Catatan Harian

Senja mulai turun di Yogyakarta ketika Kinanti, Reza, dan Nadia berkumpul di kedai kopi tua di sudut Jalan Tirtodipuran. Kedai yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon beringin ini adalah tempat favorit mereka berkumpul sejak kelas satu SMA. Pak Karyo, pemilik kedai yang ramah, sudah hafal dengan pesanan mereka yaitu secangkir kopi jahe untuk Reza, teh rosella untuk Kinanti, dan cokelat panas untuk Nadia.

"Yakin tidak apa-apa membukanya di sini?" tanya Nadia sambil melirik kotak kayu berukir yang tergeletak di meja mereka. Kedai sedang sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang duduk di sudut jauh, tenggelam dalam percakapan mereka sendiri.

Reza mengangguk sambil mengecek jam tangannya. "Justru lebih aman. Kalau di rumah, orang tua kita bisa curiga. Lagipula..." dia melirik ponselnya, "Mama sudah menelepon tiga kali menanyakan kapan aku selesai rapat OSIS."

"Tante Sarah masih protektif seperti biasa ya," goda Nadia, yang dijawab Reza dengan dengusan pelan.

Reza dan Nadia memang sudah saling mengenal sejak kecil, karena persahabatan antara ibu mereka. Jadi ketika Nadia mengetahui rahasia yang sedang diselidiki Reza dan Kinanti, mungkin tidak terlalu buruk jika ia ikut bergabung dan membantu mereka karena Kinanti juga sulit untuk menyembunyikan sesuatu dari sahabatnya itu, begitu pikir Kinanti.

Melihat kedekatan antara Reza dan Nadia, Kinanti hanya tersenyum kecil kemudian mengeluarkan kunci yang mereka temukan dalam sampul jurnal. Di bawah lampu temaram kedai, ukiran pada kotak itu terlihat semakin misterius. Dengan tangan sedikit gemetar, dia memasukkan kunci ke lubang kunci. Terdengar bunyi 'klik' pelan.

"Tunggu," Nadia tiba-tiba berbisik, "lihat siapa yang baru masuk."

Di pintu masuk kedai, seorang pria berjas – orang yang sama yang mereka lihat di toko antik – berdiri mengamati seisi ruangan. Kinanti cepat-cepat menutup kotak dan menyelipkannya ke dalam tas ranselnya.

"Kita harus pindah tempat," bisik Reza. Naluri pemimpin yang terasah sebagai ketua OSIS membuatnya cepat mengambil keputusan.

"Nadia, kamu masih pegang kunci ruang klub fotografi?" Tanya Reza.

Nadia mengangguk. Sebagai ketua klub fotografi, dia memang punya akses ke ruang klub yang terletak di gedung belakang sekolah. "Tapi sekolah sudah tutup jam segini..."

"Justru itu yang kita butuhkan," Reza tersenyum tipis. Mereka membayar minuman dan bergegas keluar melalui pintu belakang kedai.

Dua puluh menit kemudian, mereka Sudah sampai di ruang klub fotografi dan segera duduk melingkar di lantai dengan pencahayaan yang remang-remang. Hanya lampu meja yang menyala, menciptakan suasana yang entah bagaimana cocok dengan misteri yang sedang mereka hadapi.

"Oke, sekarang?" tanya Nadia, matanya berbinar penasaran.

Kinanti kembali membuka kotak. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah buku catatan dengan sampul kulit yang sudah menguning, beberapa lembar foto hitam putih, dan secarik kertas yang terlipat rapi.

"Ini..." Reza mengambil salah satu foto, "SMA kita?"

Foto itu menunjukkan bangunan SMA Bhakti Nusantara, sekolah mereka, tapi dalam versi yang jauh lebih tua. Di depan gedung sekolah, sekelompok guru berdiri berjajar. Di barisan kedua dari kiri, Kinanti melihatnya, Kartika mengenakan kebaya dan rambutnya disanggul rapi, berdiri dengan postur tegak dan senyum tipis.

"Dia benar-benar guru di sekolah kita," gumam Kinanti. Tangannya beralih ke buku catatan. Halaman pertama bertuliskan: "Catatan Harian Kartika Wijaya, 1945-1946."

Halaman demi halaman mulai mengungkap kehidupan ganda seorang guru bahasa Indonesia yang ternyata adalah mata-mata.

15 Agustus 1946

Perintah baru dari markas: mengawasi pergerakan tentara Belanda yang masih tersisa di kota. Posisiku sebagai guru memberikan keuntungan. Tidak ada yang mencurigai seorang guru bahasa Indonesia yang pendiam. Murid-muridku adalah anak-anak pejabat dan tentara Belanda. Setiap kata yang mereka ucapkan di kelas bisa menjadi informasi berharga.

"Ini gila," bisik Reza. "Kartika menggunakan posisinya sebagai guru untuk memata-matai anak-anak pejabat Belanda?"

Mereka terus membaca. Di halaman berikutnya, nama yang familiar muncul.

20 September 1946

Hardjo memberikan informasi penting. Gerakan bawah tanah semakin kuat. Semakin banyak pemuda yang bergabung, termasuk Pratama. Aku khawatir untuknya karena dia masih terlalu muda untuk perang. Tapi bukankah kita semua juga terlalu muda untuk ini?

"Pratama..." Reza tercekat. "Itu nama kakekku."

Suara langkah kaki di koridor membuat mereka terkejut.

"Ya, saya mengerti... Tidak, belum ada yang tahu soal dokumen itu... Ya, akan saya pastikan semuanya aman..."

Kinanti, Reza dan Nadia saling pandang. Ada sesuatu dalam nada suara yang terdengar... mencurigakan.

Mereka kembali ke catatan harian, membaca dengan lebih cepat sekarang. Di antara lembarannya, mereka menemukan sebuah peta tua kota Yogyakarta dengan beberapa lokasi yang ditandai dengan tinta merah.

12 Oktober 1946

Dokumen-dokumen rahasia sudah kusembunyikan di tempat yang aman. Tidak ada yang akan menduga bahwa ruang bawah tanah sekolah menyimpan rahasia sebesar ini. Peta koordinatnya sudah kuberikan pada Hardjo. Jika sesuatu terjadi padaku, dia tahu apa yang harus dilakukan.

"Ruang bawah tanah sekolah?" Reza menggeleng tidak percaya.

"Aku ketua OSIS, tapi aku tidak pernah tahu kalau ada ruang bawah tanah di sekolah kita."

Nadia bergidik. "Aku juga sudah tiga tahun di klub fotografi, berkeliling sekolah ini untuk dokumentasi, tapi tidak pernah dengar soal ruang bawah tanah."

Tiba-tiba, ponsel Reza bergetar. Pesan dari Dimas, wakil ketua OSIS sekaligus sahabat baiknya.

"Bro, ada yang aneh. Tadi sore aku lihat ada orang asing masuk ke sekolah dengan Pak Kepala Sekolah. Mereka membawa alat-alat aneh, seperti pendeteksi logam."

Kinanti dan Reza saling tatap. Ingatan mereka kembali ke pria berjas di toko antik.

"Mereka mencari sesuatu," bisik Kinanti yang secara tidak sadar mendekat ke arah Reza. "Dan kurasa mereka tahu tentang Kartika."

"Besok aku ada rapat OSIS jam tujuh pagi," kata Reza. "Sekalian kita selidiki. Tapi harus hati-hati."

"Aku bisa bantu," usul Nadia. "Besok ada jadwal dokumentasi untuk mading. Tidak akan mencurigakan kalau aku berkeliling sekolah dengan kamera."

Mereka tidak menyadari bahwa di luar ruangan, seseorang baru saja lewat dan mendengar percakapan mereka. Di parkiran sekolah, Pak Darmawan, ayah Kinanti, berbicara di telepon dengan suara pelan, "Ya, Pak Hendro. Saya akan mengawasi anak-anak. Mereka tidak boleh tahu terlalu banyak... Ini terlalu berbahaya."

Terpopuler

Comments

Jee Ulya

Jee Ulya

Diksi mu buaanyaak polll. Tapi, selama aku baca cerita ini, yang paling mebekas adalah kata "Menguning" apa sih sinonimnya kata ini, usang, menua, berubah warna. Atau Apalagi? Aku juga pengen belajar banyaak 😁

2025-02-06

1

🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ

🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ

waduh makin tegang aku/Joyful/

2025-03-09

0

Ka1toThatLovesRead

Ka1toThatLovesRead

gokil si kak penulisannya bs rapi gtuu

2025-02-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!