"Cepatlah, Cali! Nanti kita terlambat!" teriak Mat dari depan mobil. Dia terus melirik jam tangannya, ekspresinya penuh dengan rasa terburu-buru.
Matthew, atau Mat, begitu dia biasa dipanggil, adalah teman baik Cali sekaligus salah satu pendiri Perfect Space, sebuah perusahaan renovasi dan desain interior kecil yang mereka bangun bersama tiga tahun lalu.
Mat adalah lulusan Arsitektur yang juga memiliki gelar di Desain Interior. Menjadi desainer interior adalah impiannya sejak kecil, tetapi serangkaian kejadian di masa lalu membuatnya tidak bisa menyelesaikan kuliah. Meski begitu, Mat tetap bersyukur karena bisa membangun usaha kecil-kecilan yang memungkinkan dia menyalurkan passion-nya dalam mendesain.
Bagi Cali, Mat adalah sosok yang sangat berjasa. Kalau bukan karena Mat, Perfect Space mungkin tidak akan pernah berdiri. Mat bahkan rela mengeluarkan modal besar demi memulai usaha itu. Kepercayaan Mat terhadap bakatnya menjadi salah satu alasan Cali bisa menyandang gelar "Desainer Senior & Pemilik Bersama" Perfect Space saat ini.
"Sebentar lagi! Aku datang!" teriak Cali dari dalam kantor.
Dia memeriksa penampilannya di cermin untuk terakhir kali, menarik napas dalam-dalam, lalu meraih folder presentasi dari meja kerjanya. Dengan langkah cepat, dia keluar menuju mobil.
"Ya ampun, chica!" Mat menggerutu sambil mengangkat tangan dengan dramatis. "Kalau kita terlambat terus nggak dapat kesepakatan ini, aku bakal nyalahin kamu!" Mat segera masuk ke mobil dan menyalakan mesin.
Cali masuk ke kursi penumpang, memasang sabuk pengamannya, lalu berkata, "Maaf! Tadi aku cuma nambahin sedikit sentuhan akhir buat presentasi."
"Sentuhan akhir? Kalau sampai gagal, mending kamu aja yang jadi kliennya nanti," balas Mat sambil mendengus, meski matanya tetap fokus ke jalan.
Cali tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. "Tenang aja, kita pasti bisa!" katanya penuh semangat. Dia bahkan mengangkat kedua tangannya ke udara, "Semangat!" lanjutnya, menirukan salah satu adegan di drama Korea yang sering dia tonton.
Mat hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil melihat tingkah Cali.
Beberapa saat kemudian, Honda Civic putih mereka berhenti di depan sebuah gedung besar. Cali mengamati bangunan itu sambil menarik napas panjang, mencoba menenangkan dadanya yang tiba-tiba terasa berat.
Rasa gugup tiba-tiba menyeruak. Ini adalah klien terbesar mereka, pekerjaan yang bisa mengubah segalanya. Biasanya, mereka hanya menerima proyek renovasi rumah atau kantor kecil. Tapi sekarang, mereka berhadapan dengan sebuah hotel start-up yang akan membuka cabang pertamanya di Tagaytay tahun depan.
"Siap?" teriak Mat dari sampingnya. Dia sibuk merapikan pakaiannya sebelum memberi isyarat agar Cali mengikutinya masuk ke dalam gedung.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di ruang rapat besar perusahaan. Cali terlihat sedikit kewalahan, matanya sibuk memindai ruangan di sekelilingnya.
Ruang rapat itu luas, dikelilingi dinding kaca yang membuatnya terasa modern dan mewah. Meja kayu lonjong di tengah ruangan cukup besar untuk menampung sekitar lima belas orang. Tumit sepatu Cali tenggelam di karpet lembut saat dia melangkah menuju salah satu kursi. Di atas meja, sebuah lampu gantung elegan memancarkan cahaya hangat, sementara lampu redup di langit-langit menambah suasana tenang. Proyektor sudah terpasang di depan, siap digunakan.
Mat sibuk di dekat proyektor, menyiapkan laptop yang mereka bawa. Dia melirik ke arah Cali. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya.
"Iya," jawab Cali singkat, lalu berjalan mendekati salah satu lukisan yang menghiasi dinding ruangan. "Aku masih nggak percaya perusahaan besar seperti ini benar-benar mau bekerja sama dengan kita," gumamnya sambil menatap lukisan itu.
Sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Jika mereka berhasil mendapatkan pekerjaan ini, itu akan menjadi titik balik besar untuk bisnis mereka. Bayarannya tidak hanya akan membantu keuangan perusahaan, tetapi reputasi mereka juga akan terangkat. Klien besar seperti ini pasti akan menarik proyek-proyek besar lainnya. Perfect Space akhirnya akan mendapatkan pengakuan yang mereka impikan.
"Percayalah," sahut Mat sambil tersenyum, "kita pasti dapat ini." Dia mengedipkan mata, memberi Cali rasa percaya diri.
Cali membalas dengan senyum kecil dan anggukan, meskipun rasa gugupnya belum sepenuhnya hilang.
---
Beberapa jam kemudian, gelas bir berdenting di antara mereka.
"Bersulang!" seru Mat penuh semangat sambil menenggak birnya.
"Aku benar-benar merasa kita berhasil dapat proyek itu!" katanya dengan gembira.
"Ya, tentu saja! Ide desainku pasti luar biasa!" Cali menimpali sambil tertawa kecil.
"Itu benar! Tapi, bir ini bikin aku makin percaya diri!" ujar Mat sambil meminum bir lagi. Dia lalu menyenggol lengan Cali. "Eh, cowok tampan di belakangmu itu kayaknya memperhatikanmu dari tadi," bisiknya sambil melirik pria di belakang Cali.
Cali hanya mengangkat bahu. "Nggak tertarik," balasnya malas sambil menyeruput birnya lagi.
Mat melotot tak percaya. "Astaga! Dia cakep banget! Ayolah, lihat sebentar aja!"
Cali mendengus, menatap temannya tajam. "Kalau kamu suka banget, kenapa nggak kamu aja yang nyamperin? Jangan ganggu aku soal beginian."
Mat tertawa kecil. "Dengar ya, chica, kamu itu kelihatan lengket banget sama masa lalu."
Cali mendesah panjang. Ini lagi, pikirnya. Setiap kali mereka nongkrong bareng, Mat selalu punya cara untuk mendorongnya ke arah laki-laki yang kelihatan tertarik padanya.
"Aku nggak punya waktu buat laki-laki. Kamu tahu itu," ujarnya tegas.
"Astaga, Cali! Kamu belum move on juga? Udah lama banget sejak pernikahanmu—"
Cali langsung melayangkan tatapan tajam, cukup untuk membuat Mat terdiam. Mat buru-buru merapatkan mulutnya dan memberi isyarat seperti mengunci bibir.
Cali menghela napas sambil menyesap birnya lagi. Dia benci kalau Mat menyebut-nyebut masa lalunya. Itu bagian hidup yang ingin dia kubur selamanya. Kalau saja waktu bisa diputar balik, dia tak akan pernah mau bertemu pria itu lagi.
Matanya terpejam sejenak, mencoba menyingkirkan bayangan itu. Tapi seperti biasa, ingatan itu kembali. Sepasang mata itu, menatapnya penuh kerinduan...
"Sayang... Cali..."
Dia membuka matanya dengan kasar, menurunkan gelas bir ke meja dengan sedikit hentakan. Dia langsung menuangkan bir lagi ke gelasnya.
"Kamu mau mabuk?" tanya Mat sambil menatapnya.
Cali memelototinya. "Kenapa kamu harus nyebut-nyebut Drake si brengsek itu lagi?"
Mat tertawa kecil. "Hei, aku nggak nyebut nama apa-apa, lho. Itu kamu sendiri yang ngomong."
Mendengar nama itu saja sudah cukup membuat darah Cali mendidih.
Drake Lustre. Pria tampan, penuh pesona, tapi juga alasan kenapa hidupnya hampir hancur lima tahun lalu.
Genggaman Cali di gelasnya semakin kuat, seiring kenangan pahit itu kembali menghantui...
"Ayo, Cali!" Sorakan teman-teman sekelasnya menggema di sekitar kolam renang setiap kali Calista muncul ke permukaan untuk menghirup udara.
"Cali! Cali! Cali!" teriak penonton serempak, memenuhi udara dengan semangat yang membara.
Hari itu adalah musim panas di bulan Maret, saat kompetisi renang antaruniversitas tahunan digelar. Tahun ini, giliran universitasnya menjadi tuan rumah acara besar itu, dan Cali menjadi salah satu perwakilan kebanggaan kampusnya.
Kompetisi renang ini adalah salah satu acara bergengsi yang dinantikan semua orang. Bukan hanya karena semangat olahraga, tetapi juga karena kemeriahan dan interaksi antaruniversitas. Kampus ramai oleh kehadiran mahasiswa asing dari universitas peserta. Para pria biasanya sibuk mencari “prospek” baru, sementara para wanita kerap tertarik pada siswa dari St. Vincent, universitas khusus laki-laki yang terkenal dengan mahasiswa-mahasiswa tampannya.
Cali menanamkan kedua kakinya kuat-kuat di dinding kolam, mendorong tubuhnya untuk melesat ke ujung yang lain. Gaya renangnya cepat, mulus, dan seakan tanpa usaha. Dia dengan mudah melewati lawan-lawannya, sementara sorak-sorai dan tepuk tangan dari teman-teman sekelasnya semakin membahana.
Sejak kecil, Cali selalu mencintai air. Tumbuh di San Antonio, sebuah kota kecil di tepi laut, ayahnya, Arnaldo, adalah orang pertama yang mengajarinya berenang. Rumah sederhana mereka berada tepat di sebelah pantai, menjadikan laut taman bermainnya. Bagi Cali, laut adalah bagian dari dirinya, sesuatu yang tak pernah ingin dia tinggalkan. Tapi cita-cita besar orang tuanya untuk melihatnya kuliah di Manila telah membawanya jauh dari rumah tercinta.
Keluarga mereka memang sederhana. Ayahnya seorang nelayan, sedangkan ibunya, Lilian, adalah guru sekolah dasar di San Antonio. Meskipun hidup pas-pasan, Cali tumbuh dengan limpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Karena itu, dia bertekad tidak mengecewakan mereka.
Beruntung, sahabat ibunya, Tiya Lupe, membantu mewujudkan impian mereka. Cali tinggal di rumah Tiya Lupe selama kuliah, yang meringankan beban biaya tempat tinggal. Namun, biaya sekolah dan kebutuhan lainnya tetap menjadi tantangan besar. Untuk itu, Cali bekerja keras mendapatkan beasiswa melalui renang. Selama tiga tahun terakhir, beasiswa inilah yang membuatnya bisa melanjutkan studi di Saint Bernadette.
"Cali! Cali! Cali!" Teriakan itu terus berlanjut, mengiringi setiap gerakannya.
Cali semakin mempercepat kayuhan tangannya. Dia meregangkan tungkai dan kakinya untuk mencapai ujung kolam lebih cepat. Tapi tiba-tiba, rasa sakit menusuk kaki kirinya.
Panik menyeruak di hatinya. *Oh, tidak... Ya Tuhan, tolong!* Dia berusaha keras menggerakkan kakinya lagi, tetapi rasa sakit itu begitu hebat hingga dia hampir tidak bisa menggerakkannya.
Penonton terkejut. Suara keterkejutan dan kecemasan mulai terdengar di sana-sini. Cali seperti kehilangan kendali, perlahan tubuhnya tenggelam ke dalam air.
Dia mencoba bertahan, menggunakan lengan dan kaki kanannya. Namun, rasa sakit di kakinya begitu parah hingga usahanya sia-sia. Tubuhnya mulai menelan air, dan setiap detik yang berlalu membuatnya semakin tenggelam.
Beberapa saat kemudian, sepasang lengan kokoh melingkar di pinggangnya, menariknya ke permukaan. Dalam sekejap, Cali merasakan tubuhnya dibawa ke tepi kolam.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya orang yang menyelamatkannya dengan suara cemas.
Cali membuka matanya perlahan, mencoba fokus pada wajah di depannya. Dia melihat seorang pria muda dengan rambut basah dan sorot mata penuh kekhawatiran. Namun, sebelum dia sempat menjawab, rasa malu dan lemas menyelimuti tubuhnya.
Cali mengeluarkan serangkaian batuk sebelum akhirnya berhasil menjawab. Dia mengangguk pelan sambil mengangkat pandangannya, langsung bertemu dengan mata pria yang baru saja menyelamatkannya.
"T-terima kasih," gumamnya, tapi kalimat itu terputus ketika matanya menangkap sosok pria di depannya.
Dia membeku. *Astaga,* pikirnya, *ini seperti melihat model yang langsung keluar dari majalah!*
Pria itu berdiri dengan percaya diri, tubuhnya menjulang tinggi di hadapannya. Rambutnya yang basah disisir ke belakang dengan gerakan santai, membuatnya terlihat semakin tampan. Cali hanya bisa menatap, merasa seperti pohon kaku yang tak mampu bergerak. Rasa malu mulai menyeruak, tetapi dia tak bisa memalingkan pandangannya.
"Apakah kamu baik-baik saja?" pria itu bertanya lagi, nadanya penuh perhatian. Tapi kali ini, ada sedikit senyum geli di wajahnya, seolah menyadari kebingungan yang masih menyelimuti Cali.
"Y-ya," jawabnya tergagap. Wajahnya terasa panas, dan dia yakin pipinya sudah memerah.
Dia buru-buru menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa malunya. *Apa yang salah denganku?* pikirnya. Dia pernah bertemu pria tampan sebelumnya, tapi kenapa yang satu ini membuatnya seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri?
Saat dia masih tenggelam dalam kebingungannya, pria itu tiba-tiba berjongkok dan meraih kakinya tanpa peringatan. Cali terkesiap, ingin protes, tapi lidahnya terasa kelu. Alih-alih berkata apa-apa, dia hanya menatap pria itu dengan ekspresi bingung.
Pria itu memijat lembut kakinya, seolah-olah mencoba mengurangi rasa sakit yang baru saja dia alami. "Kamu sudah melakukan pemanasan sebelum berenang?" tanyanya sambil melirik sekilas ke arahnya.
Cali hampir lupa bernapas. Suaranya rendah dan tenang, tapi cukup membuat wajahnya semakin memerah. "T-tentu saja..." jawabnya pelan, hampir seperti bisikan.
"Sayang sekali," pria itu melanjutkan sambil tersenyum kecil. "Kalau tidak ada cedera tadi, kamu pasti bisa mengalahkan kami semua di sana."
Baru saat itu Cali menyadari seragam renang yang dikenakan pria itu. *Tunggu... apa dia salah satu kontestannya?* pikirnya. Jika iya, kenapa dia meninggalkan kompetisi untuk menyelamatkannya? Bukankah itu kesempatan besar untuk menang?
"Kamu salah satu kontestannya?" tanyanya ragu.
Pria itu tersenyum lebih lebar, pipinya menonjol sedikit saat senyum itu mengembang. Kali ini, tampaknya kehadirannya menjadi sepuluh kali lebih memikat di mata Cali.
Dia mengangguk ringan sambil mengulurkan tangan. "Drake. Drake Lustre," katanya memperkenalkan diri.
Cali menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menyambutnya dengan ragu. "C-Cali... aku maksudnya Calista. Calista Rodriguez."
"Senang bertemu denganmu, Calista Rodriguez," ucapnya dengan senyum yang begitu menawan, seolah membuat waktu di sekitarnya berhenti sejenak.
"Ya ampun! Bukankah itu Drake Lustre?" gumaman keras terdengar di antara kerumunan siswa, terutama dari para wanita yang mengerumuni tepi kolam renang.
"Apa yang dia lakukan? Kenapa dia meninggalkan kompetisi begitu saja?" tanya salah seorang dari mereka, terdengar bingung.
"Dia pasti bisa menang!" sambung yang lain.
"Menurutmu, dia menyukainya?" komentar seorang gadis, suaranya penuh rasa penasaran.
Cali mendengar semua itu dengan jelas saat tubuhnya dibaringkan di atas tandu. Dia dibawa menuju klinik dengan hati yang berat. Matanya terpejam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. *Siapa sebenarnya Drake Lustre ini?* pikirnya. Mengapa semua orang, terutama para wanita, tampaknya mengenalnya begitu baik? Dan yang paling membingungkannya—mengapa pria itu rela meninggalkan kompetisi hanya untuk menolongnya?
Seharusnya, dia tetap berlomba. Itu adalah kesempatan emas untuk membawa pulang medali, terlebih dia adalah salah satu peserta yang paling dijagokan.
"Cali! Ya Tuhan, kamu baik-baik saja?" suara panik Lilet, sahabatnya, memecah lamunannya. Gadis itu buru-buru menghampirinya, matanya memindai tubuh Cali dari ujung kepala hingga kaki.
"Aku baik-baik saja," jawab Cali pelan. Suaranya terdengar serak, tenggorokannya terasa sakit karena terlalu banyak air yang sempat tertelan.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Cali?" tanya Isabel, salah satu teman sekelasnya di jurusan Desain Interior di SBU.
"Kejang," jawab Cali singkat. Dia tidak ingin menjelaskan lebih jauh. Perasaan kecewa dan sedih mulai menguasainya. Beasiswanya sangat bergantung pada kompetisi ini. Tanpa kemenangan, kemungkinan besar dia akan kehilangan beasiswa itu—dan itu berarti akhir dari mimpinya untuk menyelesaikan kuliah.
Lilet sepertinya menyadari apa yang ada di pikirannya. "Hei, cheer up," katanya lembut, mencoba menghibur. "Aku yakin pihak universitas akan mempertimbangkan keadaanmu. Tidak ada seorang pun yang akan menyalahkanmu atas insiden ini."
Cali tersenyum kecil, meskipun lemah. Dia sangat bersyukur memiliki Lilet, yang selalu ada untuknya. Mereka telah bersahabat sejak awal Cali bergabung di universitas ini. Meskipun Lilet berasal dari keluarga yang jauh lebih berada, dia selalu menerima Cali apa adanya, bahkan ketika teman-teman lain sering memandang rendah Cali karena latar belakangnya.
"Apa kamu tahu... pria tadi itu siapa?" Cali bertanya ragu, sambil melirik ke arah Lilet.
Mata Lilet membelalak, penuh antusiasme. Dia menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur Cali. "Oh my God, Cali! Kamu serius? Kecuali kamu tinggal di bunker selama beberapa tahun terakhir, kamu pasti tahu siapa Drake Lustre!"
Cali menghela napas lelah. "Yah, mungkin aku memang tinggal di bunker..."
Lilet mendecak, matanya berkilat penuh semangat. "Lihat, ini yang selalu kubilang. Kamu harus lebih sering keluar dan bersosialisasi! Kita sudah tiga tahun di sini, tapi kamu tetap seperti burung dalam sangkar." Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih bersemangat. "Drake Lustre itu atlet bintang Saint Vincent. Dia bukan cuma itu—dia juga pria paling populer di kampus. Kaya, berpengaruh, dan—astaga—terlalu tampan untuk ukuran manusia normal!"
Isabel, yang berdiri di dekat dinding, ikut menimpali. "Kalian saling kenal, ya?" tanyanya dengan nada penuh ingin tahu.
Cali menggeleng pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. "Itu pertama kalinya aku melihatnya."
Isabel mendengus kecil. "Beruntung sekali," gumamnya sebelum berbalik ke pintu. "Aku keluar dulu. Sepertinya Calista baik-baik saja." Tanpa menunggu jawaban, dia melangkah keluar dengan santai.
Lilet memutar mata, lalu menoleh ke Cali dengan senyum lebar. "Cali, aku yakin banyak gadis di luar sana akan iri padamu sekarang!" katanya penuh kegembiraan, seolah insiden tadi adalah berita baik.
Namun, Cali hanya bisa menatap sahabatnya dengan kosong. Kepalanya masih dipenuhi pertanyaan—bukan soal rasa iri orang lain, melainkan tentang alasan seorang Drake Lustre, yang tampaknya memiliki segalanya, memilih untuk menolongnya dan meninggalkan segalanya di belakang.
Cali memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. "Dia membantuku, Lilet. Itu saja," gumamnya pelan.
"Oh, menurutku tidak sesederhana itu..." balas Lilet dengan nada penuh teka-teki.
Cali membuka matanya dan menatap sahabatnya. "Apa maksudmu?" tanyanya, sedikit bingung.
Lilet menyeringai. "Drake memandangmu seperti tongkat sihir bahkan sebelum kompetisi dimulai."
Cali tertawa kecil. "Lilet, imajinasimu terlalu liar! Kamu seharusnya pindah jurusan ke Jurnalisme atau semacamnya." Dia memejamkan matanya lagi, berusaha mengabaikan komentar itu.
"Jangan bercanda, Cali! Apa menurutmu Drake Lustre, dari semua orang, akan meninggalkan kompetisi begitu saja kalau tidak ada alasan khusus?"
Cali tetap diam. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin terlalu memikirkan hal itu. Nanti, jika mereka bertemu lagi, dia akan berterima kasih pada Drake. Tidak lebih.
"Tapi ayo, akui saja. Dia ganteng, kan? Kamu pasti senang, ya?" goda Lilet.
Sebuah senyum kecil muncul di bibir Cali, meskipun matanya tetap tertutup. Wajah Drake kembali melintas di benaknya—bagaimana dia terlihat begitu tenang, tampan, dan memikat. Senyum itu semakin lebar tanpa dia sadari.
"Baiklah, aku akui. Drake Lustre adalah pria yang sangat menarik. Puas?" Dia menghela napas kecil sebelum melanjutkan, "Dan ya, aku senang dia membantuku. Kamu menang."
"Senang mendengar bahwa aku membuat jantungmu berdebar, Sayang."
Seketika, hati Cali seperti berhenti berdetak. Dia membuka matanya lebar-lebar dan langsung menoleh ke sumber suara. Di ambang pintu, berdiri pria itu—Drake Lustre—dengan senyum nakal di wajahnya.
Bahu kanannya bersandar di kusen pintu, kedua tangannya bersilang di dada, dan sebuah handuk tergantung santai di bahunya. Rambutnya masih basah, meskipun dia sudah berganti pakaian.
Cali tidak bisa berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan ekspresi terkejut. Sementara itu, Lilet dengan senyum penuh arti berdiri dari tempat duduknya.
"Kurasa aku harus meninggalkan kalian berdua," kata Lilet santai.
"Tidak! Tetap di sini!" Cali cepat-cepat menggenggam tangan sahabatnya, memohon.
Drake tertawa kecil. "Aku tidak menggigit, Cali," katanya, suaranya terdengar hangat dan menenangkan.
"Lihat? Dia bilang dia tidak menggigit," bisik Lilet sambil terkekeh kecil, lalu melangkah keluar sebelum Cali bisa menghentikannya.
"Adik!" panggil Cali dengan panik, tapi Lilet hanya menjawab dengan kedipan nakal sebelum menghilang di balik pintu.
Drake melangkah mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. Dia dengan tenang duduk di kursi yang tadi ditinggalkan Lilet, sementara Cali merasa tubuhnya semakin kaku. Dia memejamkan matanya lagi, mencoba menghindari kontak mata dengan pria itu.
Sial, Lilet! Kenapa kau tidak memberiku tanda atau mencubitku dulu? pikirnya, kesal.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Drake lembut, suara baritonnya membuat jantung Cali berdebar kencang lagi.
Dia menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan diri, tapi tetap tidak menjawab.
Drake terkekeh pelan. "Tidak ada yang perlu membuatmu malu, Cali. Kalau itu membantu, aku pikir kamu sangat cantik, dan aku tidak akan ragu untuk mengatakan itu kepada siapa pun."
Mata Cali langsung terbuka. *Astaga! Dia dengar!* pikirnya panik. Wajahnya langsung memerah ketika menyadari kata-katanya sendiri tadi.
Drake mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat jarak di antara mereka hanya beberapa inci. Wajahnya sekarang begitu dekat, hingga Cali bisa merasakan nafasnya. Beberapa helai rambut Drake jatuh ke wajahnya, menambah intensitas momen tersebut.
"Kamu benar-benar cantik, Calista Rodriguez," gumamnya, suara itu seperti bisikan halus yang menghanyutkan.
Cali menelan ludah, terlalu terpesona untuk berpaling dari mata Drake yang tampaknya menatap langsung ke dalam jiwanya.
Drake tersenyum, menampilkan lesung pipit di kedua pipinya. "Aku ingin mengajakmu keluar suatu hari nanti. Jika kamu mengizinkan, tentu saja."
"H-hah?" respon Cali refleks, suaranya terdengar serak.
Drake mendekatkan wajahnya lebih lagi, hingga bibirnya hampir menyentuh telinga Cali. "Maukah kamu berkencan denganku, Sayang?" bisiknya.
Sensasi hangat dari nafas Drake membuat Cali merasa seperti disetrum. Dengan refleks, dia langsung mendorongnya menjauh, wajahnya memerah sepenuhnya.
"Maaf, Tuan Lustre?!" serunya dengan nada setengah memprotes, meskipun dalam hati dia berteriak keras karena malu.
Cali menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Tawa kecil yang masih terngiang dari Drake membuatnya semakin gelisah. Dia tahu pria itu tidak bermaksud jahat, tetapi ada sesuatu dalam sikap santainya yang membuatnya merasa seperti berada dalam perang kecil antara harga diri dan perasaannya sendiri.
"Tidak ada yang salah dengan perkataanku, Cali. Aku hanya mengajakmu kencan," ulang Drake dengan nada yang tenang namun tegas.
Cali menatapnya tajam, darahnya mulai mendidih. "Tuan Lustre, Anda pasti salah sangka! Ya, saya akui Anda memang tampan, tetapi jangan pernah berpikir bahwa saya mudah didapat hanya karena saya bilang Anda tampan!" suaranya sedikit bergetar, tetapi ada kemarahan yang jelas di dalamnya.
Drake terkejut sejenak, tetapi segera tersenyum dan mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Wah! Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu. Aku tidak bermaksud buruk." Dia perlahan menarik kursi lebih dekat ke tempat tidur Cali, sikapnya masih penuh percaya diri namun kini dengan sedikit kehati-hatian. "Maksudku, Cali... maukah kamu keluar bersamaku?"
Cali menatapnya, merasa seperti sedang menghadapi teka-teki yang sulit dipecahkan. "Tuan Lustre—"
"Drake," potongnya cepat, "Panggil aku Drake. Aku yakin aku hanya sedikit lebih tua darimu. Dan tolong, jangan salah paham. Aku tidak sedang mencoba memaksamu atau apapun. Aku ingin kita berteman, oke?"
Dia mengulurkan tangannya ke arahnya, sebuah undangan yang terlihat tulus, diiringi senyum lebar yang sepertinya terlalu sulit untuk diabaikan.
Cali ragu-ragu sejenak. Ada bagian dari dirinya yang ingin tetap memasang dinding pertahanan, tetapi melihat senyum dan mata Drake yang penuh kesungguhan, akhirnya ia mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya. "Oke. Teman," katanya, setuju dengan nada formal.
Drake tersenyum semakin lebar, memperlihatkan lesung pipit yang sangat menawan. "Kamu tidak akan menyesal, Cali," katanya dengan suara rendah yang entah bagaimana terdengar seperti janji.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!