Bab 1: Jalan Gelap Seorang Preman
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
(QS. At-Talaq: 2)
---
Setting: Malam di sudut kota yang penuh dengan gemerlap lampu jalan, suara deru kendaraan, dan sorakan anak-anak muda. Bau asap rokok bercampur dengan aroma makanan dari warung tenda di pinggir jalan.
---
Fahri berdiri di pojok jalan, tubuhnya bersandar di dinding tembok yang dingin. Jaket kulit hitam yang ia kenakan terlihat kumal. Di tangannya, sebatang rokok hampir habis, asapnya mengepul ke udara. Tatapan matanya kosong, tapi sorotnya tajam seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya.
"Bang Fahri, ada target malam ini?" tanya seorang anak buahnya, Iwan, yang berdiri tak jauh dari sana. Iwan adalah anak muda tanggung, baru 17 tahun, tapi sudah terjebak di dunia jalanan.
Fahri meliriknya sekilas. "Ada. Si Harun di pasar, masih belum setor minggu ini," jawab Fahri dingin, membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya dengan ujung sepatu bututnya. "Kalau malam ini dia masih berani ngelawan, kasih tahu dia, utang nggak kenal hari libur."
Iwan mengangguk, wajahnya tampak tegang. "Siap, Bang. Tapi denger-denger, dia udah ngadu ke ormas sebelah."
Fahri hanya tertawa kecil. "Ormas sebelah? Mereka cuma bisa teriak-teriak. Kalau udah ketemu aspal, pasti minta ampun."
Malam itu, Fahri bersama Iwan dan beberapa anak buahnya berjalan menuju pasar. Jalanan sepi, tapi rasa tegang terasa di udara. Setiap kali melewati gang sempit, suara langkah mereka menggema. Tangan Fahri masuk ke saku jaketnya, meraba besi dingin yang biasa ia bawa — pisau lipat yang sudah lama menjadi "teman setianya".
---
Pertemuan dengan Harun
Di pasar, Harun, seorang pedagang sayur paruh baya, tampak sedang membereskan dagangannya. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap waspada. Ia tahu bahwa Fahri pasti akan datang malam ini.
"Harun!" suara Fahri menggema di tengah pasar. Langkahnya berat tapi penuh kepastian. Para pedagang yang masih ada di pasar perlahan pergi satu per satu, tak ingin terlibat dalam urusan preman.
Harun menoleh dengan wajah penuh kecemasan. "Bang Fahri, sabar ya, Bang. Saya cuma butuh waktu tiga hari lagi. Saya janji setorannya beres!" katanya dengan suara memelas, tangannya gemetar saat menutup gerobaknya.
"Janji? Janji? Udah berapa kali aku dengar kata itu, Harun?" Suara Fahri meninggi. Dia mendekati Harun, berdiri di hadapannya dengan tubuh tegap. Perbedaan tinggi badan mereka membuat Harun terlihat semakin kecil.
"Bang, tolonglah... Anak saya sakit. Uang yang ada cuma cukup buat beli obat," kata Harun sambil memegang tangan Fahri, berharap belas kasihan.
Tapi Fahri menepis tangannya dengan kasar. "Jangan bawa-bawa anakmu di sini, Harun. Ini urusan utang. Kau janji bayar minggu lalu, sekarang minggu ini. Mau tunggu sampai tahun depan, hah?"
Harun tak bisa menjawab. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar ketakutan.
"Bang Fahri, kasih dia waktu lagi, kasihan anaknya sakit," ujar Iwan, mencoba membujuk Fahri.
Fahri melirik Iwan dengan tajam. "Denger, Wan. Dunia ini nggak kenal kasihan. Kalau kita lemah, orang lain bakal injak-injak kita."
Ia mencengkeram kerah baju Harun dan menariknya ke depan. "Dengar, Harun! Tiga hari. Tiga hari lagi kalau kau masih nggak bayar, aku pastikan warung ini kosong. Ngerti?!"
Harun mengangguk cepat-cepat, matanya menunduk dalam-dalam. Fahri melepaskan kerah baju Harun dengan kasar, membuat Harun terhuyung ke belakang. "Ayo, kita pergi!" seru Fahri kepada anak buahnya.
---
Kembali ke Markas
Malam semakin larut. Fahri dan kawan-kawannya kembali ke markas, sebuah bangunan kecil yang dulunya adalah gudang kosong. Bau asap rokok dan kopi hitam memenuhi ruangan. Musik dangdut dari radio tua mengalun pelan di sudut ruangan.
Fahri duduk di kursi reyot, melemaskan otot-ototnya. Ia menyalakan rokok baru, menghisapnya dalam-dalam. Tapi entah kenapa, malam ini pikirannya gelisah. Bayangan wajah Harun dengan mata berkaca-kaca terus muncul di benaknya.
"Aku cuma lakuin apa yang dunia ajarin ke aku," gumam Fahri pada dirinya sendiri. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada suara kecil yang bertanya, "Sampai kapan kamu mau hidup kayak gini, Fahri?"
"Bang, ada tamu," seru Iwan dari pintu depan.
Fahri mengangkat kepalanya, matanya menyipit. Dari pintu masuk, seorang wanita masuk perlahan. Ia mengenakan kerudung putih bersih, wajahnya berseri-seri. Senyum lembutnya membuat ruangan terasa lebih terang. Semua orang di markas itu terdiam, seolah kehadiran wanita itu membuat suasana berubah.
"Assalamu'alaikum," sapanya lembut. Suaranya seperti hembusan angin pagi.
"Wa... wa'alaikumussalam," jawab Iwan dengan wajah terkejut.
Fahri menatapnya lekat-lekat. "Siapa dia? Dan kenapa dia ada di sini?"
---
Pertemuan Pertama dengan Aisyah
Wanita itu mendekati Fahri, tidak takut, meskipun ia tahu betapa berbahayanya orang-orang di tempat itu. Dengan penuh keyakinan, ia berdiri di hadapan Fahri.
"Bang Fahri, aku ingin bicara," katanya lembut.
"Siapa kau?" tanya Fahri dengan nada tajam.
"Namaku Aisyah. Aku datang ke sini bukan untuk cari musuh. Aku cuma mau bicara baik-baik."
Aisyah menatapnya dengan tatapan penuh ketenangan. Tidak ada rasa takut di matanya, meski di sekelilingnya ada sekelompok preman. Semua orang di ruangan itu terdiam.
"Kalau kau punya masalah, selesaikan di luar. Tempat ini bukan buat orang baik-baik," kata Fahri, mencoba mengusirnya.
Tapi Aisyah tetap tenang. "Bang Fahri, aku cuma mau bilang, setiap orang punya kesempatan untuk berubah. Allah nggak pernah tutup pintu taubat."
Kata-kata itu seolah menusuk jantung Fahri. Ia menatap Aisyah dengan tatapan bingung. Siapa dia ini? Kenapa tiba-tiba datang dan bicara soal taubat?
"Pergi dari sini sebelum aku kehilangan sabar!" bentak Fahri.
Aisyah tidak bergerak. Ia tetap berdiri di sana, menatap Fahri dengan mata penuh ketenangan.
"Bang Fahri, hidup ini singkat. Jangan sampai kau menyesal saat semuanya terlambat," ucap Aisyah sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu.
Fahri hanya diam. Tangannya masih memegang rokok yang hampir habis. Asapnya membumbung ke langit-langit. Tapi hatinya... hatinya mulai merasa aneh. Kata-kata Aisyah tadi terus terngiang di pikirannya.
"Kesempatan untuk berubah... Pintu taubat..."
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Fahri tidak bisa tidur. Ia teringat wajah Harun yang memelas, teringat kata-kata Aisyah yang tenang tapi penuh kekuatan.
"Kalau aku mati malam ini... apa aku akan diselamatkan?"
---
Di bab ini, pembaca diperkenalkan dengan sisi gelap kehidupan Fahri sebagai preman. Konflik internal Fahri mulai terlihat ketika ia bertemu dengan Harun dan Aisyah. Pertemuan dengan Aisyah akan menjadi titik awal perubahan besar dalam hidup Fahri.
---
Bab 2: Bisikan Hati yang Mengusik
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
---
Setting: Pagi yang cerah di sebuah gang sempit di pinggiran kota. Sinar matahari menembus celah-celah bangunan tua, memantulkan cahaya ke dinding kusam yang penuh coretan grafiti. Suara ayam berkokok terdengar samar dari kejauhan.
---
Fahri duduk di bangku panjang di depan markasnya, menghisap rokok dengan tatapan kosong. Matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Asap rokok yang keluar dari mulutnya terasa lebih tebal dari biasanya, seolah mencerminkan beban berat yang tengah ia rasakan.
Bayangan wajah Aisyah terus mengganggu pikirannya. Kata-katanya kemarin masih terngiang jelas di telinganya.
> "Bang Fahri, hidup ini singkat. Jangan sampai kau menyesal saat semuanya terlambat."
Fahri menggelengkan kepalanya dengan kesal. "Apa pedulinya dia sama aku? Emang dia pikir aku ini anak kecil yang bisa dikasih ceramah begitu aja?" gumamnya dengan nada kesal. Tapi, semakin ia mencoba melupakan, semakin dalam kata-kata itu terukir di hatinya.
---
Percakapan dengan Iwan
Tak lama kemudian, Iwan datang membawa sekantong plastik hitam yang isinya nasi bungkus. Ia meletakkan kantong itu di sebelah Fahri. "Bang, makan dulu. Dari pagi belum makan, kan?"
Fahri hanya mengangguk tanpa bicara. Ia mengambil satu bungkus nasi dan mulai membukanya perlahan. Bau nasi hangat dengan lauk tempe goreng dan sambal menusuk hidungnya, tapi nafsu makannya terasa hilang.
Iwan duduk di sebelah Fahri, makan dengan lahap. Sambil mengunyah, ia melirik Fahri yang tampak melamun.
"Bang, ada yang aneh sama Abang, nih," kata Iwan sambil menyendok nasi ke mulutnya. "Biasanya Abang nggak pernah diem kayak gini. Kenapa, Bang?"
Fahri menatap Iwan sejenak. "Nggak ada apa-apa," jawabnya singkat.
"Serius, Bang? Ini gara-gara perempuan itu, ya? Aisyah, ya namanya?" goda Iwan sambil menyeringai lebar.
Fahri langsung melemparkan bungkus nasi yang belum selesai dimakannya ke Iwan. "Jaga mulutmu, Wan! Nggak usah bawa-bawa nama orang!" bentaknya keras.
Iwan tertawa sambil menangkis bungkus nasi itu. "Iya, iya, Bang. Tapi aku lihat kemarin Abang diem aja pas dia ngomong. Itu nggak kayak Abang biasanya. Biasanya, siapa pun yang berani masuk markas, langsung diusir. Tapi perempuan itu beda, ya, Bang?"
Fahri terdiam. Kata-kata Iwan memang ada benarnya. Biasanya, siapa pun yang masuk markas tanpa izin pasti akan merasakan kemarahan Fahri. Tapi kemarin... dia hanya mendengarkan.
“Kenapa, ya? Apa aku lemah?” pikir Fahri dalam hati.
---
Malam yang Gelisah
Malam tiba. Angin malam bertiup lembut, membuat daun-daun kering berjatuhan dari pohon. Fahri berbaring di kasur tipis di dalam kamar markas. Atap di atasnya penuh dengan sarang laba-laba. Ia memejamkan matanya, berharap tidur bisa menghilangkan semua pikiran yang mengganggunya.
Tapi tidak semudah itu.
Bayangan wajah Aisyah kembali muncul di benaknya. Suaranya lembut, tapi menggetarkan hati.
> "Bang Fahri, hidup ini singkat. Jangan sampai kau menyesal saat semuanya terlambat."
> "Setiap orang punya kesempatan untuk berubah."
Fahri membuka matanya dan menghela napas berat. "Kenapa sih, nggak bisa keluar dari kepalaku?" desahnya kesal.
Ia duduk di tepi kasur, merogoh saku celananya, dan mengeluarkan pisau lipat yang biasa ia bawa ke mana-mana. Cahaya bulan dari jendela menerangi pisau itu. Ia menatap bayangan dirinya yang terpantul di permukaan logamnya.
“Berubah? Aku berubah? Emang ada orang kayak aku yang masih bisa berubah?”
Ia tertawa kecil, tapi tawanya terdengar getir. Hatinya penuh pertanyaan. Setiap malam ia terbiasa tidur dengan rasa amarah, tapi malam ini... ada rasa yang berbeda. Rasa yang tak ia kenal sebelumnya.
---
Pertemuan Tak Terduga
Keesokan harinya, Fahri berjalan menyusuri gang kecil menuju warung kopi milik Pak Darman. Di warung itu, beberapa orang sedang asyik ngobrol sambil menyeruput kopi hitam. Fahri memesan kopi dan duduk di pojok.
Beberapa menit kemudian, tanpa diduga, Aisyah datang. Ia membawa beberapa kotak kardus besar di tangannya. Ia berhenti di depan warung dan menurunkan kotak-kotak itu satu per satu.
Fahri melirik sekilas, lalu kembali menatap kopinya. Tapi dari ujung matanya, ia bisa melihat bahwa Aisyah sedang membagikan sesuatu ke warga sekitar. Ibu-ibu dan anak-anak kecil mendekatinya dengan wajah penuh senyum.
"Ini, Bu. Ini ada baju-baju bekas layak pakai. Mudah-mudahan bermanfaat, ya," kata Aisyah sambil tersenyum ramah kepada seorang ibu yang membawa dua anak kecil.
"Iya, makasih, Mbak Aisyah. Semoga Allah balas kebaikan Mbak," ucap si ibu sambil mengusap kepala anak-anaknya.
Aisyah membalas dengan senyum hangat. "Aamiin, Bu. Doakan saya juga, ya."
Fahri hanya memandang dari jauh. Hatinya mulai terusik. "Kenapa dia repot-repot ngurusin orang lain? Apa untungnya buat dia?" pikirnya.
Setelah selesai membagikan baju, Aisyah melihat Fahri duduk di pojok warung. Dengan langkah ringan, ia mendekat.
"Assalamu'alaikum, Bang Fahri," sapanya dengan suara lembut.
Fahri hanya menunduk, tidak membalas salamnya. Tapi hatinya gelisah.
"Aku cuma mau bilang... Kalau Bang Fahri butuh teman cerita, aku siap dengerin," ucap Aisyah sambil tersenyum. Lalu, ia pergi tanpa menunggu jawaban dari Fahri.
Fahri menunduk, menatap kopinya yang sudah dingin. Kata-kata Aisyah kali ini terasa berbeda.
> "Butuh teman cerita..."
Malam itu, Fahri tidak bisa tidur. Ia teringat semua dosa yang pernah ia lakukan. Menyakiti orang lain, mengancam, memeras, dan semua keburukan yang ia banggakan. Tapi kali ini, semua itu terasa menjijikkan.
Ia duduk di kasurnya, menggenggam pisau lipat di tangannya. Tapi kali ini, ia tidak memandang pantulan wajahnya. Ia menutup matanya dan berkata perlahan, "Ya Allah, kalau benar aku masih punya kesempatan buat berubah... tolong tunjukkan aku caranya."
Air matanya mengalir pelan. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia menangis.
---
Di bab ini, Fahri mulai merasakan kegelisahan dalam hatinya. Kata-kata Aisyah mulai menggugah kesadarannya. Bab ini memperlihatkan sisi manusiawi Fahri, yang meski tenggelam dalam dosa, hatinya masih memiliki ruang untuk kebenaran.
Bab 3: Cahaya di Tengah Kegelapan
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(QS. Al-Ankabut: 69)
---
Setting: Malam yang sunyi di sebuah gang sempit. Hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala redup. Cahaya remang-remang memantulkan bayangan pepohonan ke dinding kusam. Angin malam bertiup pelan, membawa suara gemerisik daun kering yang terseret di sepanjang jalan.
---
Fahri Tak Bisa Tidur
Malam itu, Fahri duduk di tepi kasur lusuhnya. Kamar kecil yang ia tempati terasa pengap, meski jendela kecil di sudut ruangan terbuka lebar. Matanya menatap kosong ke arah dinding yang penuh coretan-coretan liar. Tangannya menggenggam pisau lipat yang biasa ia bawa ke mana-mana.
"Kenapa gue kayak gini?" pikir Fahri sambil menghela napas panjang.
Sudah dua malam berturut-turut ia tidak bisa tidur nyenyak. Sejak pertemuannya dengan Aisyah di warung, pikirannya terus dipenuhi kata-kata perempuan itu.
> "Kalau Bang Fahri butuh teman cerita, aku siap dengerin."
Awalnya, ia menganggap kata-kata itu cuma basa-basi. Tapi, semakin ia mengabaikannya, semakin kuat bisikan itu di telinganya.
"Teman cerita? Apa gue butuh teman cerita?"
Fahri menggeleng keras, mencoba menepis pikiran itu. "Ngapain gue cerita ke dia? Gue ini preman, bukan anak kecil yang curhat sana-sini," katanya sambil membanting pisau lipat ke kasur.
Tapi hatinya berbisik sesuatu yang berbeda. Ada ruang kosong di dalam dirinya, ruang yang selama ini ia isi dengan amarah, gengsi, dan kesombongan. Tapi malam ini, ruang itu terasa hampa.
---
Mimpi yang Menggetarkan
Akhirnya, lelah melawan pikirannya sendiri, Fahri tertidur dengan gelisah.
Dalam tidurnya, ia bermimpi berada di tengah kegelapan. Tak ada cahaya, tak ada suara, hanya kegelapan yang pekat. Ia berjalan tanpa arah, meraba-raba sekeliling. Tapi tak ada apa pun di sana, hanya kehampaan.
"Di mana ini?" gumamnya, mencoba mencari jalan keluar.
Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat seberkas cahaya. Cahaya itu kecil, seperti nyala lilin di tengah malam gelap.
"Siapa di sana?!" teriak Fahri.
Tak ada jawaban. Tapi cahaya itu semakin terang. Langkah Fahri bergerak tanpa sadar, mendekati cahaya tersebut. Hatinya berdebar, ada rasa takut tapi juga rasa penasaran.
Saat ia semakin dekat, ia melihat sesosok pria berjubah putih berdiri di balik cahaya itu. Wajah pria itu bercahaya, tapi tidak menyilaukan. Wajahnya tenang dan penuh wibawa.
"Fahri..."
Fahri terdiam. Suara itu terdengar lembut, tapi terasa menggetarkan dadanya.
"Siapa... siapa kau?" tanya Fahri dengan suara bergetar.
"Jangan takut, Fahri," kata pria itu. "Aku di sini hanya ingin bertanya. Sampai kapan kau akan terus hidup dalam kegelapan?"
"Ap... apa maksudmu?! Aku nggak butuh ceramah!" sergah Fahri, mencoba terlihat berani.
Pria itu hanya tersenyum, tatapannya dalam dan penuh arti. "Kegelapan itu ada di hatimu, Fahri. Amarah, kebencian, kesombongan... semua itu membuat hatimu buta. Sampai kapan kau akan terus hidup seperti itu?"
Fahri terdiam. Kata-kata pria itu terasa seperti tamparan keras di wajahnya.
"Aku... aku nggak tahu caranya keluar dari kegelapan ini," jawab Fahri lirih.
"Cahaya selalu ada, Fahri. Tapi kau harus mencarinya sendiri," ucap pria itu sebelum perlahan menghilang bersama cahaya di sekitarnya.
"Jangan pergi! Tunggu!" teriak Fahri, tapi pria itu sudah menghilang. Kegelapan kembali menyelimuti sekelilingnya.
---
Kebangkitan di Fajar
Fahri terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi dahinya. Jantungnya berdegup kencang. Ia duduk tegak di kasur, memegangi dadanya yang terasa sesak.
“Apa itu tadi?” pikirnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, seolah ada seseorang yang benar-benar berbicara dengannya.
Ia memandang ke sekeliling kamar. Dinding yang kumuh, lantai yang berdebu, dan udara pengap yang biasa ia hirup setiap hari. Tapi kali ini, semuanya terasa berbeda.
Fahri bangkit dari kasur, berjalan ke depan cermin kecil yang tergantung di dinding. Ia menatap wajahnya sendiri. Matanya sembab, rambutnya berantakan, wajahnya penuh bekas luka perkelahian.
“Apa ini wajah seorang pemenang?” pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba, ia teringat Aisyah. Wajahnya yang teduh, senyumnya yang tulus, dan kata-kata lembutnya.
> "Setiap orang punya kesempatan untuk berubah."
Hatinya bergetar. Untuk pertama kalinya, ia merasakan keinginan yang aneh dalam dirinya — keinginan untuk berubah.
---
Percakapan dengan Iwan
Pagi itu, saat Iwan datang ke markas, ia mendapati Fahri sedang membersihkan ruangan. Iwan tertegun, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Bang... bang, ini beneran Abang? Kok tiba-tiba rajin banget bersih-bersih?" tanya Iwan dengan raut bingung.
Fahri hanya menatapnya sekilas. "Kalau nggak suka, lu keluar aja," jawab Fahri datar sambil terus mengepel lantai.
"Eh, eh, tenang, Bang. Gue cuma heran aja. Biasanya, Abang nggak peduli sama ruangan ini. Apa jangan-jangan Abang kesambet, ya?" goda Iwan.
Fahri berhenti mengepel dan menatap Iwan dalam-dalam. "Lu pikir hidup ini cuma buat main-main doang, Wan?"
Iwan terdiam. Ini bukan gaya bicara Fahri yang biasa.
"Ada banyak hal yang harus gue pikirin sekarang, Wan. Gue capek hidup kayak gini terus," lanjut Fahri sambil melanjutkan mengepel lantai.
"Capek? Apa maksudnya, Bang?" tanya Iwan sambil mendekat.
Fahri tidak menjawab. Ia hanya terus mengepel lantai dengan wajah serius. Tapi di hatinya, ada sesuatu yang mulai tumbuh — harapan.
---
Pertemuan Kedua dengan Aisyah
Siang harinya, Fahri memutuskan pergi ke masjid dekat gang. Langkah kakinya terasa berat, seolah ada beban yang menahan setiap langkahnya. Tapi entah kenapa, hatinya terus mendorongnya maju.
Saat tiba di halaman masjid, ia melihat Aisyah sedang menyapu halaman. Ia terkejut. "Kenapa dia ada di sini?" pikirnya.
Fahri berdiri di pintu pagar masjid, ragu-ragu. Tapi kali ini, hatinya tidak ingin berbalik.
"Aisyah," panggil Fahri.
Aisyah berhenti menyapu dan menoleh ke arah Fahri. Ia tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum lembut.
"Bang Fahri?" ucap Aisyah, matanya berbinar-binar. "Apa yang membawamu ke sini?"
Fahri terdiam sesaat, menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Gue cuma... cuma pengen ngobrol," katanya gugup.
Aisyah mendekat, wajahnya tetap ramah. "Tentu, Bang. Apa yang mau dibicarakan?"
Fahri menatap wajah Aisyah dengan serius. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin jujur pada dirinya sendiri.
"Lu bilang... semua orang punya kesempatan buat berubah, kan?"
"Iya," jawab Aisyah dengan yakin.
Fahri menarik napas panjang. "Gue... gue pengen nyoba, Aisyah. Gue pengen berubah."
Aisyah tersenyum lebar. Senyum yang membuat hati Fahri terasa lebih ringan dari sebelumnya.
Di bab ini, Fahri mulai menerima panggilan hati untuk berubah. Mimpi dan pertemuannya dengan Aisyah menjadi titik awal dari perjalanan panjangnya menuju cahaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!