Kirania Pratista, sebut saja begitu. Bungsu dari empat bersaudara, memiliki tiga orang kakak laki-laki, serta orang tua yang masih utuh dan lengkap. Berpenampilan sederhana dengan kehidupan yang cenderung lurus-lurus saja.
Saking lempengnya, tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan lamaran seorang pria, yang bahkan baru kutemui sebanyak dua kali. Hingga kini, statusku sudah berubah menjadi seorang istri, sebab satu bulan lalu lelaki bernama Fariz Alfarizi itu sudah berani mengucap ikrar suci.
Aku memang tak bercita-cita menikah muda, tapi aku iri saat melihat teman-teman sebayaku pamer pacar dan kerapkali menghabiskan waktu untuk berkencan. Sedangkan aku yang berstatus jomlo kala itu, tak ingin pacaran maunya langsung halal.
No khalwat until akad. Itulah prinsip yang kupegang erat. Karena itulah aku memutuskan untuk menggelar pernikahan, walau belum benar-benar saling mengenal. Sebab, aku sudah kadung terbuai pesona Bang Fariz.
Di mataku dia IDEAL.
Bang Fariz itu idaman. Tapi, itu pada saat awal-awal pernikahan, tidak dengan sekarang.
"Bulan kemarin pengeluaran kita membengkak, dan sekarang mau tak mau kita harus berhemat," putusnya secara sepihak.
Aku mendengkus kasar. Andaikan dia bukan suamiku sudah pasti aku akan melayangkan banyak sumpah serapah padanya. Bagaimana tidak. Dengan seenak jidat dia membatasi uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari kita.
Bukan hanya membatasi, tapi dengan teganya dia pun memberiku uang recehan setiap harinya. Dan itu sudah berlangsung sekitar seminggu terakhir. Aku hanya merasakan halusnya uang lembaran di satu bulan pertama pernikahan, setelahnya duit gopean.
"Bang Fariz, suamiku yang baik hati, pengertian, serta dermawan. Uang gak akan kita bawa mati. Jadi jangan pelit-pelit kalau sama istri," sanggahku penuh hormat.
Jujur saja, satu minggu ini aku sangat amat tertekan. Setiap belanja bahan-bahan makanan di warung, aku selalu jadi bulan-bulanan ibu-ibu. Pasalnya uang yang kubawa pasti gopean, dan aku harus menebalkan wajah serta extra sabar untuk menghitungnya.
Sungguh sangat memalukan, bukan?!
Bang Fariz menggeleng tegas. "Pemborosan itu perilaku setan, dan Abang tak mau memiliki istri yang berakhlak seperti setan. Paham, Sayang?"
Mataku melotot bukan main saat mendengar dengan jelas perkataan Bang Fariz yang mengataiku boros seperti setan. Sungguh demi apa pun aku ingin menjambak dan mencakar habis wajahnya.
Tidak ada satu pun suami yang tega menghina istrinya dengan sedemikan rupa. Tapi lihatlah suamiku yang budiman ini, begitu mudah sekali melabeli istrinya dengan kata-kata kurang sopan dan tak enak didengar.
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. "Bang Fariz yang budiman, Abang bisa bedakan yang mana pemborosan dan yang mana kebutuhan? Abang pikir beli beras dan lauk pauk cukup dengan uang logam dekil nan kucel yang Abang berikan? Gak, Bang!"
"Uang satu juta kalau kurang lima ratus perak jatuhnya gak akan satu juta. Jadi uang segitu sangatlah berharga," selanya begitu santai dan ringan.
Aku berkacak pinggang seraya geleng-geleng kepala. Wajahku sudah merah padam karena kesal. "Abang yang namanya uang satu juta itu sudah pasti berwarna merah semua. Gak ada tuh recehan apalagi duit gopean nyempil di sana. Jadi Abang jangan pura-pura bodoh deh?!" geramku.
"Kita harus bisa menghargai sekecil apa pun uang yang kita mil---"
Dengan cepat aku pun memotong, "Kalau uangnya cuma lima ratus perak apa yang mau dihargai, Bang Fariz? Bayar toilet umum aja udah dua ribu."
"Kan kita punya toilet pribadi di rumah. Untuk apa kita ke toilet umum segala? Buang-buang uang itu namanya!"
"Jadi kalau Abang kebelet di jalan Abang gak akan sudi menghibahkan uang Abang untuk bayar toilet, gitu?"
Tanpa dosa Bang Fariz tersenyum lebar dan mengangguk penuh rasa percaya diri. Sedangkan aku hanya mampu geleng-geleng saat menyadari bahwa sifat pelit, merki, dan kikir sudah mulai mendarah daging ke sela-sela tulangnya.
"Abang itu bukan orang gak punya yang harus susah payah cari uang buat biaya makan. Tapi kok pelitnya gak ketulungan!"
"Bukan pelit tapi ngirit. Hemat, Sayang," selanya tak tahu malu.
Ingin rasanya kugantung Bang Fariz di pohon toge.
"Abang bisa bedain gak sih yang mana pelit dan yang mana ngirit?"
Bang Fariz hanya mengukir senyum menyebalkan dan tak mengeluarkan sepatah kata pun.
ALLAHUAKBAR!
Harus dengan kalimat apalagi aku menjelaskan? Darahku benar-benar sudah mendidih. Tak habis pikir dengan cara kerja otaknya.
"Sudah dulu yah Abang harus berangkat kerja," katanya berniat berpamitan tapi dengan cepat aku menghadang langkahnya.
"Uang jatah buat belanja hari ini mana?" tagihku dengan tangan menengadah.
Aku tak pernah menerima uang bulanan darinya. Setiap hari dialah yang akan rutin memberiku uang saku, bahkan kartu ATM lelaki itu pun berada di tangan ibunya.
Aku tak tahu sebesar apa penghasilan yang mampu Bang Fariz kumpulkan setiap bulan. Tapi jika mengingat dia merupakan putra tunggal yang akan mewarisi kerajaan bisnis orang tuanya. Sudah bisa dipastikan gaji yang lelaki itu dapat memiliki nominal yang besar.
Namun, pada kenyataannya justru berlainan. Dia selalu pulang dengan tangan kosong tanpa sepeser pun uang di sakunya. Jika pun ada sudah pasti uang itu merupakan logam, bukan lembaran.
Sungguh sangat amat memiriskan!
Bang Fariz mengelus ubun-ubunku yang tertutup khimar hitam. "Di laci samping tempat tidur, kamu ambil sendiri yah," katanya yang kusambut dengan sunggingan lebar.
Kali ini berbeda, biasanya Bang Fariz akan langsung memberikan uang recehan ke tanganku. Aku jadi merasa dejavu, karena di awal-awal pernikahan Bang Fariz melakukan hal itu. Menyimpan uang di laci, dan bentuknya lembaran, bukan gopean.
Alhamdulillah akhirnya sadar!
Sepertinya kali ini aku tidak akan direpotkan dengan logam-logam berbau karat tersebut. Tanganku kali ini akan merasakan halus dan lembutnya uang berwarna merah.
"Abang serius, kan?"
Bang Fariz mengangguk mantap seraya tersenyum manis.
"Lembaran, kan? Bukan recehan!" tanyaku memastikan.
"Mending kamu lihat sendiri biar jadi kejutan."
Aku mengangguk penuh semangat, bahkan aku pun bergegas untuk mengantar Bang Fariz ke depan. Dia sudah harus berangkat kerja. Tak lupa aku pun menyalami tangannya sebagai tanda hormat.
Begitulah wanita, jika si merah ada di depan mata, kedongkolan di hati mendadak sirna. Apa memang semua wanita sama sepertiku juga?
"Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai kantor kabari," kataku setelah Bang Fariz mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahi. Kegiatan wajib yang setiap hari kami lakukan.
Bang Fariz mengangguk lantas memasuki mobil. Tak lama suara mesinnya terdengar, dan kendaraan beroda empat itu pun meluncur nyaman di aspal.
Setelah Bang Fariz hilang dari pandangan, dengan segera aku kembali memasuki rumah serta menuju kamar. Sudah tidak sabar bertemu si merah yang pasti akan membuat mataku kinclong.
"BANG FARIZZZZZ!"
Sekuat tenaga aku meneriaki namanya karena yang kudapat justru gopean. Lagi, lagi, dan lagi. Awas saja kalau nanti pulang!
Jangan boros-boros yah, Sayang ;)
Dengan kesal aku merobek notes yang berada di atas laci. Menginjak-injaknya dengan penuh semangat empat lima.
Lihat saja nanti.
Tidak akan kubukakan pintu.
Dasar suami pelit dan perhitungan. Merki!
Aku menekuk wajah sebal. Tak lupa aku pun menatap penuh permusuhan pada Bang Fariz, yang kini malah menampilkan senyum lebar. Dengan kekuatan penuh kuinjak salah satu kakinya, dan kucubit pula pinggang lelaki itu sekuat tenaga.
"Jangan kasar-kasar dong," katanya tanpa dosa.
"Pulang sekarang!" Aku berkata ketus seraya menarik tangannya, tapi tak sedikit pun membuat tungkai Bang Fariz bergerak.
"Sebentar lagi yah," bujuknya memelas.
Aku menyilangkan tangan di depan dada lantas berkata, "GAK MAU!"
"Sama suami gak boleh lho meninggikan suara kayak gitu. Dosa!" sahutnya seperti sengaja menekan kata terakhir yang dia ucapkan.
"Bang Fariz tuh kurang kerjaan! Ngajakin aku makan di restoran dari sore, tapi sampai sekarang jam sudah menunjukkan delapan malam, belum juga masuk ke dalam. Bang Fariz tuh tahu gak sih, aku belum makan dari tadi siang, tapi dengan entengnya Bang Fariz malah minta aku untuk nunggu dan sabar!"
Keluarlah semua uneg-uneg yang sedari tadi kutahan. Napasku memburu dengan cepat, seperti sudah lari maraton berkilo-kilo meter.
Aku benar-benar DONGKOL!
Tanpa tahu malu Bang Fariz mengelus puncak kepalaku yang tertutup khimar. "Voucher makannya ternyata belaku mulai jam 9 malam, Abang gak tahu. Satu jam lagi, sabar yah."
Aku menggeram kesal.
Allahuakbar!
Lapangkanlah sabarku untuk menghadapi suami yang kikir, pelit, dan sangat amat perhitungan ini.
Kukira dia mengajakku makan di luar karena ingin meminta maaf atas kejadian tadi pagi. Tapi, ternyata akunya saja yang terlalu percaya diri. Ya Allah! Ya Rabbi!
"Abang dapet voucher makan di sini, untuk berdua. Gratis. Gak usah bayar," imbuhnya dengan wajah sumringah.
Aku meraup wajah kasar. Benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran lelaki satu ini. Dia itu bukan orang yang kekurangan, bahkan untuk sekadar makan di restoran sebagus ini pun aku rasa, dia mampu. Tapi, dengan konyolnya dia malah mengharapkan gratisan.
Lama-lama aku bisa darah tinggi!
"Warteg seberang restoran lebih menggoda iman, dibanding harus nunggu satu jam lagi," cetusku setelah beristigfar berulang kali dalam hati.
Lapangkanlah hatiku, luaskanlah sabarku dalam menghadapi suami sepertinya!
"Menggoda iman, tapi harus bayar. Mending ini, gratis!"
Aku mengentakkan kaki untuk meredam rasa dongkol yang kian bertambah. "Ya udah sana. Aku mau pulang!"
Bang Fariz menahan tanganku. "Katanya lapar, mau makan. Kok malah pulang? Sabar yah, sebentar lagi."
Ingin rasanya aku meninju wajah yang menampilkan kepolosan dan tanpa dosa itu dengan kekuatan penuh. Tapi, aku masih tahu etika dan sopan santun, apalagi dia suamiku, dan ini merupakan tempat umum.
"Aku gak butuh gratisan. Aku masih punya uang buat makan!"
Setelahnya aku berjalan cepat meninggalkan Bang Fariz yang malah bengong.
Bodo amat. Aku tak peduli sama sekali!
Sifat pelit dan kikirnya makin hari makin menjadi. Aku benar-benar tidak kuat dan ingin segera mengibarkan bendera putih.
"Kir! Kirania! Tunggu!"
Tak ada sedikitpun keinginan untuk memperlambat langkah ataupun berbalik arah. Stok sabarku sudah benar-benar berada di ujung tanduk.
KIR, katanya? Enak saja dia memanggilku dengan sebutan itu. Dikira aku ini kikir apa? Seharusnya aku yang memanggil lelaki itu dengan sebutan demikian.
Mr. KIKIR.
"Lepas! Jangan pegang-pegang!" kataku menghempas kasar cekalan tangannya.
"Kamu marah sama Abang?"
Sepertinya pada saat pembagian kepekaan lelaki itu absen. Emang bener-bener yah Bang Fariz ini! Manusia paling tidak peka sedunia.
"Abang masih nanya? Allahuakbar! Abang tuh pura-pura polos atau gimana sih?!"
"Jangan marah-marah terus dong. Gak enak ini tempat umum. Kita makan yah, yuk kamu mau makan di mana?" bujuknya sembari merangkul bahuku tanpa tahu malu.
"Abang yakin bawa uang? Awas kalau sampai kayak waktu itu." Aku mendelik tajam.
Minggu lalu Bang Fariz mengajakku makan di sebuah Rumah Makan Padang. Kesempatan langka semacam itu jelas tak kusia-siakan, aku pun memesan banyak makanan. Tapi, pada saat selesai dan hendak membayar lelaki itu lupa tak membawa uang. Alhasil kami harus mencuci piring hingga berjam-jam sebagai bayarannya.
"Bawa," sahut Bang Fariz sembari mengukir senyum tipis.
Tak ingin membuang waktu lagi aku pun menarik Bang Fariz untuk menuju sebuah warteg, dan memesan makanan dengan porsi jumbo. Perutku benar-benar sudah keroncongan, bahkan lambung ini terasa perih sebab tidak kunjung dipuaskan.
Aku memakan hidangan itu dengan lahap, bahkan aku tak menggubris perkataan Bang Fariz yang selalu mengajakku mengobrol. Perutku tidak akan kenyang hanya karena ocohen, jadi lebih baik kuacuhkan.
"Bayar, Bang," titahku saat kami sudah sama-sama selesai makan.
Bang Fariz mengangguk dan membuka tas kecilnya yang tersampir di bahu. Dan mataku seketika melotot tak percaya. Aku hanya bisa geleng-geleng saat dengan entengnya dia mengeluarkan sekantong plastik uang receh.
ALLAHUAKBAR!!!
"Receh gak papa, Mbak?" tanyanya pada sang penjaga.
Aku bisa melihat beliau meringis, dan akhirnya mengangguk terpaksa.
Entah harus ditaruh di mana wajahku ini? Semua orang menjadikan kami pusat perhatian, tapi dengan santainya Bang Fariz malah menghitung uang logam tersebut. Aku benar-benar tidak habis pikir!
"Pake lembaran, kan bisa, Bang!" desisku penuh penekanan.
Bang Fariz menoleh singkat lalu berkata, "Emang kenapa? Sama-sama uang, kan? Mbaknya aja gak protes kok."
Aku tak lagi merespons, lebih baik menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan. Berharap dengan cara demikian, bisa meredam emosi yang kini sudah berapi-api.
Bukannya tak protes, tapi mbak-mbak itu sungkan dan segan. Mana berani berlaku seperti itu pada pembeli. Seharusnya Bang Fariz tahu akan hal itu.
Membutuhkan banyak waktu untuk menghitung uang logam pecahan lima ratus rupiah tersebut. Dan akhirnya setelah beberapa menit menjadi pusat perhatian, kami pun bisa meloloskan diri.
Aku menulikan pendengaran, menganggap tidak mendengar apa pun. Walaupun pada nyatanya desas-desus mereka sangat amat terdengar jelas. Kupingku mendadak pengang.
"Cakep-cakep uangnya logam semua!"
"Gayanya emang oke, tapi isi kantongnya gak banget!"
"Malu-maluin!"
Segala perkataan sarkas dan menyakitkan itu sudah seperti makanan sehari-hari. Aku harus bisa menebalkan urat malu, dan bersikap acuh tak acuh.
Biarkan saja mereka puas membicarakan kami, toh yang berdosa mereka. Aku malah berterima kasih karena sudah di-transfer pahala secara cuma-cuma.
Walau tak dapat dipungkiri, rasa dongkol di hati masih kerap menghantui.
"Lain kali bawa uang lembaran kalau makan di luar. Malu tahu!" semburku saat kami sudah berada di parkiran.
"Mending nahan lapar atau nahan malu, hm?"
Aku mendengkus kasar. Bang Fariz ini sangat pintar menjawab. Aku selalu dibuat mati kutu, dan hanya bisa mencak-mencak tak jelas dalam hati.
Bang Fariz yang hendak membuka pintu mobil mengurungkan niatnya, dan berbalik arah tanpa sepatah kata pun. Aku mengintil dan mengikuti arah pandangnya.
Aku terdiam beberapa saat, kala melihat Bang Fariz memberikan uang sejumlah seratus ribu pada pengemis yang tengah menggendong seorang balita.
Kepalaku mendadak pening bukan main!
Aku menampar wajahku sebanyak dua kali, meyakinkan diri sendiri bahwa ini hanya mimpi. Ya, hanya sekadar halusinasi!
"Kenapa bengong? Ayo pulang."
Anganku kembali muncul saat Bang Fariz sudah menggenggam tanganku dengan lembut, senyum lebar lelaki itu berikan. Sedangkan aku hanya mampu diam membisu.
"Apa aku harus jadi pengemis dulu untuk mendapat uang lembaran dari kamu, Bang?"
Kemajuan teknologi menawarkan banyak kemudahan, salah satunya menjadi ladang pencaharian untuk menambah pundi-pundi rupiah. Memanfaatkan fasilitas yang tersedia, dan menjadikan aplikasi belanja online sebagai tempat untuk berjualan.
Semula aku hanya menjadi reseller saja, tapi sekarang sudah bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Membuat sebuah brand fashion muslimah yang menawarkan beragam produk, seperti hijab, gamis, serta peralatan salat. Prasta.hijab begitulah orang-orang menyebutnya.
Di tengah kesibukanku menjadi seorang istri, aku pun bergelut dengan bisnis kecil-kecilan yang sudah dua tahun terakhir ini dijalani. Menikmati hari-hari dengan sejumlah paket serta resi. Meskipun hanya dikelola seorang diri, tapi alhamdulilah semua bisa kutangani.
Orderan akan melunjak tinggi kala tanggal kembar datang, atau tanggal-tanggal khusus yang diadakan oleh marketplace. Biasanya para pembeli akan banyak menggelontorkan uang di tanggal-tanggal tersebut, sebab banyak sekali voucher yang disediakan. Entah itu berupa free ongkir, chasback dan lain sebagainya.
"Ada yang bisa Abang bantu gak?" tanyanya saat baru selesai membersihkan diri, dengan secangkir kopi hitam di tangan.
Kebiasaan Bang Fariz selepas pulang kerja memang seperti itu. Dia langsung bergegas membersihkan diri, sedangkan aku membuatkan secangkir kopi dan menyimpannya di dapur. Setelahnya dia akan duduk santai menemaniku yang tengah asik membungkus paket seraya menyesap kopi hitam.
Aku menggeleng pelan lalu berujar, "Gak usah, Abang pasti capek baru pulang kerja. Mau aku siapkan makanan sekarang?"
Tanpa meminta izin, Bang Fariz menggunting resi pengiriman yang baru selesai kucetak. "Nanti aja, selesai membungkus paket-paket kamu."
Aku mengangguk mengiyakan. Terserah saja, yang penting aku sudah menawarkan. Urusan diterima atau tidak, ya terserah dia.
"Gimana orderan hari ini?" tanyanya.
"Alhamdulillah banyak, mungkin karena efek launching produk baru," kataku seraya tersenyum lebar.
Merancang pakaian adalah hal yang paling kusenangi, terlebih pada saat turun ke toko untuk membeli sejumlah kain. Setelahnya aku akan berkutat bersama mesin jahit, untuk menciptakan pakaian-pakaian yang layak untuk dipergunakan.
Aku terbiasa untuk membuat satu sample pakaian, setelah dirasa cocok barulah aku akan menyerahkannya pada konveksi langganan untuk diperbanyak, agar bisa segera diperjualbelikan di toko online.
Aku berfokus pada kenyamanan bahan, model yang sesuai syariat Islam. Tidak menerawang, tidak ketat hingga membentuk lekuk badan, dan tidak terlalu mahal di kantong. Keep syar'i but stylish.
Bang Fariz manggut-manggut paham, sesekali dia meneguk kopi dan kembali fokus pada kegiatannya.
"Aku mau tanya sesuatu sama Abang," kataku membuka obrolan lebih serius.
"Apa?"
"Apa Abang ada trauma sama perempuan yang berkaitan dengan keuangan?"
Kening Bang Fariz terlipat, dia seperti kebingungan. Tapi, detik berikutnya dia pun berkata, "Kenapa kamu tanya gitu?"
"Bang Fariz itu aneh, di awal pernikahan Abang sangat royal. Tapi sekarang udah gak, malah pelitnya nauduzbilah," ucapku blak-blakan.
Tak kuat rasanya memendam rasa penasaran. Lebih baik diungkapkan, setidaknya bisa menjawab kebingungan. Dan lagi, Bang Fariz bukan tipikal orang yang mudah tersulut emosi, perangainya sangat santai, cenderung humoris juga. Walau tak dapat dipungkiri sisi menyebalkannya masih ada.
Tanpa beban sedikit pun Bang Fariz tertawa terpingkal-pingkal, seolah apa yang aku tanyakan itu sebuah lelucon yang patut untuk ditertawakan.
"Bang Fariz kenapa sih? Malah ketawa."
"Gak papa, Abang baik-baik saja. Kamu lucu, Sayang!"
Aku mendengkus kasar lantas berujar, "Jawab pertanyaan aku dong."
Terlihat Bang Fariz menarik napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan. "Memangnya uang yang Abang kasih kurang?"
Dengan tidak sopannya Bang Fariz malah melayangkan pertanyaan baru. Seharusnya jawab dulu pertanyaanku.
Benar-benar menjengkelkan!
Aku menggeleng pelan. "Bukan kurang, cuma aku gak suka cara Abang yang ngasih jatah setiap hari, dan itu berupa gopean. Aku malu tahu, Bang."
"Kenapa harus malu, kan sama-sama uang?"
"Iya tahu, cuman, kan aku bukan bocah yang abis bongkar celengan. Setiap hari aku diledekin ibu-ibu komplek tahu," jawabku dengan nada sebal.
Bang Fariz meninggalkan sejenak kegiatannya, dia mengelus lembut puncak kepalaku yang tak tertutup hijab. "Stok uang receh Abang masih banyak, sayang, kan kalau gak digunakan."
Sontak aku pun menjauhkan diri darinya. Menatap penuh selidik dan tak percaya. Buat apa juga dia mengoleksi uang recehan?
"Nimbun kok uang receh? Gak zaman kali, Bang. Nimbun emas baru masuk akal!" semburku.
"Kolektor emas sudah banyak, kolektor barang-barang antik juga gak kehitung jumlahnya. Kalau kolektor uang gopean, kan belum ada. Nah, Abang mau jadi yang pertama."
Aku geleng-geleng tak mengerti. Sumpah demi apa pun aku tak habis pikir dengan cara kerja otak Bang Fariz. Diletakkan di mana akalnya?
"Kalau mau jadi kolektor ya jangan dibelanjakan, ditimbun aja sekalian!"
Bang Fariz menggeleng lalu berkata, "Abang cuma koleksi sebentar, saat uangnya sudah banyak lalu akan Abang belanjakan."
ASTAGFIRULLAHALADZIM!
Adakah yang bisa membedah isi kepala suamiku?
Jika ada, maka aku akan senang hati mempersilakannya. Obrak-abrik saja sekalian, biar otaknya kembali ke jalan yang benar.
"Dari mana Abang dapetin uang-uang receh itu?" tanyaku mencoba untuk menggali informasi lebih dalam.
Berusaha untuk meredam gejolak emosi yang sudah meluap naik ke permukaan. Sabar, sabar, sabar!
"Kembalian, atau gak sengaja Abang tukar dan simpan di dalam celengan. Kalau sudah penuh baru Abang bongkar, dan kasih ke kamu buat uang belanja," terangnya enteng dengan senyum mengembang.
Apa katanya? KEMBALIAN. Jadi selama ini di belakangku dia mempergunakan uangnya sebagaimana manusia normal. Tapi, dengan tidak berbelas kasih lelaki itu memberikan aku nafkah berupa gopean.
Benar-benar minta disekolahkan lagi ni orang!
Aku menggaruk kepala penuh frustrasi. "Sejak kapan Abang mengidap kelainan aneh itu, hah?!"
"Kelainan aneh? Aneh dari sisi mananya sih?"
Entah harus dengan kalimat apa, aku harus menjelaskan agar Bang Fariz paham. Jujur saja, kepalaku buntu untuk memilih kosakata yang pas.
"Ya udah gak usah dibahas lagi. Migrain aku!"
"Minum obat, mau Abang ambilin?" tanyanya yang sumpah demi apa pun membuat darahku kian mendidih naik ke permukaan.
"Lama-lama aku bisa darah tinggi kalau kelakuan Bang Fariz terus kayak gini," cetusku seraya memijit kening yang terasa berdenyut pusing.
"Masih muda, jangan sampai hipertensi dong. Kamu harus sehat-sehat supaya bisa nemenin Abang sampai tua," katanya tanpa dosa merangkul bahuku.
ALLAHUAKBAR! ALLAHUAKBAR! ALLAHUAKBAR!
Bibirku tak henti-henti bertakbir, mendadak gemar berdzikir ini kalau berhadapan sama Bang Fariz. Benar-benar harus ekstra sabar.
"Mending sekarang Abang ke masjid, sebentar lagi magrib," titahku ingin segera merilekskan pikiran.
Bang Fariz melirik arloji yang terpajang di dinding lalu setelahnya berujar, "Ya udah Abang wudu dulu, kamu siapin sarung sama kokonya yah."
Aku mengangguk lesu. Melihat langkah Bang Fariz yang kian menjauh, aku pun bergegas ke kamar dan melakukan titahnya.
Bang Fariz memang selalu membiasakan diri untuk salat berjamaah di masjid, terlebih di waktu subuh, magrib, dan isya, sisanya ditunaikan di mushola kantor. Kalau hari libur datang, dia pun akan salat lima waktu di masjid. Bang Fariz mengimamiku kala melaksanakan salat sunnah saja.
Untuk ukuran seorang lelaki, bisa dibilang Bang Fariz ini shalih dan bisa menghidupkan masjid. Sembahyang pun selalu di awal waktu, bahkan dia itu berusaha untuk mengamalkan sunnah-Nya. Tipikal pria yang hidupnya tidak neko-neko, tidak banyak menuntut, tapi sayang virus pelit merasuki jiwa lelaki itu.
Kurangnya satu, lebihnya banyak. Namun, aku hanya terfokus pada kekurangannya. Begitulah manusia, selalu melihat pada satu titik hitam dan mengabaikan sisi lainnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!