Pintu masuk auditorium itu tampak begitu mewah, bagian luarnya berkilau diterpa sinar matahari pagi.
Exterior bangunannya dihiasi ukiran rumit dan batu yang dipoles, menghadirkan perpaduan antara gaya tradisional dan modern.
Jelas, bangunan ini baru dibangun atau baru saja direnovasi, menjadi bukti kemegahan akademi.
Melalui jendela kaca tinggi, terlihat sekilas lobi dalam yang mewah—lantai berkarpet tebal, lampu gantung besar, dan hiasan dari kuningan yang berkilau tertimpa cahaya.
Para siswa masuk satu demi satu, langkah kaki mereka bergema pelan saat melewati pintu ganda yang besar itu.
Sebagian besar bergerak dengan tujuan yang jelas, ingin segera mendapatkan tempat duduk, sementara yang lain masih berlama-lama di luar, entah karena enggan atau teralihkan.
Beberapa pelayan tetap mendampingi, memastikan tuan atau nona mereka sudah nyaman sebelum mereka sendiri berpencar untuk menunggu.
Di berbagai sudut halaman sekolah, terdapat area khusus bagi para pelayan: gazebo beratap, bangku taman, bahkan gedung kantin.
Di sinilah para pelayan menanti selama majikan mereka menghadiri kegiatan di dalam.
Di antara para siswa yang masih berada di luar auditorium, tampak Beatrice dan Edward, berdiri sedikit terpisah dari kerumunan utama.
Perbincangan mereka yang berbisik menunjukkan kesan seperti konspirasi rahasia, meski perbedaan sikap di antara keduanya justru membuat momen itu terasa hampir teatrikal.
"Baiklah, inilah rencananya, My Lady," kata Edward, suaranya rendah namun percaya diri, sambil sedikit mencondongkan tubuh ke arah Beatrice.
Beatrice memiringkan kepala, mata hijaunya berkilau menyiratkan rasa ingin tahu yang santai.
"Dan apa tepatnya rencana ini?" balasnya pelan, ada nada geli dalam suaranya.
"Kau masuk duluan," ujar Edward, membuat gerakan dramatis ke arah pintu,
"lalu aku bersembunyi di balik bahumu."
Bibir Beatrice bergetar, seolah menahan tawa.
"Tapi aku lebih kecil darimu."
"Aku tahu," balas Edward sambil mengangguk serius, tidak terpengaruh.
"Saat kita mendekati staf yang menjaga pintu, aku akan segera menghantam mereka hingga pingsan.
Semua akan selesai sebelum ada yang menyadarinya."
Mata Beatrice membesar cemas, suaranya meningkat sedikit karena panik dan tidak percaya.
"Kau tidak boleh melakukan itu!" serunya, melambaikan tangan seolah ingin menghapus ide tersebut dari udara.
"Kau benar, My Lady," ujar Edward sambil mengusap dagu dengan mimik merenung, nadanya tetap serius.
"Terlalu banyak saksi mata. Akan menimbulkan masalah di kemudian hari."
"Bukan itu maksudku!" Beatrice menggembungkan pipinya.
"Kau tak bisa begitu saja—memukul orang kalau dirasa menghalangimu!"
Suaranya menurun, hampir terdengar seperti menegur, meski tanpa benar-benar punya wibawa untuk menghentikannya.
Edward terdiam, mengangguk seolah menerima suatu kebenaran mendalam.
"Kau benar sekali, My Lady," ujarnya.
"Mungkin kita perlu cari cara lain."
"Lupakan ‘cara lain’," dengus Beatrice, mendorong bahunya pelan.
"Tunggulah aku di suatu tempat.
Ini cuma upacara pembukaan dan perkenalan, takkan lama."
Nada suaranya melunak, seolah ingin menenteramkan, lalu menambahkan,
"Aku akan baik-baik saja sendiri."
Tanpa menunggu jawaban, Beatrice melangkah mundur sedikit, kemudian berlari kecil ke arah pintu auditorium dengan langkah ringan yang nyaris terburu-buru.
Edward menegakkan tubuh, memandangi punggungnya yang menjauh hingga menghilang di balik pintu, ekspresinya sulit dibaca.
Ia berdiri diam beberapa saat, menyilangkan tangan sambil menghela napas pelan.
Tingginya sekitar 180 cm lebih sedikit, tubuhnya ramping namun berotot, memberi kesan wibawa yang kian menonjol lewat garis tajam setelan jas yang dikenakannya.
Walau tak berkesan kekar, kekuatan yang tersembunyi di balik pakaiannya tak diragukan lagi, dan tak butuh waktu lama hingga sosoknya yang tegap mulai menarik perhatian.
Para siswa yang lewat menatapnya dengan waspada, sedikit mengubah jalur langkah mereka untuk menghindari sosok menjulang yang berdiri di tengah jalan.
Seorang gadis bangsawan mengernyit sejenak saat terpaksa mengitari Edward, tapi ia memilih diam dan terus berjalan sambil menggerutu pelan.
Edward tetap tenang, sorot matanya yang tajam menelusuri arus siswa dengan sikap siaga terlatih.
Akhirnya, ia melangkah maju dengan tenang, menuju pintu masuk tanpa terburu-buru.
Pancaran tenang itu seolah menegaskan bahwa ia memang semestinya berada di sana, meskipun aturan menyatakan hanya siswa yang boleh masuk.
"Hei!" Seorang staf akademi, pria berseragam rapi, melangkah maju dan mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Jangan bertindak bodoh," tegurnya, nadanya formal tapi keras.
"Kau tahu saat ini hanya siswa yang boleh melewati titik ini."
Edward terhenti, memiringkan kepala sedikit seolah menimbang jawabannya.
"Tahun ini, aku juga mengikuti pendidikan setingkat SMA," ujarnya halus.
"Di rumah."
Raut wajah staf itu berubah, jelas terganggu.
"Siapa peduli?" balasnya ketus, nada suaranya menunjukkan kejengkelan.
"Sekarang pergilah dan tunggu di tempat lain, atau namamu akan ku masukkan daftar penolakan."
Ia menyilangkan lengan, nada bicaranya tegas tanpa ruang kompromi.
Ekspresi Edward tetap tenang, tapi tatapannya sempat melirik pintu seolah menghitung kemungkinan berikutnya.
Ia tahu ia tak bisa mengambil risiko dilarang masuk—itu akan menggagalkan usahanya menemani Beatrice nantinya jika dia sampai di larang menemani Beatrice kedepannya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah pergi, gerakannya penuh perhitungan dan pasti.
Begitu menjauh dari pintu, sekilas ekspresi frustrasi melintasi wajahnya.
Untuk saat ini, ia patuh.
Namun, di benaknya, ia sudah menyiapkan langkah berikutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments