“Sial, telat!” seru Laras nyaris menangis. Ini adalah pekerjaan impiannya sejak dulu. Sudah banyak e-mail yang masuk namun ia memilih untuk mengikuti tes wawancara ini saja.
Sementara itu, di tempat lain, seorang lelaki berjaket hijau tengah ngebut berpacu dengan waktu. Makin ramai kendaraan makin ia gas motor supranya itu. “Ah, padahal sisa sedikit lagi aku bisa bawa dia ke Pak Abraham!” geram batinnya bukan main.
Ponselnya berdering, terlihat sepuluh panggilan tak terjawab dari atasannya. Pria bernama Aliando ini meski dalam situasi genting begini wajahnya tetap datar. No Expression, no voice, cukup berkata dalam hati.
Tiba pada sebuah kos-kosan bertingkat, cukup mewah kelihatan. Aliando segera naik ke atas. Mata elangnya menatap sekitar. Mulutnya terlihat berkomat-kamit menghitung angka 1, 2 dan 3. Ketika sampai pada pintu kamar bernomor 7, ia tendang pintu itu dengan kaki panjangnya. Sekali hentak, satu engsel bagian atasnya lepas.
Bruakkk!!!
Namun, tepat ketika itu. Senyum Aliando seketika memudar, sebab orang yang ia harapkan tidak ada di sana. Malahan hanya seorang gadis yang tengah berganti baju di depan cermin.
“What?!” untuk pertama kalinya Aliando bersuara pagi ini.
“Heh! Ngapain lo? Gada yang pesan makanan di sini! Cabul lo ya?!” pekik wanita berkulit putih merona itu.
Aliando tanpa sempat menjawab malah langsung masuk ke dalam memeriksa kamar mandi kemudian menuju jendela. Benar dugaannya bahwa ada bekas tali pada besi balkon dekat jendela kamar kos itu.
“Kemana komplotan kamu pergi?” Aliando meraih lengan kecil gadis itu.
“Apa-apan sih, Om? Gak ngerti! Lepasin!” Berusaha melawan namun jeratan tangan kekar si Ojol kuat sekali. “Gileee, tenaga kuda atau tenaga dalam?!”
Aliando mendengus kesal, napasnya seperti keluar api tapi ekspresi wajahnya tetap datar namun gadis di hadapannya itu mampu merasakan kemarahan Sang Ojol.
“Om …, jangan, Om. Laras gak pernah pesan makanan atau minuman,” jawabnya mulai ketakutan, “mungkin si Lolly lupa ngasi tahu.”
“Ke mana si Lolly?” tanya Aliando mengintrogasi.
“Otw kampus dia, Om. Skripsinya belum kelar,” ucap Laras kepayahan. Dalam hatinya ia berdoa jangan sampai ia dimutilasi terus dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke semak-semak.
Aliando melepaskan cengkramannya. Ia menopang kedua tangannya ke pinggulnya. Nampak frustasi, merasa gagal karena sudah tiga bulan ia gagal terus menangkap pengedar narkoba itu.
“Sial,” decak Aliando tak tahan.
Gadis bernama Laras itu perlahan mengambil sepatu dan berjinjit keluar. Nyaris sampai di pintu, bahunya di tahan oleh si Om ojol.
“Mau ke mana, kamu? Kamu mau saya ….”
Mungkin ini pekerjaan semesta, tanpa sengaja Laras yang dalam posisi berjinjit itu dibalik paksa badannya malah limbung dan jatuh menimpa tubuh Aliando.
Keduanya saling bertubrukan, terkapar di lantai. Ketika Aliando hendak segera bangun, ia mendapati rambut gadis itu tersangkut di resleting celananya.
“Awh!” keluh Laras saat si Om ojol menarik-narik rambutnya.
“Jangan bergerak, nanti rambutmu lepas,” kata Aliando sambil berusaha membuka resletingnya yang macet.
Seorang Bapak dan Ibu kos naik ke atas lantai dua dan mendengar suara bisik-bisik agak mendesah dari kamar nomor 7 yang tepat berada di ujung.
Kedua orang tua itu saling pandang. Ibu kos melempar senyum aneh karena takut si Bapak tidak jadi ambil kamar kos untuk anaknya.
“Tunggu bentar ya, Pak. Saya ke sana dulu, hehe.”
“Oh iya, Bu. Apa ya itu?”
“Tikus mungkin, Pak, hehe.”
“Tikusnya pinter ya? Bisa desah gitu, Bu.”
Karena tidak tahu mau cakap apa lagi, si Ibu kos segera menuju ke sana.
Sementara itu, Aliando dan Laras berjuang untuk melepaskan jeratan antara keduanya. Sudah ngos-ngosan, Aliando pun lelah.
“Jangan banyak gerak kamu, berhenti dulu,” kata Ali terdengar sesak, tapi suarnya lumayan renyah. Ia melanjutkan, “saya capek, mau keluarin napas enak dulu.”
Bu kos yang mendengar perkataan itu sontak menutup mulut, menelan ludah. “Main kuda ronggeng?”
Namun, Laras tidak mau mengerti. Ia sangat buru-buru karena wawancaranya sebentar lagi akan dimulai. Tanpa sengaja, roknya sobek naik ke atas karena terkena paku tembok. “Huaaahh, sialan,” pekiknya pelan karena sambil menangis.
“Astagah, sampe menangis? Sebesar apakah?” bu kos bertanya-tanya sampai mulutnya menganga lebar, sarang tawon pun bisa masuk.
Karena sudah sangat penasaran Ibu kos pun mengendap, mengintip dari balik pintu yang setengah rusak engselnya itu. Karena si Bapak di ujung sana juga nampak penasaran kenapa si Ibu kos seperti mau tangkap pencuri. Pada akhirnya ia ikut berada di belakang ibu kos sambil membelalakkan mata.
Ibu Kos mengeluarkan ponselnya dan merekam penampakan kuda ronggeng yang ada di depannya. Anak gadis itu nampak memaju mundurkan kepalanya di sela-sela kedua paha si Pria. Sementara pria kelihatan memijit jidatnya sambil berpeluh keringat.
“Anak jaman sekarang sangat tidak sopan ya, bu,” bisik si Bapak. Ibu kos nyaris kejengkang. Kaget bukan main. Video pun berhenti.
“Astagah, rok aku sobek, gimana nih? Lo harus tanggung jawab nih, Om!” emosi Laras sambil menangis kian kencang.
Aliando menghela napas, “ya Tuhan, kenapa aku harus ketemu gadis cengeng kayak begini?”
Karena sudah lelah dengan tingkah gadis itu, Aliando segera membuka jaket ojolnya. Dililitkannya ke rambut panjang Laras dan pelan-pelan ia gerakkan kembali resleting celana jeansnya.
Saking keringatnya Aliando, sampai-sampai baju kaos putihnya menampakkan garis-garis ilahi yang sering cegil indo katakan ‘roti sobek.’
“Makjreeenggg!” Mata Laras membola riang ketika ia melihat pemandangan gratis itu. Kapan lagi ya, ‘kan?
Aliando mengira bahwa gadis itu senang karena rambutnya sudah lepas. Segera ia berdiri, meraih jaket ojolnya dan hendak keluar.
Namun, dua orang tua tadi segera menghadangnya di depan pintu. “Mau ke mana anak muda durjana?” tanya Ibu Kos dengan mata mengkilat.
Langkah Aliando terhenti saat itu juga. Wajahnya tetap datar, tak mengerti apa maksud wanita tua dan bapak berambut putih itu.
“Laras! Bangun!” teriak si Bapak berambut putih.
Laras segera berbalik, memperbaiki rambutnya. “Eh, Om Herman?” Sambil ia hapus sisa air matanya.
“Om sudah lapor ke Bapak kamu, Laras! Om tidak menyangka kelakuan kamu di kota seperti ini!” Bapak berambut putih itu mengangkat sebuah ponsel. “Ada rekaman kamu di sini! Bersama laki-laki supir grab itu!” Tunjuk Om Herman marah besar.
“Ta … tapi ini tidak seperti yang Om bayangkan!” seru Laras membela diri. Matanya kembali berkaca-kaca lagi.
“Benar, Anda salah paham,” kata Aliando meyakinkan.
Namun, Ibu kos angkat bicara, “halah, mana ada satanic mau ngaku? Kalian berdua ya, udah kelihatan pro banget! Ya ampun, Pak, baiknya kita segera panggil Pak Ustad Vicky Setyo.”
Om Herman mengangguk setuju. “Betul! Kamu Laras, siap-siap pasang bajumu dengan benar! Untung saja Om memilih ke kos ini, ternyata kelakuan kamu mau ketahuan! Hari ini juga, Om akan panggilkan penghulu buat kamu dan tentunya, Bapakmu juga akan datang sebagai wali nikah!”
“Apa?!” Aliando dan Laras sama-sama berujar kaget bukan main.
Laras duduk menangis memeluk kedua lututnya. Layaknya bocah ingusan, suara tangisannya mengundang perhatian para penghuni kosan.
Sahabat yang dia panggil Lolly itu baru saja balik dari kampus, sontak berlari ke arahnya menerobos kerumunan dekat tangga. “Laaaraaas! Lo kenapa? Maling ya di kos gue?!”
Sambil sesegukan, Laras mendongak. “Keterlaluan lo ya! Ini gue mau dikawinin!” isak Laras kembali, kali ini makin nyaring.
Akhirnya Pak Ustad Vicky Setyo datang bersama Ibu pemilik kosan.
“Nah ini dia, Pak …, pemeran dalam video tadi,” ucap Bu kos semakin membuat rasa penasaran penghuni seisi kos menjadi-jadi.
“Hah? Disebarkan?!” protes keras Aliando tidak terima, “kalian semua bisa dikenakan pasal pencemaran nama baik! Kalian semua fitnah!” seru Aliando, urat pada pelipisnya sampai mencuat, wajahnya terlihat memerah namun ekspresi wajah itu tetap saja datar.
“Kamu berani ya marah-marah gitu. Udah ketahuan, masih aja sempat bela diri,” ujar Ibu kos tak kalah sebal.
Laras berdiri, ia remas jaket si Om ojol. “Om …, kalau Bapakku datang, kasi tahu ke dia kalau ini semua salah paham. Bapakku itu sayang banget sama aku, jadi beliau bakalan bela aku,” bisik Laras percaya diri.
Karena ekpresi Laras begitu meyakinkan. Alindo mengangguk tanda setuju. “Saya akan maju paling depan nanti.”
Laras melempar senyum kentara giginya yang begitu jelek. Gemetar campur malu karena dilihat banyak orang di sana.
Om Laras pun tiba, nampak menggandeng cepat sebuah lengan gelap namun sangat kokoh. Rambut bapak-bapak yang ia gandeng kelihatan mulai beruban. “Nah, ini kakak tertua saya. Bapaknya Laras!” seru Om Herman selalu bangga ketika memperkenalkan Sang Kakak di depan umum.
Bu Kos pun maju, berbicara pelan pada keduanya, “jadi mau dinikahkan di mana, Pak?” tanya Bu Kos yang ditujukan untuk bapaknya Laras.
Tetapi orang tua itu nampak siap mematahkan tulang pria yang sudah mengajari anaknya perilaku yang tak senonoh.
“Maaf, Bu …, saudara saya ini memang tidak banyak omong, langsung aksi,” ujar Om Herman, “dia …, calon kepala desa, hehe.”
Mulut Bu Kos membola lebar. “Ooh, kalau begitu kasus anaknya bisa jadi penghalang, dong?” katanya seolah memprovokasi.
Bapaknya Laras melirik tajam pada Bu Kos. Dalam satu tarikan napas, ia berjalan menghadapi pria yang berada dalam video bersama anaknya.
“Berani berbuat …, maka berani bertanggung jawab,” penekanan suara bapak Laras terdengar penuh emosi.
Laras pun maju, berdiri di samping Om ojol. “Pak …, ini semua kesalahpahaman, Pak.” Laras meringis ketakutan. Ia goyangkan ujung jaket Om ojol, meminta untuk berbicara sesuai dengan kesepakatan mereka tadi.
Aliando dengan wajah datarnya akhirnya pun berucap, “saya tidak pernah melakukan apa pun terhadap anak bapak.”
Lama keheningan menyelimuti mereka semua. Para anak kos nampak tegang seolah menonton film horor di bioskop secara gratis.
“Saya tidak perlu bertanggung jawab atas putri bapak, karena saya …,” lanjut Ali. Namun, satu bogeman mentah tanpa aba-aba mendarat ke wajahnya.
Perih rasanya bukan main. Tubuh tinggi tegak, badan ideal, ternyata tidak mampu menahan serangan tiba-tiba si Bapak. Ali tersungkur jatuh ke belakang.
Laras menganga, tak mampu berkata apa-apa. Ia lirik bapaknya sekilas. Karena takut, Laras berjalan mundur mendekati Om ojol. Ia berjongkok kemudian bertanya, “Om gak apa-apa?”
Seperti ada bintang-bintang yang menghiasi kepala Ali. Ia mendongak pada Laras. “Kamu bilang bapak kamu akan percaya,” kata Ali serak sambil berusaha meregangkan otot pipinya menggunakan lidah. “Tua masih kuat, luar biasa.”
“Sempat-sempatnya lo puji bapak gue, Om,” salut Laras, “bapakku mantan petarung di kampung, Om, hehe.”
“Sekarang kamu juga sempat-sempatnya kagum sama bapakmu yang seperti ayam jago itu? Huh?” beo Ali tak percaya. Ia berusaha bangkit, namun, ia melihat bapaknya Laras berjalan ke arahnya.
“Tahan, bapakku sayaaang!” Kedua tangan gadis itu menghadang. Laras tahu betul bahwa kaki pendek bapaknya akan menyepak entah menuju perut Om ojol ataukah diarahkan pada selangkangannya Ali.
“Kamu bela pacarmu, Laras?!” geram bapak Laras.
“Hih …, amit-amit, Pak! Om ini bukan pacarnya Laras!”
“Kalau bukan pacarmu, maka dia laki bayaran?!” bapaknya Laras melotot sambil bertolak pinggang.
Bukan maen! Lelaki bayaran? Yang benar saja kalian! Aku ini polisi! Polisi intel! Andai Ali bisa meneriakkan suara hatinya itu, semua masalah ini akan cepat selesai. Namun, apa boleh dikata, misinya belum selesai bahkan nyaris dikatakan gagal.
Jika dalam beberapa hari ini ia gagal membongkar sindikat jaringan narkoba itu, maka, karirnya bisa hancur. Sesuai janji komandannya, ia akan dipindah tugaskan ke Papua menjadi penjaga di perbatasan.
Ali nampak menggidikkan bahunya.
“Berani kamu masih mau melawan?!” bapaknya Laras meraih kera jaket ojolnya Ali, hendak kembali melayangkan bogeman baru. Tapi, Laras segera maju dan menghadang bapaknya.
“Pak! Jangan!” teriak Laras sambil menutup erat kedua matanya. “Laras sayang, bapak,” ucap Laras kemudian dengan lirih. Pada akhirnya, ia pun menangis lagi.
Karena Laras adalah putri kesayangan Pak Kaget, orang tua itu pun melemaskan badannya. Ia peluk anaknya.
“Lah, segini doang? Mana ngamuknya?” tanya Ibu Kos ke Om Herman.
Om Herman menjawab, “gak tahu saya, Bu. Kakak saya memang gampang luluh orangnya.”
Tapi, Laras mengira bahwa bapaknya percaya padanya. Seperti disambar guntur, bapaknya Laras bersuara, “bapak sudah siapkan kebaya putih di dalam mobil. Kamu segera bersiap ganti baju dan make-up seadanya.”
“Hah?” Laras menjauhkan diri dari pelukan bapaknya.
“Kamu!” Tunjuk Pak Kaget pada Ali. “Pake jas, sana!”
“Apa, Pak?” heran Ali, keningnya mengkerut. “Jadi bapak tidak percaya dengan kami?”
“Apa …, apa …, jidatmu apa! Pokoknya hari ini kamu nikahi anak saya!”
Riuh suara anak kos seolah menonton pertandingan bola yang curang. Namun, bapak Laras tidak perduli, ia menarik putrinya ke bawah. Sama dengan Ali, kedua lengan berototnya dipegang oleh Om Herman dan Pak Ustad Vicky Setyo.
Pak Vicky Setyo berujar, “astagfirullah, nak. Kamu kalau mau melakukan hal seperti itu, jangan sampai ketahuan.”
“Oh …, jadi harus sembunyi gitu ya, Pak?” Lirik Om Herman dengan mata yang sudah seperti senter. “Agak lain juga ya Anda, hehe.”
“Ah, bukan begitu maksud saya, Pak.”
“Sudahlah, kita bawa anak ini segera ganti baju.”
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Laras Binti Kaget dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai,” kata Aliando lesu seperti tahanan Nusa Kambangan.
Sama sekali tak pernah ia bayangkan menikah dengan cara seperti ini. Sama halnya dengan Laras yang sejak tadi terus menangis. Seperti kisah gadis kampung yang dipaksa nikah dengan juragan kaya berperut buncit.
“Padahal pacarnya ganteng poll. Kenapa nangis, ya?” bisik Bu kos pada istri Pak Ustad Vicky Setyo yang duduk disampingnya.
“Mungkin karena belum siap aja kali, Bu,” jawab istri Pak Vicky.
“Gak siap tapi suka ngisep permen buwung.”
“Bagaimana saksi? Sah?!” tanya Pak penghulu pada semua saksi dan tamu tak diundang yang hadir di lokasi.
“Saaaaahhhh!” jawab semua orang secara serempak.
“Alhamdulillah,” kata Pak penghulu lega.
Lain halnya dengan Aliando yang kepalanya pusing tujuh keliling. Ali malah mengucap kata astagfirullahhaladzim dalam hatinya.
“Selamat ya Laras, akhirnya lo ngedeluanin gue nikah, hiksss.”
“Diem lo Lolly!” seru Laras mencubit paha Lolly.
“Akhirnya benalu gue lenyap,” gumam Lolly menutup mulut.
“Baik, karena semua sudah beres.” Tunjuk Pak Kaget menatap tajam ke arah Ali. “Kamu! Ikut saya balik ke kampung dan kamu juga Laras!”
“Hiksss, iya, Pak.” Laras mengusap air matanya dengan tissue pemberian Bu Kos. Tanpa Laras ketahui, tissue itu bekas habis ngelap ujung sepatu Bu Kos.
Mereka berempat masuk ke dalam mobil kijang tempo doloe. Om Herman menyetir, Pak Kaget duduk di samping kursi kemudi.
Laras dan Ali duduk di belakang, masih menggunakan baju pengantin dadakan. Sementara itu, Laras terus menangis karena mengingat jadwal wawancara kerjanya yang gagal total.
“Ibumu suruh ke Dukun Tukiyem,” kata Pak Kaget tiba-tiba.
“Kenapa Laras mau dibawa ke dukun, Pak?”
“Ibumu mau periksa kandungan kamu, toh!”
“Apa?!” teriak keduanya serempak.
“Tapi Laras gak hamil, Pak,” jengkel Laras coba menjelaskan lagi pada bapaknya yang berkepala batu itu.
“Dukun Tukiyem itu mata batinnya tembus! Kamu ndak usah mengelak lagi. Setiba di kampung, kalian berdua harus ketemu Dukun Tukiyem. Paham!”
Mobil kijang tempo doloe warna ijo tua itu melaju kencang menuju kampung durian jatuh. Benak Ali berkecamuk hebat, entah apa yang akan terjadi pada nasibnya selanjutnya.
Kampung Durian Jatuh. Pukul 15.00 WIB
Aliando melihat sekitaran rumah Laras yang terasa adem. Ada kebun di belakang rumah, di sekelilingnya juga ada tanaman bunga-bunga indah.
Keluar seorang Ibu berbaju kebaya cokelat, wajahnya tersenyum tapi Ali menangkap kecemasan pada bahasa tubuh Ibu tersebut.
“Remasan jari, berusaha menyembunyikan ketakutan dan kekecewaan,” gumam Ali terus menatap ibunya Laras.
Laras menyenggol bahu Ali. “Kenalin, ini Ibu aku, Om.”
“Om?” beo Bu Sabar masih dengan senyuman menggantung yang dipaksakan, “ketemu dimana toh, nduk?” Usap Bu Sabar pada pucuk kepala putri bungsunya.
Laras nampak salah tingkah, ia meremas jari-jarinya kuat. “Eh …, anu, Bu.”
“Ternyata menurun ke anaknya,” gumam Ali lagi.
“Hey, kamu!” teriak Pak Kaget, “masuk ke dalam dan jelaskan semuanya!”
“Sabar toh, Pak. Nanti tetangga denger,” kata Bu Sabar mengelus pundak suaminya.
“Sabar apa toh, Bu? Laki ini udah ngajarin anak gadis kita yang ndak bener di kota. Kamu juga, Laras! mau-maunya aja melakukan hal itu. Emang enak rasanya? Pahit, ‘kan?!”
Aliando menganga lalu menghela napas. Ia membuka jasnya karena kepanasan. Dua kancing atas kemejanya terbuka, dada bidangnya pun sedikit terekspos.
“Ndak usah pamer kamu!” seru Pak Kaget sambil berlalu menuju ke dalam rumah.
Bu Sabar mendesah pelan, “untung saja rumah kami agak jauh jaraknya dari rumah tetangga. Ayo, cepat masuk, nanti ada yang lihat kalian pakai baju pengantin gini.”
“Iya, Bu,” ucap Ali sambil mengangguk sopan.
Bisa juga ini Om ojol berlaku sopan ke ibu aku. Awas aja entar kalau tiba-tiba minta hak sebagai suami, gue bakar juga itu motor supranya di kos Lolly.
Ali masuk ke dalam kamar Laras, mereka berdua berganti baju. Namun, Ali diminta keluar karena Laras tidak nyaman.
“Mau lihat apa, Om? Belum puas jebak aku jadi istri mudanya, Om?”
“Istri muda katamu? Hey, saya ini belum pernah menikah, pacaran pun cuma dua kali!” sebal Ali mengambil baju yang disediakan Bu Sabar tadi di atas kasur.
Aliando tak habis pikir, ia terus menggeleng tak percaya, pusing tujuh keliling.
Setelah selesai berganti baju, tak sempat ia duduk. Pak Kaget langsung saja meneriaki dirinya lagi.
“Hey! Kamu, masuk mobil!”titah jengkel Pak Kaget.
Aliando cuma mengangguk, wajah tanpa ekspresinya itu kian memicu emosi Pak Kaget.
Sekitar lima belas menit, mereka akhirnya tiba di sebuah gubuk yang cukup luas. Laras nampak takut masuk ke dalam dan terus bersembunyi di belakang ibunya.
Ali cuma bisa menghela napas. Sial betul dirinya, niat menangkap pelaku narkoboy malah berakhir di sebuah gubuk dan tiba-tiba menjadi seorang suami, mana suami gadis cengeng pula.
“Selamat sore Mbah Tukiyem,” salam Pak Kaget kemudian mengajak ketiga orang itu duduk.
“Mana perutnya, Laras?” tanya Mbah dukun Tukiyem tanpa basa-basi.
Laras menggeleng pada ibunya, matanya berkaca-kaca. Ia takut sekali kalau Mbah dukun Tukiyem ini malah memasukkan paku berkarat ke dalam perutnya. “Tapi Laras gak hamil, Bu.”
“Diam, Laras! Kamu udah ketahuan aja masih mau berbohong? Sejauh mana kamu mau mengecewakan kami, nak?” Pak Kaget memijit pangkal hidungnya.
Akhirnya Laras membuka bajunya naik perlahan sehingga perutnya kentara. Ali nampak menahan tawa karena ia melihat kalau perut Laras itu memang agak buncit.
Astagah, itumah bukan hamil manusia, tapi hamil bakso, seblak, mie gacoan, ayam geprek dan sejenisnya. Kata Aliando dalam hati.
“Sehat janinnya, nduk. Udah tiga bulan,” ujar Mbah dukun Tukiyem dengan deretan gigi hitamnya.
“Heh, sembarangan. Laras ndak hamil toh, Mbah!” kesal Laras hendak mencak-mencak.
Tapi, Pak Kaget menggebrak meja Mbah Tukiyem karena emosi. “Laras! Kamu ini benar-benar buat Bapak habis kesabaran! Kamu, Laras! Jangan tinggal di rumah! Kamu ikut suami kamu ke kota sana!”
“Tapi, Pak …, Laras butuh istirahat, Pak. Bapak tega sekali sama putri bungsu kita,” bela Bu Sabar, tak mau pisah dengan anaknya.
Aliando menghela napas, sangat bosan dengan drama kampung ini. Ia hendak segera kembali ke kota, namun, ia benar akan gila jika Laras ikut bersamanya.
“Nak? Siapa namamu?” tanya Ibu Laras pada Ali.
“Aliando, Bu.”
“Tinggal di kampung dulu, ya, untuk sementara.”
“Hah?” panik Ali sontak memundurkan bokongnya. Jelas ia tidak mau, dia banyak pekerjaan.
“Kalian semua keluar dulu. Saya mau bicara dengan suami nak Laras,”kata Mbah dukun Tukiyem.
Pak Kaget, Bu Sabar dan juga Laras segera keluar. Sesekali berusaha mencuri dengan dari balik jendela gubuk tapi hasilnya nihil.
“Mereka bicara apa, sih?” kepo Pak Kaget, tak ada jawaban. Sebab, istri dan putri bungsunya sedang sibuk saling memeluk satu sama lain.
Sementara di dalam sana. Aliando berasa diinterogasi oleh si Dukun. Ali tak mau memandang wajah si Dukun, kesal saja bawaannya.
“Kalau kamu setia sama Laras, karirmu akan melejit. Tapi, jika kamu meninggalkan Laras atau menceraikannya, kamu bakalan mati di tangan penjahat!” ucap Mbah Tukiyem dengan sangat serius.
Aliando sontak menatap kedua mata si Dukun. Ali hendak beradu mulut namun ia sadar bahwa orang yang ada di hadapannya ini hanyalah orang tua dengan segudang kebohongan yang ia jual demi mendapatkan keuntungan.
Ali menunduk, menggeleng, menghela napas.
Mbah dukun Tukiyem melanjutkan ucapannya, “kamu bisa buktikan nanti anak muda. Saat nanti kamu kembali ke kota tanpa Laras, kamu akan mengalami serangkaian kegagalan dan kesialan. Laras adalah penyelamatmu juga keberuntungan dalam hidupmu.”
“Saya tidak percaya pada Anda. Laras itu tidak hamil dan Anda mengatakan bahwa dia mengandung tiga bulan?” tawa Ali, jengkel, “maksud Anda hamil cacing?” Meski tersulut rasa marah, raut wajah Aliando selalu datar.
“Saya sengaja mengatakan itu pada orang tuanya. Jika tidak, kalian takkan pernah bersama.”
“Astagah! Berarti Anda sengaja berbohong! Anda sudah menghancurkan hidup saya!” Aliando berseru, mengepalkan tangannya lalu menghempaskan ke meja si Dukun. “Keterlaluan! Seandainya saya bawa alat rekam, saya bisa menuntut Anda sehingga Anda akan dipenjara.”
Pak Kaget dan Bu Sabar langsung masuk ke dalam setelah mendengar keributan. Mereka langsung pamit lalu menyeret Ali keluar.
“Keterlaluan kamu!” Pak Kaget mengepalkan tangannya hendak meninju. Tapi, Bu Sabar menahannya.
“Kalau sampai kamu kdrt, Laras. Saya akan pastikan kamu membusuk di penjara!” bentak Pak Kaget tidak main-main.
Penjara apanya, Pak? Saya ini polisi. Polisi intel. Kalau ada yang mau dipenjarakan, ya itu adalah si Dukun dan Anda, Pak. Astaganaga. Ali akan selalu menghela napas selama masih berada di sekeliling keluarga Laras.
Malam pun tiba. Laras sejak tadi sudah naik ke atas pembaringan. Laras tidurnya ngorok dan bajunya suka naik ke atas pusar.
Melihat itu, Ali geleng-geleng kepala. “Ya Tuhan , jelas bukan tipeku.”
Karena tak bisa tidur, Ali pun diam-diam keluar untuk mengubungi sang Komandan. Ketika ponselnya aktif, sangat banyak sekali chat dan panggilan tak terjawab yang masuk.
“Sial,” decak Ali. Ia segera menekan tombol panggil, ia menelfon bosnya.
(Halo?!) jawab suara berat penuh amarah berapi-api.
“Selamat malam, komandan. Saya hendak melapor.”
(Mau lapor apa kamu, bajingan? Kamu biarkan tersangka kabur. Kasus ini hendak dipindahkan segera ke tim lain jika kamu gak mampu, Ali!) geram bos polisi itu.
“Saya minta maaf, Pak komandan. Saya akan segera mendapatkan buronan itu dan membawanya kepada Anda.”
(Janji terus! Ingat ya, kalau sampai tiga hari penjahat itu tak ketemu, siap-siap dirimu saya kirim ke Papua!)
Telepon nyaris terputus. Namun, Ali segera berkata cepat akan kondisi yang dia alami.
“Maaf, Pak. Tapi saya mengalami kejadian yang tak diinginkan …, saya ditangkap perempuan dan saya sekarang berstatus sebagi suami orang.”
(Apa?! Astagah, Aliando! Kamu sempat-sempatnya menghamili anak orang dalam situasi begini?!)
Ali menepok jidatnya, ia melanjutkan. “Bukan begitu, Pak. Besok pagi saya akan jelaskan semuanya di kantor.”
(Baik, saya tunggu kamu. Cih, saya gak nyangka kelakuan kamu sama seperti petugas lainnya. Nitip sperma sana-sini.)
Karena Aliando merasa sangat tertekan. Ia segera masuk ke dalam rumah. Tidak bisa tidur hingga pagi. Akhirnya, bawah matanya menghitam seperti mata panda.
Ali menuju ke kamar mandi, diambilnya alat cukur kumis. Wajahnya pun bersih, ketampanannya bertambah dua kali lipat.
“Sempurna,” pujinya di depan cermin.
Ketika ia baru saja keluar. Lagi-lagi Laras menubruk tubuhnya. Hobi sekali gadis ini menabrak oang lain. Ali mendengus pelan, ia menghindari Laras. Tapi, lengannya tertahan, ia berbalik menatap Laras. “Mau apa kamu, banteng?”
“Om?” beo Laras, melongo, terpesona.
“Jangan panggil saya, Om. See? Saya ini masih muda.”
Laras tersenyum, mengangguk. “Yah, dan kamu suami saya sekarang.”
“What???” Aliando tak percaya dengan apa yang barusan Laras ucapkan, “kamu pede banget ngomong gitu ke saya.” Ali mentoel jidat Laras dengan telunjuknya. “Kamu lupa, ya? Kita ini kejebak semesta.”
“Gak lupa, kok.” Bibir Laras mencebik.
Tak dapat Aliando pungkiri, gadis manja dan cengeng di hadapannya ini begitu imut. Karena takut terpesona begitu jauh , Ali buang muka. “Saya akan berangkat ke kota pagi ini.”
Kedua jari telunjuk imut Laras dibuat menyatu. “Bawa aku, engga?”
“Tentu saja tidak. Lagian, kata si Dukun …, kamu itu hamil tiga bulan, jadi …, harus banyak istirahat,” senyum Ali merasa senang berhasil menggunakan alasan itu.
“Om tahu, ‘kan kalau Laras gak hamil!” Laras kesal, mencubit lengan Aliando.
“Jangan panggil saya, Om. Saya masih muda, Laras.”
“Ya udah, aku panggil apa?”
“Panggil saya, Ali.”
“Mas Ali …,” kata Laras malu-malu.
Polisi intel itu mengusap wajahnya. “Sudahlah, terserah kamu. Dimana orang tuamu? Saya mau pamit dulu.”
Seolah kata-kata Mbah dukun Tukiyem hanyalah mitos dan kebohongan belaka. Kini, Aliando Sang Polisi Intel siap berangkat menuju kota tanpa membawa Laras.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!