang untuk biaya perawatan neneknya yang ada di nursing home, pagi dia bekerja di toko perhiasan Lorraine dan setelah pulang kerja ia menjadi guru privat untuk keponakan dari temannya yang duduk di sekolah dasar.
Dulu Kani hidup dengan cukup bahagia menurutnya meskipun bekerja keras mencari uang tapi di sisi lain ia bersyukur memiliki seseorang yang bisa dijadikan tempat untuk bersandar dari semua hal yang melelahkan.
20 April 2023
Langit sore sangat indah pada hari ini, di luar sana jalanan cukup macet karena jam pulang kerja banyak orang dan kendaraan berlalu-lalang.
Kani keluar dari tempat kerjanya dengan raut wajah yang sumringah di depan pertigaan Kani pamit berpisah jalan dengan rekan kerjanya yang lain.
Hari ini ulang tahun Rio tunangannya mereka berjanji akan merayakannya di apartemen Rio, Kani pun segera mencari toko kue untuk membeli kue ulang tahun sederhana dan dia teringat toko kue yang ada di ujung jalan dekat apartemen Rio.
Good Monday nama toko kue kepunyaan seorang wanita cantik bernama Agni yang baru menikah 5 bulan yang lalu, Kani lumayan sering mengunjungi toko ini untuk membeli pie strawberry kesukaan neneknya.
"Mbak Agni, apa kabarnya?" tanya Kani pada wanita cantik itu yang baru saja kembali dari bulan madu, wajah Agni sangat bahagia khas orang yang baru saja menikah dia menyambut Kani yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri.
"Baik Kani, padahal kita tidak bertemu hanya sebulan tapi rasanya mbak lama tidak melihatmu," ucap Agni sambil memeluk Kani dan membawanya masuk ke dalam.
“Iya padahal cuma sebulan. Oh iya mbak Kani mau beli kue tart boleh ditambah kata ucapannya juga ya mbak," ucap Kani sambil menunjuk sebuah kue yang ada di etalase dan langsung dipersiapkan oleh Agni tak lupa dia juga memberikan sekotak pie buah yang baru dibuat sebagai oleh-oleh yang terlambat katanya.
Kani menunggu dengan sabar di dalam apartemen tunangannya, sudah jam 9 malam tapi yang ditunggu tidak kunjung datang dan sesekali dia memandangi meja makan yang sudah ditatanya, Kani mencoba untuk menelepon Rio dan tidak menemukan jawaban apapun.
1 pesan baru ...
Kani buru-buru membuka isi pesan yang dikirim oleh sahabat karibnya, dia tertegun memandangi isi pesan yang di dalamnya terpampang dua foto yang sulit untuk dia pahami apa maksudnya, tiba-tiba ada telfon masuk dari Chika.
"Kani tolong tenang dulu. Apa yang akanku sampaikan pasti mengguncangmu, tapi aku tidak bisa menyimpan ini lebih lama lagi," ucapnya di seberang sana.
Kani mencoba mengingat foto barusan yang dia lihat tunangannya Rio duduk di restoran dengan seorang perempuan yang pernah dia lihat di suatu tempat dan foto yang satu lagi foto di mana mereka keluar dari apartemen Rio tempat kakinya berpijak saat ini.
"Apa maksudnya foto itu Chika?".
Sahabatnya itu menghela nafas cukup panjang dan menjawab, "Aku tidak sengaja melihat Rio dan wanita itu keluar dari bioskop sekitar 2 bulan yang lalu dan aku memutuskan untuk mengikutinya. Benar dugaanku dia membawa wanita itu makan di restoran kesukaanmu, ada yang tidak benar dengan hubungan mereka dan puncaknya kemarin waktu kau minta untuk bertemu di depan apartemen Rio, aku sampai duluan di sana dan melihat mereka keluar bersama. Aku rasa dia selingkuh Kani." Kani tertegun mendengarnya, dia berusaha mencerna atas apa yang sebenarnya terjadi.
Rio tergesa-gesa masuk ke dalam apartemennya sembari melepas sepatu, "Maaf ya sayang, perkerjaanku menumpuk sekali maklum ini akhir bulan," ucapnya sembari menepuk pelan pundak Kani.
Pria itu menunjukkan raut senang dengan apa yang tersaji di meja makan, di seberangnya Kani dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan sedang menatap ke arahnya ragu akan apa yang dipikirkannya.
"Kemana cincinmu?" ucap Kani yang sedari tadi menyadari bahwa tunangannya itu tidak memakai cincin di jarinya dan entah sudah berapa lama hal itu tidak disadarinya.
Rio tampak panik namun kemudian dengan cepat dia mengendalikan dirinya, "Oh ini, aku menyimpannya di dalam kamar takut nanti hilang terjatuh," ucapnya sembari melihat jari telunjuknya yang kosong sambil lalu.
"Ayo kita makan. Kau pasti lama menunggu kan?"
Kani menyodorkan foto yang tadi dia lihat.
Dia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya di malam ini, "Apa aku boleh tau siapa dia?" ucapnya menatap tegas kearah Rio yang jelas terkejut namun terlihat tenang karena dia tau pasti akan ada hari di mana semuanya akan terbongkar.
"Dari kapan kau tau?" Kani merasa kesal dengan tanggapan pria itu, dalam hatinya dia memohon agar apa yang dia ketahui tidak benar dan tunangannya akan menjelaskan dengan penuh rasa bersalah tapi ini justru sebaliknya.
"Tidak penting, yang ingin aku ketahui apa hubungan kalian?" Rio menatap dalam ke mata Kani yang sedari tadi menahan air matanya agak tidak jatuh.
"Maaf Kani. Tapi ini terjadi begitu saja tidak bisa kuhentikan dan aku tidak akan memberikan alasan apapun padamu karena aku memang yang salah di sini," ujar Rio sambil berusaha mengendalikan dirinya.
"Bagaimana perasaanmu dengannya? apa kau mencintainya?" mereka berdua diam menahan emosi yang berkecamuk dipikiran masing-masing.
Rio berucap lirih "Aku merasa nyaman dengannya, kau terlau sibuk dengan pekerjaanmu. Terkadang aku membutuhkanmu tapi sulit untuk menemuimu sedangkan dia selalu punya waktu. Maaf."
Kani memotong ucapan Rio, "Kau bilang tidak akan beralasan apapun, sekarang ini menjadi salahku. Baiklah, katakan apa maumu?".
Pria itu tampak bingung dengan apa yang sebenarnya dia inginkan sebelum Rio mengambil keputusan, Kani sudah melangkah dengan melepaskan cincin tunangannya dan meletakkan di pinggir meja dengan mantap dia memandang pria di hadapannya, "Mari kita akhiri ini."
Kani memandangi undangan yang ada di tangannya seorang kurir surat baru saja mengantarkannya, ternyata undangan pernikahan sang mantan dengan kekasihnya dasar pria brengsek! Bisa-bisanya dia mengirimi aku undangan ini setelah apa yang dia lakukan! pikir Kani kesal dan meremukkan undangan itu lalu melemparkannya ke tempat sampah.
Perasaan lega menyelimuti hati Kani setelah melewati hari-hari menyeramkan itu di mana dia patah hati teramat dalam setelah dikhianati oleh orang yang ia cintai selama empat tahun dan menjadi tokoh utama dalam mimpinya di masa depan, hanya tinggal selangkah lagi mereka akan mengikat janji sehidup semati bersama membangun keluarga harmonis tapi harus pupus kini Kani merasa lega karena merasa sudah diselamatkan dari takdir buruk.
"Aku harap kau menghilang selamanya dari hidupku. Jujur aku tidak ingin kau jadi bagian dari kenangan di hidupku. Semoga hidupmu bahagia," ucap Kani lirih sambil memandangi sampah kertas yang ia buang tadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!